Himano Hime presented

Ataru X

Pairing: AoKuro

Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi

Ataru: the First Love and the Last Kill Toho Co.

Rate: T

Warning: Crime, Sho-Ai

DON'T LIKE DON'T READ

Hope you enjoy it~ ^^

A/N: Yeah! Akhirnya Hime kembali setelah bertahun-tahun lamanya menghilang! Pada intinya fict ini semacam crossover Ataru: the First Love and the Last Kill, tapi ga persis sama. Filmnya baguuss deh! Coba kalian tonton ya kalau ada waktu! ^^

Btw, ada yang baca fic KnB pertamanya Hime yang If They're Brother ga? Buat yang baca dan me-review Hime sangat berterimakasih. Rupanya Hime meng-upload data yang belum di edit jadi ada bagian yang kurang tapi ternyata ada yang tahu darimana ide 'kakak-kakakan' itu. Hime jadi seneng~ buat orang gila, selamat! Tebakanmu benar! Tapi ga dapet apa-apa sih. Tehee… XD

Happy reading!

"Hey, Tetsu."

"Hmm?"

"Ayo kita kabur."

Ketika itu ia mengatakan itu dengan cengiran lebar di wajahnya. Yang bisa kulakukan hanya mengangguk.

.

.

Tahun 2015 Heisei.

Ini bukan pertama kalinya Federal Bureau of Investigation mendidik anak-anak untuk menjadi agen mereka. Anak-anak ini menjalani pelatihan bertahun-tahun agar dapat mengidentifikasi lokasi kejadian, membedakan obat-obatan, menguasai seni bela diri serta senjata api, dan menguasai lebih dari 10 bahasa.

Aku dan Aomine Daiki adalah salah satunya, yang termasuk dalam produk gagal. Itu wajar saja, karena tak peduli bagaimana pun banyaknya data yang bisa kuingat, fisikku lemah dan itu adalah hal yang tak termaafkan bagi anggota inti. Aomine-kun lain lagi. Ia luar biasa berpotensi, ketika kami masih di pelatihan banyak yang mengagumi keakuratan tembakannya atau instingnya yang tajam dalam investigasi kasus. Namun saat ia berusia 13 tahun, tatapan mata Aomine-kun berubah. Ia mempertanyakan prinsip FBI dan mulai melanggar perintah.

Aku tahu salah satu sebabnya adalah aku karena matanya selalu mengernyit setiap melihat perlakuan buruk mereka padaku. Seorang anak dengan fisik lemah dan seorang lagi dengan ideologi yang bertentangan dengan organisasi— kami dengan segera menjadi sampah.

Aku merasa bersalah. Aomine-kun tidak seharusnya menerima perlakuan sama. Ia hebat, ia berbakat, ia kuat. Tapi setiap kali aku bertanya mengapa, ia akan menatapku, menggenggam tanganku lalu berkata, "Tetsu, kita akan selalu bersama. Janji?"

Saat-saat itu aku hanya bisa termangu dan mengangguk.

Suatu hari, dia bosan menjadi kelinci percobaan di laboratorium. Ia mengajakku kabur dan kami lolos dengan mudahnya melewati penjagaan. Kami berjalan berkilo-kilometer sebelum beristirahat di tengah jalan. Nafasku rasanya sudah habis dan kakiku mati rasa karena bertahun-tahun menghabiskan waktu di kamar sempit berwarna putih tulang tanpa melakukan aktivitas fisik. Jalanan Amerika luas dan sepi, dan tidak ada apa pun di sekitar sini kecuali tanah gersang dan ilalang hingga aku ragu apakah aku berjalan ke depan atau ke belakang.

Tapi siang itu adalah hari yang cerah dan itu kali pertamaku melihat langit seluas itu tanpa dibatasi oleh bingkai jendela. Ketika aku menolehkan kepalaku ke samping untuk melihat Aomine-kun berbaring di sampingku dengan cengiran lebar, rasanya aku bersedia melakukannya ratusan kali lagi.

Tentu saja, itu tidak berlangsung lama karena kami tertangkap beberapa jam kemudian. Entah bagaimana, aku tidak begitu ingat cerita pastinya, kami dipisahkan. Aku dikirim ke Jepang untuk tinggal di sana. Sulit sekali membiasakan diri tinggal di tempat seramai Tokyo bila kau menghabiskan 16 tahunmu di laboratorium terpencil di Arizona.

