The Photograph

Author: SheilaLuv, yang semenjak pertama kali ngebaca Prince of Tennis langsung totally devoted to Tezu/Fuji. Don't blame me, blame Konomi-sensei's artwork and characterization! Hehe…kidding…

Pairing: Tezuka/Fuji…what can I say? I truly love them to be together! Pokoknya, walau dalam fanfic, aku usahakan supaya tetap in-character. Konomi-sensei, boleh nggak Tezu/Fuji dibawa pulang? (dodges rotten tomatoes)

Summary: Bagi Fuji, kehadiran Tezuka adalah sesuatu yang terasa wajar di kehidupannya. Apa jadinya bila ia menyadari bahwa tak selamanya waktu mengizinkan Tezuka untuk ada di sampingnya?

Disclaimer: Takeshi Konomi. Me no ownie, me no richie. Nggak pernah nyangka ini fanfic Tenipuri pertama dalam bahasa Indonesia yang berani saya publikasikan. Fanfic ini agak berunsur BL (boys love) jadi bagi yang nggak suka jangan tersinggung. Bagi yang suka, on with the story, and don't forget to leave comments! Enjoy!


Matahari sore memancarkan sinarnya yang keemasan, menyinari daun-daun yang berjatuhan ditiup angin sepoi-sepoi. Di Seishun Gakuen, kegiatan klub tennis tetap berjalan sebagai mana biasanya sore itu. Langkah-langkah kaki yang berlari, mengejar bola, maupun teriakan bersemangat seperti,"Seigaku Fiiight!" tetap terdengar menyemarakkan atmosfer yang biasa terasa.

Fuji Shusuke menengadah, menatap langit biru cerah dengan awan putih yang berarak pelan. Dia memejamkan mata sejenak, menikmati hembusan angin yang membelai helai-helai rambut cokelatnya. Benar-benar hari yang indah. Fuji bukan tipe orang yang terlalu berpikir muluk-muluk tentang sesuatu, namun dia setuju bahwa keindahan dapat hadir dengan bermacam cara yang natural.

Sebuah suara yang tegas dan dalam memecah lamunannya.

"Anak kelas satu, larilah lebih cepat! Perkeras suara kalian!" Tezuka Kunimitsu, kapten klub tennis Seigaku berseru lantang. "Kelas 2, segera ke lapangan C dan berlatih Swing! Kelas 3 ke lapangan D, satu set Stroke! Anggota regular ke lapangan A dan B!"

"Baik, kapten!" mereka menjawab serempak, bergegas menuju posisi masing-masing.

Sementara itu, anggota regular yang kini berkumpul di pinggir lapangan sudah bersiap-siap menghadapi porsi menu latihan yang biasa. Percakapan santai di antara mereka terhenti ketika Tezuka menghampiri.

"Baik, semua,"ucap Tezuka tegas seperti biasa,"Inui telah menyusun program latihan baru untuk mempersiapkan kita menghadapi pertandingan bulan depan. Inui, lakukan."

Inui maju ke depan, sambil membetulkan letak kacamatanya, sementara tangan kirinya mengapit buku catatan yang selalu dibawanya kemana pun.

"Oke, hari ini kita akan meningkatkan kekuatan otot tangan dan pergelangan kaki. Masing-masing dari kalian harus mengenakan pemberat dengan kekuatan berlipat ganda, agar otot kalian cepat terbiasa dengan tekanannya."

Tezuka berdehem. "Lalu, kita adakan latih tanding antar anggota untuk melihat efeknya. Tadi Inui sudah menentukan susunan pemainnya. Oishi-Echizen, Fuji-Kikumaru, Kaido-Kawamura, Momo-Inui."

"Bagaimana dengan Buchou sendiri?" tanya Ryoma dengan pandangan ingin tahu.

"Aku akan melawan siapapun yang merasa dirinya cukup kuat untuk menantangku."

Mereka semua menggangguk dengan semangat membara.

Momo-lah yang pertama kali berseru,"Yosh! Nggak masalah!" Dia langsung maju dan memasang pemberat di pergelangan tangan dan kakinya. "Ayo, Inui-senpai, aku siap!" tidak menghiraukan desah ketakutan anggota lain. Sudah menjadi rahasia umum, Inui bisa menjadi super menakutkan di lapangan tennis dengan taraf yang sama saat dia menyodorkan jus yang menjadi momok bagi semua anggota.

"Fusshuu…aku nggak akan kalah,"Kaido mendesis, dan tanpa basa-basi lagi langsung siap beraksi.

Ryoma membenamkan topinya. "Che, mada-mada da ne."

"Hoi, hoi, ochibi! Kau semangat banget, nya!" Eiji mengalungkan lengannya di sekeliling keher Ryoma dengan ceria, yang langsung diprotes Ryoma ("Eiji-senpai, sesak nih…"). Di sampingnya, Oishi dan Taka-san tersenyum melihat tingkah mereka berdua.

