Di waktu yang lampau, aku mencoba untuk melindungimu.

Aku mencoba segalanya untuk menyelamatkanmu dari kegelapan.

Tapi, apa yang terjadi?

Kau hancur—tak bersisa.

Begitu pula dengan diriku.

Kali ini, aku akan menjalani hidupku dalam ketidak-tahuan.

Aku akan melupakan segalanya—dan menjalani semuanya apa adanya.

Aku tidak akan melakukan hal-hal yang dulu kulakukan—yang menghancurkan kita berdua.

Namun—aku akan terus—terus—dan terus melindungimu.

Karena aku adalah tempatmu untuk bernaung.

Aku adalah tempatmu untuk mengistirahatkan sayapmu—membasuh darah yang pekat melumurimu.

Aku adalah tempatmu untuk menutup matamu dalam hening.

Aku adalah warna putih dalam hidupmu.

Aku adalah suakamu.


"Hei, kau mau lembur malam ini?"

"Ah, tidak—tidak. Kemarin aku sudah lembur. Aku capek. Mungkin hari ini aku pulang seperti biasa."

"Tapi, nanti aku bakal sendirian malam-malam di kantor, tahu. Aku sudah ajak Mouri dengan segala bujuk-rayu, tapi dia nggak mau."

"Motochika, ini kantor. Bukan rumah hantu. 'Ngapain kau mesti takut-takut segala?"

"Aku nggak takut, bego. Aku cuma nggak suka sendirian aja lembur."

"Kampret kamu."

Kuregangkan tubuhku yang seharian sudah duduk di depan komputer—kutarik kedua lenganku ke atas, menguap—ngantuk.

Motochika mengambil setumpuk map yang menggunung di atas mejanya—lalu merengut, jengkel.

"Kau mau pulang sekarang?" tanyanya, "Enak banget. Aku harus merekap ulang semua data-data ini—dan Matsunaga-san tidak akan memberikanku bonus lembur kalau semua ini belum selesai lusa."

Aku tergelak.

"Motochika, aku sih…pingin bantu. Tapi, yah….aku juga punya urusan sendiri sih, di luar jam kerja," ujarku—menyesal.

Motochika mengerling dengan pandangan nakal.

"Itu baru mengingatkanku," katanya, "Kau nggak cari cewek? Yah, kau tahu maksudku. Kau sudah mapan, ganteng, menjanjikan, bahkan sebentar lagi naik pangkat jadi kepala bagian di perusahaan raksasa. Apa yang kurang dari kamu, sih?"

Kuangkat bahuku.

"Kau hanya kurang istri saja," katanya, sambil merapikan tumpukan map yang miring di tangannya, "Kau hanya perlu menikah saja, lengkap sudah hidupmu."

"Ada yang nikah? Siapa? Siapa?"

Seseorang melongokkan kepalanya, mengintip pembicaraan kami dari jendela di luar ruangan.

"Keiji," ujar Motochika—menggodaku, "Dia nggak mau nikah, tuh. Sayang banget, 'kan."

"Hah? Kok begitu? Hidup ini tidak akan lengkap tanpa cinta, Tokugawa-san!" serunya—tidak percaya, sambil menepuk kedua pipinya.

"Sejujurnya, aku sudah berhubungan kok," jawabku—sambil mengedikkan kepala, "Tapi, aku belum berpikir sejauh kalian."

Motochika dan Keiji melongo.

"Makanya, sekarang—sepulang kantor, aku bakal menghabiskan waktuku bersama dia. Sudah lama aku tidak—yah—dengan dia."

Kedua orang di hadapanku berbinar-binar—dan menepuk bahuku, tertawa lepas.

"Ayo, cepat nikah, dong!" ujar Motochika—sambil keberatan menenteng map-map yang mulai miring dan nyaris berjatuhan, "Aku nggak sabar melihat kau jadi pengantin!"

"Hahahaha, secepatnya, Motochika. Secepatnya," balasku—menyambar jaket dan kunci kendaraanku.

"Selamat berjuang dengan lemburmu, ya, Chosokabe-kun."

"Sialan kau."


Tempat itu—ruangan yang putih—diterangi cahaya putih lembut temaram.

