Halo, halo...
Assalamuallaikum, salam sejahtera bagi kita semuaaa...
#nervous
Ehm, lama tdk berjumpa, lama bngt ya Cyaaz hiatus..
Smpai grogi mau balik k sini, takut digebuk masa penagih hutang.
Akan tetapi... Mmang Cyaaz diberi berkah oleh Allah untuk ttp menulis meski bnyk hutang.
Jd mau tdk mau Cyaaz tetap menyalurkannya dalam FF ttg AsuCaga tercinta.
Klau readers merasa krg berkenan ya tdk apa2, lbih baik tdk mmbaca Fic baru yg Cyaaz publish, terutama yg takut kena php (tdk tamat).
Oke sekian saja pembukaan dr Cyaaz, silakan dinikmati dan smoga terhibur dg Fic terbaru ini..
Disclaimer: GS/D bukan milik Cyaaz.
Takara Mono
Chapter 01
"Athrun!"
Di tengah sejuknya udara pagi, Athrun mendengar suara seorang gadis memanggil dari kejauhan. Tanpa sadar ia tersenyum seketika, mengetahui orang yang sejak tadi ia nanti akhirnya datang. Suara gadis itu terdengar riang, menggambarkan pribadi yang polos dan penuh keceriaan. Setelah beberapa saat menunggu, barulah Athrun dapat merasakan keberadaan gadis itu berdiri di dekatnya dengan nafas memburu. Seperti biasa, gadis itu pasti berlari menghampirinya dengan penuh semangat hingga tak memperhatikan nafasnya sendiri.
"Kau terlambat, Cagalli." Athrun menyambut kedatangan sang sahabat, sesungguhnya ia mulai mencemaskan gadis itu. "Kukira kau tidak akan datang."
Cagalli, gadis belia yang saat ini masih berdiri di dekat Athrun tertawa kecil. "Maaf, tadi aku terlalu asyik berburu di hutan." Athrun merasakan Cagalli duduk di sisinya, mereka duduk di atas sebuah batu besar yang sama.
"Berburu?" Athrun terheran, namun tak lama ia mendapati sebuah keranjang rotan berada dalam pangkuannya. Segera ia meraba dan mencari tahu apa isi dari keranjang tersebut, butiran-butiran kecil dengan aroma manis dan segar. "Beri?"
"Ya, buah beri segar yang tumbuh liar di hutan." Ucap Cagalli dengan kebanggaan tersirat dalam nada bicaranya. "Makanlah, sudah kucuci bersih dan rasanya benar-benar lezat!"
"Hoo…" Athrun menyeringai, lalu mengambil satu buah beri segar dalam keranjang dengan tangan kanannya. "Hari ini kau menjadi pemburu beri."
Cagalli tertawa. "Ya, apa kau tidak menyukainya?"
Athrun menggeleng pelan. "Asalkan kau tidak membawakanku jamur beracun, aku tidak keberatan."
Athrun mendengar Cagalli tersedak ketika ia menyindirnya, jelas sekali Athrun sedang membicarakan jamur bulat yang dibawa gadis itu beberapa hari lalu dan membuat mereka berdua sakit perut setelah memakannya. "Iya, iya, aku tahu!" Ucap Cagalli dengan nada kesal. "Aku sudah membaca buku tentang jamur dan tanaman beracun yang kau berikan padaku, aku takkan salah membawa makanan lagi!"
Lagi, Athrun tertawa kecil mendapati respon sang sahabat yang terdengar kesal sekaligus malu di saat yang bersamaan. "Terima kasih, Cagalli."
"….." Gadis di sampingnya tidak menjawab.
Keheningan sempat tercipta di antara mereka, membuat Athrun tak kuasa menahan pikirannya untuk melayang jauh. Dari tempatnya duduk saat ini, Athrun dapat mendengar suara gemericik air mengalir dari sungai yang terletak tidak jauh di belakaang mereka. Sesekali angin sepoi datang menyapa, terselip aroma khas dedaunan hijau musim semi pada tiap hembusan. Sungguh tempat yang tentram dan menenangkan, membuat siapa pun akan merasa nyaman menghabiskan keseharian mereka di sana.
