Hallo saya balik dengan cerita yang enggak banget tapi tetap saya publish buahahahaha xD cerita akibat kefrustasian saya ah biarlah. Ahsudahlah, tanpa banyak cakap lagi. . .

Here we go :)

I Am

Story by : Pena Bulu

Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Genre : Family, Romance, Hurt, Friendship mungkin .-.

Pairing : SasuFemNaru slight SasuNaruko

Rated : T

Warning : OOC, FEMNaru, typo, aneh, gajelas, berantakan, feel gadapat, membingungkan, cerita maksa, alur kecepetan, melankolis alay, EYD Berantakan.

Happy Reading :)

Apa yang kalian fikirkan tentang kembar? Berupa sama? Bertingkah sama? Semuanya sama? Ah tidak juga. Nyatanya Namikaze Naruto dan Namikaze Naruko berbeda. Dibandingkan? Itu sudah menjadi jalan hidup orang yang kembar. Tapi bagaimana jika itu seorang ibu sendiri? Kembar tidak kembar pun jika dibanding-bandingkan juga tetap tidak akan mau.

"Naruto, berhentilah bermain-main dan serius terhadap sekolahmu. Apa kau tidak malu dengan nilai-nilaimu?" nasihat seorang wanita bersurai merah dengan nada tinggi.

Naruto meletakkan piring terakhir yang baru saja dicucinya lalu memutar badannya menghadap ibunya. "Apa yang kaa-san harapkan dariku?" tanya Naruto datar.

Wajah gadis itu terlihat datar juga tenang, tapi yang pasti dari mata beriris safir itu terpancar sebuah emosi negatif yang tak dapat diungkapkannya.

Kushina – Ibu Naruto – mengerutkan alisnya ketika melihat Naruto bersandar pada dinding dan melipat kedua tangannya dengan tenang. Sepele, tapi bahasa tubuh itu diartikan oleh Kushina sebagai tindakan menantang dari Naruto.

"Contohlah Naruko, dia pintar, penurut, prestasinya banyak, nilai plus juga karena Naruko rajin membantu pekerjaan rumah kaa-san. Cobalah mencontohnya." ujar Kushina dengan nada meninggi.

"Apa kaa-san tak pernah berfikir jika tiap orang punya kemampuan berbeda? Juga dengan kepribadian mereka pastinya berbeda."

"Apa salahnya untuk mencontoh Naruko? Mencontoh yang baik-baik itu tidak berdosa. Lagi pula kaa-san heran. Kalian kembar tapi berbanding terbalik sangat jauh."

Naruto memutar kedua bola matanya malas. "Begitu? Anggap saja aku dan Naruko tidak kembar, simple." balas Naruto lalu pergi ke kamarnya meninggalkan ibunya sendiri.

"Ada apa ini?" tanya Minato sang kepala keluarga Namikaze yang baru saja pulang kantor.

"Naruto, dia itu susah sekali di atur. Berhentilah memanjakan dia Anata, anak itu jadi berani melawan ibunya sendiri." adu Kushina pada sang suami tercinta.

"Jangan terlalu keras padanya Kushina."

"Dia jadi seperti itu karena kau terlalu memanjakannya, Anata." jawab Kushina tak mau kalah.

.

.

.

Naruto membanting pintu kamarnya dan mendudukkan dirinya di kasur bersprei gambar nemo. Tangannya terkepal erat menahan luapan emosi yang selalu dia tahan.

Setetes, dua tetes air mata jatuh membasahi pipinya. Bukan, gadis itu tidak menangis hanya karena dibanding-bandingkan. Itu sudah biasa untuknya. Hanya terkadang beberapa orang tak dapat menyalurkan emosi negatifnya dan hanya ditahan. Pada saat itulah emosi itu siap meluap, tapi dia masih menahannya dan berakhirnya dengan air mata kebencian yang tumpah.

