Karena namanya tidak akan pernah tercetak di atas nisan …
.
…*…
.
Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto.
Saya tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiksi ini.
Warning: No pair, Indonesian!AU, G30SPKI!AU, OOC, Miss Typo(s), etc.
Kisah ini ditulis untuk memperingati G30SPKI dan mengenang para korbannya. Baik mereka yang ada di pihak Indonesia ataupun bukan.
Happy Reading!
.
…*…
.
Naruto baru saja masuk ke dalam gua.
Tangannya masih bergetar akibat dipaksa mencengkram senapan kuat-kuat sebagai bentuk proteksi—mereka sama sekali tidak peduli jika bocah yang baru tumbuh itu sama sekali tidak tahu cara menggunakannya. Dan bajunya kuyup. Dua ratus meter pertama dari bibir gua, sungai menerjangnya hingga dada, belum lagi dia sempat terperosok dan tenggelam dalam kegelapan, sebelum akhirnya salah satu teman berjaga menolongnya (Entah hal yang harus disyukuri atau disesalinya, dia mjulai merasa mati tenggelam jauh lebih baik dibandingkan harus hidup dengan keadaan seperti ini).
Pasang-pasang mata yang berkilauan di dalam gua memandangnya dengan tatapan berharap. Seolah dia yang baru menginjak masa remaja ini sudah menjadi pahlawan hanya dengan berjaga di garis terluar gua.
Siapa yang peduli? Yang utama di tempat ini adalah keamanan. Meski itu hanya sementara, asal orang-orang yang meringkuk ketakutan di dalam gua gelap merasa aman, itu tidak masalah.
Api menari lembut di sudut-sudut gua, menghangatkan mereka yang duduk saling merapat untuk memberi kehangatan. Warna emasnya menari di wajah-wajah orang, menggoyangkan bayangan mereka seperti hantu-hantu kematian, dan membiaskan riak air sungai ke langit-langit yang dipenuhi oleh stalaktit. Dua ratus orang berjejalan di sana. Memeluk perut mereka masing-masing untuk menahan lapar. Singkong-singkong terakhir yang menjadi makanan mereka selama berada di sana sengaja disimpan, berharap dengan menghematnya mereka bisa hidup lebih lama di tempat menyedihkan itu.
Sengaja dipilihnya sebuah tempat di sudut sempit gua, sedikit menjauh dari seorang ibu muda dengan anaknya yang menangis akibat kelaparan. Sudah berapa lama mereka ada di sini? Seminggu? Dua minggu? Di dalam kegelapan, dia sama sekali tidak dapat menghitung jumlah terbitnya matahari. Baru dua kali dia dapat giliran tugas berjaga, itu pun selalu di malam hari. Saat pagi datang, seseorang akan menggantikannya mencengkram senjata dengan tegang dan memandang lurus ke depan, mendeteksi pergerakan. Yang mereka kenal di gua ini hanya gelap. Gelap dan takut. Juga lapar.
Di sampingnya, duduk seorang laki-laki tua, rambutnya putih, uban semua. Matanya tampak sayu. Napasnya pendek teratur, sesekali terbatuk pelan. Kutil besar ada di wajahnya yang berkerut termakan usia. Bajunya yang kotor berbau pesing dan busuk, tampaknya si kakek sudah tak memiliki tenaga untuk sekedar membersihkan tubuhnya lagi.
Senyum miring yang diberikan sang kakek saat Naruto duduk di sampingnya membuat pemuda itu mengernyit, sedikit ketakutan.
"Apa orang-orang itu sudah datang, Nak?"
Naruto ingin bertanya siapa kiranya orang-orang yang dimaksud kakek tua itu, namun sisi naifnya lenyap. Dia tahu pasti siapa yang dimaksud. Pemimpin pengamanan mereka—yang memaksanya untuk berjaga dengan membawa senapan—sudah menyiapkan sebuah jawaban untuk orang-orang yang menanyakan hal itu. "Mereka tidak akan datang. Kita aman di tempat ini."
Tentu saja itu hanya bohong semata.
Bahkan bocah-bocah yang masih bergelung di pelukan ibunya pun pasti sudah mendengar kabar burung yang beredar. Gua ini, tempat persembunyian mereka, sudah bocor ke telinga orang-orang itu—ke telinga mereka yang mengaku sebagai pihak yang benar dan menyalahkan mereka yang mengambil jalan berbeda.
"Anak kecil sepertimu masih butuh banyak waktu untuk belajar menipu, Nak." Si kakek terkekeh pelan. "Aku sudah menghabiskan masa mudaku dengan menyelinap ke gudang-gudang persenjataan Jepang dan membuka jalan masuk bagi para pejuang kita. Butuh lebih dari sekedar tipuan murahan untuk membuatku percaya."