Sekilas Athrun mengenang kembali hari-hari yang telah ia lalui di tempat ini, di bawah naungan pohon bersama Cagalli yang selalu menemaninya. Mereka bermain, tertawa, bercengkrama dan terkadang menangis bersama. Tak segan membagi segala rasa suka dan duka dalam dada, menjalin sebuah ikatan yang semakin kuat di setiap harinya.
"Sudah kuputuskan!" Di tengah lamunannya, Athrun mendengar Cagalli tiba-tiba mengangkat suara. "Besok aku akan memetik apel untuk kita! Tadi aku sudah memeriksa dan melihat ada beberapa pohon yang buahnya siap dipanen!"
Athrun dapat merasakan semangat serta keceriaan yang tersirat dari suara sang sahabat, ia pun tak dapat menahan senyumnya. Sejujurnya Athrun sangat mengagumi kepribadian Cagalli yang periang, positif dan hangat. Ia juga menyadari bahwa hati gadis itu sangatlah tulus, tidak sedikitpun niatan buruk tersembunyi di dalamnya. Seandainya semua orang dapat melihat Cagalli sebagaimana Athrun melihatnya…
"Maaf, Cagalli..." Senyuman Athrun berubah menjadi senyum miris, wajahnya tertunduk ketika ia meminta maaf pada sang sahabat. "Besok aku tidak bisa datang."
"Huh?" Tentu saja, Cagalli pasti terheran mendapati respon Athrun. "Tidak apa-apa, kalau begitu lusa saja kita-."
"Lusa pun tidak bisa." Athrun memotong ucapan Cagalli. "Maaf, tapi aku tidak akan datang untuk jangka waktu yang cukup lama."
Athrun mendengar suara benda jatuh, pasti Cagalli menjatuhkan buah beri di tangannya, kemudian ia pun merasakan gadis itu berdiri dan menyentuh bahunya. "Athrun, ada apa?" tanya gadis itu, terdengar jelas jika ia merasa cemas sekaligus bingung. "Apa telah terjadi sesuatu? Apa aku sudah membuat kesalahan?"
Athrun segera menggeleng, ia pun menggenggam tangan Cagalli yang masih berada di bahunya. "Tidak, bukan begitu. Aku hanya… Aku harus pergi keluar dari kerajaan untuk beberapa lama."
Cagalli sempat terdiam, membuat Athrun ikut merasa cemas. Sejujurnya ia sama sekali tidak ingin membuat gadis itu bersedih.
"Kenapa?" Akhirnya Cagalli kembali bertanya. "Untuk apa kau keluar dari Junius Seven?"
"Aku, aku harus pergi ke beberapa tempat untuk belajar." Athrun menjawab dengan gugup, tanpa sadar mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Cagalli. "Ayah berkata jika aku harus belajar tentang banyak hal yang ada di luar Junius Seven, aku harus mengenal dan mengunjungi berbagai belahan dunia untuk memperluas ilmu pengetahuanku."
Lagi, Cagalli tak segera memberikan respon, membuat Athrun gelisah. "Hmm, ya, tentu saja." Setelah beberapa saat barulah gadis itu bersuara. "Ayahmu benar, sangat penting bagimu untuk belajar dan menambah pengetahuan tentang kerajaan lain." Ia pun kembali duduk di samping Athrun, tangan mereka masih saling menggenggam satu sama lain. "Akan sepi rasanya kalau kau tidak ada, tapi-."
"Cagalli!" Athrun kembali memotong kalimat sang sahabat, ia pun menggenggam tangan gadis itu dengan kedua tangan erat-erat. "Kau mau menungguku?" Ia bertanya dengan sungguh-sungguh. "Mungkin memang akan lama, tapi maukah kau menungguku?" Athrun merasakan sensasi hangat pada wajahnya. "Aku pasti akan kembali dan menemuimu di sini, karena itulah, Cagalli…"
"Kau ini bodoh ya?" Kini giliran Cagalli yang memotong kalimat Athrun. "Tentu saja aku akan menunggumu, memangnya aku akan pergi ke mana?" Gadis itu terdengar sedikit kesal. "Tentu kau tahu, aku tidak punya tempat lain dan aku tidak punya siapa pun." Kini suaranya mulai terdengar sedih. "Hanya kau satu-satunya orang yang mau menerima dan berteman denganku, Athrun…"
"….." Athrun menghirup dan menghembuskan nafas panjang, meneguhkah hatinya. "Terima kasih, Cagalli. Aku akan segera kembali setelah semuanya selesai."
