Unconditionally

Disclaimer : Shingeki no Kyojin dan semua tokohya adalah milik Isayama Hajime-san. Saya tidak mendapat keuntungan materil apapun dalam membuat fict ini. Saya hanya author yang ngeceng sama salah satu tokoh buatan Isayama Hajime ini, Levi heichou. Jadi, selamat membaca juga RnR tanpa Flame ^^

Ide cerita ini muncul tiba-tiba saat saya masih menyelesaikan fict lain. Tapi tanggung, takutnya keburu lupa, jadi segera ditulis.

Disaat orang-orang larut dalam keheningan malam dengan menutup mata untuk beristirahat dari keseharian mereka yang hanya bermain-main dengan Titan, tidak dengan salah satu pimpinan di Chousa heidan berambut kelam yang terkenal dengan perkataannya yang tajam ini. Dia masih membuka matanya untuk menuliskan laporan ekspedisi tadi siang. Seharusnya komandan Irvine yang melakukan itu namun pria tinggi berambut pirang tersebut harus menghadiri rapat di ibu kota.

Sebagai salah satu orang kepercayaan Irvine, tentulah Levi mau tak mau menerima tugas itu. Jadi, ya.. Bisa dilihat kini matanya yang sudah sipit semakin menghitam menahan kantuk.

Levi hanya ditemani secangkir kopi pahit dan lampu minyak untuk menerangi ruangan pribadinya. Tapi apalah artinya kopi pahit itu. Sejak cangkir itu berada disampingnya, Levi sama sekali tidak mencicipi minuman berkafein tersebut. Yang ada hanya rasa enggan. Bukan tanpa alasan, tapi ia sangat tahu siapa orang yang membuat kopi itu. Eren Jaeger, si kadet angkatan 104 itu yang membuatnya. Levi pernah mencoba kopi buatannya dan yang ada dia memuntahkannya lagi.

Pahit. Itu yang Levi rasakan saat meminum kopi buatan Eren. Baiklah, ia memang memesan kopi pahit, tapi ini malah seperti ramuan penyihir. Sangat berbeda dengan kopi yang ia minum di kedai kopi pinggir kota sekitar distrik trost. Kopi disana memang pahit, namun juga manis disaat yang bersamaan. Saat pertama kali kopi itu masuk kedalam mulut, rasa pahitnya sangat kentara dan setelah itu, tepatnya saat melewati kerongkongan, kopi itu seolah bertransformasi menjadi manis. Rasanya meleleh disana.

Itulah sebabnya Levi lebih suka pergi jauh-jauh ke kedai itu hanya untuk menikmati bercangkir-cangkir kopi pahit. Selain karena kopinya yang membuat kecanduan akut, ada juga hal yang membuat Levi rela pergi kesana menggunakan kudanya. Seorang gadis pembuat kopi itu. Levi datang untuk melihat gadis itu juga. Manis sekali.

Mengingat hal itu Levi terlihat sedikit tersenyum. Apa pria yang terkenal kejam ini sedang jatuh cinta pada gadis kedai kopi langganannya? Ternyata sekuat apapun dia, sehebat apapun dia, sedingin apapun dia, Levi tetaplah seorang pria cukup umur yang berhak mencari wanita pilihannya, wanita yang ia cintai tanpa syarat.

Akhirnya Levi berhasil menyelesaikan laporannya, tanpa menyentuh cangkir berisi kopi buatan Eren yang sengaja dibuatkan bocah itu sebagai tanda hormat.

Ia menguap. Waktunya membaringkan kepalanya diatas kasur. Tapi hal itu tak terjadi setelahnya karena ada seseorang yang mengetuk pintu.

"Tch, mengganggu saja!" ia menggerutu pelan.

Mau tak mau Levi membukakan pintu untuk seseorang diluar ruangannya. Ternyata itu Mike, rekan kerjanya. Pria berkumis itu tampak berseri dengan senyuman khasnya.

"Nanda?" tanya Levi sedikit kesal.

"Aku boleh masuk ya? Aku ingin bercerita padamu!"

Levi mengerutkan alisnya dalam. Itu artinya malam ini ia tidak akan menikmati tidur seperti yang lain.

"Kenapa harus aku?'"

"Karena kau yang belum tidur."

"Tch.. Masuklah."

