Runnin' On Empty

.

.

Pairing:

Jung YunHo X Shim ChangMin a.k.a HoMin

Genre:

Romance

Rate:

T

Warning:

AU, Yaoi, Typos, OOC, membosankan, mengandung bahasa santai, senjang umur yang panjang, alur mundur dan blahblahblah.. DLDR!

Bayangin Changmin jaman HUG untuk Chap ini, ne! ^^

Kalau Yunho terserah anda..

.

.

Happy reading ^0^

.

.

Kita bertemu sekitar 10 tahun yang lalu.

Saat itu senja.

Hujan deras pun menemani.

Sampai muncul percik cinta yang belum terasa.

Aku sadar perlahan.

Kau cinta pertama yang datang untukku.

Kita berlari di tengah hujan.

Bagiku dunia kosong.

Hanya ada kau dan aku.

.

.

"Aaah! Hujan nih!"

Aku memekik. Air yang mengguyur kepalaku turun dengan tiba-tiba. Aku mengerem sepedaku, kemudian menutup-nutupi kepala dengan tas selempang yang tengah kukenakan. Sebal sekali. niat ingin pulang dengan selamat, malah terserang hujan begini. Sekarang aku mengayuh kembali sepedaku. Menuju sebuah halte terdekat di ujung jalan sana. Tidak peduli melihat keadaan halte yang agak hancur atapnya. Yang penting meneduh dulu lah.

"Huuh.. selamat!" desahku lega.

Aku memerhatikan seluruh sudut halte. Hanya ada dua buah kursi panjang. Satu di kananku dan satu lagi di kiri. Yang kanan kelihatan masih bagus atapnya, yang kiri sudah agak bocor, melihat banyak air yang menetes dari atap di atas kursi di kiriku. Sebenarnya aku ingin duduk di kursi yang kanan, tapi sudah terisi seorang lelaki dewasa yang tengah tertidur, sepertinya. Daripada mengganggunya, lebih baik aku duduk di kursi yang kiri sajalah.

Setelah aku duduk, aku melepas tas selempang yang tadi melindungi kepalaku. Mendesah berat kemudian membuka resletingnya dengan perlahan. lalu mendesah lega menyadari buku-buku yang ada di dalam tasku terselamatkan. Tidak basah satu buku pun. Untung aku beli tas yang anti air. walau mahal tapi kan berguna juga nantinya.

Tes.. Tes..

"Eh!" aku memekik dan mendongak melihat atap yang bocor.

Tes..

Air bocoran dari atap itu mengenai wajahku. Aku menghela napas berat, mengelap wajahku dengan kedua tangan dengan wajah tertekuk. Air bocoran itu semakin gencar membasahi rambutku mengingat hujan kembali deras. Kugeser pantatku ke samping, menghindari bocoran itu. tapi ternyata..

Tes.. Tes..

"Aduh! Tambah banyak!" seruku kesal.

Tahu tidak sih kalau mood-ku sedang buruk hari ini. ditambah lagi dengan bocor-bocor ini. kembali kugeser pantatku. Tapi ternyata usahaku sia-sia. Masih bocor. Adakah tempat yang aman? Jawabannya, tidak ada. Semua bocor. Apes. Wajahku menekuk dengan jeleknya.

"Hihi.."

Kaget. Itu yang aku rasakan. Kukira ada hantu atau apa yang terkikik begitu. Nggak tahunya malah lelaki dewasa tadi yang duduk. Eh? Kenapa dia mengikik sendiri seperti itu? jangan-jangan dia orang gila. Tapi tak ada orang gila yang memakai baju sebagus itu. atau mungkin dia stress? Ditinggal pacarnya begitu? Lalu dia mabuk. Aku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Aduh. Bagaimana kalau dia menyerangku. Tuhan. Aku masih ingin hidup bahagia.

"Kamu lucu," ucapnya tiba-tiba.

Aku menoleh, dan ternyata bertemu tatap dengannya. Mata musang itu berkilat tajam tapi penuh kasih. Rasa takutku jadi agak menghilang.

"Sini. Duduk aja di sini, nggak bocor kok," tawarnya sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Mataku membulat. Bukannya apa. Aku hanya tak percaya. Bagaimana kalau ia ternyata orang jahat? Suka menjual organ-organ manusia. Aku tidak mau ya. Aku baru mau lulus SMA. Masa sudah dijual.

"Aku bukan orang jahat kok, nggak usah takut gitu," ia tertawa kemudian.

Karena aku sudah sebal dengan bocor, yasudah aku duduk di sebelahnya. Tak peduli dengan seragamku yang membuat basah kursi itu. lelaki tadi hanya melihatku dengan ekor matanya. Aku tiba-tiba merasa canggung. Aku kan orangnya grogi-an kalau ditatap orang. Jadi aku cuma nunduk.

"SMA ya?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Oh.. kelas berapa?"

"Em.. Mau lulus,"

"Berarti kelas 3. Wah.. kukira baru kelas 2,"

"?" aku menatapnya yang menatap hujan.

"Mukamu masih muda, imut loh," ia menatapku kemudian.

"Enak aja! Aku cowok loh!"

"Iya tahu. Emang siapa bilang kamu cewek? Kalo cewek kenapa pakai celana? Nggak Sexy dong,"

Aku diam.

"Serius deh imut. Kayak anak SMP malah,"

"Masa? Aku udah 18 ah,"

"Iya. Mau ngaca?"