Cagalli tertawa kecil, lalu ia mengusap punggung tangan Athrun dengan lembut. "Ya, aku akan menunggu di sini."
Mendengar ucapan Cagalli membuat Athrun merasa lega, keduanya sepakat mengikat janji. Meski terpisah, mereka takkan melupakan satu sama lain. Apa pun yang terjadi, Athrun pasti akan kembali dan Cagalli akan setia menunggu kepulangannya. Bagi Athrun dan Cagalli, di dunia ini tidak ada hal yang lebih berharga dibandingkan dengan ikatan di antara mereka.
Dan saat aku kembali nanti, semuanya akan berbeda.
- Takara Mono -
Hari yang indah di Morgenroete, mentari bersinar tanpa terhalang awan sedikit pun. Kerajaan yang terletak di sebelah selatan Junius Seven ini memang diberkahi dengan iklim tropis yang ramah. Para penduduk kerajaan menggantungkan hidup mereka pada pertanian, ternak dan perkebunan. Berkat tanah mereka yang subur dan kondisi iklim yang mendukung, tak sedikit hasil panen dari Morgenroete dijual hingga ke kerajaan tetangga.
Ya, Morgenroete dan Junius Seven memang menjalin hubungan kerjasama yang baik; Morgenroete membagi kekayaan alam mereka, sedangkan Junius Seven membagi ilmu yang mereka miliki. Hubungan kerjasama di antara kedua kerajaan senantiasa terjalin dengan sangat baik hingga satu kerajaan akan dengan segera memberi uluran tangan ketika kerajaan lain sedang mengalami masalah.
"Tahun ini kita beruntung, hasil panen akan kembali melimpah meski musim hujan belum juga datang."
"Pembukaan lahan perkebunan juga tidak mengalami banyak kendala, kita bisa mulai menebar benih secepatnya."
"Ini semua berkat peralatan baru yaang dibagikan oleh Raja Mwu La Flaga!"
"Sistem pengairan juga semakin dikembangkan, dengan ini Morgenroete akan makmur lagi!"
"Bersulang untuk Raja!"
Seorang pemuda duduk di salah satu sudut ruangan, menghadap sebuah meja bundar dengan segelas minuman di tangan. Tanpa sengaja ia mendengar beberapa orang petani saling bertukar kata, membicarakan hasil panen mereka yang diperkirakan akan melimpah dan sosok sang raja yang mereka hormati. Tak sedikit kata pujian ditujukan pada sang Raja, Mwu La Flaga, menandakan betapa sang raja sangat dicintai oleh rakyat kerajaan.
Tak banyak yang tahu jika raja Mwu bukanlah satu-satunya orang yang berjasa dalam panen raya yang akan mereka peroleh tahun ini, sebenarnya raja Mwu meminta bantuan pada kerajaan tetangga untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi Morgenroete. Kerajaan ini mungkin dikenal luas karena kemakmuran dan hasil alam yang melimpah, namum memiliki kelemahan dalam ilmu pengetahuan dan tenaga kerja ahli. Karena itulah sebagai negara yang menjalin hubungan baik dengan Morgenroete, Junius Seven memberikan bantuan dalam membangun sistem irigasi dan mendatangkan alat pendukung pertanian.
"Kau sudah selesai?" Perhatian pemuda itu teralihkan ketika seorang pria berkulit kecoklatan menghampirinya. "Aegis sudah siap, kita bisa berangkat kapan pun kau mau."
"Baiklah, Andrew," pemuda berkemeja putih tulang dengan vest kehitaman itu berdiri, nampak postur tubuhnya cukup tinggi dan tegap. "Kita berangkat sekarang agar lusa bisa sampai di Junius Seven sebelum gelap."
"Sesuai keinginanmu, Athrun." Andrew, pria berkulit kecoklatan tadi merespon dengan penuh rasa hormat.
Tak lama kemudian keduanya beranjak keluar dari kedai minuman dan melangkah menuju tempat peristirahatan di mana rekan-rekan mereka menunggu. Sudah beberapa bulan mereka menetap di Morgenroete sebagai utusan dari Junius Seven, sudah saatnya bagi mereka untuk pulang. Athrun merasa tenang setelah berhasil menyelesaikan tugas dari ayahnya, membuktikan kemampuannya sebagai penerus kerajaan. Ya, Athrun adalah seorang pangeran, ia adalah putra tunggal dari Patrick Zala, raja Junius Seven saat ini.