Naruto Iri? Tentu saja. Iri memang sifat mendasar manusia tapi untuk tetap tidak berlebihan, itulah tugas manusia, mengontrol rasa iri mereka. Gadis itu iri, ketika selalu saja Naruko yang terbaik dimata ibunya. Pernah terbesit dalam fikirannya jika anak ibunya hanyalah Naruko. Kembarannya itu selalu saja mendapat tempat spesial. Tak pernahkah ibunya berfikir sedikit tentang perasaan Naruto? Walaupun Naruto tetap tenang dan tidak peduli, tapi sebenanrya hatinya pun ikut terluka. Menyembunyikan perasaan itu memang melelahkan, tapi Naruto benar-benar gadis yang kuat. Semua emosinya terpendam tanpa terungkapkan. Depresi? Tertekan? Naruto tak peduli, yang pasti jika dia bersama teman-temannya, sifatnya akan berubah 180 derajat menjadi sosok yang ceria. Mereka yang menjadikan Naruto kuat bahkan terlihat tak punya masalah.

Iris safir itu memandang sinis ke segala arah dikamarnya. Sejak kecil, Naruko lah yang ada dimata ibunya. Mereka kembar, tapi beda. Naruko si gadis yang kalem, penurut, pintar tapi sebenarnya dia keras kepala dan tak suka ditentang juga, berbanding terbalik dengan Naruto yang easy going, tak suka dikekang, serampangan, kurang pintar, banyak tingkah, tapi nilai plus untuknya adalah dia selalu tenang dan cuek jika ada orang yang berusaha untuk menghakiminya. Meskipun itu ibunya sendiri. Yah walaupun itu menjadi terlihat dia tak menghargai ibunya sendiri.

Mungkin itu dari personality mereka, sedangkan dari fisik, tak jauh berbeda. Mereka benar-benar mirip dengan mata safir dan rambut pirang seperti sang ayah, kecuali Naruto yang punya tiga garis halus di kedua pipinya dan kulit tan mirip dengan ayahnya.

.

.

.

Naruto meraih ponsel dan earphonenya. Tangannya dengan lincah menari diatas tombol ponselnya lalu memutar sebuah lagu. Dengan irama yang menghentak-hentak menurutnya cocok untuk menghilangkan emosinya. Rasanya bebannya ikut menghentak-hentak dan hilang.

Semua orang punya sisi gelap dan terang, sisi hitam juga putih, sisi jahat juga baik. Tapi menurut Naruto, sisi gelapnya hanya akan dia nikmati sendiri kecuali pada seseorang disana yang selalu mengertinya. Dengan senang hati Naruto menceritakan masalahnya pada orang itu walaupun tidak semuanya dan cenderung menutup-nutupi demi nama baik ibunya. Seorang anak berkewajiban menjaga nama baik orang tuanya bukan? Begini-begini, jauh dalam lubuk hatinya, gadis itu tetap menyayangi ibunya.

Irama yang mengalun indah ini berubah menjadi pelan, tenang, dan konsisten seperti aliran air disungai, menenangkan. Matanya terpejam menikmati irama yang kian lama kian mengikis emosinya.

Iris safir itu terbuka lebar dikala earphonennya ditarik paksa. Pertama kali yang dia lihat adalah iris safir sama seperti miliknya. Senyum tulus yang terpancar walaupun terlihat sekali gurat kelelahannya. Naruto menegakkan badannya ketika disadarinya dihadapannya kini adalah sang ayah.

"Ada apa?" tanya Minato, ayah dari si kembar Naruto dan Naruko.

Naruto menggeleng pelan. "Tidak ada." balasnya tanpa minat lalu menggeser duduknya agar sang ayah bisa duduk di pinggiran kasurnya.

"Sudah makan?" tanya Minato lagi.

"Sudah, tadi."

Minato tersenyum getir. Putrinya yang ini berubah, jarang sekali Ia melihat putrinya ini tersenyum dirumah.

Minato sadar, Naruto walaupun terlihat tak peduli, tapi dengan pasti gadis itu terus saja membangun dinding pembatas bahkan untuk dirinya, orang yang paling dekat dengan Naruto.