"Nggak ah, kayak cewek. Emang punya?"

"Apa? Cewek?"

"Bukan! Kaca,"

"Punya lah. Kaca spion tapi,"

".."

Aku sweatdrop. Ngomong apa aku sama orang ini?

"Namamu siapa?"

Aku mendelik. "Kenapa nanya nama?"

"Eh? Nggak boleh ya? Yaudah deh. Tapi kalau kamu mau tahu, namaku Jung Yunho. 24 tahun lho. Udah tua," ia nyengir sumringah.

"Nggak mau tahu tuh,"

"Oh.. oke, oke. Lupain aja yang tadi,"

"Ngasih nama gitu, emang nggak takut aku jadi stalker kamu?" alisku mengerut. Ia tertawa lagi, merogoh kantung jaket, merabanya, mencari sesuatu.

"Nggak lah. Udah biasa di Stalk. Orang ganteng kayak aku banyak Stalker-nya, haha,"

Lagi-lagi aku sweatdrop dibuatnya.

Aku menoleh ke depan. Menghadap hujan yang tak kian berhenti. Matahari sudah diujung perpisahan. Warnanya jingga kemerahan. Tapi agak gak kelihatan karena mendung. Sudah sore. Pasti dimarahin Appa lagi karena pulang terlalu sore. Tak bisa menelponnya. Sinyal Handphone-ku kosong melompong. Tapi aku punya alasan. Hujan.

Ctek!

Aku mendengar suara pemantik. Berasal dari lelaki itu. Di bibir berbentuk hatinya tersemat rokok bermerek terkenal. Aku hanya melihatnya yang menyalakan rokoknya. Dia nggak takut mati ya? Padahal masih muda udah nge-rokok. Kalau aku sih paling mengindari yang begitu.

"Hey, nggak takut mati?" tanyaku.

Ia tersedak rokok. Kemudian melihatku dengan mata indahnya. Ia menggeleng mantab. "Nggak. Kalaupun mati, aku begini-begini aja," jawabnya.

Aku mengangguk.

"Lagipula ini bisa ngangetin. Mau coba? Ini satu," ia menjulurkan tangan yang menggenggam sekotak rokok dengan jarinya yang panjang dan lentik.

Aku menggeleng sembari menjauh. "Nggak terimakasih. Kalau mau mati nggak usah ngajak-ngajak ya,"

Ia menatapku aneh. "Padahal waktu lulus SMA aku udah ngerokok,"

"Itu sih kamu! Aku nggak yah," kesalku.

"Oke-oke jangan marah," ia nyengir sumringah. "Kayak cewek,"

"Eh aku bukan cewek! Tuh kan ngatain aku cewek!"

"Aku minta maaf deh,"

Aku menghela napas lemas. Hujannya belum berhenti. "Aku maafin,"

Percakapan terhenti begitu saja. Pandangan kami bertemu sekejap. Lalu terputus setelah beberapa detik. Angin berhembus dengan kencangnya. Sedikit mengibarkan kerah kausku yang kancingnya terbuka dua. Seragamku yang basah membuatku menggigil. Dingin sekali. aku kuat dingin. Tapi aku benci kedinginan saat basah. Butuh pelukan. Iya, pelukan. Lebay sih. Ini kode namanya. Aku hanya butuh jaket. Sialnya aku lupa bawa jaket. Pagi tadi aku lupa baca ramalan cuaca di TV. Tidak tahu sorenya akan hujan. Kalau aku pulang siang sih tak apa. Soalnya siang tadi tak hujan. Salahkan tugas kelompokku yang membuat terperangkap.

Pluk!

Pandanganku gelap. Aku kaget kukira buta. Tapi ternyata ada sesuatu yang jatuh di kepalaku. Aku mengangkat tanganku untuk mengambilnya. Sebuah jaket coklat muda beraroma Parfum pria dewasa. Kutolehkan kepalaku ke arahnya. Jung Yunho. ingatanku terlalu baik sehingga masih bisa mengingat namanya. Kumiringkan kepalaku bingung.

"Ambil lah, dingin kan? Belum mau mati kan?" ucapnya. Wajahnya mendekat ke wajahku.

"O-oh!" aku tersenyum. "Terimakasih!"

Ia diam sebentar. Aku tak peduli. Kukenakan jaket pemberiannya. Kebesaran sedikit tak apalah. Malah lebih membuatku hangat. Baik sekali orang ini. kini mataku kembali bertemu dengan mata musangnya. Ia mengalihkan pandangannya tiba-tiba. Kudengar dengusan darinya. Aneh ya dia.

"Nggak papa nih? Jadi basah gini," aku merasa menyesal.

"Nggak apa kok, aku punya banyak. Kalau mau ambil aja,"

"Eh? Nggak lah, mana mungkin,"

"Hmm.." ia menggumam, menyender pada senderan kursi. "Hujannya nggak mau berhenti ya," tatapannya kosong ke depan.

"Eh? I-iya," aku mengikutinya menatap hujan.

"Padahal ingin pulang cepat," ia menyesap rokoknya pelan.

"Iya, mau pulang cepat,"

Asap rokok menguar ke udara, lalu menghilang begitu saja. Seperti obrolan kami. Hilang begitu saja. Lidahku kelu. Pikiranku menerawang. Kenapa jadi canggung. Apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkan kecanggungan? Aku meliriknya. Ia tetap sibuk dengan sepuntung rokok di bibirnya. Aku yakin dia bukan pecandu. Masih segar begitu. Kurekatkan jaketnya yang menempel di tubuhku. Lumayan hangat. Tapi bagaimana dengannya yang cuma pakai kemeja? Lagi-lagi aku egois.