"Hey, tunggu!" langkah Athrun terhenti ketika dua orang bocah laki-laki berlari melewatinya. "Sting! Auel! Tunggu aku!" Kini datang seorang anak perempuan dengan rambut pirang. Gadis itu berupaya mengejar kedua bocah yang baru saja melewati Athrun, karena terburu-buru ia malah tersandung dan jatuh tepat di hadapan sang pangeran. "Aduh… Sakit!"
Athrun segera membantu gadis kecil yang jatuh telungkup di hadapanjya. "Kau baik-baik saja?" ia memastikan gadis kecil itu tidak terluka, lalu membersihkan bajunya yang sedikit kotor. "Ayo, bangunlah."
Gadis itu mengangguk kecil, lalu berdiri dengan bantuan Athrun. "Te-terima kasih, Tuan." Wajahnya sedikit memerah saat bertatapan langsung dengan Athrun.
"Lain kali lebih berhati-hatilah saat bermain, mengerti?" Gadis kecil di hadapan athrun mengangguk, Athrun yang saat ini berlutut untuk mensejajarkan tinggi dengan gadis itu kemudian tersenyum. "Bagus, sekarang pergilah," ia menoleh dan menunjuk pada kedua bocah yang berada tidak begitu jauh dari tempat mereka. "Lihat, kakak-kakakmu menunggu."
"Stellar! Kau tidak apa-apa?" seru bocah yang lebih tinggi.
"Ayo kita pulang!" Bocah yang lain ikut berseru sambil melambaikan tangan di tengah keramaian.
"Iya, tunggu aku!" Stellar kembali menatap Athrun setelah menjawab panggilan kakak-kakanya, ia tersenyum dan berterima kasih untuk yang kedua kalinya sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Athrun memperhatikan Stellar hingga gadis itu sampai pada kedua kakaknya, ketiganya kemudian bergandengan tangan dan berjalan beriringan. Tanpa sadar Athrun tersenyum, ia merasakan sensasi hangat memenuhi dadanya hanya dengan memperhatikan moment kecil ketiga bersaudara itu.
"Kau tidak perlu khawatir, Morgenroete sudah melewati masa krisisnya." Suara Andrew memecah lamunan Athrun, membuat pemuda berambut navy blue itu berdiri. "Karena bantuanmu, kerajaan ini tidak akan kekurangan persediaan pangan meski musim paceklik berlanjut."
"Ya, kuharap begitu." Athrun kembali melangkah bersama Andrew, menghampiri seekor kuda berbulu coklat kemerahan miliknya.
"Lalu bagaimana dengan imbalan yang kita dapatkan? Apakah Raja Flaga sudah membayar dengan pantas?" Tanya Andrew selagi ia bersiap menunggangi kuda hitam kesayangannya.
Athrun pun naik ke punggung Aegis, lalu mengedikkan bahunya. "Masalah itu kuserahkan pada ayah, beliau yang akan membuat kesepakatan dengan Raja Flaga."
Andrew menggeleng pelan. "Padahal tidak ada salahnya jika kau meminta sedikit bagian di luar kesepakatan antar raja. Kau yang sudah bekerja keras dalam menyelesaikan masalah-masalah di Morgenroete ini, Athrun."
"Bagiku, melihat rakyat Morgenroete bersuka-cita saja sudah cukup." Ia mulai menunggangi Aegis menuju perbatasan kota, diikuti Andrew dan beberapa rekan mereka di belakang. "Lagipula aku juga belajar banyak hal di sini, aku merasa sudah impas."
Lagi, Andrew menggeleng pelan. Pangeran muda yang satu ini memang dikenal terlalu baik, ia tak pernah menolak permintaan dari siapa pun, tak juga meminta imbalan dari mereka. Di samping itu ia juga gemar menuntut ilmu, mempelajari berbagai hal dari seluruh penjuru bumi. Sudah belasan tahun Andrew mendampingi sang pangeran, membuatnya sangat mengenal sifat dan prilaku Athrun. Pemuda ini akan menjadi sosok seorang raja yang bijak dan bisa diandalkan, Andrew yakin akan hal itu. Hanya tersisa sedikit masalah…
Di tengah perjalanan mereka, Athrun kerap menengadahkan kepalanya, menatap hamparan langit luas dan butiran awan putih yang menghiasinya. Terkadang tatapannya menyapu pemandangan di sekeliling mereka, mengamati setiap sudut yang terjangkau oleh kedua matanya. Setelah itu tatapannya akan kembali ke depan, namun sinar matanya meredup. Terlihat jelas, pemuda itu sudah larut dalam pemikirannya sendiri.