Minato masih ingat awal dari perubahan sikap Naruto padanya. Dulu saat dia berjanji untuk menonton pertunjukan drama Naruto saat SD tapi nyatanya Minato tidak datang. Alasannya? Karena Kushina meminta Minato untuk mengantar Naruko lomba, menggantikan dirinya yang harus menunggui kakek si kembar dirumah sakit.

Minato kira, Naruto akan merajuk padanya dan memintanya untuk dibelikan sesuatu. Tapi kenyataannya Naruto menyambut kedatangan Minato didekat panggung drama yang sudah sepi dengan senyuman yang mengembang. Tapi dari sorot matanya pun terlihat jelas bahwa dia sangat kecewa.

Sejak saat itu, Naruto tak pernah menceritakan apapun pada Minato. Dia menyimpan rapat semua cerita tentang dirinya. Hanya temannya yang akan dia bagi cerita. Bersyukur karena Naruto cukup handal dalam menyembunyikan perasaannya, juga dia terlihat selalu bahagia dan akan selalu melontarkan lelucon-lelucon ketika berkumpul dengan sahabatnya.

Minato tau dinding pembatas, jurang pemisah antara mereka cukup tinggi dan dalam.

"Tidak be –"

"Tou-san lebih baik keluar, Naruto mau tidur dulu." potong Naruto lalu membaringkan dirinya dan menarik selimutnya sebatas bawah hidung.

Minato terhenyak sebentar, lalu dengan tidak rela dia bangkit dan mulai meninggalkan Naruto. Sebelum itu, lelaki paruh baya itu mendaratkan ciuman sayang di kening Naruto.

Naruto membuka matanya ketika mendengar suara pintu tertutup. Air matanya mengalir, tapi berbeda dengan yang tadi. Dia selalu seperti ini jika sudah bertingkah dingin terhadap ayah dan ibunya. Merasa bersalahkah? Tentu saja, walaupun dinding pembatas yang diciptakannya sudah tinggi, nampaknya belum cukup kokoh untuk menghapus perasaan antara anak pada orang tuanya.

.

.

.

"Kali ini, biar Tou-san antar ya?" tawar Minato ketika Naruto mendudukkan dirinya di meja makan.

Sudah ada Naruko yang dengan tenang dan terlihat tak peduli akan percakapan dua orang disekitarnya.

Naruto melirik sekilas, lalu meraih selembar roti dan mengolesinya dengan selai coklat favoritnya.

"Naruto?" panggil suara berat itu.

"Tidak. Aku berangkat sekarang." ucap Naruto final lalu berdiri dan menjauh dari meja makan dan segera keluar dari rumahnya.

"Kau lihat sendiri Anata, dia menjadi anak yang tak tahu tata krama." cibir Kushina.

"Kaa-san, sudahlah. Tou-san sudah selesai? Ayo berangkat sekarang saja." ajak Naruko menghentikan percakapan kedua orang tuanya yang mungkin siap menjadi panjang.

.

.

.

"Ohayou." sapa Naruto riang kepada teman sebangkunya sekaligus sepupunya sendiri, Uzumaki Karin.

Karin membenarkan letak kacamatanya. "Ohayou, Naruto." balasnya. Gadis bersurai merah itu tersenyum ketika melihat Naruto sudah tiba dikelas sepagi ini. Pasti ada yang mengacaukan moodnya dirumah.

"Astaga, Karin! Aku lupa membawa tugasnya." pekik Naruto sembari menepuk keras jidatnya.

Karin memutar bola matanya, lagu lama. "Kebiasaan." cibir Karin bosan. Lagi-lagi, gadis ini berteriak karena lupa membawa tugasnya.

Naruto mengobrak-abrik isi tasnya, mencari sebuah benda kecil yang sangat penting untuknya, flashdisk yang masih ada softcopy tugas miliknya. "Ah! Ketemu." teriak Naruto girang.

"Karin, aku ke perpus sebentar. Jaa." pamit Naruto lalu segera pergi berlari keluar kelas.

.

.

.

"Namikaze-san."