"Jung Yunho-sshi," aku memanggilnya. Lidahku terasa nyaman ketika mengucapkan namanya. Ada rasa bahagia tersendiri.

Ia hanya mendehem, tak melihatku.

"Nggak dingin ya?" tanyaku.

Ia menggeleng acuh. Nikmat sekali menghisap rokoknya. Aku jadi mau. Eh, tidak boleh.

"Ehm.."

Dan tidak ada lagi percakapan. Aku jadi merasa bersalah. Kenapa dia tidak bicara lagi ya? Padahal tadi ia yang semangat sekali berbicara ini dan itu. Sebuah Bis kota berhenti tepat di depan kami. Menunggu penumpang. Aku tersenyum kemudian menggeleng pada supirnya. Maaf ia kurang beruntung. Aku menyender. Menutup mataku. Suara hujan deras ini menenangkan. Juga aroma parfum yang menyengat. Hangat dari jaket bercampur hangat dari tubuh lelaki asing di sampingku. Bahunya menempel di bahuku secara tidak sadar. Dan aku menikmatinya. Mau lebih. Jadi aku bergeser mendekat, menyamankan diri. Ngantuk tiba-tiba. Lelah juga. Rasanya ingin tidur saja.

.

.

" –hey! Changmin-sshi? Hello? Ayo bangun,"

Sebuah suara merdu serta tepukan lemah menyadarkanku. Kubuka mataku perlahan. tidak ada cahaya yang menerpa. Belum pagi. Kenapa aku dibangunkan? Dengan acuh, aku semakin menyamankan diri disesuatu yang hangat ini. hangat, nyaman juga harum. Apa ini? sepertinya bukan kasurku.

"Changmin? Min? Bangun! Hujannya sudah reda,"

Kata suara itu lagi. Hujan? Reda?

Oh! Aku ingat! Aku sedang dihalte!

"A-apa?" aku terbangun. Tatapanku berlari ke sekeliling. Langit sudah gelap. Bau tanah dan hujan memekakan indera penciumanku. Dan di sampingku. Ada lelaki yang tak terlihat wajahnya. Aku tahu. Jung Yunho. Ah.. aku sadar. Ternyata aku tertidur ya? Aku tidur dimana tadi? Jangan-jangan..

"Ah.. akhirnya bangun juga. Tidurmu nyenyak sekali. bahuku sampai kaku kamu tidurin," Yunho menggerakkan bahunya, menciptakan suara gemeletuk.

Aku melotot. "Yunho-sshi! Maaf banget! Ya ampun.. kok kamu nggak bangunin aku sih dari tadi?"

Ia menggaruk belakang kepalanya. Meskipun gelap, tapi aku tetap bisa melihat cengirannya yang cerah. "Udah aku bangunin. Tapi kamu nggak bangun. Terus tiba-tiba kamu jatuh ke bahuku. Wajahmu itu polos banget. Imut lagi. Jadi aku nggak tega lagi ngebangunin. Hehe. Aku dapet fotomu loh. Lucu. Kusimpen ya. Kenang-kenangan. Kali aja ketemu lagi," ucapnya panjang lebar.

"Ya! Jangan asal moto dooong!" teriakku kesal. Bagaimana tidak? Orang asing memotretmu yang sedang tertidur?

"Ssshh.. kan bayaran buat tumpangan bobok-nya," ia tertawa sembari menepuk-nepuk bahunya.

Aku cemberut. Ia berdiri. Kemudian memasukkan telapak tangannya ke kantung celana. Wajah tampannya tertimpa sinar rembulan. Boleh kan aku bilang dia tampan? Habis memang benar dia tampan. Kayak pangeran di drama dan film romantis. Eits.. jangan sangka aku suka nonton film cewek. Aku Cuma liat-liat aja kalau dua adik perempuanku lagi nonton itu.

Tanpa sadar aku merhatikan Yunho lama. Ia menatapku bingung.

"Apa liat-liat?" tanyanya. "Ah.. jangan-jangan kamu naksir ya? Ohoho.. Jung Yunho memang tampan," narsisnya.

Aku mendesis. "Nggak lah!" lalu berdiri.

"Hehe.. bercanda. Ayo pulang. Bareng yuk!" ajaknya. Ia menggandeng tanganku tanpa rasa malu.

Tiba-tiba jantungku berdetak cepat. Jangan-jangan aku sakit jantung? Kenapa ini? aku jadi panik sendiri. "E-eh? Seriusan? Mau bareng? Aku naik sepeda loh,"

Ia melepaskan gandengannya. Kini tangannya menumpu dagu.

"Aku jalan kaki sebenernya. Oh iya! Kamu mau aku bonceng?"

"Ha?" mulutku menganga. Masa aku diboncengi?

"Iya. Ayo yuk! Nggak apa kan?"

"Nanti kamu bawa aku ke tempat aneh gimana?"

"Ih.. khawatiran amat sih. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu kok. tenang aja,"

"Nggak ah,"

"Ayo doong. Jangan kayak gitu. Kayak cewek yang mau diperkosa aja,"

"Eh? Y-yaudah deh kalo maksa! Huh!"