Hal ini sering sekali terjadi, kapan pun dan di manapun. Andrew terus memperhatikan gelagat aneh dang pangeran, namun enggan mempertanyakannya langsung. Tak jarang ia juga mendapati Athrun tiba-tiba kehilangan fokus di saat genting akibat kebiasaannya larut dalam pemikiran panjang, membuat keadaan menjadi kacau hanya karena sebuah kesalahan kecil.
Apa yang selalu mengganjal pikirannya? Mungkin dia sedang mencari sesuatu? Apakah dia masih belum terbiasa dengan segala sesuatu yang dia lihat? Atau dia selalu belajar dan mengamati keadaan di sekitar hingga mengganggu fokusnya? Sudah sejak sekian lama Andrew mengamati dan menyadari kebiasaan buruk sang pangeran, namun hingga saat ini ia masih belum menemukan alasan di balik kegelisahan pemuda berambut navy blue itu.
- Takara Mono -
"Pangeran sudah tiba!"
"Pangeran Athrun kembali!"
"Ayo berkumpul!"
"Siapkan penyambutan!"
Sorak sorai bergemuruh di sepanjang jalan dari gerbang masuk kerajaan hingga ke istana Junius Seven. Ribuan penduduk terlihat begitu gembira, menyambut kedatangan pangeran yang sempat pergi selama beberapa bulan dari kerajaan. Athrun memang dicintai oleh rakyatnya, ia dikenal sebagai seorang pangeran yang berwibawa namun tetap sederhana. Athrun lebih sering muncul sebagai orang biasa di tengah masyarakat dibanding sebagai seorang bangsawan. Pemuda bermarga Zala itu lebih suka berbaur dengan rakyat tanpa membawa-bawa statusnya.
"Penyambutannya meriah sekali." Andrew berkomentar ketika ia dan rombongannya hendak memasuki halaman istana, ia memperhatikan ratusan penduduk di sekeliling mereka. "Yah, walaupun tidak semeriah dengan yang waktu itu." Andrew tersenyum mengenang masa lalu. "Saat itu semua orang sampai berpesta semalaman."
Athrun tertawa kecil, ia menatap Andrew dari ekor matanya. "Apalah arti kepergian kita kali ini dibandingkan dengan saat itu?" Ia kembali menatap lurus ke gerbang istana.
"Benar juga, waktu itu kita pergi selama enam tahun lamanya." Andrew menyetujui sang pangeran. "Waktu yang cukup lama hingga mampu membuat orang-orang hampir melupakan kita."
Tanpa Andrew ketahui, kata-katanya barusan membuat Athrun tersentak. Pemuda itu mengeratkan genggaman tangannya pada tali kekang dan dahinya mengerut. Enam tahun, benarkah enam tahun merupakan jangka waktu yang terlalu panjang? Apakah dalam enam tahun seluruh dunia akan mengalami perubahan hingga semua terasa berbeda? Hanya dalam waktu enam tahun… Apakah kita mampu melupakan orang yang kita cintai?
"Selamat datang, Pangeran." Pemikiran panjang athrun terhenti ketika salah seorang penjaga mengucapkan salam dan hormat kepadanya.
Athrun dan rombongannya mulai memasuki kawasan istana. Mereka melewati gerbang besar berwarna hitam dengan puluhan prajurit berjaga di sekitarnya. Begitu masuk, meraka disambut dengan pemandangan halaman istana yang cantik. Tatanan bunga dan tanaman hias di halaman istana begitu rapi dan elegan, didominasi warna hijau rerumputan dan putih dari bunga alyssum. Terlihat dua buah kolam dengan air mancur di kedua sisi halaman, terpisahkan oleh jalan utama menuju pintu masuk istana.
Tak lama Athrun dan rombongannya terpisah dari kuda yang mereka tunggangi, melangkah masuk ke dalam istana megah bernuansa putih dan biru. Interior istana tersebut juga terbilang elegan dengan pemilihan ornamen yang tepat. Raja Patrick memang dikenal sebagai seorang yang berselera tinggi, beliau juga selalu menuntut kesempurnaan. Sangat berbeda dengan putra tunggalnya yang lebih luwes dan mementingkan kesederhanaan.