Tempat kami berbagi napas.

Interior ruangan yang putih—jendela berbingkai mahoni yang berjuntaikan tirai sutera transparan.

Lantai marmer yang mengilat.

Seprai yang berkerut.

Dua bantal yang berderet—nampak empuk menggemaskan.

Seekor kucing melompat dari meja, mendarat di lantai—dan menggosokkan kepalanya ke kakiku untuk menyambut kepulanganku.

"Kau terlambat."

Aku tersenyum kecil.

"Tadi di jalanan agak macet. Ada kecelakaan mendadak," ujarku—santai, sambil mengangkat kucing itu dari lantai, "Ooh, Tadakatsu—kucing manis. Kau sudah jadi anak baik hari ini? Sudah menuruti Mama Mitsunari?"

Ia nampak jengah—telinganya memerah, "Jangan panggil aku 'Mama'. Itu menjijikkan."

Aku tertawa—lalu mendekatkan wajahku ke wajahnya.

Kucium pipinya—bibirnya.

"Kalau begitu—'sayang'?"

Ia melingkarkan lengan-lengannya ke bahuku—membuat sebuah gerakan yang lebih lembut dari tarian.

"Itu lebih baik."

Tadakatsu melompat—lalu lenyap ke balik pintu.

Kami berciuman—tepat saat angin berhembus melalui celah jendela yang terbuka—menghamparkan aroma udara sore hari ke seluruh penjuru ruangan.

Ruangan putih.

Ruangan tempat kami berbagi napas.

"Aku suka putih," bisik Mitsunari di telingaku, "Aku suka sekali ruangan ini."

"Kenapa?"

"Karena putih adalah warna kemurnian. Kesucian. Aku suka kepolosan tanpa noda."

"Dalam banget," kikikku, "Kalau aku—aku suka ruangan ini—karena di sini adalah tempat di mana kita bisa bersama-sama. Tempat kita berdua. Suaka kita."

Mitsunari mengusap dahiku, lalu mengecupnya.

"Suaka kita?"

"Ya, hanya kita berdua."

Yang Mitsunari tidak tahu—putih adalah warna pengkhianatan.

Dan aku adalah warna putih dalam hidupnya.

Dan lebih baik—kami berdua tidak tahu apa-apa.


"Sarapanmu siap."

Aku menggosok mata, mengusir kantuk yang memberati kelopak mataku.

Mitsunari menuangkan kopi ke dua cangkir porselen yang berkilau keperakan—mengepulkan uap-uap lembut yang mengalir di udara.

"Hari ini lembur?" tanyanya, sambil membungkuk—menuangkan makanan ke piring Tadakatsu.

"Hmmm…tidak," jawabku—mengunyah sepotong roti bakar sambil mengantuk.

"Kau akan pulang awal lagi?"

Aku tersenyum.

"Ya," bisikku, meraih tangannya, "Aku akan pulang demi kau."

"Jangan begitu," tepisnya, "Aku tidak ingin pekerjaanmu terganggu karena aku."

"Tidak—sama sekali tidak mengganggu," kataku—tenang, "Hanya saja, kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama-sama."

Mitsunari bersemu—lalu menggenggam tanganku.

"Aku senang," katanya—dengan suara agak pelan, "Aku sering kesepian. Aku senang kau mau menghabiskan waktu bersamaku."

Dengan senyuman lebar—aku mencium dahinya.

"Aku juga bosan," katanya lagi, "Aku bosan hanya ditemani Tadakatsu—kucing gendut itu. Dia membosankan."

Aku tergelak lepas.

"Ya, jangan khawatir," bisikku—mengecup telinganya, "Aku akan menemanimu nanti. Jadilah anak manis di rumah."

"Aku bukan anak-anak," ujarnya—merengut.

"Ya, ya. Kita akan menghabiskan waktu berdua saja nanti."

Kami berciuman cepat, sebelum aku menyambar kunci mobilku dan merapikan dasiku.

"Sampai jumpa, sayang. Aku mencintaimu."


Lebih baik—kita menjalani hidup kita seperti ini.

Hidup dalam ketidak-tahuan akan membuat kita tenggelam dalam kebahagiaan.

Karena itu, aku akan melindungimu dari semua yang membuat matamu terbuka.