Levi menyerah. Ia mempersilahkan Mike memasuki ruangan pribadinya, setelah memastikan pria tinggi itu tak membawa debu bersamanya.

Mike duduk di ranjang rapi milik Levi, tampak sangat nyaman dengan posisinya itu. Sedangkan Levi sendiri duduk dikursi yang sedari tadi didudukinya untuk mengerjakan laporan.

"Jadi apa yang ingin kau ceritakan?"

Mike tersenyum puas.

"Aku berhasil menidurinya!"

Levi tampak tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Mike. Apa yang ditiduri? Kurang lebih itulah pertanyaan yang ada di kepala Levi.

"Maksudmu?"

"Aku berhasil meniduri primadona distrik trost! Haha! Aku senang sekali! Tubuhnya benar-benar lembut!"

Kerutan dikening Levi semakin dalam. Demi racun titan.. Bisakah pria dihadapannya ini berbicara dengan jelas dengan menyebutkan nama pelakunya? Dengan begitu Levi tidak perlu mengeluarkan tenaganya untuk bertanya "siapa" pada Mike.

"Siapa?"

"Kau tidak tahu? Ah.. Kukira kau tahu karena aku sering melihatmu datang ke kedai kopinya.."

Tunggu. Apa yang dikatakan Mike tadi? Kedai kopi?

"Kau tidak tahu kalau si Petra itu primadona disana?" tambah Mike lagi.

Sedetik kemudian mata Levi membulat sempurna. Terkejut tiada main.

"A-apa?"

"Ya, dia melayani tamu juga selain yang memesan kopi. Dengan tubuhnya! Ha.. Aku tidak akan melupakan momen itu! Kau juga harus coba! Sangat lembut, kau tahu?"

Levi seolah membatu ditempat. Udara yang menyelubungi tubuhnya seolah berubah wujud menjadi batuan berat yang menimpa tubuhnya dengan bertubi-tubi, menyakitkan, menusuk, berat, tertekan.

Tak habis pikir. Bagaimana bisa gadis manis seperti Petra melakukan pekerjaan sampingan sebagai err... Penghibur para pria lapar? Bagaimana bisa gadis berambut orange caramel itu berbuat hal yang.. dimatanya tak pantas.

"Nee Levi! Coba saja sendiri dan kau akan merasakan sensasi menyenangkan dengan gadis manis itu! Pria itu tidak usah memiliki, yang penting merasakan! Begitu katanya."

Levi berdiri. Tanpa disadari tangannya sudah mengepal sempurna karena amarah dan kekecewaan sudah menjalar sampai ubun-ubun.

"Keluarlah. Aku ingin istirahat."

"Eh? Tapi aku belum selesai bercerita!"

"Keluar!"

Mike menyerah. Tempramen pria stoic ini memang sulit ditebak. Bisa- bisa dia marah tanpa sebab sampai membanting dan menendang benda apapun didekatnya, bisa juga dia tampak sangat terdiam tanpa kata. Mungkin Mike hanya harus membiarkannya sendiri dulu. Ya, hanya sendiri..

Pagi harinya Levi terbangun dengan paksa. Sebenarnya tidurnya pun tidak nyenyak sama sekali. Ia terus memikirkan perkataan Mike semalam, tentang gadis yang sudah merasuki pikirannya terlalu dalam, gadis yang membuat hatinya tergerak.

Levi mengusap wajahnya yang dirasa sangat kusut. Ia harus menyegarkan diri dulu agar pikirannya yang penat bisa lebih baik.

Tapi yang ada dia malah mengingat pertemuan demi pertemuannya dengan Petra yang membuatnya tertarik pada wanita itu.

"Selamat datang!" sapa Petra pada tamunya yang pertama pada hari ini.

Petra sudah cukup mengenal pria yang kini duduk didekat jendela itu. Ya meski ia baru mengenalnya seminggu lalu. Kini pria itu menjadi pelanggan tetapnya.

Dihampirinya meja pelanggan pertama itu dengan senyuman manis khasnya.

"Ingin memesan apa, Levi heichou?"

"Tch, secara kau tidak tahu saja yang aku inginkan. Dan lagi, kenapa kau memanggilku 'heichou'? Kau bukan bawahanku dikemiliteran."

