Kurobas belong to Tadatoshi Fujimaki
Nicotine by Me
Warn! : YAOI, Typo, No EYD, OOC, dan kekukarangan sejenisnya. DLDR!
.
Chap 1: Kehidupan Baru
.
Daiki dan Taiga, keduanya ibaratkan nikotin. Merusak system saraf satu sama lain yang menjadikan mereka enggan untuk melepas dari kecanduan. Padahal mereka tahu, mereka salah, namun tetap berkomitmen. Kadang sesuatu yang salah adalah yang indah. AOKAGA. Future fic!
.
RUANGAN lumayan besar bercorak arsitektur modern. Sepaket lengkap furniture bertengger indah di tempatnya masing-masing, dua pasang mata berbeda warna menilik sekitar dalam diam. Dua kamar tidur, satu dapur minimalis, juga balkon yang strategis.
Si rambut navy mengedikkan bahu. Menjatuhkan tubuh di sofa, melonggarkan kancing kemeja yang terasa begitu sumpek. "Jadi, ini hadiah pernikahan kita?" katanya sambil menyenderkan tubuhnya mencari posisi santai.
Pihak yang diajak bicara melakukan hal sama, setelah puas melihat-lihat, ia duduk di samping si navy. "Uh, menurut gue ini terlalu berlebihan. Kita bisa beli atau nyewa apartemen sendiri, kan?" katanya, menjawab pertanyaan lelaki di samping sekaligus berpendapat. –Kagami– bukan, marganya sekarang telah resmi berubah, tepatnya satu bulan yang lalu.
Mereka melangsungkan pernikahan di tempat kedua orangtuanya berada, Amerika. Siapa sangka hubungannya dengan Daiki akan di sakralkan saat mereka berdua berada di usia 27 tahun. Yeah, tidak ada rencana sebelumnya. Aomine maupun dirinya nyaman-nyaman saja dengan hubungan mereka yang tak harus mengikat janji di hadapan banyak orang termasuk orangtua dari kedua belah pihak. Namun, siapa yang bisa menebak waktu. Apa pun bisa terjadi, meski itu sedetik dari sekarang.
Lebih daripada itu, ia merasakan kebahagian tak terhingga. Sama halnya dengan hubungan-hubungan hetero yang melangsungkan pernikahan. Bedanya, jika pernikahan hetero bebas diketahui oleh dunia, sedangkan pernikahan dirinya dengan Daiki hanya untuk di ketahui kalangan sendiri. Ia paham betul bagaimana perbedaan yang ada.
Dengan nama baru yang tersemat, Aomine Taiga, ia berharap bisa menjaganya sampai mereka tidak mampu melihat, tidak mampu berdiri, tidak mampu mendengar, dan tidak mampu berucap, namun tetap bisa merasakan. Bukan karena saling meninggalkan, tetapi karena organ fisiologis yang sudah tak mampu menahan masa. Takdir Tuhan.
"Iya, sih," Daiki berkata sembari menguap, meletakkan kepalanya di pundak Taiga. "Tapi, Baka, nggak mungkin juga kita nolak. Lo lihat, kan, gimana wajah mereka waktu ngasih hadiahnya."
Taiga yang sama lelahnya pun ikut meletakkan kepalanya di atas kepala Daiki. Ia hanya mengangguk, tak bisa lagi mengeluarkan suara. Matanya berkedip-kedip berada di 3 watt. Mereka menguap bersama, selepas itu keduanya memejamkan mata.
Perjalanan panjang dari Amerika sampai ke Jepang membuat mereka harus mengistirahatkan tubuh meski sejenak.
Sebenarnya, orangtua Taiga tak menginjinkan anak-anaknya kembali lagi ke negeri terbit matahari ini, tapi pekerjaan Daiki sebagai polisi dan keterampilannya sangat dibutuhkan untuk kasus-kasus yang di hadapi kota Tokyo, apalagi sekarang sedang marak-maraknya penculikan anak dan kasus pembunuhan di mana-mana. Ya, meskipun kadang ia bertindak bodoh dan mementingkan egonya sendiri. Memang, Daiki dan bodoh adalah satu kesatuan tak terpisahkan.