Akhirnya aku menuruti ajakannya. Sebenarnya ada rasa takut juga. Aku ini mau bagaimana pun orang yang suka Over-Thinking. Apalagi dia orang asing. Baik sih memang. Tapi aku kan nggak kenal dia. Tapi dia-nya maksa gitu. Ini juga udah malem. Kalau ada hantu atau kecoak lewat terus nggak ada yang nemenin aku kan bisa bahaya. Iya bahaya. Kalau makhluk menakutkan itu lewat lalu aku kecelakaan gimana? Huh.. aku bilang aku kan masih ingin hidup. Nggak mau mati.

Aku merasakan tarikan lembut di tanganku. Rupanya Yunho yang menarikku. Kami berjalan menuju sepeda basah yang terparkir lemas di tiang halte. Yunho duluan yang menaikkinya. Disusul dengan aku yang ragu-ragu naik dan duduk di jok belakang. Aku menatap punggung lebarnya yang terasa hangat.

"Kamu bener nggak ngapa-ngapain? Nggak bunuh aku kan?" tanyaku takut.

"Nggak akan," kakinya mulai meraih pedal sepeda. "Hmm.. hujannya deras tadi. Lama juga. Semoga aja nggak banjir. Rumahmu dimana?" ia berusaha menoleh, mencari kepalaku di belakangnya.

"Eum.. di Kompleks yang dekat sini," jawabku, tak menyebutkan alamat. Nanti saja kalau sudah dekat.

"Eh? Serius?" ia bertanya.

"Iya. Kamu kira aku bohong! Udah malem gini,"

"Kompleks dekat gedung kesenian itu?"

"Iya, dimana lagi?"

"Kita searah! Rumahku juga di sana," katanya. Aku terbelalak.

"Jinjja?"

"Hu'um! Aku baru pindah sih,"

"Rumahmu yang mana?"

"Rumah sederhana yang baru dibangun itu, dekat kolam renang," katanya sumringah. Aku tersenyum lebar.

"Ehehe.. oke! Aku tahu tempat itu,"

"Yeah! Kita tetangga ternyata! Ayo jalaaaannn~"

Aku tertawa. Dia tertawa. Kami tertawa. Di bawah sinar rembulan yang juga tengah tertawa gembira. Sepeda mulai melaju. Rodanya berputar bagai jarum jam yang tak kian berhenti. Dalam perjalanan yang singkat tapi bermakna. Aku memeluknya. Kurasa aku mulai merasa nyaman dengan punggungnya yang hangat. Juga wangi parfum-nya yang segar. Jantungku tak pernah menurunkan kecepatan detaknya. Terus berdetak dengan cepat tak kenal lelah. Namun aku juga bisa merasakannya dari sini. Bunyi detak jantungnya. Sama denganku. Entah kenapa aku bahagia. Mampukah sang roda waktu menghentikan putarannya hanya untukku? Bersamanya. Sungguh aku tak tahu kenapa.

"Rumahmu kan, Min?" tanyanya. Ia mulai memanggilku begitu sejak di perjalanan tadi. Kini kami sudah sampai dengan selamat. Ternyata ia benar bukan orang jahat.

"Ne, Kamshahamnida, hyung~" ucapku sembari turun dari sepeda. Aku juga punya panggilan untuknya.

"Eum!" angguknya. Ia memberikan Stang sepedaku. "Boleh aku minta jaketku?"

Aku terkejut. "A-ah! Hyung, aku bawa jaketmu dulu deh. Biar aku cuci sekalian. Besok aku kembalikan saat akan berangkat sekolah. Ne?"

Ia berpikir sebentar. Lalu mengangguk. "Oke, tak apa,"

Aku tersenyum. "Terimakasih untuk semua-nya ya, hyung. Selamat malam dan sampai jumpa," aku melambai. Mulai memasuki gerbang rumah dengan sepeda penuh lumpur di tangan.

"T-tunggu, Minnie!"

Aku menoleh. Ia menggaruk telinganya pelan.

"Eum.. kita teman ya?" tanyanya.

Aku mengacungkan jempolku, lalu menutup gerbang. Aku tahu ia sedang cengengesan di luar. Aku bisa melihat dari celah di gerbang rumahku. Ngomong-ngomong rumah.. ini sudah jam 7 malam.

"Aduh! Appa pasti marah-marah!" aku menangis dalam hati.

Aku membuka pintu dengan perlahan. setelah membuka jaket milik Yunho dan merapikan sepatu adikku, Appa dan milikku sendiri di rak sepatu, aku masuk. Baru sampai ruang keluarga hendak menaikki tangga, lenganku sudah di geret oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Appa-ku tercinta?

"Chami! Kenapa baru pulang? Kok nggak hubungi Appa kalau pulang terlambat?" teriak Appa yang punya suara berat. "Lho? Seragammu basah begini? Kamu ngapain aja? Itu jaket siapa di tanganmu? Appa nggak pernah beli jaket kayak gitu untuk kamu kan? Hayoo.. Chami punya pacar ya? Kenapa nggak kasih tahu Appa?" keluarlah cerewetnya si Appa.

Aku cemberut. "Appa~ Minnie capek. Mau istirahat ya~" aku mengeluarkan aegyo-ku.

"Eh jawab dulu!" seru Appa-ku.

Aku menghela napas. "Eung.. Minnie pulang telat karena nunggu hujan, Appa. Terus minnie nggak bisa hubungi Appa karena sinyal Handphone Minnie kosong. Jaketnya punya temen Minnie. Minnie nggak punya pacar kok," jawabku.