Petra tersenyum lagi. Mungkin hobi gadis itu memang tersenyum pada orang lain, meski orang lain itu berbicara dengan nada seduktif.

"Aku iri pada bawahanmu yang bisa memanggilmu 'heichou' sepanjang hari. Jadi aku juga memanggilmu 'heichou'."

"Kau iri. Lalu kenapa kau tidak masuk militer saja? Lalu masuk ke divisiku dengan begitu kau bisa memanggilku 'heichou' selama aku menjabat jabatan itu."

Petra menggeleng pelan. Masih dengan senyumannya yang menenangkan.

"Aku ini lemah. Tidak mungkin masuk kemiliteran sepertimu. Lagipula apalah artinya seorang wanita dimata kemiliteran."

Levi terdiam. Jika dipikir-pikir, anggota wanita kemiliteran memang tak sebanyak laki-laki. Apa itu alasan para wanita tidak bergabung dengan kemiliteran? Entahlah, dia bukan wanita. Jadi dia tidak tahu apa yang dipikirkan para wanita itu.

"Souka.."

"Nah, kopi pahit lagi?"

Levi menarik sudut bibirnya keatas sebagai penghargaan karena Petra begitu tahu keinginannya. Tapi ia tidak pernah tahu apakah Petra juga menyadari keinginan Levi yang lain. Memiliki gadis itu.

"Nee, Levi heichou." panggil Petra yang duduk didepan Levi.

Kedai sudah mau ditutup namun Levi masih berada disana. Levi memang selalu menghabiskan waktunya dikedai ini dari pagi sampai malam jika tidak ada misi atau ekspedisi. Sikapnya pun bisa dikatakan mulai melembut pada Petra karena menyadari bahwa ia memang jatuh cinta pada gadis bermarga Rall itu.

"Kenapa?"

"Jika diperhatikan, kau sangat tampan!"

Levi kehabisan kata-kata untuk membalas perkataan Petra. Tidak mungkin kan kalau dia membalas perkataan itu dengan 'kau juga sangat cantik dimataku'.

"Andaikan aku terlahir lagi ke dunia, aku ingin sekali menjadi jodohmu."

Dalam hati Levi berkata setengah berteriak 'kenapa harus menunggu terlahir lagi? Kau bisa jadi jodohku jika kau mau sekarang juga.'

Levi berusaha tampak biasa saja. Tidak menunjukkan mimik apapun diwajahnya.

"Apa itu pernyataan seorang gadis secara tidak langsung?" tanyanya.

"Mungkin iya. Tapi.." Petra tersenyum lagi namun sedikit hampa. Lalu ia melanjutkan. "Aku tidak bisa bersanding dengan pria baik sepertimu."

Levi menoleh pada Petra, tampak heran. Ingin sekali lidahnya bergerak dan pita suaranya mengeluarkan perkataan berupa pertanyaan yang mungkin akan sedikit memajukan hubungannya dengan gadis Rall.

"Nah, Levi heichou. Aku akan memberimu bonus kopi hari ini."

Lagi-lagi Petra mengalihkan pembicaraan. Dan lagi-lagi juga Levi tak berusaha untuk mengungkit pembicaraan tadi. Jika terus seperti ini, kapan ada kemajuan.

"Petra, aku ingin bertanya padamu. Bagaimana bisa rasa kopi buatanmu terasa pahit dan manis secara bersamaan? Berbeda sekali dengan kopi buatan bawahanku."

"Itu resep rahasia keluarga. Jadi aku tidak akan memberitahunya, hehe. Tapi tunggu. Ada bawahanmu yg membuatkan kopi untukmu, heichou?"

Levi melirik pada Petra. Tampak pandangan penasaran pada kedua manik mata caramel lembut Petra.

"Iya. Kenapa?"

"Apa dia wanita?"

"Jika iya bagaimana?"

Terlihat semburat kekecewaan disana. Itu membuat Levi ingin sekali tertawa terbahak-bahak menyaksikan ekspresi menggemaskan itu.

"Dia pria. Tenang saja. Namanya Eren Jaeger, kadet angkatan 104 yang sedang diteliti karena bisa berubah menjadi Titan."

Wajah kecewa itu tergantikan dengan ekspresi lega. Jika sebuah raut wajah bisa digantikan dengan kata-kata, kira-kira wajah Petra saat ini mengatakan "syukurlah".