Sedang Taiga, ia punya tanggung jawab untuk melatih anak-anak didiknya. Dia memiliki sebuah gymnasium bakset yang ia dirikan bersama Daiki. Gym yang diberi nama Ultimate Zone, itu melambangkan keduanya. Siapa pun yang ingin berlatih dengan sungguh-sungguh dari anak-anak, remaja, maupun dewasa, Taiga layani sepenuh hati.
Terkadang jika Daiki senggang, ia akan ikut melatih. Tapi kebanyakan, jika sudah di lapangan mereka sibuk one-on-one sendiri sampai melupakan anak didiknya. Remaja biasa menyebut dengan dunia milik berdua, seperti itulah. Gym ini juga dijadikan ajang lokasi reuni teman-teman SMA, baik itu senior maupun anggota Kiseki no Sedai.
.
Selang waktu 45 menit, Taiga membuka mata. Ia berdecih karena Daiki tidur mendengkur. Dan decihnya bertambah ketika ia mengetahui jika lelaki yang merupakan pasangan hidupnya itu tidur dengan mengeluarkan liur yang sukses mengenai lengan bajunya. Ia menarik tubunya sampai membuat Daiki terkaget.
"Apaan, sih, Baka," katanya bergumam tak jelas, mata masih tertutup sempurna. Ia mencoba mencari posisi yang pas untuk melanjutkan tidurnya. Satu tangan bergerak untuk mengelap liur yang tereleminasi.
"Jorok banget lo, Ahomine!" teriak Taiga, marah-marah seorang diri karena yang tuju tidak peduli. Ia menghela napas dalam, melepas bajunya dan meninggal kaus dalam. Beralih membawa koper masuk ke kamar utama yang ia pilih.
Sebelum membongkar barang-barangnya, ia merogoh ponsel di saku celana untuk melihat jam. Karena jam dinding yang ada di sini belum diatur. "Sudah jam empat sore, ternyata," ia bercuap. "Ah, belum belanja makanan. Gue laper," lanjutnya.
Mengoprasi koper besar yang ada, mungkin saat ini lebih baik ia mandi, menyengarkan kepala dahulu baru mengisi perut buntalannya. Kalau si Aho itu tidak mau bangun, ia akan makan sendiri ke Majiba, lihat saja, begitulah isi pikirannya.
Taiga dan Daiki hanya membawa pakaian seadanya, karena pakaian mereka masih bermalam di apartemen yang lama, yang saat ini sedang mengurusi surat kepemindahan tangan. Ya, memang, dari semenjak menjalin hubungan saat SMA, mereka sudah tinggal bersama, satu apartemen. Meski sebenarnya, Daiki yang tidak mau pulang ke rumahnya sendiri sampai semua baju pindah ke apartemen Taiga.
Tangan terus mencari, Taiga mengeluarkan isi koper satu persatu. Sampai pada titik didih kesal berkumpul di kepala, ia mendengus karena barang yang ia cari tidak ada di dalam koper. Hanya ada celana dalam Daiki, kaus dalam Daiki, baju dan tektek bengek Daiki. Semuanya barang Daiki, bahkan ada dua bungkus besar keripik udang. Salah satu sudah terbuka, dan alhasil pakaian semuanya bau udang.
"Tsk! Ahominee…. handuk gue nggak lo masukin koper, ya?" teriak Kagami dari dalam yang sebenarnya sia-sia karena Daiki tidak akan mendengar. "Handuk lo juga nggak ada, celana dalem baru gue juga nggak ada!" namun begitu dia tetap berkoar.
Emosi. Taiga keluar sembari membawa keripik udang. Ia memakannya rakus karena saat ini perutnya benar-benar lapar, itu sebab tekanan dari cacing lambung dan tensi yang memuncak. Rasanya dia perlu gula lebih.
"Aho, bangun, oi!" Taiga memasukkan beberapa keripik ke dalam mulut Aomine yang sedang mendengkur. "Makan nih keripik! Bangun oi," gerutunya.
"Euhmm," Daiki menggeliat, merasakan asin bibirnya, sekalian saja ia membuka mulut dan memakan keripik dari tangan Taiga. "Apaan, sih, Baka," katanya sembari mengunyah. "Sumpah. Lo daritadi ganggu gue tidur," ia protes.