"Aaah.. kasian anak Appa," ia mengelus pipi dan kepalaku dengan sayang.

"Kasian kenapa dulu nih? Nggak punya pacar atau kehujanan?" aku mendelik.

Ia cengengesan. "Dua-dua-nya boleh?" ia tertawa. "Makan malamnya Appa yang masak aja deh, Chami tidur aja. Nanti sakit,"

"Eeeehh? Appa jangan masak! Oke, Minnie aja yang masak! Sebentar, Minnie mandi dan ganti baju dulu, ne? Appa, Jiyeon dan SooYeon tunggu aja di meja makan," aku sampai lupa kewajibanku di sini.

.

.

"Appa~ Minnie curhat, ne?" aku menjatuhkan diriku di Sofa. Tepat di samping Appa-ku yang tengah mengetik sesuatu di Laptop kesayangannya. Tentu saja itu pekerjaan.

Appa mengangguk. "Curhat aja. Tumben-tumbennya sih curhat," ia terus mengetik.

"Appa dengerin kan?"

"Ne. Ayo mulai,"

Aku menarik napas. "Jadi gini.. Minnie tadi ketemu sama cowok di halte,"

"Ha? Kamu nggak diapa-apain kan, chagi?" Appa kaget setengah mati.

"Shh.. nggak kok. Appa tenang aja. Huuh.. terus Minnie ngobrol sama cowok itu. namanya Jung Yunho, umurnya 24 tahun. Kami ngobrol panjang lebar. Sambil nunggu hujan berhenti. Appa.." aku memanggilnya.

"Ne. Appa dengar. Lalu? Nunggu hujan berhenti?"

Aku tersenyum kecil. "Karena aku kedinginan, dia ngasih aku jaket tadi. Baik ne? Lalu.. Aku ketiduran.. di bahunya.."

Appa berhenti mengetik. Ia melihatku dengan mata melotot hampir keluar. "Kamu yakin nggak diapa-apain kan, sayang?" tanyanya khawatir.

Aku menggeleng polos. Memang. Aku jujur tak diapa-apakan olehnya. "Huum.. Appa.. apa mungkin aku kena penyakit jantung?" tanyaku sambil menunduk. Dengan perlahan aku menyentuh dada kiriku. Tempat dimana sang sumber kehidupan tengah memompa aliran merahnya. Degupannya secepat kilat.

"Hush! Nggak boleh ngomong gitu!" ia mencubit pipiku pelan.

"Aw! Habisnya.. jantung Minnie selalu berdetak kencang sekali dari tadi,"

Appa melihatku. Ia Memberhentikan pekerjaannya sejenak. "Hmm?"

"Ehm. Appa tahu kenapa? Saat aku di dekat cowok itu.. jantungku berdegup kencang. Lalu Minnie merasakan wajah Minnie panas tiap di dekat dia. Dibalik itu, Minnie bahagia di dekatnya," aku memandang wajah sumringah Appa-ku dengan polos.

Ia melepas kacamata baca-nya lalu tertawa lepas. "Hahaha! Itu namanya kamu jatuh cinta, Minnie-ah!"

"He? Aku? Jatuh cinta?"

"Oooppss.. hehe," Appa membentangkan tangannya. Aku masuk dalam pelukan hangatnya. "Nanti Minnie juga tahu sendiri,"

.

.

Kubuka mataku dengan perlahan. Sinar mentari pagi yang menyilaukan adalah hal pertama yang menyapa hariku. Aku tersenyum secerah dan sehangat sinar mentari. Beginilah caranya membalas sapaan. Tidak baik kan mengabaikannya? Aku melirik jam dinding. Belum terlambat untuk sekolah. Saat turun tempat tidur, rasanya kepalaku pusing sekali. Mungkin karena kemarin kehujanan. Tapi pasti akan baikkan dengan sendirinya. Aku teringat dengan jaket-nya Yunho. semalam aku sudah mencucinya bersih. Lalu mengeringkannya dan menjemurnya. Semoga sudah kering. Aku meregangkan badanku. Pegal kemarin hilang sudah.

Berlari-lari kecil dulu di tempat, lalu masuk ke kamar mandi. Olahraga tak boleh terlupa kan?

Skip Time.. Meja makan–

"Sarapan siaaaaap~" seruku dari dapur menuju meja makan.

Appa, Jiyeon dan Sooyeon tampak senang menyadari sarapan mereka sudah siap. Begitupun aku. Aku menata piring berisi Omelet Sosis itu di meja makan. Semua mengucapkan terimakasih dan mulai makan dengan tenang. Aku sendiri melepaskan Apron merah jambu-ku. Kemudian sarapan dengan lahapnya. Tatapanku jatuh ke meja kosong di samping Appa.

Eomma..

Eomma-ku sudah pergi. Saat melahirkan adik bungsu-ku. Pendarahannya banyak sekali saat itu. sampai tak tertolong. Kini semua pekerjaan rumah tangga aku yang urus. Masak, mencuci, menyapu, mengurus adikku, mengurus Appa. Semua kulakukan sudah sejak kelas 2 SMP. Jadi aku sudah biasa. Mungkin ini alasanku menjadi Gay. Appa terlalu sayang padaku. Ia tak membiarkanku jadi yang melindungi. Ia mau aku ada yang melindungi. Dan tentu saja yang melindungiku harus seorang lelaki. Kalau soal penerus, rasanya Jiyeon dan Sooyeon sudah cukup. Walau harus hilang marga. Bahkan ia siap masuk neraka jika aku masuk neraka.