"Bagus sekali, Athrun." Patrick menepuk bahu putra tunggalnya, ia tersenyum puas. Saat ini ia dan Athrun sudah berada di ruang baca istana setelah Andrew dan yang lain mendapat sambutan resmi dari sang Raja dan undur diri. Patrick begitu puas dan bangga terhadap putra semata wayangnya, membuatnya yakin bahwa Athrun benar-benar akan menjadi penerusnya yang sempurna di kemudian hari. "Inilah yang selalu kuharapkan darimu, Nak."
"…." Athrun tidak nampak senang mendengar pujian dari sang ayah, ia hanya duduk dengan kepala tertunduk.
Patrick berjalan memutari punggung Athrun, lalu duduk di kursinya untuk berhadapan dengan pemuda itu. Sosoknya begitu tegas, berwibawa dan penuh kharisma seorang raja. "Sudah lebih dari delapan tahun aku membimbing dan mengasahmu sampai sejauh ini, kurasa sudah saatnya kau mulai mendukung kerajaan dengan lebih mandiri." Pria berjubah keabu-abuan itu membuka lembaran kertas di atas meja yang memisahkan antara dirinya dan Athrun. "Mulai besok aku akan menempatkanmu dalam satuan infestigasi bersama Dacosta. Tugas dan kewajibanmu bukan hanya meliputi keamanan Junius Seven, tapi juga-."
"Ayah," Athrun membuat Patrick sontak menatapnya. "Apa yang ayah minta?" Patrick mengangkat sebelah alisnya. "Berapa imbalan yang ayah minta dari Morgenroete untuk bantuan yang kita berikan pada mereka?"
Patrick mendengus. "Memang apa urusannya denganmu? Aku dan Flaga sudah sepakat mengenai hal itu." Athrun masih menuntut jawaban. "Aku meminta tiga per empat bagian dari hasil panen mendatang."
"Apa?!" Kedua mata Athrun melebar seketika. "Ayah! Itu keterlaluan! Mereka baru saja mengalami gagal panen dan saat pada akhirnya mereka bisa menuai hasil yang bagus, ayah malah-."
"Jika kita tidak menyuplai peralatan dan mengembangkan infrastruktur mereka, Morgenroete akan selamanya kekurangan pangan." Patrick tak membiarkan Athrun menceramahinya begitu saja. "Aku hanya meminta imbalan satu kali dalam bentuk hasil panen, bukan menjajah atau memeras mereka selama bertahun-tahun."
"Tapi, Ayah! Seharusnya ayah hanya-."
"Cukup, Athrun! Aku sama sekali tidak meminta pendapat darimu! Semua keputusan yang kuambil adalah mutlak!" Patrick berhasil membungkam putranya. "Sekarang pergilah! Siapkan dirimu untuk besok dan jangan ulangi apa yang baru saja kau lakukan karena lain kaali aku tidak akan tinggal diam."
Athrun mengepalkan tangannya, meredam rasa kecewa dan amarah dalam dada. Tanpa berkata apa-apa ia segera bangkit dan pergi meninggalkan sang ayah. Pemuda itu pun ambruk di atas ranjangnya, berupaya menenangkan diri. Ia sangat menghormati sang ayah yang tegas, disiplin dan berwibawa, namun ia tidak dapat menerima sifat egois dan tindakan beliau yang kadang terlalu keras. Demi keuntungan kerajaannya sendiri, Patrick mampu mematok harga tinggi pada kerajaan lain dan bahkan mengambil kesempatan dalam masalah mereka.
Apakah aku harus mengambil jalan yang sama seperti ayah? Athrun bertanya pada dirinya sendiri, menatap kosong pada langit-langit kecoklatan kamarnya. Tak lama ia lalu bangkit dan beranjak pada sebuah meja kecil di sudut ruangan, ditatapnya sebuah lukisan kecil di atas meja tersebut.
Lukisan itu berisikan sosok Athrun yang masih sangat muda, sekitar enam atau tuju tahun. Di samping kirinya berdiri sang ayah yang nampak berwibawa seperti biasanya dan di samping kanan Athrun duduklah seorang wanita dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Wanita itu meletakkan tangannya di bahu Athrun, terlihat jelas bahwa ia sangat menyayangi putra semata wayangnya. Athrun pun masih dapat mengingat sosok sang ibu, beliau selalu memandikannya dengan kasih sayang hingga saat terakhir.