Mata Naruto membulat mendengar kata-kata si Kakek. Kemudian dia mendengus pelan. Dirapatkannya kakinya ke dada, berusaha mengurangi belaian angin yang menggigilkan tulangnya. "Kau memang penipu hebat, Kek. Aku nyaris percaya jika kau adalah seorang pejuang, tadi."
"Jadi kau tak mempercayaiku, Nak?"
"Jika benar kau membantu negara ini untuk mencapai kemerdekaan mutlaknya, seharusnya sekarang kau sedang duduk-duduk di luar sana, menikmati suara senapan yang menembus kepala-kepala orang sembari minum kopi hitam. Bukannya meringkuk di sini dengan tubuh kotor tak terawat. Bersiap mati kapan saja tanpa ada harapan lagi."
"Pahlawan." Si kakek hanya terkekeh pelan. "Masa itu sudah lama berlalu, Nak. Orang-orang mulai melupakanku. Hanya anak-anak kecil saja yang mau mendengarkan kisah-kisah penyelundupanku dulu. Sudi bertepuk tangan dengan wajah bangga untuk si tua renta ini. Sekarang semua sudah berubah." Kakek itu membiarkan waktu berlalu dengan heningnya. Memejamkan matanya untuk sekedar bernostalgia tentang masa muda yang begitu dibanggakannya. "Satu-satunya yang diminta untuk kakek tua di akhir hidupnya hanyalah sedikit kebanggaan untuk tetap berkorban pada bangsanya. Tapi siapa yang peduli? Tidak ada. Kecuali … partai itu."
Naruto rasa, dia tahu kelanjutannya. Saat tangan tidak dapat meraih sesuatu, saat semua orang mengatakan dia tak mungkin melakukannya, tangan orang lain yang terulur itu adalah satu-satunya yang dimilikinya. Menjanjikannya akan kehidupan yang sempurna, gambaran ideal masa depan yang ingin diraihnya.
Menggapainya, dan merasakan segalanya berjalan lebih baik dibandingkan sebelumnya. Naruto mulai mengenal arti akan bersyukur. Hingga tiba-tiba sebuah perkembangan yang tak terduga terjadi, menghancurkan segala pondasi hidup yang dibangunnya.
"Kek," Naruto memanggil si kakek tua yang menyandarkan tubuhnya pada dinding kasar gua. Memejamkan matanya. "Apa Kakek bisa percaya jika orang-orang partai melakukan hal sekeji itu?"
"Percaya dan tidak percaya. Apa yang bisa aku pegang saat ini setelah negara yang begitu kupuja dengan tiap tetes darahku mengkhianati diriku?" si kakek bergumam lelah. Menarik napas sekali dua kali. "Aku sudah banyak melihat pembunuhan. Yang dilakukan untuk negara, yang dilakukan untuk kelompok, yang dilakukan untuk kawan dan saudara, yang dilakukan untuk diri sendiri. Sekali melihatnya, aku sudah tahu. Tindakan keji itu adalah pembunuhan yang dialibikan untuk negara dan kelompok, namun merupakan sebuah obsesi manusia—obsesi pribadi."
"Kalau begitu, mengapa mereka melakukan ini pada kita?"
"Jangan bertanya padaku. Aku ini hanyalah orang tua yang bosan menjalani hidup. Dijadikan tumbal untuk hal yang tidak kulakukan adalah hal terakhir yang perlu kulakukan untuk menyempurnakan kehidupanku."
Tumbal.
Ya, itulah mereka.
Tumbal dari sebuah permainan raksasa yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Yang selama ini hanya pernah didengarnya dari bisik-bisik orang tuanya, yang sama sekali tidak dia ketahui artinya karena tak peduli …
… politik.
Naruto sama sekali tidak mengerti. Yang dia tahu, dia hanyalah anak seorang kepala desa. Yang dijanjikan harapan dan kebahagiaan lewat tangan-tangan yang merekrutnya tepat setelah dia lulus di sekolah menengahnya. Organisasi sederhana, kumpulan dari petani-petani miskin yang panennya selalu dirampas oleh orang-orang yang lebih berkuasa. Dia menolong mereka, memberikan bantuan, memberikan perlindungan. Dan orang-orang mulai bersikap lebih baik padanya, menghormatinya dan mengaguminya—lebih dari yang selama ini mereka tunjukkan pada keluarganya.
Semua berakhir kira-kira tiga bulan lalu. Saat kabar dan kepanikan menyebar di desa, membuat orang-orang lari ke area persawahan dan gunung, menghindari tembakan membabi buta dari para pria-pria besar dengan bendera negara di seragamnya.
Apa yang terjadi?
Mengapa jadi begini?
Itulah yang terus ada dalam pikirannya selama dia mengikuti kerumunan orang yang bergelap-gelapan menyusuri gua tersembunyi. Mendengar kabar pembunuhan yang konon didalangi oleh partai yang membawahi organisasinya. Dan sekarang, orang-orang yang terlibat dengan partai itu akan disingkirkan—dibunuh, dipenjara atau mungkin diusir dari negara ini.
