Title: 家で
Summary: Side story dari 電車で. Satu hari tanpa keberadaan Piko di apartemen mereka sangatlah membosankan. Inilah cerita tentang Sekihan yang sendirian di apartemen, menunggu balasan e-mail dan jawaban telepon dari Piko. Sekihan's POV. Slight SekiPiko. Oneshot.
Main character(s): Sekihan & Piko
Main pair(s): -
Slight pair(s): SekiPiko
One-sided pair(s): -
Rate: T to be safe.
Genre: General/Hurt/Comfort
(c) Seisou Yuta
Masih berada di atas tempat tidurku, aku meregangkan tubuhku. Kemudian, aku mengambil kacamataku dan melihat ke arah jendela. "Sudah pagi, ya…" gumamku pelan. Aku lalu melihat ke arah jam beker di samping tempat tidurku. Waktu menunjukkan pukul 7.17. Hee, tumben-tumbennya, aku bangun pagi sekali. Biasanya, kan, aku selalu bangun sekitar jam 9. Atau lebih.
Selama beberapa saat, aku terus duduk dan diam di atas tempat tidurku, sampai tiba-tiba, sebuah ide melintasi pikiranku.
Aku menyengir jahil.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan keluar kamarku, menuju kamar sebelah (kamar Piko-tan), membuka pintunya secara perlahan, dan kemudian merubuhkan diriku di atas tempat tidurnya, bersiap memberikannya serangan ciuman selamat pagi. Jam segini, Piko-tan pasti belum bangun, fufufu.
"Pi-ko-taaaaaa~n! O-ha-yooooo~u!"
Brugh!
"Are?"
Begitu tubuhku mendarat di atas tempat tidur Piko-tan, hanya ada suara 'brugh!', tidak ada suara Piko-tan yang merintih kesakitan karena kutindih atau suara marahnya yang imut.
Dengan segera dan panik, aku beranjak, menarik selimutnya, dan hanya mendapati beberapa buah bantal dengan banyak boneka Pikochū yang sebelumnya tertutup selimut.
Wajahku memucat. Piko-tan… hilang.
"PIKO-TAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAN!"
(Samar-samar, aku bisa mendengar suara seseorang meneriakkan "Berisik!")
―Oh, tunggu, Piko-tan pasti sudah pergi kerja.
Aku terduduk lesu, menghela nafas. Ya ampun, aku panik dan khawatir seperti orang bodoh saja.
Aku lalu kembali ke kamarku, mengambil handphone-ku, dan mengetik e-mail kepada Piko-tan.
To: Piko-tan
Subject: Piko-tan (^o^)
Message:
Ohayō, Piko-tan~!
Piko-tan di mana? Begitu aku bangun dan mau memberikan ciuman selamat pagi ke Piko-tan, Piko-tan sudah nggak ada di kamar lagi.
Piko-tan pergi ke mana? Aku khawatir, lhooooooo (ノД`)・゜・。
Selesai mengirimnya, aku menghela nafas lagi.
Aku duduk di atas tempat tidurku, menunggu jawaban dari Piko-tan.
Ketika 60 detik telah berlalu (iya, aku menghitungnya) dan masih belum ada jawaban dari Piko-tan, aku jadi semakin panik. Biasanya, dalam 15-30 detik, Piko-tan sudah akan membalas e-mail-ku.
Dengan panik, aku menelepon Piko-tan.
"Piko-tan, jawablah…" gumamku pelan.
Setelah beberapa saat menunggu, terdengar suara bahwa panggilanku tidak dijawab. Aku mencoba meneleponnya lagi, tapi masih juga tidak dijawab. Aku menjadi semakiiiiiin khawatir.
"Uhuuuu… Piko-taaaaaan…" Aku menjedutkan kepalaku ke tembok terdekat.
Kenapa Piko-tan tidak menjawab e-mail dan teleponku? Apa Piko-tan sedang marah padaku? T-tapi, kemarin, kami baik-baik saja. Piko-tan juga memperbolehkanku tidur di pangkuannya kemarin sore… A-apa jangan-jangan, Piko-tan diculik!? Diculik oleh segerombolan om-om mesum yang tidak tahu diri, lalu dibawa ke sebuah gedung sepi, lalu… lalu Piko-tan diikat, l-lalu di… di… AAAAAAAAAH!
Aku menghubungi Piko-tan lagi, tapi masih tidak dijawab.
Merebahkan diri di atas tempat tidur, aku mencoba menenangkan diri. "Cobalah berpikir positif, Sekihan." batinku. "M-mungkin, Piko-tan hanya sedang sibuk―sangat sibuk, sehingga tidak punya waktu untuk membalas e-mail dan menjawab panggilanku. I-iya, pasti begitu…"
Aku menggenggam erat handphone-ku, berharap Piko-tan akan segera menjawabku.