"Aku senang bisa membuat kopi untukmu. Seharusnya wanita sepertiku tidak melakukan ini pada orang baik sepertimu, heichou."

"Kau bilang aku orang baik? Orang yang tega mengorbankan anak buahnya sepertiku disebut orang baik?"

Petra tersenyum, lembut.

"Dan setelah itu kau mendatangi rumah orang tua mereka untuk memberikan penghormatan terakhir."

Petra menyisipkan anak-anak rambutnya dibalik telinga kanan. Memberikan kesan dewasa dan anggun pada diri wanita bermanik madu ini.

"Dan aku percaya.. Kau belum pernah menyakiti seorang wanita."

Awalnya Levi menganggapnya biasa saja. Ia menganggapnya sebagai sebuah kalimat sanjungan seorang wanita padanya. Ia tidak tau sama sekali hal dibalik kalimat tadi. Atau mungkin tidak terlalu ingin memikirkannya.

Levi membanting cangkir di meja kerjanya. Entah kenapa rasa kesal terus menjalar diseluruh tubuhnya. Seolah telah menyatu dengan urat nadi dan melekat kuat pada otak.

Setelah itu ia mengumpat kesal. Tangannya masih mengepal diatas meja, kepalanya menunduk merasakan kekesalan yang memilukan itu.

Tapi tak lama. Tak lama Levi dalam posisi tersebut. Ia langsung memakai jaket pasukannya dan membawa laporan yang semalam ia tulis. Ia harus pergi ke kantor pusat untuk memberikan laporan itu pada petinggi.

Suara hentakan sepatunya terdengar disepanjang langkah.

Ceklek.

Suara pintu terbuka.

Meski wajahnya masih terlihat kesal, ia tetap harus melakukan kewajibannya. Ia tidak boleh mengecewakan Irvine gara-gara masalah pribadinya.

Levi berjalan melewati koridor dan sesekali berpapasan dengan bawahannya. Samar, ia mendengar pembicaraan dua bawahannya itu.

"Kudengar si primadona distrik trost menaikkan harga sewaannya!"

"Ah.. Aku tidak bisa menyewanya untuk menemaniku malam ini.. Aku tidak punya uang!"

"Kau sudah berapa kali?"

"Erg.. 3? Ya kurasa 3. Dia menyenangkan!"

Levi mendecih mendengar percakapan bawahannya itu. Menyadari bahwa mereka berpapasan dengan Levi, mereka segera memberi hormat dengan mengepalkan tangan kanan didepan dada kiri, menyimpan keteguhan mereka disana.

Seperti biasa Levi hanya melirik mereka, tanpa membalas tanda hormat mereka. Tapi sekarang lebih ketus dari biasanya, ya setelah mendengar hal yang membuatnya kesal dari kemarin.

Levi memutuskan mempercepat langkahnya. Agar ia sampai lebih cepat untuk memberikan laporan ditangannya, dan setelah itu ia akan datang ke kedai kopi. Memastikan apa yang didengarnya dari orang lain.

Petra tersenyum melihat pelanggan setianya datang siang ini. Setelah kemarin ia tidak mendapatinya berkunjung, tentu saja ia sangat senang melihat kedatangan pria itu lagi.

"Selamat datang, heichou." sapanya seperti biasa.

Levi duduk ditempat biasa. Dan Petra menghampirinya. Suasana kedai saat ini tidak seramai biasanya. Hanya ada Levi dan sepasang kekasih yang duduk didekat pintu masuk. Juga seorang kakek tua disudut ruangan.

"Kopi pahit lagi?"

"Tidak. Aku hanya ingin bicara denganmu."

Jujur saja, Petra sedikit takut dengan tatapan Levi saat ini. Perasaannya pun tidak enak. Pertanda apa ini? Batinnya.

"Apa yang kau lakukan dimalam hari? Selain membuat kopi untuk pelanggan?"

Petra tersentak. Ternyata soal itu. Ia tahu lambat laun Levi akan mengetahui tentang hal ini, mengingat begitu banyak pria dari kemiliteran yang ingin ditemaninya. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah pasrah dan menerima perkataan apapun dari pria kelam dihadapannya ini.

"Kau pasti sudah tahu." balasnya pelan.

"Jadi itu benar? Kau menemani mereka itu benar?"