Taiga sebodo amat tentang apa yang Daiki bicarakan. Ia meletakkan bungkusan keripik di meja. "Handuk? Handuk yang suruh gue masukin ke dalam koper tadi malem, nggak lo masukin?"
Daiki yang masih menyelaraskan pandangannya hanya berkedip-kedip. "Handuk apaan, sih?" walau begitu ia tetap bertanya.
"Astaga, Aho. Handuk lo sama handuk gue, sebelum berangkat kan, gue suruh masukin ke dalam koper. Gue mau mandi, nggak ada handuk, idiot!"
"Hah." Daiki memutar bola mata, pandangannya teralihkan oleh bungkus keripik yang isinya masih lumayan. Omong-omong perutnya juga lapar. Menegak, ia mengambil keripik kesukaannya, memakannya santai tanpa menghiraukan Taiga yang sedang menunggu jawaban.
Namun, lima detik berlalu raut Daiki berubah, ia membuat wajahnya menyengir. "Eheheh, handuknya gue keluarin lagi, terus gue ganti sama keripik ini," ucapnya menaikkan alis tidak berdosa. "Kalau sama handuk juga, keripiknya nggak muat. Padahal tadinya gue mau bawa empat bungkus," tuturnya sedikit lirih.
Tetapi yang mendengar muak. Taiga hanya memandangi suaminya dengan wajah yang tak terdefinisikan. Eits, karena Aomine Daiki adalah suaminya, bukan berarti dia istrinya lho, ya. Taiga lebih senang menyebut dia juga suami Daiki. Mereka itu pasangan suami-suami bukan pasangan suami-istri, karena Taiga adalah laki-laki. Begitulah katanya.
Daiki tidak suka melihat tatapan Taiga yang seolah-olah dia salah besar karena menukar handuk dengan keripik. "Lagian, Baka. Lo kan laki, ngapain harus bingung mandi karena nggak ada handuk," ucapnya. "Biasanya juga telanjang bulat depan gue, hahaha." Tanpa dosa Daiki tetawa keras.
Darah di dalam kepala Taiga menggolak. Ia baru akan menjitak kepala Daiki, tetapi tangan dim itu lebih dulu menariknya. Membawanya ke dalam ciuman tanpa bisa menolak. Taiga mempersilahkan lidah Daiki untuk masuk, mereka bergulat di dalam. Saling melumat bibir bawah dan atas satu sama lain.
Daiki menarik Taiga lebih dekat, sampai manusia berkepala merah darah itu duduk di pahanya. Menciumi dan menyesap leher Taiga, dan Taiga memeluk Daiki dalam-dalam. Mereka menautkan bibir lagi, melepaskan jika sudah kehabisan oksigen, setelah itu bersatu lagi sampai puas, membuat tangan Daiki gatal jika hanya diam. Mulai merayap memberikan Taiga satu kenikmatan.
Daiki dan Taiga, keduanya ibaratkan nikotin. Mereka merancuni pikiran satu sama lain. Awalnya tidak tahu mengenai apa pun, Daiki tidak tahu Taiga, begitu pun sebaliknya. Sampai pada suatu kesempatan,Taiga ke Jepang hanya untuk menjadi pembasket nomor satu. Kemudian ia muak dengan Kiseki no Sedai yang rumornya berisi orang-orang hebat, dengan keberaniannya dan rasa pantang menyerah, Taiga berduet dengan Daiki.
Daiki pun sama, ia muak dengan murid Seirin yang di elu-elukan Kise dan Midorima, jika anak itu hebat. Pada akhirnya mereka bertemu untuk saling mencicipi. Awalnya pahit, getir dan rasa kecewa, karena Taiga sudah meremehkan Kiseki no Sedai yang kemampuannya sangat lebih dari dia. Tetapi karena rasa itu, Taiga ingin mengulanginya lagi, mengulangi mencicipi Daiki, bertanding dengan Daiki.
Mengulang lagi, satu sampai dua kali. Lagi, tiga sampai empat kali, lagi dan seterusnya, membuat Taiga dan Daiki melayang. Merasakan euforia yang sesungguhnya, mereka saling mengakui jika mereka berdua hebat. Jika mereka saat on-one-on bersama itu nikmat. Hingga keduanya menekan saraf otak satu sama lain, menjadi ketergantungan, tak bisa lepas walau hanya sesaat.