"Ah, lebih baik aku pergi membeli sarapan dulu." gumamku.
Aku beranjak keluar dari kamarku setelah mengenakan jaket dan mengirim e-mail ke Piko-tan lagi. Aku mengambil sepasang sandal dari rak sepatu, memakainya, lalu keluar dari kamar dan mengunci pintunya. Tak lupa memakai arloji dan membawa dompet.
"Kalau tak ada Piko-tan, rasanya membosankan, ya." Aku menghela nafas.
Aku menekan tombol lift yang menunjuk ke arah bawah dan menunggu sambil bersandar di dinding.
Ting!
Suara yang menandakan bahwa lift telah berhenti di lantai ini berbunyi. Aku masuk ke dalam dan menekan tombol 1. Pintu lift pun tertutup. Aku mengecek handphone-ku, berjaga-jaga jika Piko-tan membalas e-mail-ku. Tapi sayang, tidak ada balasan sama sekali di handphone-ku.
Piko-tan, apa salahku? Kau membuatku ingin menangis, tahu.
Aku mengetik e-mail lagi dan mengirimnya kepada Piko-tan, berharap dia akan membalasnya kali ini.
Aaah, Piko-taaaaan, aku kangeeeeeen. Dan khawatiiiiiir.
Aku keluar dari lift setelah angka 1 muncul di layar. Sepertinya, karena aura gelapku terlihat begitu jelas, orang-orang disekitarku mulai menatapku dengan tatapan aneh. Hah, peduli amat dengan mereka.
Aku berjalan keluar dari apartemen dengan cepat, lalu berlari-lari kecil ke sebuah konbini di dekat restoran favoritku dan Piko-tan. Aku menghela nafas, lalu masuk ke dalam konbini tersebut untuk membeli sebuah sandwich dan susu untuk sarapan dan sekotak bentō dan sebotol air mineral untuk makan siang.
"Piko-tan sudah sarapan belum, ya?" gumamku pelan.
Sambil menunggu antrian di kasir, aku terus memikirkan Piko-tan. Aku mencoba meneleponnya lagi, tapi tidak diangkat. Aku berusaha berpikir positif. Mungkin, dia memang sedang sibuk, sangat sibuk, sehingga tidak sempat membalas e-mail-ku atau mengangkat teleponku. Tapi tetap saja, ada pikiran-pikiran jelek yang terpikir olehku.
"Okyaku-san, kochira dōzo!" Suara si penjaga kasir membangunkanku dari lamunanku.
Dengan segera, aku melangkah maju menghampirinya.
"Semuanya jadi 1350 Yen." ujarnya setelah meng-scan barang-barang belanjaanku.
"H-hai." Aku merogoh saku celanaku, mengeluarkan dompet dan membayar sesuai harga yang disebutkan tadi.
"Terima kasih! Mohon datang kembali!" ujar penjaga kasir tadi dengan senyuman ramah.
Aku membalas senyumannya, lalu berjalan keluar sambil mengunyah sandwich-ku.
"Aku rindu senyuman manis Piko-tan…" gumamku dalam hati.
Entah sudah berapa kali aku menghela nafas hari ini. Aku berjalan-jalan tanpa arah di sekitar apartemen. Setiap beberapa menit berlalu, aku mengirim e-mail ke Piko-tan.
Setelah lelah berjalan, aku duduk di sebuah kursi panjang di sebuah taman dekat apartemen dan melirik arlojiku. Tanpa kusadari, waktu telah menunjukkan jam 12 lewat. Sudah tengah hari.
Oh, iya, kira-kira, Piko-tan sudah makan siang belum, ya?
Aku pun mengirim e-mail kepada Piko-tan lagi.
To: Piko-tan
Subject: Piko-taaaaaaaaaaan
Message:
Koncha, Piko-tan~! Sekarang, sudah siang, lho!
Piko-tan sudah makan siang, belum? Kalau belum, setelah Piko-tan selesai bekerja nanti, kita makan bersama di restoran dekat toko buku itu, yuk (´▽`)ノ
Ngomong-ngomong, cepat pulang, ya, Piko-tan, aku kangeeeeeeen.
Beberapa menit berlalu, aku memutuskan untuk menelepon Piko-tan lagi.
"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang sibuk atau sedang berada di luar area servis. Cobalah beberapa saat lagi."
Aku menekan tombol merah di handphone-ku.
Aku menundukkan kepalaku dan mengangkat tangan kananku secara tiba-tiba, memperoleh tatapan kaget dan aneh dari orang-orang.
Rasanya, aku ingin sekali membanting handphone ini ― handphone sial yang seakan berniat memisahkanku dengan Piko-tan. Aku tahu, ini bukan salah handphone-ku, tapi tetap saja…!