Suara pengumuman di kereta yang memekakkan telinga, anak-anak yang bermain di taman, semi* di musim panas, bahkan mesin penjual otomatis membuatku ingin meringkuk di dalam apartemenku dan tak pernah keluar lagi. Entah bagaimana aku bisa menjalani hidupku kemudian mendapatkan pekerjaan sebagai agen polisi.

Kepolisian Jepang tidak begitu ketat. Beberapa memang sempat mengernyit melihat catatan fisikku tapi setidaknya aku bisa berpikir untuk mereka. Pola pikir kepolisian Jepang pun amat berbeda. Di TKP, mereka akan menduga apa yang terjadi sementara aku diajarkan untuk melihat data-data yang ada, memprosesnya sebelum memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Menyelidiki sebuah kasus, dan menjelaskannya kepada anggota investigasi adalah dua hal yang berlainan. Sulit sekali menjelaskan pada mereka mengapa aku menduga seorang mahasiswi adalah pelakunya ketika mereka hampir menetapkannya sebagai kasus bunuh diri.

Mereka memandangku aneh saat aku mencoba menjelaskan kemungkinan reka kejadian berdasarkan hitungan matematis, otot muka mana yang tertarik saat seseorang mengatakan hal bohong, atau waktu kematian yang bergeser hampir 6 jam karena spesies fungus tertentu.

Kemudian aku akan mengernyit saat salah satu dari mereka membentakku. Aku benci orang yang marah. Emosi mereka tidak teratur, gerakan mereka impulsif, cenderung mengikuti insting sebagaimana binatang dan sulit diprediksi ketika itu terjadi. Sangat tidak menyukai hal itu.

.

.

"Aomine Daiki. 22 tahun. Dua korbannya yang terakhir dibunuh di Jepang, setelah sebelumnya ia membunuh 4 orang di Amerika. Keenam targetnya adalah orang-orang bersalah yang lolos dari hukuman penjara karena kurangnya bukti. Silahkan baca dokumen di atas meja. Korban pertamanya…"

Korban pertama Nishimoto Sakaki, 35 tahun. Seorang jurnalis yang tulisannya pernah membuat beberapa perusahaan bangkrut, artis kehilangan pekerjaannya, bahkan seorang mahasiswi terjun dari gedung bertingkat setelah diberitakan menjadi simpanan pengusaha. Pergelangan kaki pria itu diikat ke pagar pembatas sebuah gedung berlantai 16, sebuah bom diikat di talinya dan meledak 7 jam kemudian sehingga tali terputus dan kepalanya menghantam tanah terlebih dulu.

Korban kedua Sakigawa Haruno, 30 tahun. Punya reputasi menipu pria-pria kaya hingga mereka jatuh miskin dan menjadi gelandangan. Setelah itu ia akan menjual semua asetnya untuk berfoya-foya tanpa peduli pada ribuan karyawan yang kehilangan pekerjaannya. Wanita ini diikat di saluran pembuangan air. Penyebab kematian adalah kehabisan darah setelah tubuhnya digerogoti tikus-tikus got.

Keempat korban sebelumnya juga dibunuh dengan modus operandi sejenis. Mereka kurang lebih disiksa dengan cara yang berhubungan dengan korban mereka. Akibat kejadian ini muncullah pro dan kontra. Pihak berwenang tentu saja tidak menyetujui hal ini tapi Aomine Daiki rupanya mendapatkan dukungan yang cukup besar dari masyarakat yang kecewa terhadap kinerja kepolisian. Ia bahkan memiliki basis fans yang menganggap pria itu sebagai keadilan. Aku sendiri yakin benar Aomine-kun juga menganggap dirinya demikian. Sindrom God Complex, kemungkinan besar.

"Berikut ini adalah video yang ia kirim kepada kepolisian. Perhatikan dengan cermat, dan setelah video selesai diputar kalian bisa segera memberitahu informasi atau dugaan yang kalian dapatkan."

Pencahayaan di video itu tidak begitu bagus. Hanya jendela kecil dan lampu redup. Tempat itu terlihat seperti gudang terlantar dimana seorang pria kurus dirantai lehernya ke tiang yang berada di pojok ruangan. Ia mati-matian meraih sesuatu yang tergantung di tengah ruangan, bagian atasnya adalah rantai sepanjang setengah meter yang disambung dengan sesuatu seperti ornamen berbentuk angka 8 dan kunci —yang tampaknya adalah kunci rantai lehernya— terpasang di antara kedua lingkaran. Sayangnya rantai di lehernya tidak cukup panjang untuk meraih pintu, pria itu mencoba namun hasilnya hanya mencekik lehernya sendiri. Jam dinding putih yang berada di depan pria itu berdetik, jam 4.52.