Nikotin tidak baik untuk tubuh, contohnya bagi seorang perokok. Zat aktif kimia tersebut akan merusak organ dalam tubuh, karena organ tersebut tidak mampu menyaring atau mengolah zat keras tersebut. Walau begitu, banyak orang yang tak mampu melepaskannya. Karena mereka merasakan efek menyenangkan.
Jadi apa bedanya dengan Daiki dan Taiga. Hubungan dua orang laki-laki yang akan menimbulkan kerusakan, misal berkurangnya keturunan. Kendatipun begitu, mereka tahu efeknya, tetapi mereka tak bisa melepas. Mereka sudah dirusak oleh masing-masing, mereka merasakan nyaman dan membutuhkan. Dan mereka siap menanggung resiko, menciptakan komitmen sampai terjalinnya momen saat ini.
"Bakataiga, cepetan!" Daiki berteriak dari ruang tamu, dia sudah rapi. Rambut sudah harum dan pakaian sudah ganti. Mematikan tivi yang menanyangkan serial malam, tepat jam tujuh. Rencananya mereka akan pergi ke konbini untuk belanja kebutuhan.
"Aho, lihat kunci, nggak?" Taiga bertanya sembari matanya jelalang ke mana-mana, tangannya sibuk mencari, di bawah tivi, dia berlari ke kamar kemudian balik lagi ke hadapan Daiki. "Perasaan gue taruh sini deh, tapi nggak ada," Taiga kesal melihat Daiki yang tak ikut membantu. "Oi, kampret tahu nggak? Malah tawa-tawa."
"Taraaaaa …" Daiki memutar-mutar benda yang Taiga cari di jari telunjuknya. "Ini, kan?" katanya, sembari nyengir kuda.
Taiga melempar kepala Daiki dengan remot tivi sebelum ia mengela napas sangat panjang. "Bisa nggak sekali aja, nggak usah buat gue kesel, Ahomine sialan!"
"Hah? Siapa yang buat lo kesel, Aomine Taiga," ledeknya. "Gue hanya mau jailin lo doang."
Setelah mengunci pintu, saat Daiki lengah, Taiga menginjak kakinya sekuat tenaga. "Rasain, lo!"
"Ahkhhh!" teriak Daiki sampai mereka masuk ke dalam lift. Menjadi perhatian orang-orang yang nanti akan menjadi tetangganya.
Di dalam sana, Taiga pura-pura tak mengenal Daiki karena sikapnya yang memalukan. Taiga mencoba tersenyum ramah, saat orang-orang melihat ke arahnya.
"Penunggu baru?" Tanya seorang ibu-ibu yang seusia dengan ibunya sendiri.
"Iya, kami baru datang hari ini."
Tidak lam… Tingggg….. pintu lift terbuka. Diaolog berhenti paksa.
"Please, Daiki. Lo itu udah tua, jadi bersikap semestinya, bersikap sesuai umur. Lo, polisi, kan? Mana wibawanya." Taiga mengomel membuat Daiki mengorek telinganya bosan.
"Lo juga udah tua, jadi jangan ngomelin gue kayak ibu-ibu."
"Hah? Awas aja lo minta makan sama gue, nggak akan gue masakin orang macam lo."
"Nggak akan gue kasih duit belanja."
"Gue bisa nyari duit sendiri, ya!"
"Yaudah, nggak akan gue sayang-sayang."
"Nggak masalah, gue nggak mati ini karena nggak di sayang."
"Serius?"
"Enggak, sih."
"Hahahaha"
Mereka baru akhirnya diam ketika masuk ke dalam bus yang sudah menunggu di halte.
"Sensei, kalian mau ke mana?" Tanya seorang anak kecil, membawa bola basket di tangannya.
Taiga dan Daiki yang tak kebagian duduk menoleh. "Oh, Giru. Bagaimana kabarnya?" Tanya Taiga, dan Aomine hanya tersenyum karena ia mengenal baik anak didik Taiga.
"Baik. Sensei sudah pulang, ya. Ayo, kapan kita latihan lagi," ucapnya semangat.