Aku menghela nafas lagi, memasukkan handphone-ku ke dalam saku celana. Aku lalu memijat keningku. Hari ini, aku kenapa, sih? ― Maksudku, sebelumnya, hal seperti ini juga pernah terjadi, dan tidak hanya satu-dua kali.
Dulu, Piko-tan juga sering pergi bekerja pagi sekali, sebelum aku bangun tidur. Ketika aku mengiriminya e-mail dan meneleponnya, dia sama sekali tidak menjawabnya. Piko-tan baru pulang larut malam beberapa hari kemudian.
Piko-tan juga pernah pergi ke luar kota dan ke luar negeri sampai beberapa bulan ― semuanya tanpa sepengetahuanku. Telepon dan e-mail-ku semuanya benar-benar tidak diacuhkannya juga.
Kejadian kali ini tidak separah yang sebelum-sebelumnya, tapi entah kenapa, aku merasa khawatir dan cemas sekali. Rasanya, seperti ada kejadian buruk yang akan menimpa Piko-tan.
Aku menggelengkan kepalaku, membuang jauh-jauh pikiran buruk itu. Itu semua hanya firasatku, tidak mungkin terjadi betulan, kan? Lagipula, Piko-tan selalu bilang kalau dia bisa melindungi dirinya sendiri.
Aku mengeluarkan handphone-ku dari saku celanaku, mengirim sebuah e-mail kepada Piko-tan, memasukkannya kembali, lalu beranjak dan kembali ke apartemen.
Sesampainya di dalam kamar, aku meletakkan plastik belanjaanku di atas meja makan. Kemudian, aku menyalakan televisi, mengirim e-mail ke Piko-tan dan mencoba menghubunginya lagi, sebelum akhirnya duduk dan mulai makan siang.
"… cehan seksual terjadi di mana-mana, ya."
"Iya, terutama di jalanan yang sepi dan di dalam kereta."
Mendengar topik yang sedang dibicarakan itu, masih sambil mengunyah nasi, aku menajamkan telingaku.
"Berdasarkan laporan para gadis yang telah menjadi korban, tersangka hanyalah satu orang, dan apa yang dia lakukan terhadap korban tergantung dari tempat dan situasi saat itu."
"Mengerikan sekali, ya. Apalagi, kasus ini sudah terjadi cukup lama, tapi sampai sekarang, pelaku masih belum tertangkap."
"Kasihan sekali para gadis itu." komentarku, setengah mengejek. Mood-ku menjadi jelek tiba-tiba. Huh, aku kan mau makan siang sambil bersantai, bukannya sambil mendengarkan berita serius seperti ini.
Aku baru saja mau mengganti channel, ketika tiba-tiba saja, aku kembali teringat dengan Piko-tan.
"… Jadi, kami sarankan kepada para gadis yang pulang malam hari sendirian, baik yang naik kereta ataupun yang tidak, untuk lebih berhati-hati dan waspada."
Aku tahu, Piko-tan itu laki-laki, sama sepertiku. Tapi Piko-tan terlihat feminim! Piko-tan juga cantik dan manis! Bagaimana kalau om-om mesum itu mengira Piko-tan sebagai seorang perempuan? Yang lebih parahnya lagi, bagaimana jika Piko-tan sedang berjalan sendirian di malam hari yang sepi, lalu om-om mesum itu muncul tiba-tiba, d-dan… Piko-tan… Piko-tan… Piko-tan di…
"PIKO-TAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAN!"
(Sekali lagi, aku mendengar suara seseorang meneriakkan "Berisiiiiik!")
Dengan panik, aku mengambil handphone-ku, mengirim e-mail kepada Piko-tan, lalu meneleponnya. Masih tidak dijawab.
Oh, Piko-tan, seandainya kau tahu betapa khawatirnya Sekki saat ini…
Aku mengiriminya e-mail sekali lagi, lalu berusaha menenangkan diriku.
"Apa lebih baik, aku datang ke tempat Piko-tan saja, ya?" gumamku pelan.
Tapi, kalau aku datang ke sana, Piko-tan pasti memarahiku.
Aku pun membayangkan apa yang akan ia katakan kepadaku.
"Apa yang kau lakukan di sini, kono okama!?"
"Buat apa kau datang ke sini, baka!?"
"Sudah aku bilang, aku bisa menjaga diriku sendiri!"
Ah, baru membayangkannya saja, aku sudah merasa sedih, hiks.
Aku lalu berusaha untuk mengalihkan perhatianku sendiri. Aku mengganti channel TV tadi menjadi channel senam, lalu mengikuti gerakan-gerakan instrukturnya. Setelah itu, aku memakan sebuah permen karet dan membuat balon yang lumayan besar.
Boom!
… Ah, terlalu besar.
Aku berjalan ke kamar mandi dan membersihkan mulutku yang terkena ledakan permen karet tadi. Argh, lengket sekali.