Aku meraih notes-ku dan mulai menghitung. Seandainya jam itu benar, lokasi kasar tempat tersebut bisa dihitung dengan perbandingan waktu dan sudut matahari yang terlihat dari jendela. Lagipula… suara ini…

"Pria yang ada di video ini adalah Kawabata Shinjo, 32 tahun. Tiga tahun yang lalu ia menabrak seorang anak SD bernama Teppei Suzuki kemudian meledakkan mobil yang dikendalikan dari jarak jauh itu hingga sang anak tewas terbakar. Karena kurangnya bukti, kejadian itu dianggap sebagai kecelakaan. Kawabata Shinjo tinggal sendiri sehingga tidak ada yang bisa mengonfirmasi sejak kapan ia menghilang. Baiklah, bila ada yang memiliki informasi lebih silahkan katakan."

Gumaman terdengar di sekelilingku tapi belum ada yang mendapatkan informasi. Kutebak, polisi Jepang hampir tak bisa mengetahui apa pun dari video yang sama sekali tidak spesifik ini. Aku berdiri dan membungkuk sedikit—salah satu budaya Jepang yang kupelajari—.

"Borgol yang digunakan untuk menggantung kunci itu, adalah cincin teka-teki dengan nomor seri 388B-i buatan perusahaan mainan Oyote tahun 2006." Aku memulai. "Bila jam yang ada di video itu menunjukkan waktu yang benar, maka kemungkinan tempat penyekapan Kawabata Shinjo bisa dihitung. Dan berdasarkan perhitungan yang saya lakukan," aku menunjukkan notesku yang satu halamannya penuh angka. "Maka perkiraan saya lokasi korban ada di sekitar Maebashi-shi, prefektur Gunma."

"Selain itu, bisa tolong putar kembali videonya ke menit 3.20?" seseorang melakukannya. "Kawabata Shinjo hampir tercekik di detik itu karena mencoba meraih kunci, tapi ada suara lain yang terdengar suaranya." Mereka semua tampak bingung, namun mencoba mendengarkan.

"Suara itu adalah suara kereta listrik. Terdengar selama interval 40 detik, selain itu ada suara seperti guncangan yang cukup kentara. Kemungkinan kereta berbelok dengan sudut setajam itu adalah di Kiryu-shi, 22 km dari Maebashi-shi." Semua orang terdiam mendengar penjelasanku dan sekonyong-konyong aku merasa leherku tercekik. Aku berusaha menahan diri untuk tidak berlari ke toilet untuk muntah. Alih-alih, aku menghempaskan diriku ke kursi, mencegah tanganku untuk meraih sebotol air mineral di tasku karena memang tidak diperbolehkan untuk minum selama rapat.

Inspektur Katsunori, pemimpin rapat yang duduk di bagian depan menatapku tajam dengan pandangan yang aneh. Itu bukan pandangan yang biasa diberikan orang padaku. Biasanya anggota lain yang tidak terbiasa denganku akan melihatku sambil berjengit seakan mengatakan ada manusia aneh di antara mereka. Pandangan ini… marah? Curiga?

Mendadak aku berharap tidak membuka mulut tadi. Tapi.. bukankah pria di video tersebut perlu diselamatkan..?

Pandangannya masih tajam memakuku saat ia berdiri dari kursinya. "Baiklah, kalau tidak ada yang punya informasi lain aku akan menyuruh orang untuk memeriksanya. Rapat selesai."

.

.

"Tetsu…"

Siapa?

"Tetsu, kau pun.."

Aomine-kun? Apa yang kau katakan?

"Tetsu, kau pun bisa.."

Bisa apa? Ini kapan? Di mana ini?

"Tetsu, kau pun bisa menjadi pembunuh."

Ao..mine-kun? Aomine-kun?

"..ko-kun!"

Aomine-kun?

"Kuroko-kun? Kuroko-kun!"

Bukan.. Aomine-kun…

"Kuroko-kun!"

Aku membuka mataku mendadak mendengar suara tersebut, kontan kepalaku pusing saat aku spontan terduduk di kursiku. Aida Riko mengernyit di sampingku bersama Hyuuga Junpei di sampingnya. Ah. Rupanya tadi ialah yang memanggilku?