"Min oppa? Kok diam? Sarapannya belum habis tuh," ucap Jiyeon mengingatkan.

"Eh iya, sudah habis semua?" tanyaku. Semuanya mengangguk. Bahkan Sooyeon sudah mulai mengenakan sepatu ungu-nya. pemberianku saat ia ulang tahun. "Oh.." aku melahap sarapan dengan cepat sampai habis tak tersisa.

Setelahnya, aku membawa semua piring ke wastafel. Mencucinya dengan bersih sebelum pergi. Kulihat Appa-ku. Aku tersenyum jahil melihatnya yang tak bisa menyampul dasi dengan baik. Kuelap tanganku yang basah. Lalu menghampiri Appa.

"Sini.. biar Minnie saja,"

Aku mulai menyampulkan dasi polkadot hijau abu-abu itu untuk Appa-ku. Pekerjaan seorang istri untuk suami-nya. tapi selama Eomma tidak ada, aku yang memasangkan dasinya. Setelah rapi, aku menepuk-nepuk kemeja-nya yang terlipat dan sedikit kotor. Mungkin karena terkena debu tadi.

"Chami mau diantar?" tawar Appa.

Aku menggeleng. "Nggak usah. Minnie naik sepeda aja. Biar bisa pulang sendiri nanti. Minnie juga mau balikin jaket teman. Appa antar Jiyeon dan Sooyeon aja,"

"Hmm.. Oke. Yasudah Appa duluan, ne. Jangan telat loh,"

Aku mengangguk. Ia keluar dengan duo Jiyeon dan Sooyeon yang menghimpitnya di samping kanan dan kiri. Mereka tertawa dengan bahagia. Membuatku tersenyum. Sebelum mobil berjalan, kaca terbuka. Mereka melambai sebelum pergi. Mengucapkan 'hati-hati' dengan tulus. Senyumanku luntur seketika. Sebuah mobil Audi berwarna hitam parkir di depan rumah. Aku kaget. Siapa itu? Debt Colector? Ah.. rasanya aku tidak punya hutang.

Aku meraih tas dan kunci rumah dengan segera. Berlari menuju mobil itu setelah mengunci rumah. Kaca mobilnya terbuka. menampilkan wajah tampan seorang lelaki berumur 20 tahunan. Rasa-rasanya aku kenal. Ah.. Jung Yunho! mau apa dia kesini? Menagih jaket?

"Hai, Minnie~" panggilnya. "Selamat pagi," ia menyapa dengan cengiran cerah. Mata kecilnya seakan hilang. Kuakui ia sangat, sangat, sangat tampan. Apalagi dengan cahaya mentari pagi yang menerpa.

"Eh? Pagi," balasku. "Mau ngapain? Nagih jaket?" tanyaku. Nada bicaraku kok sinis begini?

"Rencananya. Ternyata kamu belum berangkat. Baru aja aku liat Ayah dan adik-adikmu itu tadi. Kok nggak ikut mereka sih?"

"Malas. Enak naik sepeda. Bisa pulang sendiri. Sekalian olahraga,"

"Oh.." ia berhenti. Matanya menatap dalam ke mataku. Aku tersedak liur sendiri. "Naik! Aku antar kamu deh,"

"Ha?" ekspresiku sama seperti kemarin.

"Iya. Ayo dong. Biar aku ada kerjaan,"

"Emang nggak kerja?"

"Makanya itu.. jangan sampai aku telat gara-gara kamu. Ayo buruan naik,"

"Nggak apa-apa?"

"Nggak.."

"Eum.. yaudah deh,"

Akhirnya aku naik. Lagi-lagi ekspresi yang sama dengan kemarin. Aku merasa tidak enak di antar terus jadinya. Tapi dia-nya juga memaksa. Aku menerima saja. Daripada aku menolak. Itu lebih tidak enak lagi kan?

Sial..

Aku baru sadar. Aku lupa bawa payung. Dan ramalan cuaca di radio mobil Yunho berkata siang ini bakal hujan. Baiklah aku kehujanan lagi.

.

.

Wush!

Benar saja. Siang ini hujan. Tepat saat aku baru keluar kelas. Sial. Memangnya tak bisa ditunda? Sinyal Handphone-ku buruk lagi kan. Tidak bisa hubungi Appa minta dijemput. Aku juga tak bawa sepeda. Gara-gara si Yunho itu. Aduh.. jangan salahkan dia. Dia itu baik. Sudah susah-susah mau jemput. Padahal dia tahu sendiri sekolahku mobil susah masuk.

Aku berjalan di koridor. Hujan-hujan begini koridor itu sesaknya minta ampun. Banyak anak-anak lalu lalang tidak jelas. Juga banyak yang ciprat-cipratan air. Berisik juga. Aku paling nggak suka ramai. Tapi kalau sepi juga nggak suka. Yah.. cari tempat duduk dulu deh untuk menunggu hujan.

Brukk!

Aku terpental. Tidak jauh. Hanya 1 meter. Aku jatuh terduduk. Pantatku sakitnya minta ampun. Kudongakkan kepalaku. Eh.. ternyata ketua osis yang menabrakku. Osis baru. Kelas 2. Kenapa juga aku yang kelas 3 bisa terpental sementara dia yang kelas 2 masih kokoh berdiri? Lemahnya aku. Ia menjulurkan tangannya. Aku menerima dengan senang hati. Jengkel. Ketua osis ini selalu saja memamerkan cengirannya pada tiap orang.