Taiga mengusap kepala anak yang bernama Giru itu, "Hari Jum'at aku sudah buka gym, kita latihan lagi, dan tolong kabarkan kepada yang lain."
"Siap, sensei," katanya sangat keras. "Ini hari senin, asyik, tiga hari lagi."
Dan sampai di sana, bus berhenti. Taiga dan Daiki turun sebab sudah sampai tujuan. Mereka melangkah besar-besar, tidak tahan sudah lapar. Ada Majiba di samping Konbini, jadi setelah perut tersisi penuh, mereka baru akan belanja.
.
Satu jam sudah termasuk bertengkar, mereka habiskan untuk melahap semua hidangan di meja. Ludes tak tersisa, jika bungkusnya enak, Taiga tak akan segan untuk menggilingnya dalam mulut. Dan tugas Daiki sebagai suami yang baik adalah membayar semuanya.
Sampai pada mereka memasuki konbini. Mengambil keranjang belanjaan besar dan Daiki kebagian untuk mendorong, menurut Taiga, Daiki takkan bisa memilih barang untuk kebutuhan sehari-hari. Meski dengan wajah manyun, Daiki tetap menurut.
Taiga memang laki-laki, tapi Taiga tak sebodoh Daiki yang tak tahu apa-apa dengan dapur. Taiga tidak niat untuk mengetahuinya tetapi karena keharusan ia jadi paham, sebab ia tinggal sendiri waktu itu. Sedang Ayahnya datang hanya untuk singgah sebentar.
Taiga mengambil deterjen untuk mesin cuci, pewangi, desinfektan untuk lantai, minyak goreng, penyedap rasa, dan segalanya yang dibutuhkan ibu-ibu kebanyakan. Dia sudah memenuhi setengah dari keranjang besar itu.
Daiki tidak mau kalah, ia mengambil apa yang ia inginkan bukan yang ia butuhkan, sampai ketika Taiga melihat Daiki memasukan serbuk racun tikus.
"Aho, buat apa racun tikus?" tanyanya heran.
"Buat ngeracunin elo kalau lagi ngomel-ngomel," jawab Daiki santai.
Dan tepat setelah mengatakan itu, kepala Daiki mendapatkan salam dari kaleng biscuit yang Taiga akan beli. "Seriusan, bodoh!"
Daiki menggaruk belakang kepala, "Nggak tahu sih buat apaan. Ya, siapa tahu aja kan butuh," katanya datar.
"Nggak usahlah, balikin lagi!" cercau Taiga. "Dan ini apaan buku dongeng anak-anak di masukin." Sepertinya Daiki kehabisan akal sehat.
"Yang itu gue nggak tahu, sumpah."
"Ya, masa jalan sendiri."
"Mana gue tahu, beli aja nggak apa-apa. Nanti kalau kita punya anak, biar dia bisa baca-baca."
Taiga menautkan alis. "Lo ngeledek gue?"
"Nggak, hahaha." Kemudian Daiki mendorong keranjang dan berpura-pura memilih sesuatu. Taiga sangat ingin memukul kepalanya dengan botol beling.
..
.
Daiki menggerakan tangannya yang pegal sudah membawa belanjaan yang begitu banyak. Bahkan, Taiga sudah berselimpuh di sofa.
"Pijitin," kata Daiki, lalu duduk di samping Taiga menjulurkan tangan.
"Males, ah," jawab Taiga lemas, menyingkirkan tangan Daiki dari hadapannya.
"Pijitinlah," lagi, Daiki berkata dan merengek manja.
Tingtong …. Tingtong ….
"Nah, siapa yang datang malem-malem begini."
Tingtong …. Tingtong ….
"Aho, bukain pintunya."
"Nggak ah, lo aja. Siapa suruh, nggak mau mijitin gue."
Taiga berdecak, berjalan agak sempoyong menuju pintu. Sekarang pukul sebelas malam, siapa juga yang datang bertamu. Apakah tetangga setempat? Tapi untuk urusan apa. Sudah malam hari juga, tidak sopan mengganggu privasi.
Clik.
"Kagamichiiiiiiii….. eh salah ya, sekarang kan sudah Aominecchi, ya," ucapnya girang. "Tapi masa aku manggilnya sama seperti Aominecchi, apa aku harus manggil Taigacchi? Tapi jelek, aneh mendengarnya. Iya kan? Iya kan?"
