Disebuah bangunan megah, lorong-lorong Nampak sepi mencekik. Daun-daun pohon berdesir tatkala angin meniupnya jahil. Hanya nampak beberapa orang yang berjalan memecah keheningan diantara lorong-lorong berwarna coklat tua itu.

"Kh, juudaime pasti akan marah karena aku telat melaporkan laporan ini, ck—" Seorang pria berjubah merah panjang dan berambut keperakan nampak mengumpat sambil membawa beberapa kertas disekitar lorong.

Namun umpatannya berhenti ketika didepannya muncul seseorang.

[Gokudera-kun.]

Seorang berpakaian jubah orange gelap berdiri tak jauh dari Gokudera Hayato. Gokudera agak menelan ludah kaget, sebelum ia membungkuk sopan.

"Juudaime, maaf, ini—" Omongan Gokudera kembali terhenti saat Sawada Tsunayoshi mengangkat tangan kanannya.

Dan jemarinya bergerak membentuk sebuah sandi.

[Tidak apa, Gokudera-kun, hanya telat sehari..] Lalu Tsuna tersenyum lembut pada Gokudera. Membuat pria berambut gurita ini terharu.

"Te—terima kasih, juudaime, lain kali saya tidak akan lalai lagi.." Tetap, Gokudera meminta maaf pada Tsuna. Tsuna menggeleng maklum. Jemarinya membuat gerakan sandi lagi.

[Nanti taruh saja dimeja, aku mau keluar sebentar..] Setelahnya, Tsuna berjalan melewati Gokudera. Sang tangan kanan menoleh panik.

"Juudaime, apa tidak berbahaya jika Anda berjalan-jalan sendirian..?" Tanya sang tangan kanan. Tentu saja, Tsuna belum tentu bisa selamat jika hanya berjalan-jalan dihalaman belakang istana tersebut.

Tsuna membalik sebentar.

[Aku baik-baik saja, lagipula dihalaman ada Yamamoto..]

Gokudera menghela napas sebentar.

"Baiklah, juudaime." Lalu sang tangan kanan menghilang di tikungan lorong itu.

Tsuna terdiam menatap kepergian teman sekaligus tangan kepercayaannya itu, menatap teriknya matahari dari jendela besar yang ada di lorong itu, sebelum melanjutkan jalannya.

'Indahnya hari ini..' Gumam Tsuna mengulum senyum kecil.


PRINCE WHO DUMB

Katekyo Hitman Reborn Amano Akira

FanFiction Ameru-Genjirou-Sawada

Selama sejarah Kerajaan Vongola, baru sekali ini anak dari Sawada Nana dan Sawada Iemitsu, pasangan mahkota dibawah naungan kyuudaime, Timoteo, mengalami distabilitas.

Sawada Tsunayoshi, mengalami bisu—alias tunawicara.

Banyak yang meremehkan kemampuan si kecil Tsuna. Bayangkan saja, bicara saja tak mampu, apalagi memipin kelak. Namun Tuhan sepertinya memberikan kelebihan pada orang yang berkekurangan.

Walapun Tsuna tunawicara, namun ia tidak tunarungu—itu yang pertama. Tsuna juga dapat membaca isi hati orang didekatnya hanya dengan menatapnya—itu yang kedua. Lalu, Tsuna juga memiliki kemampuan yang disebut indigo—itu yang ketiga.

Sungguh ajaib. Oleh karena itu jangan meremehkan anak Tuhan.

Dan sejak sang ayahanda meninggal muda, tepatnya saat Tsuna baru berusia 10 tahun, Tsuna semakin menunjukkan potensialnya. Ia sangat arif dalam memimpin kerajaannya. Rakyat sangat menghormatinya, seakan lupa dengan apa yang dialami Tsuna. Timoteo, sang kakek, merasa bangga memiliki cucu dan seorang pangeran muda yang berkualitas.

Distabilitas ternyata tak selamanya buruk.

Tapi terkadang Tsuna merasa tak nyaman dengan apa yang dialaminya. Ia merasa dikekang. Ini seperti burung dalam sangkar emas. Mau sampai kapan Tsuna hanya berkeliling istana? Tsuna ingin sekali melihat dunia luar.

.

.

oOo-PRINCE WHO DUMB-oOo

.

.

[Kaa-san, Tsuna ingin sekali bisa keluar kerajaan…] Sawada Nana memperhatikan gerak jari sang putra saat mereka berdua ditaman kerajaan. Manik coklat Nana agak membulat melihat permintaan sang anak.

"Tsu-kun, kalau kau keluar dari sini, ibu tidak akan punya penerus lagi.." Jelas Nana pada Tsuna. Tentu Tsuna kecewa, namun apa daya, ia sebagai keturunan bangsawan, tak boleh sembarangan keluar area istana.

Iris Tsuna agak meredup—kecewa. Namun ia tersenyum maklum.

[Tentu, maaf, ibu..] Nana tersenyum. Tsuna memang pengertian.

"Ah, ibu akan menemui Bianchi, apa kau mau ikut..?" Tanya Nana pada sang pangeran muda. Tsuna menggeleng.

Bianchi, sang kepala koki kerajaan, amat sangat fettish dengan Tsuna. Sekalinya bertemu, Tsuna bisa dipeluk (baca : dicekik) oleh Bianchi. Membuat Tsuna agak takut menemuinya.

"Ahaha, ibu tahu kau takut, nah, ibu tinggal, yaa.." Nana bangkit, lalu meninggalkan Tsuna.

[Seperti apa…dunia luar..]

Tsuna pernah berpikir untuk kabur dari istana—hanya untuk sekedar jalan-jalan disekitar kampong. Tapi itu jelas tidak mungkin. Karena kemanapun, sang jendral, Reborn, dan kapten, Collonello, selalu bisa menangkapnya. Kadang membuat Tsuna dongkol sendiri.

Baru saja Tsuna akan angkat kaki, terdengar suara mencurigakan.

KRASAK

KRUSUK

BRAK! BRUK!

'—!' Tsuna memasang kuda-kuda siaga.

"Hn, dasar. Mana kacamataku?" Tanya saura bariton yang terdengar dari arah semak-semak. Tsuna menganga.

Seorang pria bersurai hitam kelam merangkak keluar dari arah semak-semak. Ia tampak merogoh-rogoh sesuatu ditanah. Sejerumus kemudian Tsun atahu kalau orang itu mencari kacamata berlensa hitam yang tergeletak dekat dengan kaki Tsuna.

Tsuna mengambilnya, lalu meletakkannya ditelapak tangan orang tadi. Orang itu agak terperanjat merasakan ada genggaman ditangannya.

"Siapa itu?! Kamikorosu!" Orang itu berdiri siaga sambil mengancungkan benda metal panjang dari balik jubahnya. Tsuna kaget, mundur beberapa langkah.

[Eh, tunggu…] Tsuna memperhatikan lagi gerak-gerik orang itu. Ia nampak mencari-cari bayangan 'orang' yang telah memegang tangannya tadi. Tsuna tahu, ini awal dari segalanya.

[Eeeh, orang itu buta..!]

.

.

.

== TBC ==


Balik lagi!

.

malem sabtu, internet abal2, koneksi ancur, ide sumfek, mamfet, uring2an karena sekolah gajelas ==)

tapi untunglah cerita ini publish juga :) /

.

berawal dari permintaan salah satu reviewer yg minta pair 1827, dan ide yg main muncul saja dari langit saat author bengong didepan kelas matematika...dan akhirnya lahirnya fic ini!

.

.

okey! tunggu chapter berikutnya (klo publish.. #plakk *dirajam satu RT*)