"Fuji?" kata Tezuka heran, karena Fuji tetap berdiri di tempatnya tanpa menghiraukan gerakan teman-temannya yang sudah mulai bertanding, sementara yang lain menonton dari pinggir lapangan. Dia menatap Tezuka dengan pandangan aneh yang sulit dimengerti.

Inui yang memperhatikan sikap Fuji yang seperti itu langsung membuka buku catatannya dan menuliskan sesuatu sambil bergumam,"Aku tak pernah melihat Fuji menatap Tezuka seperti itu. 90 persen kemungkinan dia menyadari sesuatu yang baru tentang Tezuka tanpa aku ketahui. Ii data."

"Fuji? Kau baik-baik saja?" kini nada suara Tezuka mengandung sedikit kekhawatiran.

Fuji kembali tersenyum seperti biasa. Dia mengedikkan bahunya sedikit.

"Malam ini, Yuuta sudah setuju untuk makan malam bersama di rumah. Aku ingin membelikan makanan kesukaannya. Bisakah kau temani aku sepulang latihan, Tezuka?"

"Hn, baiklah," jawab Tezuka singkat. Dia tak bisa mengira apa maksud Fuji kali ini. Jenius dari Seigaku ini memang sulit diduga, namun Tezuka yakin, Fuji bisa terbuka padanya.

"Thanks," balas Fuji ceria. Keseriusan yang tadi tersirat di sorot matanya hilang tak berbekas. Dia memasang pemberat dengan santai, dan mengambil raket dari tas.

"Fujiko-chan! Sedang apa kau? Sebentar lagi giliran kita, lho!" Eiji berseru memanggilnya.

"Ok, Eiji, aku datang." Fuji lalu melewati Tezuka tanpa berkata sepatah kata pun lagi.


Latihan selesai dan kegiatan klub untuk hari ini dibubarkan. Tezuka mengatur agar seluruh peralatan dibereskan. Mereka mengganti pakaian di ruang klub. Sambil berjalan keluar dari ruangan klub, berbagai komentar saling dilontarkan mengenai pertandingan tadi.

"Mou, Fujiko-chan kejam!" sungut Eiji, terengah-engah. "Dia tak memberiku kesempatan sedikit pun!"

Fuji cuma tersenyum,"Saa…rupanya aku bertindak sedikit terlalu keras. Wari wari."

"Mada-mada da ne, Eiji-senpai," sambung Ryoma cuek. "Oishi-senpai juga bernasib sama, telak dengan skor 6-2."

Oishi cuma nyengir menanggapi komentar Ryoma. "Hari ini Echizen benar-benar semangat." Dia menepuk-nepuk bahu Ryoma.

"Itu kan gara-gara Oishi-senpai saja yang loyo. Eiji-senpai juga, kemarin nilai mid test-nya dapat nilai merah kan?" balas Ryoma.

Langkah Eiji terhenti. "Hwaa…Echizen kejam! Momo, pasti kau yang ngebocorin soal nilaiku sama si chibi ya!" Eiji mulai merengek. "Aku kan' sudah berusaha…sampai minta diajari Fuji juga, tapi…"

"Sudah, lain kali bisa diperbaiki, kok. Itu hal yang wajar,"kata Taka-san menenangkan.

"Sudahlah, Eij-senpai, itu kan' benar adanya. Aku nggak bermaksud mengejek, kok," Momo nyengir minta maaf.

Kaido mendesis kesal. "Fusshuu…Momo no baka. Setidaknya control ucapanmu sekali saja,"timpalnya yang cukup kesal dengan kericuhan ini.

"Berhenti memanggilku begitu, dasar Mamushi! Kau dan desisan tololmu itu cuma membuat kepalaku sakit!" Momo langsung naik darah.

Beberapa orang menghela napas, tahu kalau keributan yang biasa akan segera dimulai.

"Ngajak ribut ya?" seru Kaido.

"Ya! Dasar sentimetal!" balas Momo sengit.

Sementara Taka-san dan yang lain-lainnya berusaha melerai, Oishi melihat Tezuka berjalan menghampiri setelah selesai melapor pada Ryuzaki-sensei. "Hei, sudah. Hentikan, kalian berdua,"Oishi memperingatkan, melihat Tezuka sudah dalam jarak pandang. Kalau dia melihat kericuhan di klub, mereka semua pasti disuruh lari 100 putaran, walaupun kegiatan klub sudah dibubarkan. Inui rupanya memperhatikan hal yang sama. "Presentase Tezuka akan menyuruh kita lari 100 putaran 97 persen,"gumamnya menyimpulkan hanya dengan melihat kedutan di alis Tezuka.

"NANI?!" seru mereka semua, lalu Momo langsung berhenti dan diikuti Kaido (walau keduanya masih tidak puas) yang mendelik.

"Ada masalah?" tanya Tezuka, tapi langsung disela Fuji yang tanggap akan situasi,"Tidak ada apa-apa, Tezuka-buchou," jawabnya. "Hanya riak-riak kecil dalam pertemanan. Ya kan, semuanya?"