Naruto menghentikan langkahnya ketika dirasa ada yang memanggil namanya. "Hyuuga?" gumam Naruto ketika mengetahui siapa yang memanggilnya.

"Naruko menitipkan ini padaku." ucap gadis itu atau yang memiliki nama Hyuuga Hinata. Gadis itu memperlihatkan tugas makalah yang sudah di print tepat didepan wajah Naruto. Mata lavendernya menatap mata Naruto tajam tepat diiris safir Naruto.

Sebenarnya, Naruto tak cukup mengenal gadis ini. Yang dia ketahui tentang Hinata hanya seorang gadis yang pendiam dan cukup terisolir dari pergaulan siswa-siswi di sekolah. Banyak gosip tentangnya yang simpang siur.

Naruto meraih tugas makalahnya dan tersenyum sekilas. "Ah, Arigatou Hyuuga-san." ujar Naruto ramah.

"Aku tidak tahu pasti apa masalahmu dengan Naruko. Tapi, yang perlu kau tahu sekarang, kau berhutang Naruko dan juga padaku, Namikaze." tegas Hinata lalu pergi meninggalkan Naruto.

"Dasar aneh." cibir Naruto

.

.

.

"Cepat sekali." gumam Karin ketika Naruto sudah mendudukkan diri disampingnya.

Naruto tersenyum sekilas dan meletakkan kepalanya di atas meja. "Aku tidak jadi ke perpus, Naruko membawakan tugasku."

"Kalian berdamai? Demi perempuan tercantik sepertiku, kalian akur lagi? Oh Tuhan, jika benar tambahkan kecantikan pada diriku." tanya Karin tak percaya.

Gelak tawa Naruto seketika pecah. Demi kecantikan Karin? Oh shit, sepertinya Karin sedang tidak sehat.

"Kau sedang tidur sepertinya sampai mengigau seperti itu." ledek Naruto yang masih saja terkekeh geli.

Karin hanya tertawa dan memukul bahu Naruto pelan. "Ck! Aku tidak tidur. Aku ini memang cantik baka! Karena pada dasarnya para wanita itu terlahir dengan kecantikan." ucap Karin menerawang dengan ditambah efek imajinasi sorot lampu yang tertuju padanya dan mata aveline nya yang blink-blink.

"Yeah, anak ini berceramah lagi sepertinya." lirih Naruto kesal lalu pergi meninggalkannya.

"Oi Naruto! Kau mau kemana?" teriak Karin saat Naruto mulai menjauh darinya.

Naruto menghentikan langkahnya dan mencetak seringai tipis. "Poop, mau ikut?" tanya nya sembari membalikkan badannya.

"Yeeee! Kukira mau ke kantin." balas Karin setengah kecewa.

"Ini masih pagi Karin. Nanti saja jam pelajaran ke dua kita izin ke toilet, lurus sedikit sampai kantin." balas Naruto dengan watadosnya.

Karin mendelik sekilas kearah Naruto. "Mentalnya anak ini." Naruto sendiri malah hanya tertawa tidak jelas.

.

.

.

Rencana skip pelajaran jam kedua pun harus pupus ketika sang guru melakukan ulangan harian secara mendadak.

"Karin, serius aku tidak belajar. Aku lihat nomor dua." bisik Naruto ketika dirasa sang guru sedikit lengah.

"Sebentar." balas Karin lalu segera menyelesaikan jawabannya dan menggeser sedikit kertas jawabannya pada Naruto.

Tak perlu waktu lama bagi Naruto untuk menyalin dua jenis soal yang bercabang dan pernomor menjadi pertanyaa hingga f. Soalnya ada dua, tapi kalau bercabang sama saja bohong.

"Baiklah waktu habis. Silahkan dengan cepat dikumpulkan. Siswa paling belakang berdiri dan tariklah jawaban teman-temanmu." titah sang guru tanpa toleransi.

Dengan mengumpat pelan, Naruto menyerahkan lembar jawabannya yang masih belum selesai sempurna.

.

.

.

"Oi, Teme!" teriak Naruto ketika istirahat tiba dan dia melihat sahabat sekaligus musuhnya berjalan didepannya.