Petra mengangguk. Bagaimana pun dia tidak bisa menyangkal hal yang Levi katakan. Itu memang benar adanya. Petra memag melakukan pekerjaan keji itu.

"Tch. Bejat sekali kau."

Pelan. Levi mengatakan itu begitu pelan. Tapi tetap saja terdengar menusuk dan dingin. Sakit yang merasuk begitu dalam membuatnya mengerti akan kekecewaan Levi padanya.

"Itu memang diriku yang sesungguhnya."

"Siap dirangkul pria manapun? Begitu?"

Petra hanya terdiam. Ia tidak mau sedikitpun menjelaskan alasannya melakukan semua itu.

Pelik memang. Tapi dengan begitu Levi akan membencinya dan tidak akan menemuinya lagi. Dengan begitu Levi tidak akan membuatnya jatuh cinta terlalu dalam. Petra merasa tidak pantas sama sekali berada sisi Levi. Apalagi saat ini pria itu mengetahui semuanya.

"Memangnya apa lagi yang diinginkan para pria? Hanya tubuh seorang wanita kan? Pria itu tidak usah memiliki, cukup merasakan. Itu saja."

Levi mendelik tajam. Kata-kata itu pernah dikatakan Mike kemarin. 'Pria itu tidak usah memiliki, cukup merasakan saja'. Siapa yang merasa diremehkan disini? Apa Petra yang merendahkan pria dengan mengatakan secara tidak langsung bahwa mereka hanya memiliki nafsu? Dia salah. Jika memang anggapannya seperti itu, Petra benar-benar salah.

Dia tak habis pikir kenapa Petra sangat menganggap pria seperti itu? Apa ia juga dianggap pria bejat seperti yang lain? Persetan dengan semua itu. Dia sangat kecewa pada Petra sekarang. Ini pertama kalinya dia merasa kecewa tingkat akut pada seseorang, terlebih pada seorang wanita.

"Aku tidak menyangka ternyata kau serendah ini. Bahkan kau lebih rendah daripada Titan yang aku bunuh."

"Memangnya kau tidak pernah melakukan itu? Haha.. Pria sehebatmu ternyata belum pernah menjatuhkan seorang wanita. Lebih rendah mana? Aku atau kau?"

Levi menbulatkan matanya. Ia baru mendengar seorang Petra yang selama ini ia kenal dengan senyuman dan kelakuannya yang lembut berkata sekasar ini. Mengatakan dirinya-lah yang lebih rendah.

Ia bangkit berdiri. Wajahnya tampak horror memandang lawan bicaranya.

"Dasar wanita sakit."

Petra menyeringai menanggapi pria raven itu. Ia sudah sering mendapat ejekan itu dari banyak orang namun entah mengapa ejekan kali ini, ejekan yang keluar dari mulut Levi, terasa lebih menyakitkan. Petra tak mau melakukan pembelaan. Meski ia tahu Levi mungkin berbeda dari pria lain, ia tetap tidak akan melakukan pembelaan akan dirinya dan tak mau menunjukkan sikapnya yang berbeda pada pria ini, sikap yang seolah menyukai pria itu.

"Kau juga sakit, heichou. Kau sama rendahnya denganku."

Plak!

Tanpa disadari, Levi telah mendaratkan telapak tangannya pada pipi Petra dengan cepat. Sebuah tamparan telak.

Semua yang berada dikedai menatap kaget pada suara keributan itu. Melihat pemilik kedai ditampar oleh seorang pelanggan bukanlah pemandangan yang wajar.

Levi melakukan tamparan itu bukan karena dia tak terima dikatakan rendahan, tapi sebenarnya dia sendiri juga tidak tahu kenapa tangannya berani menyakiti wanita yang kini menatap kosong kearah lantai itu. Ia tak mengerti kenapa tangannya sedikit gemetar sekarang, melihat pipi putih itu memerah akibat tamparannya.

Dan Levi semakin tidak mengerti kenapa ia masih saja mengatakan hal berupa hinaan pada Petra.

"Dasar wanita jalang!"

Petra tersenyum kecut menyaksikan sosok Levi yang mulai melangkah keluar kedai dengan tampang sangat menakutkan.