"Changmin-hyung!" panggilnya. Namanya Lee JinKi, biasa dipanggil Onew sama anak-anak. Pecinta ayam nomor 1 di dunia katanya. "Aduh.. maaf yah.. buru-buru nih. Kepala sekolah manggil, hehe," ia nyengir Innocent.

"Nggak apa," ucapku cuek sembari membersihkan celanaku yang kotor.

"Oh, iya! Ada yang nyariin Changmin-hyung tuh tadi. Orangnya di gerbang sana. Kasian. Kehujanan," ia berbicara antusias.

"Jinjja?" aku melotot.

"Iya. Ganteng loh. Namanya Jung Yunho. Aku dikasih tahu. Pacar hyung, ne? Selamat deh!"

Aku tersipu.

"Aku jalan dulu, ne. Paipai," ia berlari dengan cepat menuju ruang kepala sekolah.

Aku melanjutkan jalanku. Rencana mencari tempat duduk hilang. Kini kepalaku pening. Jung Yunho mencariku? Kenapa ya dia? Jaket sudah aku kembalikan deh. Dia mau apa lagi. Kata si Onew kehujanan pula. Dia tak bawa payung memangnya?

Aku memerhatikan sekitar gerbang sekolah. Untung hujannya hari ini cepat reda. Walau masih gerimis sedikit-sedikit. Setelah beberapa kali memutar pandangan, aku tak jua menemukan orang yang aku cari. Dimana Jung Yunho? kok tidak ada? Apa aku dibohogi oleh Onew? Tapi mana mungkin dia tahu namanya. Kugigit bibirku pelan.

"Booo!"

Aku tersentak. Hampir teriak tapi tertahan. Jadi sebagai gantinya bibirku tergigit. Sakit sekali. Mungkin berdarah. Aku berbalik, menemukan Yunho dengan cengiran dan jari lentik panjangnya yang berbentuk 'Peace'. Aku memukul kepalanya. Tidak sopan memang. Mengingat dia lebih tua 6 tahun dariku. Tapi dia yang mengagetiku duluan. Mana mungkin aku tahan memukulnya?

"Aduh! Appo!" ia meringis. Benjol di kepalanya yang basah tak sesakit jantungku yang terus berdetak. Sudah cukup, sakit jantungku ini kambuh jika di dekatnya.

"Rasain! Emang enak!" aku melipat tangan di depan dada. Kesal. Sebal. Bibirku mengerucut.

"Maaf.. kamu lama banget sih keluarnya. Aku nungguin. Sampai kehujanan,"

Aku mengerutkan alis. "Ngapain nungguin aku? Emang kamu nggak kerja? Kan aku udah balikin jaketnya. Tuh kamu pakai!"

"Kerjaanku sudah beres," ia menatapku. "Kan aku mau jemput kamu.." matanya memelas.

Aku diam.

"Hujan. Aku nggak bawa payung nih. Kamu bawa nggak?"

Aku masih diam.

"Changmin? Minnie? Min-ah? Kenapa diam?"

Kali ini wajahku merah matang. "Kamu! Ngapain jemput-jemput sih!" tak tahu kenapa aku malah marah.

"Eum.. kan aku udah antar kamu, harusnya aku juga yang jemput," ia menunduk.

"Ya ampun.. kamu nggak perlu kayak gitu. Kan aku jadi nyusahin,"

"Nggak kok. Jeongmal! Kamu nggak nyusahin. Kita kan teman," ia tersenyum, meraih tanganku. Kemudian dengan cepat ia membuka jaketnya. Ternyata ia pakai kaos. Kelihatan sekali otot-ototnya yang terbentuk. Pasti sering nge-Gym. "Ayo pakai lagi. Kita lari ke mobilku ya," ia memberiku jaketnya untuk kedua kali.

Aku menolak. "Iya kita lari. Tapi kamu aja yang pakai,"

"Nggak usah. Aku kuat,"

"Yunho-hyung.." mataku memelas.

Tapi ia tetap keukeuh ternyata. Dililitkannya jaket itu di badan rampingku. Namun aku menahannya. Sekarang aku melebarkan jaket itu. lebar. Cukup untuk masuk berdua. Jadi aku merentangkannya dan meletakkan di kepalaku dan Yunho. tidak sulit mengingat tinggi badanku yang setara dengan Yunho.

"Pakai sama-sama ya," ucapku dengan senyum lebar.

Ia mengangguk dengan wajah yang memerah entah mengapa. Kami berdua mulai keluar gerbang. Berpasang-pasang mata melihat kami yang terkurung jaket coklat. Aroma-nya masih sama padahal sudah kucuci.

"1.. 2.. 3!"

Kami berhitung. Setelah hitungan ketiga, mulai berlari. Tanganku menggenggam erat tangannya ketika berlari. Waktu tak berhenti. Masih berjalan seperti biasa. Tapi aku merasakan waktu berhenti. Dan seluruh dunia kosong. Benar-benar kosong. Seakan hanya ada aku dan Yunho. Serta tawa dan kebersamaan. Kami terus berlari. Air menyiprat. Kami senang. Aku bahagia. Kami tertawa. Tangan kami bertautan dengan erat. Terus berlari di bawah hujan yang membiarkan jalanan kosong untuk kami yang terus berlari.