Aku akan menjaga agar matamu tetap tertutup—dalam damai.

Aku akan menjagamu agar kau tetap melipat sayapmu—dan tidak akan pernah mengembangkannya lagi.

Aku adalah sumur yang menyekapmu dari dunia luar.

Aku adalah sangkar yang mengurungmu dari langit biru di atas sana.

Aku adalah suakamu.

Dan tidak akan kubiarkan seorang pun mengambilmu dariku.

Tidak akan.


"Selamat pagi, Tokugawa-san."

"Pagi."

Kurapikan kertas-kertas yang berserakan menutupi permukaan mejaku—menyusunnya menjadi satu tumpukan yang menggunung.

"Ada rapat nanti—pukul sepuluh, di tempat biasa. Jangan lupa membawa laporan rekapitulasi."

"Ya, terima kasih, Saika-san."

Kuhempaskan diriku ke kursi—menghela napas.

"Yoo, pagi, Ieyasu!" sapa rekan kerjaku—Motochika, "Kok, pagi-pagi sudah terlihat capek?"

"E—enggak apa-apa. Aku cuma jenuh saja melihat pekerjaanku yang nggak habis-habis."

"Hmmm," Motochika nyengir nakal, "Bukannya kau capek karena kemarin kau—yah, kau tahu—dengan 'pacarmu'?"

Sontak, wajahku memanas. Aku gelagapan.

"Ehmmm—Motochika—bukan begitu—"

"Ooooh, kok wajahmu memerah? Kasih tahu aku, dong—apa pasanganmu berbahaya, ya? Apa dia tahan lama, jadi kau tidak sanggup mengikutinya?"

"Ngawur saja kau bicara."

"Aku jadi pingin tahu pacarmu seperti apa. Apa kalian sampai klimaks, tidak? Atau jangan-jangan kau sudah teler duluan sebelum pacarmu?"

"Motochika!"

"Hahahaha! Iya—iya, aku cuma bercanda, kok."

Dengan risih, kunyalakan komputerku—mencoba menyembunyikan wajahku yang sudah semerah tomat matang.

"Obrolanmu barusan vulgar banget."

"Hahahaha, maaf. Soalnya, di antara semua orang yang ada di kantor, hubungan asmaramu yang paling misterius sih—wajar saja kalau orang lain penasaran, 'kan."

"Lihat dulu dirimu sendiri," balasku—sambil nyengir lebar, "Kau sendiri bagaimana? Kok tidak nikah-nikah?"

Giliran Motochika yang gelagapan—skak mat.

"Aku sudah beberapa kali berhubungan seks dengan beberapa perempuan—tapi yah….tidak ada yang benar-benar pas denganku. Aku juga…tidak pernah berpikir untuk serius," katanya.

"Bagaimana dengan Mouri?" tanyaku—langsung ke pokok sasaran.

Motochika makin gelagapan—tidak keruan.

"K—kok dia?"

"Hahaha, soalnya aku dengar ada gosip bahwa kau melamar Mouri. Bagaimana?"

"Brengsek kau, itu bohongan."

Motochika langsung mengobrak-abrik buku-buku di atas mejanya tanpa alasan yang jelas.

"Oh iya," gumamnya—sambil menarik beberapa lembar kertas dari map yang dibawanya.

"Ini daftar beberapa karyawan yang sudah lama tidak bekerja. Matsunaga-san menyuruh kita untuk mencoret nama-nama yang tidak ada keterangan kerja. Bisa kau bantu aku sedikit untuk menyortir daftar ini, Ieyasu?"

Aku mengangguk, "Tentu."

"Kanamori Ken-san…tidak ada keterangan—coret. Berikutnya….Takano Ryoko-san….cuti melahirkan—tidak usah dicoret. Kanata Yuji-san…pulang ke kampung halamannya di Gifu…nanti kita hubungi saja dia. Ah—"

"Ada apa, Motochika?" tanyaku—agak terkejut melihat reaksinya.

"Ishida Mitsunari," katanya—linglung.

Aku tercekat—berhenti bernapas untuk sesaat.