Suara ledakan pertama terdengar, menggema di seluruh gua. Membuahkan jerit kengerian para wanita yang ada di sana. Anak-anak mulai menangis. Beberapa orang bangkit berdiri, beberapa memutuskan untuk meringkukkan tubuhnya lebih dalam, beberapa hanya duduk memandang lantai batu dengan pasrah, menanti kematian datang mendekat—Naruto adalah salah satu yang melakukan hal terakhir.
"Mereka sudah datang."
Pikirannya disuarakan oleh si kakek tua.
Pria itu terkekeh pelan. "Dulu aku bermimpi, saat aku mati, aku akan dikubur di tanah perkuburan bagus dengan nisan batu bertuliskan namaku. Tidak lupa ucapan terima kasih atas jasa-jasaku pada negeri ini. Namun sepertinya … aku tidak akan pernah memilikinya."
Suara tembakan semakin sering terdengar, beserta dengan pekik-pekik ngeri orang-orang di luar sana. Naruto membuka mulutnya, "Kenapa kau mengatakannya padaku di saat seperti ini, Kek?"
"Karena beda denganku. Kau muda dan kuat. Bukan seorang renta yang menunggu kematiannya. Masih ada hal yang bisa kau lakukan selain duduk diam di sini. Menanti peluru menembus badanmu, Nak."
Naruto memandangnya dalam diam. Tahu bennar maksud si kakek. Tapi dia ragu.
Si kakek kembali memamerkan senyum miringnya yang mengerikan, entah mengapa terlihat tidak seburuk tadi. Terbayang kebanggaannya akan masa muda yang dipenuhi kecintaan pada tanah air di wajahnya. "Nak, di sini ataupun di sana, kau tetap akan mati. Kau tetap akan mendapatkan gelar pemberontak. Kau tetap tidak akan mendapatkan tanah pekuburan yang layak—dikubur ramai-ramai sudah sangat beruntung sepertinya. Dan kau … tidak akan memiliki nisanmu."
"Tapi, apa yang akan kubela? Partai sudah membunuh di luar sana! Aku yang membela mereka hanyalah sampah!"
"Itukah yang kau lihat selama ini dari partai?"
Naruto kembali teringat ucapan terima kasih dan senyum para petani yang selama ini dia bantu. Menunduk dalam-dalam. "Aku hanyalah bocah naif yang melihat Partai sebagai sebuah organisasi untuk membantu mereka yang lemah dan tak berdaya. Mudah tertipu dengan segala kebaikan yang mereka tampilkan padaku." Naruto mengepalkan tangannya. "Namun, Partai yang seperti itulah yang telah mengubah hidupku. Yang telah membuatku mengerti arti penting hidup bersama orang lain."
Si kakek terkekeh pelan. "Hei, Nak. Kau tidak akan punya nisan nantinya. Tidak ada yang akan mencetak namamu sebagai pahlawan atau sebagai penghianat. Kau akan lenyap begitu saja ditelan oleh sejarah. Jadi apa bedanya diam dan melawan?"
"Tidak ada."
Naruto bangkit dari tubuhnya. Kuyup di bajunya masih belum kering, dan gigil di kulit tulangnya semakin parah saja. Namun dia berlari, menceburkan diri ke air dingin gua dan merayap sembari menyusuri dindingnya secepat yang dia bisa. Menuju ke mulut gua.
Menuju ke akhirnya.
Menuju ke keabadian berpikirnya.
Satu pikiran melekat dalam otaknya.
"Aku tidak salah. Yang salah adalah situasi yang menempatkanku sekarang."
.
…*…
.
Maka dia tidak akan pernah menjadi pahlawan.
.
…Chapter 1 END…
.
A/N:
Terima kasih sudah membaca kisah ini.
Aku tidak bermaksud membela PKI lho. Tapi ya … ada korban lain selain mereka yang sudah dibunuh PKI.
Banyak dari mereka yang menjalani hukuman tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seperti Naruto dan Jiraiya di kisah ini. Mereka hanya melihat kelompok yang mencoba mensejahterakan para petani, dan tiba-tiba saja mereka dicap sebagai penghianat bangsa. Hal seperti itu, bukankah juga tidak adil?
Oh ya latar cerita ini adalah Goa Umbul Tuk yang pernah digunakan untuk persembunyian PKI sebelum dibabat oleh Operasi Trisula. Setelah Operasi selesai, mulut gua ditutup pakai batu untuk mencegah ada PKI yang bersembunyi lagi di sana.
Mungkin itu saja yang bisa aku sampaikan. Mohon kritik dan sarannya ya ^^
.
Yogyakarta, 30 September 2015.
Hime Hoshina