"Apa kau tidak apa-apa? Ini pertama kalinya aku melihatmu tertidur di meja kerja." Seniorku yang berambut coklat itu berkacak pinggang, alisnya mengernyit mungkin mencemaskanku.

"Aku baik-baik saja," walau kuakui ini juga pertama kalinya bagiku. Bahkan di apartemenku pun aku hanya tidur sekitar 5 jam sehari sebagai resiko pekerjaan. "Ada apa?"

Ekspresi Riko-san berubah. "Inspektur Katsunori memanggilmu."

"Ada apa? Apa sesuatu yang berhubungan dengan kasus?"

Kali ini, ia bahkan sama sekali tidak menatapku. Ekspresinya hampir mirip dengan Hyuuga-san di belakangnya. "..semacam itu. Lebih baik kau bergegas."

Apa pun yang akan dikatakan oleh inspektur Katsunori nanti, pasti ada hubungannya denganku jadi aku meraih sesuatu yang kusimpan di laci meja. Hanya untuk berjaga-jaga karena masih ada yang harus kulakukan tak perduli apa pun yang akan terjadi.

Ketika aku sampai di sana, bukan hanya inspektur Katsunori, deputi komisioner umum Masako, dan komisioner umum Nakatani. Mungkin apa yang kutakutkan benar adanya.

Aku membungkuk sekilas dan berdiri sekitar satu meter dari mereka bertiga.

Inspektur Katsunori mendesah, membuka folder di depan meja yang semestinya tak perlu ia lakukan. "Kami baru mendapat kabar baru mengenai kasus Aomine Daiki."

"Apa kau tahu tentang kebakaran yang terjadi di hotel New Ginza baru-baru ini?"

Aku mengangguk. "Ya, terjadinya 3 minggu yang lalu bukan? Saya dengar satu orang meninggal dalam kecelakaan tersebut."

Deputi komisioner umum Masako menatapku tajam. "Penyebab kebakaran itu adalah tegangan listrik yang terlalu tinggi menyebabkan peralatan listrik terbakar, tegangan tinggi itu sendiri terjadi akibat seseorang mengirimkan virus ke server komputer. Kurasa kau pernah mendengar kasus ini sebelumnya?"

"…ada beberapa kasus tentang hacker yang berhubungan dengan transmisi listrik sebelumnya tapi bila ini berhubungan dengan Aomine Daiki… mungkin itu Wizard."

"Kami memeriksa kamera pengawas dan menemukan bahwa Aomine Daiki adalah salah satu pengunjung hotel tersebut. FBI mengirimkan DNA-nya yang ternyata cocok dengan DNA mayat yang ditemukan."

"Eh?"

"Aomine Daiki sudah mati." Komisioner umum Nakatani melihatku dengan pandangan dingin. Beku. Aku mundur satu langkah.

"Itu.. tidak mungkin.. Aomine-kun tidak mungkin.."

"Aomine-kun?" alis Masako-keishikan yang berbentuk sempurna naik.

Aku menelan ludah, "Dia.. bukan orang yang mati semudah itu.."

Mereka saling berpandangan, tapi tidak membicarakannya lebih lanjut. Inspektur Katsunori membuka mulut, "Tentang informasi yang kemarin, beberapa orang sudah dikirim untuk mencari dan memang di Kiryu-shi ditemukan sebuah gudang yang tak terpakai. Tapi di sana tak ada orang, kecuali sebuah handycam yang menyala."

"Tambahan lagi, begitu tim penyelamat masuk sirkuit meledak dan membakar gudang. Untungnya, berkat seragam mereka, tak satu pun mendapat luka parah. Dengan kata lain ini jebakan."

Komisioner umum Nakatani bangkit, berjalan, kemudian berhenti tepat di hadapanku. "Kuroko Tetsuya. Kudengar dulu kau sempat bekerja untuk FBI, ya?"

"…semacam itu."

Masako-keishikan membuka mulut, "Video tersebut dikirim 2 hari yang lalu, Aomine Daiki meninggal 3 minggu yang lalu. Itu berarti ada pelaku lain. Tapi jebakan tersebut, sudah kami pastikan adalah Wizard— persis sama dengan yang digunakan oleh Aomine Daiki."

"Kami mendapat informasi dari FBI bahwa program Wizard dibuat oleh dua orang. Aomine Daiki, dan sahabatnya, Kuroko Tetsuya. Itu kau, benar kan?"