Mungkin ini yang terbaik. Mengakhiri kedekatan mereka. Petra sudah sangat mengecewakan bagi Levi. Dan yang terpenting, Levi belum sempat mengatakan kalau ia mencintainya. Tapi tetap saja Levi masih merasa heran. Kenapa? Kenapa dia mencintai Petra? Wanita yang sudah menjadi mainan para pria, berkali-kali.

Yang bisa Levi lakukan sekarang ini hanyalah menjauh. Menjauh dari pandangan Petra, menjauh dari hubungannya dengan Petra, menjauh dari kenyataan gila yang dihadapinya.

Titan kelas 15 meter menghampiri salah satu pasukan pengintai yang lengah. Tangan besar itu akhirnya bisa membawa tubuh Auro untuk siap dikunyah.

"Aaaaah! Tasukete!" teriak Auro saat ia hampir mendekati mulut besar Titan itu.

Sesaat kemudian Levi datang memotong tangan yang mencengkram tubuh bawahannya itu lalu melakukan gerakan memutar untuk menyayat tenguk Titan kelas 15 meter tersebut. Gerakannya sangat cepat dan akurat.

Harusnya Levi sudah berhenti menyayatkan pedang tajamnya pada kulit Titan itu, namun yang ia lakukan sekarang terus membinasakan tubuh yang mulai menguap itu dengan membabi buta. Ia bertindak seolah melampiaskan emosinya pada makhluk besar tersebut.

Para rekan dan bawahannya yang berada dekat dengan lokasi itu hanya bisa menyaksikan dengan mulut bungkam. Mereka tidak berani sedikitpun mengusik kesenangan pria tanpa ekspresi itu. Salah bicara, mereka yang akan menjadi sasaran berikutnya.

Levi berhenti disaat nafasnya mulai tersenggal. Keringatnya mengucur perlahan di kedua pelipis. Tangannya masih mencengkram pedangnya yang sudah berlumuran darah Titan.

Alih-alih membersihkan darah itu seperti biasanya, ia malah kembali memacu manuver 3D untuk membinasakan mangsanya yang lain. Ya, kini ia adalah seorang pemburu. Seolah tak cukup dengan satu mangsa, ia mencari mangsa idiot lain. Untuk dijadikan pelampiasan amarahnya. Daripada ia harus menghabiskan cangkir-cangkir keramik di markas untuk dilempar setiap detiknya.

Melihat itu semua, Hange dan Irvine merasa sedikit aneh dan khawatir. Dari kejauhan mereka melihat Levi yang penuh amarah tak seperti biasanya. Disaat dulu pria stoic itu selalu mengatakan 'cukup potong tenguknya lalu cari mangsa lain, jangan menghamburkan waktu untuk menyiksa makhluk gila itu', sekarang justru dia yang banyak menghamburkan keefektipan waktu untuk meluapkan amarahnya.

"Ada apa dengannya?" tanya Hange yang berdiri disamping Irvine.

"Entahlah. Dia tidak pernah mau bercerita."

"Dia seperti pria yang putus cinta.."

Mendengar itu, Irvine hanya mendengus, tertawa kecil.

"Aku tidak yakin pria sepertinya pernah jatuh cinta." ucap Irvine sambil tetap memandang kedepan, melihat aksi Levi.

"Tentu saja dia bisa! Dalam gelarnya masih ada kata 'humanity', dia masih manusia!"

Irvine mendengus lagi. Ya memang bagaimanapun Levi, dia tetaplah manusia. Dia pasti bisa jatuh cinta pada seseorang. Tidak seperti Hange yang malah jatuh cinta pada makhluk-makhluk menjijikkan bernama Titan.

Hari-hari berlalu. Mungkin sekitar seminggu lebih Levi tidak berkunjung lagi ke kedai kopi Petra. Ia juga terlihat berhenti meminum cairan hitam berkafein itu. Tapi hasilnya, kini Levi tampak sangat menyedihkan. Matanya yang biru keabuan terlihat sangat lelah dengan dihiasi kantung mata yang menghitam.

Kurang tidur? Ya, dia memang kurang tidur. Tapi alasannya begitu konyol. Dia tidak bisa tidur karena tidak meminum kopi? Disaat orang-orang meminum kopi untuk bergadang, dia meminum kopi untuk bisa tidur? Apa fungsi kopi sudah berubah dimatanya?

Pagi yang cukup cerah ini Levi masih berada di ruang pribadinya. Melamuni sesuatu.