Taiga di peluk oleh seseorang yang ia kenal dengan cara panggilan namanya, "Kise," kata Taiga terkejut, juga telinga penging sebab Kise teriak tidak kira-kira. Siap-siap dirinya akan dituduh mengganggu hidup tenang orang-orang… untuk panggilan, persetan dengan Kise. "Dan Kuroko," Taiga menengok ke sebalah mahluk bersurai blonde tersebut.
"Halo, Kagami-kun." Kuroko tersenyum saat ini, tidak se teflon waktu remaja. Taiga ikut tersenyum.
"Oi, kalian ini, ngapain datang malem-malem." Daiki meraung dari sofanya, melihat acara reuni yang sangat tidak etis. "Terus kalian tahu darimana kalau kita sekarang di sini."
Kise tertawa-tawa, melenggang meninggalkan Taiga yang menutup pintu. "Aominecchi, beda ya, kalau sudah menikah. Sekarang sudah punya teman tidur. Kapan aku nyusul."
Daiki mendengus. "Sifat lo nggak berubah, ya, Kise. Dan kalau soal nidurin Taiga," ucap Daiki, tersenyum polos. "Gue udah nidurin dia dari SMA."
"Shut the fuck up! Aho!" Taiga melenggang membawa belanjaan ke dapur dibantu Kuroko, sekalian untuk menyiapkan minum dan makanan kecil. Mereka banyak bercerita, dan Taiga menanyai Kuroko sedang sibuk apa saja anak susu itu saat ini.
Di ruang tamu, Kise masih tidak bisa melepas tawanya, karena memang dia bahagia bisa melihat pasangan paling phenomenal saat SMA. Bayangkan saja, tidak menyangka jika rival akan jadi lawan dalam selimut. Kise tidak mengerti jalan pikiran mereka berdua, tapi ia paham, kadang ada saatnya segala sesuatu itu tidak harus dimengerti semuanya.
"Keluarga Aominecchi, maaf aku tidak datang ke pernikahan kalian. Taulah, aku sibuk terbang," tuturnya, mengambil gelas minuman duluan, bahkan, Taiga belum sempat meletakkan di meja.
"Nggak masalah, kalau kalian dateng gue nggak tahu muka Taiga jadi apa, hahaha."
"Aho!" cerca Taiga sambil menyikut rusuk Daiki.
"Memang kenapa, Aomine-kun?"
"Eum…." Daiki tak berani berkata, karena Taiga selalu mengintai. Sampai pada saatnya mereka tertawa bersama seperti anak-anak ABG, meski taulah umur mereka.
Malam itu mereka habiskan untuk begadang, mengenang masa lalu. Terutama Kise yang sangat semangat menceritakan pengalamannya menjadi pilot beberapa tahun terakhir ini.
Kuroko dengan polosnya bertanya, "Jadi bagaimana malam pertama kalian?"
Kise dan Taiga menyerngit, tetapi Daiki senang-senang saja di Tanya begitu. "Hahaha, Tetsu. Gue sama Taiga udah nggak ada malam pertama. Malam pertama kita entah sudah tahun kapan."
"Aku paham jika soal itu, Aomine-kun. Maksudku setelah kalian mengikrarkan janji suci. Apakah ada yang berbeda?"
Sebelum Daiki siap untuk berdongeng, Taiga suka membekapnya dengan donat kala itu. Siapa yang tertawa. Konyol.
.
.
.
Hai, hai. Tangan gatel pengen banget nulis duo Aho ini, eh terciptalah fanfic baru. Ada yang tahu fanfiction Malam Minggu AoKagazone, nah secara tidak langsung mungkin ini sambungannya, atau bisa dikatakan fanfic yang sejenis.
Jadi saya akan pos, setiap malam minggu supaya malam kalian tidak bosan/eyaaaapdbeud. Untuk mala mini sebagai pembukaan, ya. Di sini bedanya mereka sudah berkeluarga. Dan ini akan menjadi cerita keluarga Aomine yang baru atau kehidupan baru Taiga dan Daiki. Cuma, kalau nggak sibuk pasti tepat waktu, hheheh.
Btw, semoga terhibur.
Salam AOKAGA,
Zoka.