"Nah! Akhirnya sampai!"

Yunho berucap. Ia membuka kunci mobilnya. Kami berdua masuk dengan selamat. Walau sedikit basah dan napas ngos-ngosan. Aku menghela napas. Ia menutup pintu dan menguncinya. Ia menyender pada kursi mobil. Napasnya ngos-ngosan. Begitupun aku. Ia tertawa. Dan aku ikut tertawa. Menyenangkan sekali.

Setelah napas mulai teratur, ia menoleh untuk menatapku. Aku juga. Kami tersenyum dalam hening yang mencekam. Namun tiba-tiba Yunho memudarkan senyumnya. Tangannya terulur menyentuh pipiku. Jemari hangatnya menyapu kulitku dengan lembut. Isi perutku rasanya teraduk. Aku tak berani menatapnya.

"Ouch!" pekikku.

Jempolnya mengusap bibirku. Sesuatu yang terasa sakit tersentuh. Aku memejamkan mata karena sakit.

"Bibirmu berdarah," ujarnya.

Aku salah tingkah. "O-oh! Tadi kegigit saat kamu ngagetin,"

Matanya terbelalak. Mungkin merasa bersalah. Tiba-tiba wajahnya mendekat. "Karena aku penyebabnya.." ia terus mendekat. Aku mundur sedikit. Tidak nyaman. "Biar aku yang obati,"

"Hm?" alisku bertaut bingung.

Ia terus mendekatkan wajahnya ke wajahku. Matanya dengan perlahan menutup. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Maka aku juga menutup mataku. Erat sekali. Sampai tak terlihat apa-apa. Aku terus mundur dan ia maju. Berhenti saat kepalaku terpentok kaca mobil. Aku tak menyangka. Dunia berputar saat..

Bibirnya menempel di bibirku.

Aku terbelalak.

Oh Tuhan.. ciuman pertamaku. Dicuri oleh orang yang baru kukenal kemarin!

Aku mendorong dadanya. Namun ia tak bergerak. jadi aku membiarkannya. Ia terus menempelkan bibirnya padaku. Aku hanya pasrah. Kembali menutup mataku erat. Aku mulai merasakan nyaman saat kehangatan itu menjalar di bibirku. Semua terasa berputar. Aku tersentak saat benda basah menyapu bibir bawahku. Memekik tertahan karena sakit. Ia menjilat lukaku. Lalu menghisapnya sehingga aku mengeluarkan suara aneh. Ia bagai Vampire yang haus darah. Terus menghisap darahku sampai tak tersisa.

Suara kecipak pelan terdengar saat bibirnya terlepas dari bibirku. Ia menahan napas dan menjaukan diri dari badanku. Apakah ia kaget akan apa yang dilakukannya padaku tadi?

Ia menunduk. "M-maaf.. Min.. a-aku.."

Aku menatapnya penuh tanda tanya. Kuseka bibirku yang tadi diciumnya. Rasanya aneh.

"Min.. a-aku.. aku tak bermaksud.."

"Sssh.. nggak apa-apa," wajahku memerah. "Sudah diobati sama kamu kan?" aku tersenyum dengan rona merah di pipi.

Ia hanya menatapku dan sesekali mengedipkan mata lucu.

"Ayo pulang! Nanti main ke rumahku, ne~ terimakasih sudah diobati~"

Chu~

Aku mengecup pipinya tanpa sadar. Ia tersipu. Kemudian dengan salah tingkah mulai menyalakan mesin mobil. Mobil mulai melaju. Jantungku berdetak tak karuan lagi. Sakit jantungku kambuh. Aku menggembungkan pipi. Apa yang terjadi? Wajahku panas sekali. Perutku mencipatakan sensasi aneh namun nyaman. Aku suka perasaan ini.

Tapi sekarang.. aku harap Yunho berkonsentrasi dengan menyetirnya. Mengingat wajahnya juga merah sepertiku.

.

.

Pertemuan pertamaku denganmu.

Cinta pertamaku denganmu.

Ciuman pertamaku denganmu.

Semua terasa aneh.

Dan singkat.

Kita berlari dalam kekosongan.

Kekosongan yang akan terisi penuh oleh cinta.

.

.

TBC.. or END? ^o^

.

.

#FYI: Chap ini dan selanjutnya masih berupa Flashback.. ^^

Phew.. haha.. kepanjangan kah? Atau kependekan? Bosen ya bacanya? Minta maaf deh saya, para reader sekalian.. Maaf banget kalau ngebosenin.. -3-

Nggak apa-apa kan kalau saya buat Yuno lebih tua 6 tahun dari Minnie? ._.

Ini mungkin chaptered.. tentang perjalanan cinta HoMin yang bertema "Runnin' On Empty"

Ohemjih.. betapa cinta dan tergila-gilanya saya dengan tuh lagu.. haha..

Lagu favorite saya di album TENSE itu.. Off-Road.. seneng banget ada Eng Ver-nya.. jadi pengen nonton film-nya BoA eonnie.. khkh~

Yosh! Saya usahakan update kilat. Daakan saja semoga otak saya bisa muter-muter dan ngeluarin ide-ide yang banyak.. dan tangan saya yang nggak males -.-

Review jangan lupa.. ayo diklik tombol review-nya.. itu membantu memancing semangat saya loh XD