"Itu mengingatkanku," kata Motochika—sambil mengerutkan alisnya, "Ishida-san sudah lama tidak kerja. Sekitar….hmm….tiga-empat bulanan? Apa yang terjadi dengannya, ya…..?"

"I—iya…aku juga heran," timpalku—sambil menahan gejolak yang berputar dalam diriku.

"Padahal, dia dulu eksekutif top di sini—Kepala Bagian Finansial, 'kan? Sayang sekali, memang. Sekarang posisinya sudah digantikan Mouri. Mungkin, dia sudah tidak bekerja di sini lagi?"

"M—mungkin….siapa yang tahu, Motochika…."

"Oh, ya," ujarnya—dengan nada berbisik, pelan sekali, "Aku pernah dengar desas-desus tentang Ishida-san."

Mataku melebar.

"Menurut rumor, sih, katanya…dia menderita gangguan jiwa."

Sesuatu yang tak kukenali rasanya—tidak mampu kukendalikan lebih jauh lagi.

Aku berdiri—napasku berhenti.

"L—lalu, Motochika?" tanyaku—mengabaikan ekspresi Motochika yang nampak kaget menyaksikan perubahan perilakuku.

"Lalu—katanya, dia melukai—bahkan ada yang bilang kalau dia membunuh seseorang tiga bulan yang lalu itu. Semenjak itu, dia tidak pernah kelihatan lagi."

Kutelan ludahku.

Rasa mual yang tak tertahankan menyerang perutku.

"Sebentar, Motochika—aku ke toilet dulu."

Dengan tergesa, aku berlari ke arah kamar kecil—lalu membanting pintu cepat-cepat.

Aku mencengkeram keran di wastafel—lalu memuntahkan semua sarapan pagi yang bergolak di perutku.

Tiba-tiba, kilasan-kilasan pemandangan bermunculan di benakku.

Tiga bulan yang lalu.

Pukul satu tengah malam.

Bunyi pintu digedor.

Kubuka pintu itu, dan sosok Mitsunari muncul—

berlumuran darah, menggenggam sebilah pisau di tangannya.

Wajahnya berlinang air mata, memancarkan kengerian dan ketakutan.

"Ieyasu," bisiknya—parau, "Aku tidak membunuh—aku tidak membunuh—aku—"

"Ishida? Apa yang terjadi? Kenapa kau—"

"AKU TIDAK MEMBUNUH! AKU BUKAN PEMBUNUH!"

Kutarik ia ke dalam pelukanku.

Denting nyaring dari pisau di tangannyamembentur lantai, terdengar jelas di telingaku.

Ruangan putih—tempat kami berbagi napas—diwarnai percikan merah segar.

Sosoknya yang bergelimang darah kembali menghantui pikiranku—dan aku kembali mual.

Gemericik air yang mengalir dari keran memenuhi kesunyian di dalam toilet.


Seperti halnya seekor katak dalam sumur yang dalam,

Sebaiknya kita tidak perlu tahu apa yang ada di luar sana.

Seperti halnya seekor ikan yang berenang di kolam—yang ingin berenang ke laut lepas,

Sebaiknya kita tidak perlu pergi ke luar sana.

Kita cukup hidup seperti biasanya—kita cukup hidup dalam kebodohan dan ketidak-tahuan saja.

Walaupun kita hidup dalam kekotoran—

setidaknya kita hidup bahagia.

Dengan menenggelamkan diri kita dalam ketidak-tahuan, hidup sekotor apapun pasti akan terasa amat murni.

Jangan pernah khawatir,

Aku akan selalu melindungimu.

Karena aku adalah suakamu.


Selepas sore harinya—kuparkir mobilku—dengan decit bannya yang agak ngilu.

Dengan terburu-buru, kubuka pintu dengan perasaan kalut.

Mitsunari ada di tengah-tengah ruangan putih—diterangi cahaya mentari sore yang lembut—menembus tirai-tirai sutera transparan yang melayang anggun ditiup angin.

Ia berbaring tengkurap di lantai, sedang mengelus Tadakatsu yang berguling-guling di depannya.

Sontak, Mitsunari menolehkan kepalanya kepadaku.

"Kau sudah pulang. Kenapa kau begitu tergesa-gesa?" tanyanya—sambil bangkit dari lantai.

