The Land of Nothing

Disc : Shingeki no Kyojin belongs to Hajime Isayama. Peter Pan belongs to J.M Barrie.

Warn : RiRen, shounen-ai, typos


11.45 pm. 25th avenue, Trost.

Levi Ackerman's apartment.

Langit cerah malam ini, pemandangan yang jarang tampak di Trost. Ia memalingkan wajahnya ke luar jendela, bintang-bintang merasuki penglihatan.

Levi mengingatnya, dongeng yang diceritakan ibunya dulu sekali saat ibunya masih hidup. Cerita anak-anak mengenai bintang kedua dari kiri.

Pulau dimana seorang anak tak akan bertambah usianya, pulau yang dikuasai anak-anak dan tempat dimana keajaiban terjadi. Khayalan bodoh. Sejak masih kecil Levi bahkan tak mempercayainya. Mana mungkin ada tempat seperti itu, Levi yang sangat berpegang teguh pada realita dan ilmu pengetahuan hingga diusianya yang ketiga puluh tak percaya akan eksistensi hal semacam itu.

Masa bodoh dengan profesinya yang seorang penulis dongeng anak-anak.

Tapi ia boleh berharap kan? Berharap tempat bodoh seperti itu memang ada, meski realita mengatakan yang sebaliknya. Ia jenuh dengan kehidupan yang hanya hitam dan putih. Monoton dan membosankan. Ia ingin dirinya bebas dari kenyataan—meski hanya sesaat—untuk merasakan dunia dongeng yang tak dapat dinalarkan.

Malam di hari ulang tahunnya yang ketiga puluh ia memimpikan hal aneh yang tak masuk akal, seorang bocah laki-laki yang tak jelas asal-usulnya, datang dan masuk ke kamarnya.

Anak laki-laki yang tampan, kalau Levi boleh berkomentar. Dengan manik mata sehijau daun, kulit cokelat terang yang berkilauan dan bibir merekah bak buah arbei.

Seperti keluar dari cerita-cerita dongeng miliknya.

Bibir bocah itu bergerak, mengatakan sesuatu yang tak tertangkap indra pendengar Levi. Ia kemudian berjalan mendekati Levi yang sudah terduduk di atas ranjang. Oh, Levi dapat mencium wangi tubuhnya yang benar-benar adiktif; menguarkan keharuman hutan dan wangi rempah—yang bahkan lebih harum dari wewangian mahal yang selama ini digunakan Levi.

Levi tidak menyadari apa yang kemudian terjadi. Ia telah terhipnotis oleh bocah itu. Jemari lentik menyentuh tangan kasar Levi, menggegamnya dan bocah itu kemudian menuntun Levi.

Berjalan ke arah jendela besar tanpa teralis di kamar Levi, membukanya. Sesaat ia menoleh kepada Levi dan menganggukan kepala—seolah meminta Levi mempersiapkan diri.

Dan selanjutnya, klise. Genggaman tangannya mengerat kemudian bocah itu melompat keluar jendela, bersama Levi dengan tangan yang masih saling mengait.

Melompat. Keluar. Jendela.

Dari lantai 10.

Normalnya Levi tidak akan mau melompat dari lantai sepuluh, sejak awal bocah itu masuk ke kamarnya pun pasti sudah diusirnya. Normalnya. Namun ada semacam kekuatan magis yang membuat Levi hanya terdiam dan mengikuti semua gerak-gerik bocah itu, meski gila dan tidak masuk akal.

Kekuatan aneh itu juga yang membuat Levi menurut dan membiarkan dirinya merasakan hembusan angin malam yang menerpa tubuhnya, tidak menyadari dirinya sedang di ambang kematian.

Sampai akhirnya ia sadar, Levi sudah merasakan tubuhnya menjauhi—atau sudah – di atas daratan. Atau dengan lebih jelas, melayang.

Matanya membola, menyadari apa yang terjadi dan menarik tangannya dari genggaman bocah itu, "Apa-apa.." Kalimatnya terhenti, gravitasi menariknya menjauhi langit.

Dan Levi terbangun dari tidurnya.

Mimpi hanyalah bunga tidur, Levi percaya itu. Ia tak pernah menganggap serius mimpi-mimpi yang terkadang menyambangi tidurnya. Namun mimpinya kali ini, ia tak dapat melupakannya.

Wajah itu, wangi itu, sungguh bocah itu memancarkan aura magis yang tidak biasa. Levi bahkan masih bisa merasakan jemari kecil yang mengait dengan jemarinya kala itu. Levi, untuk pertama kali dalam tiga puluh tahun kehidupannya—berharap keajaiban benar-benar ada. Supaya ia bisa bertemu kembali dengan anak lelaki yang menyambangi mimpinya malam itu.

Mungkin harapannya terkabul, karena malam-malam setelah mimpinya yang pertama itu, Levi kembali dipertemukan dengan anak itu—seminggu setelah ulang tahunnya.