"Saya—"

"Inspektur!" seseorang mendobrak masuk. Naoki dari penyidik forensic, membawa laptopku di tangannya. "Kami sudah mendapatkan bukti bahwa Wizard dikirim dari laptop ini pada waktu yang sesuai dengan waktu kejadian!"

Rahang Katsunori-keibu mengeras. Matanya menangkapku seakan aku mengkianatinya, tapi tak memberikan kesempatan untuk mengatakan apa pun. "TANGKAP DIA!"

Seketika kedua pintu masuk didobrak oleh banyak orang yang mencoba memitingku. Aku memberontak. Mereka terlalu dekat untukku yang haphephobia—fobia terhadap kontak fisik— sehingga refleks aku melawan. Aku membanting beberapa dari mereka, menyikut beberapa, dan memukul leher belakang sehingga beberapa dari mereka tidak sadarkan diri. Aku berusaha lari, tapi terdengar suara tembakan yang memekakkan, kemudian aku terjatuh. Kakiku tertembak dan rasanya sakit bahkan walau dengan semua adrenalin yang pasti mengalir kencang di pembuluh darahku.

Tapi yang pasti aku tak bisa lari lagi bahkan saat anggota yang tersisa memukuliku. Sekujur tubuhku sakit ketika aku merasa cairan hangat mengalir bukan hanya di kakiku. Setelah itu semuanya gelap.

.

.

Aku mengernyit saat mencoba mata. Kepalaku terasa berputar-putar. Butuh waktu 5 menit sampai aku bisa melihat keadaanku lagi. Kepala, bahu, dan kakiku diperban serta lebam di mana-mana. Rasanya ingin memejamkan mata sampai badanku tidak terasa sepayah ini lagi. Aku mengerang sambil berusaha duduk, memastikan perutku memar.

Jasku sudah dilepas, kemeja dan celana panjang yang masih kupakai kusut sekali, tapi syukurlah mereka tidak mengganti bajuku karena aku bisa merasakan sesuatu di kantong celanaku saat aku duduk. Virtual laser keyboard.

Begitu aku menekan tombolnya, sinar laser keluar dan membentuk keyboard jadi aku bisa mengetik di dalam sel penjara ini. Lima belas menit kuhabiskan untuk meretas coding, dan setelah aku menekan enter tak ada yang bisa kulakukan kecuali menunggu feedback yang tak terlihat.

Aku kembali berbaring karena membungkuk untuk mengetik di lantai bukanlah hal terbaik yang bisa dilakukan saat perutmu memar. Sambil merasakan perut yang berdenyut, aku merapikan selimut dari futonku. Penjara biasanya tidak menyediakan futon, juga tidak sebersih ini atau bisa memberikan satu sel per orang, tapi karena aku belum terbukti bersalah dan pengadilan juga belum dilaksanakan maka kutebak mereka menaruhku di sel sementara.

Berbaring sambil merasakan perutku berdenyut, aku jadi teringat saat dulu sekali, saat FBI membuangku hingga aku akhirnya menjadi orang bebas. Aku bisa memilih karir lainnya, yang jauh lebih aman, jauh dari orang-orang yang berbicara dengan keras bahkan saat mereka tidak berteriak, atau bahkan yang tidak memerlukan kontak fisik. Mungkin bekerja lewat internet, di Jepang banyak orang yang mengisolasi diri mereka sendiri namun masih hidup. Atau guru TK, butuh kontak fisik memang, tapi aku tidak keberatan dengan anak kecil.

Mungkin karena itu. Alasannya semata adalah karena aku suka misteri. Jepang negara yang agak membosankan, dan hanya dengan memecahkan misteri-misteri dari sebuah kasus lah yang membuat sedikit hiburan bagiku.

Tapi itu pun terdengar sangat salah. Sangat kejam. Menjadikan duka orang lain sebagai hiburan… rasanya seperti psikopat. Ataukah.. adakah alasan lain?

Aku hanya berbaring dengan mata tertutup. Berjam-jam hanya mendengarkan suara nafasku sampai akhirnya mendengar suara langkah yang berat mendekatiku.

"Aku sudah lama menunggumu," pria bertubuh tegap itu membuka pintu sel tanpa suara. "Aomine-kun."

.

.

*serangga sejenis tenggeret yang biasanya banyak ditemukan pada musim panas

Yosh! Fic ini hanya 2-3 chapter, dan karena Hime bertekad menyelesaikannya sebelum UAS, kemungkinan update-nya ga akan terlalu lama. Terimakasih sebelumnya untuk yang berkenan memberikan review. Review yang membangun akan selalu dihargai :3