Aku terengah-engah—keringat mengalir di tubuhku.

Kututup pintu dengan canggung, lalu cepat-cepat kukunci.

Mitsunari nampak tertegun melihat perangaiku.

"Ada apa, Ieyasu?" tanyanya, agak cemas, sambil menyentuhkan jemarinya ke bahuku.

Aku tersentak, lalu menepis tangannya secara tidak sengaja.

Ia nampak terperanjat, terkejut, bingung.

Perasaanku campur aduk.

"Mitsunari—maaf—"

Kuraih tangannya, dan kukecup perlahan.

"Aku hanya mencemaskan dirimu."

Alis Mistunari mengerinyit.

"Apa kau takut padaku?" tanyanya—lirih, penuh kesedihan dan kengerian di kalimatnya, "Kau takut padaku?"

Aku memunculkan senyum pahit di bibirku.

"Takut? Tidak. Aku mencintaimu."

"Aku tidak membunuh siapa-siapa. Aku bukan pembunuh…." Mitsunari mulai meracau—tangannya gemetaran, wajahnya ketakutan, "Aku bukan—"

"Aku tahu, Mitsunari," sergahku—sambil mendekapnya, "Kau bukan pembunuh."

Ia menatapku—matanya yang hijau zaitun menyorot, penuh kesedihan.

"Kau Mitsunari. Kau Mitsunari yang kucintai. Hanya itu."

Kemudian, ia menyandarkan kepalanya ke dadaku.

Tangannya mencengkeram punggungku erat-erat.

Kukunya melesak, menusuk kulitku.

"Lupakan—sekarang lupakan semua itu, oke? Kita baik-baik saja. Kau baik-baik saja. Semua itu omong-kosong. Semua itu tidak ada."

Napasnya menenang, lalu cengkeramannya mengendur.

"Lupakan, Mitsunari. Lihat—tidak ada apa-apa. Yang ada hanya kita. Hanya ada kau dan aku, dalam ruangan putih ini."

Ia merosot, lalu terduduk di lantai.

Aku berjongkok, meraihnya.

"…selamat datang, Ieyasu," bisiknya—lirih, dengan senyuman kecil di wajahnya.

"Aku pulang," ujarku, dengan senyuman puas tersungging, "Ayo, kita nikmati waktu milik kita berdua bersama-sama."

Kubantu ia berdiri, lalu membopongnya.

Kuhirup aroma tubuhnya.

Wangi parfum dedaunan yang menggoda.

Mitsunari mengalungkan lengannya di leherku—lalu menciumku.

Kubuai ia ke kasur, lalu kubaringkan dengan hati-hati.

"Ieyasu," katanya—menyentuhkan jemarinya yang dingin ke wajahku,

"Aku mencintaimu."

"Aku tahu," bisikku, menggigit telinganya perlahan—membuatnya mendesah kecil, "Aku mencintaimu lebih lagi."

Kami berpelukan erat di atas ranjang, selagi Tadakatsu mengeong dari kolong sofa.

Ruangan putih—tempat kami berbagi napas—diwarnai merah gelap yang sudah busuk—namun tertutup kilauan cahaya mentari yang tenggelam kemerahan di barat.

Bayang-bayang senja merangkak perlahan, lalu bulan yang menyabit di atas menyeringai jahat di tengah kelamnya malam.


Lebih baik, kau melupakan segalanya.

Lebih baik, kau hidup dalam ketidak-tahuan.

Jika kau mengetahui segala sesuatunya, kau hanya akan menderita.

Aku tidak ingin kau menderita. Aku tidak ingin kau terluka.

Karena itu, kau tidak perlu membuka matamu.

Kau tidak perlu mengembangkan sayap-sayapmu.

Cukup tutup matamu dan tidurlah dalam damai.

Lebih baik, hiduplah dalam mimpi indahmu—daripada kau harus bangun dan kembali pada realita yang kejam.

Dan janganlah khawatir, aku akan melindungimu agar kau tidak terjaga.

Aku akan melindungi kebahagiaanmu—walaupun itu hanya dalam mimpi.

Tak akan kubiarkan seorang pun menghancurkan mimpi indahmu.

Karena aku adalah suakamu.