"Demi kolor Neptunus, dia itu tuli atau apa sih?" kesal Naruto ketika dirasa Sasuke tak mendengar teriakan cemprengnya padahal jarak mereka tidak terlalu jauh.

BUKG

"SIALAN! APA MAUMU DOBE?!" teriak Sasuke out of character setelah sebuah sepatu kets hitam mendarat mulus di kepalanya.

"Ck! Salah sendiri, dari tadi aku memanggilmu baka teme!" balas Naruto lalu segera memakai kembali sepatu yang dilemparnya tadi.

"Dan sekarang aku sudah dengar. Jadi apa yang kau inginkan dariku sekarang?" tanya Sasuke yang masih kesal karena rambut pantat ayam yang katanya sedang menjadi tren remaja masa kini, dan yang dia tata dengan menghabiskan hampir setengah gel rambutnya.

"Hehehe, tidak ada." balas Naruto dengan cengiran lima jari tanpa dosa. Tak tahukan gadis itu bahwa pemuda dihadapannya itu kini tengah menahan emosi yang siap meledak?

"Kenapa kau melihatku seperti itu? Aku tahu aku memang cantik tapi –"

"Percaya diri sekali Namikaze! Kau tahu, kau benar-benar mengacaukan moodku hari ini." potong Sasuke.

Naruto tergelak keras. "Kau ini seperti gadis yang sedang pms saja." sindir Naruto disela tertawa gelinya.

"Dan akhirnya bocor sehingga harus meminjam jaket salah seorang siswa." balas Sasuke yang langsung menghentikan tawa Naruto. Gadis itu kalah TELAK!

Masih jelas diingatannya dulu, sejak pertama masuk sekolah ini, Sasuke menjadi orang yang dia blacklist untuk dijauhi, karena menurutnya pemuda itu menyebalkan, sangat menyebalkan.

Tetapi, ternyata pemuda menyebalkan itu yang malah membantunya dengan meminjaminya sebuah jaket untuk menutupi roknya. Bahkan sekarang mereka jauh lebih dekat daripada hanya sekedar sahabat.

Naruto tersenyum kikuk, jari telunjuknya bermain-main di pipi berusaha menghilangkan kikuknya.

"Ck, jangan diungkit lagi, kau menyebalkan." kesal Naruto.

"Tadi kau mau kemana?" tanya Naruto.

"Seperti biasa." balas pemuda itu daatar, seperti biasa.

.

.

.

Hembusan angin yang pertama kali menyapa mereka setibanya di atap sekolah. Naruto masih berdiri terlihat tak minat untuk duduk. Iris safirnya memandangi seseorang yang terlihaat mirip dengannya.

Naruto tidak suka ketika dia sedang bersama Sasuke, malah nampak ada Naruko. Entah itu jauh atau dekat. Egois eh? Iya mungkin, sebuah perasaan yang menyeruak dari dalam hatinya yang mengendalikannya untuk egois tak ingin berbagi si pemuda Uchiha.

Naruto benci ketika tatapan Sasuke terarah terus menerus pada Naruko. Menyebalkan bukan? Tapi sebuah perasaan lain, perasaan antara kakak dan adik juga mendominasi untuk merelakan membagi si Uchiha.

"Ne, Sasuke. Kau menyukai Naruko?" tanya Naruto tiba-tiba.

Sasuke tersentak kaget tapi langsung bisa menyembunyikan ketidak Uchihanya dia kali ini. "Menurutmu?" balas Sasuke dengan pertanyaan.

"Aku bertanya butuh jawaban bukan butuh pertanyaan." Sucap Naruto sarkastik.

Sasuke melirik Naruko yang berada di taman itu sekilas, lalu sebuah seringai tipis tercetak diwajahnya. "Bagaimana kalau iya?"

Naruto melirik Sasuke sekilas lalu mengalihkan pandangannya pada pada langit diatasnya. "Kalau iya yasudahkan, mau diapakan lagi?" balas Naruto seolah tanpa beban, padahal...?