Athrun menghela nafas panjang sembari mengusap lukisan yang selalu mampu mendamaikan hatinya. Setelah itu ia kembali beranjak dan melangkah pergi keluar dari kamarnya. Di luar masih terang, cahaya keemasan sang mentari masih menyinari Junius Seven. Athrun memutuskan untuk menghirup udara segar di luar istana, mengunjungi tempat yang sudah cukup lama tidak ia sambangi. Mungkin kerinduan terhadap saang ibu akan sedikit terobati, mungkin kegelisahan ini akan mampu terusir dari dadanya.
Athrun melangkahkan kakinya ke timur kerajaan, mengambil rute yang tidak banyak dilalui orang untuk menghindari sorotan rakyat. Dalam keheningan ia menyusuri jalan setapak hingga perbatasan ke hutan. Tak ada seorang pun datang ke tempat itu di sore hari, mengingat hutan merupakan tempat yang cukup berbahaya saat petang menjelang. Langkah pemuda berambut navy blue itu terhenti sesaat sebelum ia memasuki wilayah hutan, ia berpaling dan memutuskan untuk pergi ke tempat lain.
Tidak jauh dari perbatasan hutan, terletak sebuah kawasan pemakaman yang cukup luas membentang. Athrun memasuki kawasan tersebut, melangkah jauh hingga tiba di hadapan sederet makam yang nampak berbeda dari yang lain. Makam-makam tersebut jauh lebih terawat dan dijaga kebersihannya, tertera marga ternama pada setiap nisan, melambangkan darah bangsawan yang terhormat. Di antara makam-makam tersebut, Athrun kini berdiri tepat di hadapan sebuah makam bertuliskan nama sang ibunda yang telah wafat, ditatapnya lekat-lekat nisan dengan ukiran nama "Lenore Zala."
Athrun hanya berdiri di sana sambil menatap sayu makam sang ibu yang sudah lama tidak ia datangi, betapa sesungguhnya ia sangat menyesalkan hal itu. Namun kenangan indah bersama sang ibu selalu mampu menguatkan hatinya, beliau lah yang mampu membentuk kepribadian Athrun menjadi seorang yang berhati lembut dan pengertian. Di saat sang ayah selalu mendidiknya dengan keras dan menuntutnya untuk menjadi seoraang penerus yang sempurna, Lenore hadir memberi kehangatan dan kasih sayang yang dibutuhkan oleh seorang putra.
Jika saja bukan karenamu, ibu… Mungkin aku akan tumbuh menjadi boneka bagi ayah. Athrun menengadahkan kepalanya, menatap langit senja yang mulai berubah kemerahan. Jika saja bukan karena kalian, aku…
Tanpa sadar Athrun mengepalkan tangannya, rasa sakit tiba-tiba datang merasuk dalam dada. Kekecewaan, kesedihan dan amarah menyatu. Berbagai pertanyaan terlontar dalam benaknya, namun tak ada satupun yang terjawab. Entah sudah berapa lama, entah sudah berapa kali ia berupaya mengusir rasa sakit ini. 14 tahun yang lalu ia pergi dengan harapan besar membara dalam dada, 14 tahun yang lalu ia berjuang dengan begitu keras untuk dapat meraih apa yang diimpikannya, 14 tahun yang lalu ia melangkah untuk dapat melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda. Namun 14 tahun yang lalu… Ia pun kehilangan miliknya yang paling berharga.
Ada apa, Cagalli…? Untuk ke sekian kalinya Athrun melontarkan pertanyaan besar itu pada hamparan langit yang ia temui. Kenapa kau mengingkari janjimu?
- To Be Continued -
Dan... Cukup smpai d skni dulu ya Chapter-nya.
Smoga Cyaaz ttp dlm mood yg baik jd bs lanjutin smpe tamat.
#dihajarmasa
ThaThank you buat readers, silakan review jika berkenan.
smkin bnyk yg review, sling sapa/mmberi masukan, smkin Cyaaz termotivasi untuk ttp nulis d Fandom ini.
Makasih buat beta reader-ku, si kelinci dan si panda (bukan singa).
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