Hal yang sama kembali terjadi, tapi kali ini Levi dengan sadar mengikuti bocah itu, meski ia kembali jatuh di tempat yang sama. Levi takut ia tidak akan kembali ke rumahnya. Levi takut jika ia terus mengikuti bocah itu, hal mengerikan itu akan kembali terulang. Levi takut.

Tapi ia masih berharap bahwa perjumpaannya dengan bocah magis itu tak kan terhenti.

Awalnya hanya seminggu sekali, lama-kelamaan mimpi yang sama terus mengulangi skenarionya nyaris setiap hari. Levi mulai mencoba berbicara dengan anak itu tapi ia tak dapat mendengar suara anak itu maupun suaranya sendiri.

Siapa namamu? Apa yang kau lakukan di sini? Kau berasal dari mana? Begitu banyak pertanyaan yang akhirnya ditelan Levi karena ia tahu, menanyakannya adalah sesuatu yang percuma.

Mungkin dongeng yang selama ini diceritakan mendiang ibunya memang benar adanya. Mana mungkin keindahan yang menguar dari anak itu datang dan eksis di dunia yang kotor dan penuh dengan dosa manusia ini, kan?

Malam ini, Levi mencari bintang ke dua yang dikatakan ibunya. Mungkin dari sanalah bocah magis itu berasal, malam ini pula Levi memutuskan untuk tidak lari jika bocah itu datang dan kembali berusaha menuntunnya ke tempat yang belum diketahuinya itu.


00.22 am. 25th avenue, Trost.

Levi Ackerman's apartment.

Levi memutuskan untuk tidur setelah membersihkan dirinya. Membaringkan tubuhnya ke atas material empuk kasur miliknya, berusaha memejamkan mata.

"….-vi…"

"..Levi."

"Levi," seseorang memanggilnya.

Demi bocah bermata hijau, siapa yang memanggilnya? Levi ingat sudah mengunci semua pintu dan jendela, dan ia tinggal sendiri. Jadi sia—

"Levi Ackerman, bangunlah."

Levi segera bangun dari atas ranjang, berniat memberi siapapun yang masuk ke dalam rumahnya tanpa izin sebuah bogem mentah. Sayangnya, seringai menyebalkan khas bocah tanggung menghentikan aksinya.

Seorang remaja laki-laki terlihat berdiri di ambang jendela Levi. Entah sejak kapan jendelanya terbuka, padahal Levi sudah sangat yakin ia telah menguncinya sebelum tidur tadi.

Dan oh, wajah itu – wangi itu.

Anak itu.

Atau setidaknya, ia mirip dengan bocah aneh yang sering memasuki mimpinya.

Levi mengernyitkan alisnya "….Siapa.. kau?" Anak itu berjalan mendekati Levi, masih dengan seringai di wajahnya. "Apa yang kau mau?"

Apakah kali ini juga mimpi?

"Jawab aku, siapa kau?" Tanya Levi lagi, dengan lebih tegas kali ini.

Anak itu masih mempertahankan seringainya, masih menolak untuk menjawab pertanyaan Levi.

"Baiklah, ini yang terakhir, bocah. Aku tidak akan segan-segan memukulmu. Siapa kau?"

Kali ini, anak itu tersenyum simpul dan—akhirnya – menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya, "Maafkan kelancangan saya, Sir. Eren Jaeger. Berasal dari tempat yang jauh untuk menjemput anda."

Levi terperangah sesaat. Suara yang benar-benar merdu. "Menjemputku? Ke mana?"

Jari telunjuk diacungkan, bocah penyambang mimpi bernama Eren mengarahkannya keluar, ke arah sang kaisar malam.

"Bulan? Jangan bercanda bocah. Di mana rumahmu? Ayo, kuantar kau pulang," Levi menarik kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja.

Eren menggeleng, "Bukan, Sir. Saya bukan ingin membawamu ke bulan."

Levi benar-benar kesal sekarang, "Kau berhalusinasi? Sudah cukup. Kuantar kau pulang."

Levi sudah akan menarik lengan bocah itu ketika merasakan tubuhnya terangkat, terpisah dari lantai apartemen tempatnya berpijak.

Eren kembali menyeringai, "Saya harus menjemput anda, Sir."

To be Continued


Yoo, Chiaki here. Saya bener-bener nggak tau ini fic kenapa bisa terinspirasi dari Peter Pan *bows

Ini nggak saya masukin kategori cross-over karena saya Cuma pinjem istilah "bintang kedua" dan "tempat dimana anak-anak tidak bertumbuh dewasa" kalau saya salah, mohon beritahu (_ _)

Dan berhubung ini adalah FF multi-chap pertama sekaligus yang pertama juga di fandom ini, salam kenal para penghuni fandom 'w')/ dan maafkan atas kekurangan-kekurangan cerita ini (_ _)

Last, mind to RnR?