"Dia itu terkadang orang yang sangat ragu-ragu walaupun dia pintar." lirih Naruto.

"Dari yang kudengar, kau mengkhawatirkannya."

Naruto tersentak mendengar jawaban Sasuke yang tak diperkirakannya. Naruto terdiam, jauh dilubuk hatinya dia memang menyanyangi saudari kembarnya itu walaupun dinding pembatas diantara mereka sangatlah tinggi. Hanya persaingan yang ada diantara mereka. Mereka terusa bersaing menjadi yang terbaik di mata orang tuanya – dulu, sebelum Naruto lelah karena terus dibanding-bandingkan. Karena pada dasarnya, menurut Naruto, Naruko selalu menjadi yang terbaik diantara mereka.

"Lihat wajahnmu, kau cemburu kalau aku menyukai kembaranmu?" ujar Sasuke sembari menarik dagu Naruto membuat onyx dan safir bertemu pandang.

"Apasih." Naruto menepis tangan Sasuke dengan kesal lalu mengalihkan pandangannya menutupi rona wajahnya yang kian berubah.

Sasuke terkekeh pelan, sangat pelan. "Bagaimana kalau justru aku menyukaimu?" tanya Sasuke tiba-tiba.

Iris safir itu membulat mendengar pertanyaan Sasuke yang sungguh tak pernah terfikirkan olehnya. Bisa menjadi sedekat ini pun gadis itu sudah sangat bersyukur. Entah tak tahu sejak kapan perasaan semacam ini tumbuh dihatinya.

"Ck! Jangan bercanda teme. Lagi pula kau bukan tipeku" balas Naruto bohong berusaha menutupi kegugupannya.

Naruto harus berfikir dua kali untuk bertindak kali ini, dirinya sekarang pasti terlihat sangat salah tingkah didepan Sasuke.

Sasuke mengangkat bahunya lalu mengacak ringan surai pirang Naruto."Aku juga hanya bercanda, dobe."

Dan sekali lagi, semburat merah di pipi Naruto kembali menghiasi.

.

.

.

"Ah lihat kita bertemu dengan seorang pecundang, Hinata." ucap Naruko ketika dia berpapasan dengan Naruto dan Sasuke.

Naruto menghentikan langkahnya dan dengan tenang dia menatap Naruko. "Seperti tidak berkaca saja." sindir Naruto.

"Memangnya kau lebih baik dariku? Aku heran kenapa malah kau yang menjadi kembaranku."

"Ck! Jika aku bisa merubah takdir, maka akan kurubah siapa saudari kembarku. Aku pun tidak sudi mempunyai kembaran sepertimu." balas Naruto tajam.

"Heh, Tak tahu malu. Kau selalu merebut sesuatu yang kuinginkan, salah satu tipe orang brengsek adalah dirimu. Kau merebut semua dariku."

"Aku memang brengsek, aku mungkin juga pembohong, tapi aku tak bermuka dua sepertimu."

"Kau benar-benar memainkan peran yang hebat, Naruto. Menjadi seolah orang yang tertindas juga menjadi orang yang paling bahagia."

"Wow, sepertinya kau cukup memahami diriku, Naruko." balas Naruto dengan menekankan nama kembarannya tersebut.

"Aku sudah cukup untuk bertahan dengan semuanya, dengan semua yang kau lakukan. Aku muak terhadapmu. Aku membencimu, sangat." lirih Naruko dengan nada bergetar dan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Suatu kehormatan bagiku untuk dapat kau benci, Naruko-sama. Aku tidak peduli oleh siapa aku dibenci. Setidaknya aku tak sepertimu yang terlalu mendramatisir keadaan dengan tangisan air mata." sindir Naruto.

Naruto melirik Sasuke sekilas. Sasuke memang tak terlalu tahu tentang masalah mereka, tapi dengan ucapan Naruko ini, dari sorot mata Sasuke, Naruto tahu pemuda itu menaruh iba pada Naruko.