"Ya, begitulah, buchou,"sambut Momo cepat. "Yuk, pulang, Echizen!" ajaknya pada Ryoma yang sedari tadi hanya diam. Ryoma lalu berjalan mengikuti Momo ke tempat parkir sepeda di sisi lain lapangan.

Kaido cuma bergumam,"Sampai besok,"lalu beranjak pergi diikuti Inui, Taka-san, Eiji dan Oishi (yang sudah setuju mampir ke rumah Eiji untuk mengajarinya materi tes Bahasa besok).

"Hati-hati di jalan ya," kata mereka pada Tezuka dan Fuji. Mereka berdua menatap kepergian teman-temannya selama beberapa saat. Langit senja saat itu bersinar dengan semburat keemasan. Fuji menoleh ke arah Tezuka, sorot mata cokelatnya tampak semakin menawan ketika disinari cahaya mentari sore.

"Nah, ayo kita pergi, Tezuka?" ajak Fuji.

Tezuka mengangguk. Membiarkan langkah-langkah kakinya mengikuti kemana pun Fuji pergi.


"Terima kasih sudah menemaniku, Tezuka," Fuji tersenyum ceria sambil menyuapkan es krim cokelat yang dipesannya. Tadi, mereka mampir ke toko kue yang terkenal enak di kota, karena Fuji ingin membelikan Yuuta raspberry pie ("Yumiko-neesan sedang sibuk, jadi dia tak sempat memasak,"ucapnya ringan). Selanjutnya, mereka ke toko buku untuk membeli buku tentang fotografi yang sudah diincar Fuji sejak lama. Sebagai tanda terima kasih, akhirnya Fuji mengajak Tezuka melepas lelah di Ice Cream Corner. Disinilah mereka berada sekarang, berhadapan, dengan es krim cokelat pesanan Fuji dan es krim vanilla yang dipesan Tezuka. Langit di luar sudah mulai gelap.

"Tak masalah,"jawab Tezuka singkat. "Lagipula, kau sudah lama menginginkan buku itu, kan?"

Fuji mengangguk. Tentu saja, Tezuka tak pernah lupa tentang hal itu. "Mungkin dengan bantuan buku itu, aku bisa mendapatkan angle yang unik saat memotretmu,"jawabnya polos tanpa rasa bersalah.

Tezuka menatapnya dengan pandangan "ternyata-kau-belum-jera-juga". Sudah beberapa kali dalam jangka waktu dua bulan ini, Fuji berusaha memotret Tezuka (terutama saat tersenyum, yang jarang sekali dilakukannya), sampai-sampai Tezuka kehilangan kesabaran. Seingatnya, terakhir kali usaha itu gagal dan Tezuka benar-benar marah. Fuji sampai harus menemui Tezuka sendiri sepulang latihan dan berkata,"Maaf, Tezuka-buchou." Namun, saat itu Tezuka masih dapat melihat tekad pantang menyerah di kedua matanya.

"Sebenarnya, untuk apa kau melakukan semua itu?" tanya Tezuka, dia menatap Fuji tajam, meminta jawaban yang masuk akal. Fuji tak gentar dengan tatapan itu, dia malah balas memandang Tezuka, bola matanya yang biru jernih menunjukkan sorot menantang, sekaligus menggoda.

Fuji tertawa kecil melihat ekspresi Tezuka. "Kau tahu…dalam fotografi, keindahan itu hal yang terpenting. Aku melakukannya karena aku mencintai keindahan yang kulihat. Hanya itu."

Tezuka tertegun. Dia memilih diam.

"Nah, menyerah pada keindahan, bukankah itu hal yang manusiawi, Tezuka?" lanjutnya. "Apalagi jika keindahan itu bukan ilusi, tapi keindahan yang bernyawa…"

Tak sepatah kata bantahan keluar dari mulut Tezuka. Fuji tak mengatakan apa-apa lagi, dia menatap matahari yang perlahan-lahan terbenam di ufuk barat.

"Yuk, pulang. Orang tuamu bisa khawatir kalau kau terlambat,"ucapnya setelah keheningan berlangsung lama. Tezuka sungguh tak mengerti.


Author's note: Nah, gimana? Cukup puas dengan ceritanya? Jujur aja, ini fanfic Tenipuri pertama yang saya tulis, so, kalau ada kekurangan maafin yah…saya tetap terus berusaha supaya fanfic ini jadi sebagus yang kalian harapkan dan pantas dibaca. Saran dan kritikan ditunggu lho…dan kalo ada yang ngerasa judul fic ini rada belum nyambung dengan ceritanya, di chapter berikut kalian bakal tahu alasannya, karena ada special appearance dari salah satu anggota Hyoutei! (silahkan tebak siapa, hehe…).

Thanks udah meluangkan waktu buat ngebaca, tulis comment ya! Ja matta ne!