Jujur saja, Levi tidak bisa berhenti memikirkan Petra. Disamping memikirkan apa yang dilakukan wanita itu, ia juga merasa bersalah karena telah menamparnya. Padahal ia bukanlah siapa-siapa Petra. Dia bukan ayahnya, bukan kakaknya, bahkan bukan kekasihnya. Tapi dia dengan berani, mendaratkan tangan yang biasa digunakan untuk membunuh Titan itu untuk menamparnya.

Kini ia bertemu dengan wanita caramel itu. Entah kenapa. Apa mungkin Levi masih mencintai wanita itu?

Padahal dia tahu dengan pasti bahwa wanita itu sudah tidak suci lagi. Bahwa wanita itu telah mahir melakukannya dengan pria lain. Bahwa wanita itu begitu jalang sampai mau melakukan pekerjaan hina. Bahwa wanita itu, dengan mulutnya sendiri, mengiyakan apa yang dituduh Levi saat itu, tanpa unsur kebohongan sedikitpun dimatanya.

Bagaimana bisa Levi masih tetap mencintai wanita jalang itu? Wanita penjual tubuh? Wanita hina?

Memikirkannya saja membuat Levi hampir kehilangan akal sehat. Ia hampir melemparkan vas bunga berisi bunga lilac kedepan pintu jika saja tidak ada seseorang yang masuk tiba-tiba.

Irvine berada di ambang pintu sekarang. Melihat Levi yang siap meraih vas bunga itu.

"Ternyata orang tertinggi di pasukan juga tidak memiliki tata krama memasuki ruang pribadi orang." ucap Levi, menyindir.

Irvine tak membalas apa-apa. Ia lalu menutup pintu dibelakangnya dan berjalan masuk, duduk disalah satu kursi disana.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Levi, tipis akan basa-basi.

"Aku hanya ingin memberitaumu sesuatu."

Mendengar itu Levi menyenderkan punggungnya ditembok terdekat, tidak jadi meraih vas bunga itu. Ia siap mendengar hal yang Irvine katakan.

"Cinta itu tanpa alasan. Cinta itu tidak bisa memilih, karena cinta bukan pilihan tapi keyakinan."

Levi masih memasang wajah kesalnya meski terlihat sedikit raut heran, kenapa Irvine seolah tahu segalanya.

"Aku tidak membaca pikiranmu untuk mengetahui ini, Levi. Tapi kau yang mengirimkan pemikiranmu itu untuk aku ketahui."

Levi masih terdiam. Menunggu kelanjutannya.

"Kau tidak usah menyerah dari kenyataan. Kalau kau memang mencintainya, bawa dia bersamamu, jadikan dia milikmu dan pastikan bahwa hanya kau yang bisa melindunginya."

Perkataan itu tak membuat Levi angkat bicara. Ia tetap bungkam meski perlahan kerutan kesal diwajahnya sedikit berkurang. Mungkin ia tengah memikirkan sesuatu sekarang, tentang benar dan salahnya perkataan Irvine.

"Kau jangan mau dikalahkan gengsimu yang setinggi langit itu."

"Tsk."

"Cobalah kau berpikir sedikit lebih liar."

Langkah kaki Levi terlihat sedikit cepat. Kakinya itu menuju tempat yang sudah tak asing lagi baginya namun cukup lama juga tak ia datangi.

Sesampainya di ambang pintu tempat itu, matanya langsung mencari sebuah siluet seseorang yang dicarinya.

Saat ia berhasil menemukan sosok itu, Levi langsung melangkah semakin mendekat, membuat suara langkah kakinya terdengar nyaring di lantai kayu yang ia pijak.

"Aku akan membayarmu berapapun. Temani aku malam ini." ucapnya pada orang itu.

"Kau mau kan? Petra Rall?" tambahnya lagi.

TBC

Hyaaaa~ fict RiVetra berating M pertama sayaaa~ Maaf ya untuk para penggemar Petra, disini saya benar-benar membuat dia seperti wanita jalang... Maafkan perbuatan nista saya pada dewi kemenangan itu

Author memang masih abal, abal sekali malah.

Semoga, fict nista saya ini gak dapet flame #aamin.

Arigatou gozaimasu mina-san

Ok, see you next chapter ^0^