"Kau bahkan tak berhak mencaciku, Naruto." ujar Naruko yang berusaha untuk memukulnya sebelum tangannya ditahan oleh Sasuke dan Hinata.

"Tenangkan dirimu, Naruko!" bentak Sasuke yang kali ini turun tangan ketika dirasa kekerasan sudah hampir tertimbulkan.

"Wow, kesabaranmu sudah habis ya? Berlagak seperti wanita yang ditindas? Kau ingin ada yang mengasihanimu bahwa kau adalah orang yang paling menderita di dunia ini? Begitu?" ujar Naruto dengan sindiran yang cukup mulus langsung tepat dihati.

"Baguslah, kau sudah menemukannya, tapi itu hanya ilusi. Manusia tak bisa saling menolong. Berdoalah pada Tuhan. Berdoalah untuk segera membuatku dikirim ke neraka secepat mungkin." lanjut Naruto yang sepertinya tak takut sedikitpun.

"Naruto, jaga bicaramu!" teriak Sasuke ketika obrolan mereka menjurus pada kematian.

"Seperti aku akan mendengar saja." balas Naruto dengan seringai diawajahnya, dan dengan cepat dia berbalik mejauh dari mereka.

Sasuke melepas cengeramannya pada tangan Naruko. "Berhenti bermasalah dengan Naruto." bisiknya tepat ditelinga kanan Naruko lalu pergi meninggalkannya.

"Sial!" umpat Naruko pelan.

Hinata mengulas senyum mengejek. "Kau bahkan tak bisa membalas perkataan Naruto. Ingin selalu ditindas olehnya?"

"Aku benar-benar membencinya. Aku akan membuatnya benar-benar jatuh hingga ke dasar." ucap Naruko licik.

.

.

.

Naruto mendudukkan dirinya dikursi kelasnya. Wajahnya ditekuk, masih memikirkan yang tadi.

"Ada apa?" tanya Karin yang melihat gelagat Naruto.

Gadis itu menggeleng lemah, tak ingin menjelaskan barang sedikitpun.

"Bertengkar dengan Naruko lagi?"

"Tak hanya Naruko, tapi tadi aku juga berkata sinis pada Sasuke." lirih Naruto lalu membaringkan kepalanya diatas meja, menyembunyikan wajahnya dilipatan tangannya.

"Oh, jadi karena Sasuke." ucap Karin dengan nada sing a song.

Naruto sendiri tak menanggapi apa yang dikatakan Karin, entah gadis berambut merah itu sekarang akan berkata apa, meledekkanya pun dia tak akan peduli untuk saat ini. Naruto masih memikirkan perkataanya yang meluncur mulus dari mulutnya tadi. Bagaimana kalau tiba-tiba dia mati dan benar-benar masuk neraka? Gadis itu masih cukup waras untuk takut akan kematian.

.

.

.

"Aku heran kenapa kalian bisa bertengkar hingga seperti itu." ujar Hinata tiba-tiba.

Naruto tak berniat menjawab. Dirinya masih berjalan dalam diam merenungkan kejadian yang dialaminya tadi. Fikirannya kembali pada kenangan masa kecilnya, kenangan bersama Naruto. Rasanya, kenangan itu benar-benar hilang dari dirinya. Rindukah?

Hinata membuang nafasnya kasar, lalu menyelipkan sebatang rokok diantara kedua bibirnya. Tangannya dengan lincah menyalakan pematik diujung rokoknya. Menyesapnya lalu menghembuskannya menciptakan kepulan asap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya.

"Kau merokok Hinata?" tanya Naruko ketika mereka sampai pada sebuah taman yang cukup sepi padahal ini baru saja jam pulang sekolah. Suasana memang sedikit dingin dan mendung jadi mungkin ini faktor yang membuat taman ini sepi.

"Ya, sejak orang tuaku bercerai. Aku mulai merokok. Aku user." lirih Hinata sembari menyesap rokoknya.

"Kau mau coba? Aku tahu masalahmu dengan keluargamu. Mau rokok atau ekstasi? Kali ini kuberikan gratis, untuk pemula." balas Hinata dengan senyum diwajahnya.

"Kenapa kau menawariku barang itu?"

"Yah, karena kufikir barang ini membuatku melupakan masalahku. Siapa tahu kau cocok menggunakannya, tak ada salahnya mencoba bukan? Aku selalu melihatmu tertekan. Cobalah." Hinata mengulurkan tangannya memberikan dua butir ekstasi secara cuma-cuma.

Naruko mengulurkan tangannya berniat untuk menerima benda sialan itu sebelum sebuah tangan menepis tangan Hinata dan membuat benda itu terjatuh di tanah.

PLAK

Iris safir Naruko membulat ketika sesosok yang mirip dengannya melayangkan sebuah tamparan kepada teman dekatnya.

"Apa-apaan kau ini?" teriak Naruko tak terima, lalu mendorong Naruto bermaksud menjauhkannya dari Hinata.

"Hei Namikze, apa kita punya masalah? Berani sekali kau menamparku. Memangnya siapa dirimu? Aku tidak peduli kau anak keluarga Namikaze, tapi kau tak berhak menamparku." ujar Hinata datar, tapi walaupun begitu, dirinya benar-benar marah mendapat sebuah tamparan dari Naruto.

"Masalah? Tentu saja ada!" pekik Naruto kesal.

"Jauhi Naruko!" titah Naruto final.

"APA?! Kau tak berhak mengatur siapa saja yang berhak dekat denganku Naruto, Hinata itu temanku." Tegas Naruko setelah sebelumnya tangan kanannya mendarat mulus dipipi kiri Naruto mencetak bekas jari berwarna merah.

"Tak akan ada teman yang berusaha membuat temannya jatuh pada Narkoba." ucap Naruto sinis.

"Mana bukti kalau Hinata be –"

"Kau kira aku bodoh? Memangnya aku tidak tahu benda apa itu?" tunjuk Naruto pada dua butir ekstasi yang terjatuh didekat kaki mereka lalu menginjaknya hingga hancur.

"Lalu, apa ada masalah jika aku berniat menawari Naruko untuk menggunakannya?" tantang Hinata yang sedari tadi hanya diam.

Naruto melirik Hinata sekilas. "Aku tidak ada urusan denganmu, Hyuuga!"

"Ah! Ternyata Namikaze yang ini benar-benar sombong. Kukira seorang Namikaze itu adalah orang yang juga akan bertutur kata halus dan menghormati orang lain." sindir Hinata.

"Sepertinya kau tidak mengaca saja. Seorang Hyuuga yang terhormat dengan tradisi ke Jepang-an yang masih kental. Dimana sopan santunmu?" balas Naruto yang mulai tertantang.

"Aku bahkan tidak peduli dengan semua itu." balas Hinata tak mau kalah.

"Memangnya aku peduli?"

Naruto kembali mengalihkan pandangannya kepada Naruko. "Terserah apa yang akan kau lakukan, aku tidak peduli, percuma juga aku peduli padamu. Yang seharusnya kulakukan sudah kulakukan. Selanjutnya adalah keputusanmu." ucap Naruto final, lalu berbalik dan melangkah pergi ketika dirasa rintikan hujan mulai membasahi.

"Benci. Aku benar-benar membencimu, Naruto." lirih Naruko yang masih dapat didengar Naruko.

Naruto menghentikan langkahnya dan melirik Naruko dari ujung matanya. "Ah! Kebetulan sekali, aku juga membencimu." balasnya dengan seringai miring yang tercetak diwajahnya.

TBC

Uwoooooo entah kenapa ini langsung muncul di otak saya dan akhirnya menulis ini xD Maaf ya saya belum bisa update yang Dibawah Langit Senja karena sesuatu yang asdfghjkl xD Hayoooo gimana perasaannya buat ending Naruto? Ngeeeeng setelah saya terbang karena hint sasunaru, dan sayap saya dipatahkan dengan dua chapter terakhir. Muehehe tapi masa bodolah dengan ending, yang penting tetap teme sama dobe :3

RnR please? Thankyou :)