Setelah selesai dengan usaha keras, aku kembali ke kamar tidurku, lalu duduk dan berguling-guling di kasur. Aku bosaaaaaaaan.
Sambil memikirkan Piko-tan, lama-kelamaan, aku tertidur.
.
.
.
Ketika aku membuka kembali kedua mataku, aku mendapati diriku berada di sebuah tempat aneh. Hitam dan gelap. Dan aku seperti melayang di tempat ini.
"Di mana ini?"
Are? Kenapa suaraku terdengar bergema?
Aku melihat-lihat ke sekelilingku, dan pandanganku berhenti pada sosok Piko-tan dari belakang (aku selalu mengenali sosok Piko-tan yang manis dari belakang).
"Piko-taaan!" Aku memanggilnya, berharap dia mendengarku.
Piko-tan menoleh padaku. Kupikir, berikutnya, dia akan memarahiku, tapi ternyata Piko-tan malah tersenyum lembut padaku ― senyum lembut Piko-tan yang kusukai.
Aku tersenyum lebar, berusaha menghampirinya, memanggil namanya sekali lagi, tapi tiba-tiba, ia menghilang begitu saja, tepat di depan mataku.
Aku bisa merasakan jantungku berhenti berdetak seketika. "P-Piko-tan…?"
Tidak ada jawaban.
Aku lalu berlari ke sana ke mari, mencari-cari Piko-tan.
"Piko-tan! Piko-tan di mana!?"
Aku terus berlari sambil terus meneriakkan nama Piko-tan.
Tidak mungkin. Tidak! P-padahal, aku kan baru saja bertemu dengan Piko-tan! Piko-tan-ku!
"Piko-tan!"
"PIKO-TAAAAN!" teriakku.
Nafasku agak tersengal-sengal. Badanku berkeringat dingin. "H-hanya mimpi…"
Aku melirik ke jam beker di sebelah kasurku.
"Jam 9.45!?"
Aku berdoa di dalam hati, lalu mengambil handphone-ku dari meja dan menelepon Piko-tan lagi.
"Angkatlah, angkatlah, angkat―"
Klik!
Diangkat!
"PIKO-TAAAAAAN―"
"Uruzeee! Kono okama!"
Aku langsung diam. Aku bisa mendengar suara Piko-tan menghela nafas.
"Ada apa?"
"P-Piko-tan kejam, padahal kan, aku merindukanmu, malah dibentak begitu." ujarku dengan nada memelas.
"Habisnya, kau menyebalkan." ujarnya sinis.
"E-eeh!?"
"Coba kau pikir-pikir lagi, baka. Orang macam apa yang mengirim 49 e-mail ke orang yang sama, dan juga 12 panggilan dalam sehari? Seperti stalker saja."
"H-habisnya, Piko-tan tidak membalas e-mail-ku, dan, aku juga mengkhawatirkan Piko-tan."
"Aku ini seorang laki-laki dewasa, kono baka. Aku bisa menjaga diriku sendiri."
"T-tapi, Piko-tan, tadi aku menonton berita di TV, ada banyak kasus pelecehan seksual akhir-akhir ini. Piko-tan kan cantik dan manis, kalau Piko-tan sampai menjadi korbannya―"
Tuut… Tuut…Tuut…
Piko-tan menutup teleponnya sebelum aku sempat menyelesaikan perkataanku.
"PIKO-TAAAAAAAN! PIKO-TAN KEJAAAAAAM!"
Aku ingin menangis, tapi tidak bisa. Aduuuh, Piko-tan, kenapa kau harus menutup teleponnyaaaaa.
Lihat saja nanti, Piko-tan! Begitu kau pulang nanti, akan kucuekin kau selama satu bulan!
… Ah, tunggu. Pada akhirnya, pasti malah aku yang yang akan menangis karena rencanaku sendiri ini. Aargh.
Aku menghela nafas lagi. Piko-tan pasti benar-benar marah padaku.
Aku kembali berguling-guling di atas tempat tidurku sambil memikirkan kalimat yang cocok untuk kuucapkan sebagai permintaan maafku pada Piko-tan nanti. Salah sedikit saja, bisa celaka. Piko-tan yang sedang marah itu seperti ratu iblis yang sedang dalam periodenya.
Aku sempat berpikir untuk mengajak Piko-tan makan malam di restoran favorit kami, tapi begitu mengingat sekarang sudah hampir jam 10 malam, niat itu kubatalkan. Restoran itu juga pasti sudah mau tutup.
Aku juga sempat berpikir untuk memasak makan malam untuk Piko-tan. Tapi bagaimana kalau ternyata Piko-tan sudah makan? Dan yang terpenting… Aku kan tidak bisa memasak.
Bah, Sekihan, kau suami yang payah dan buruk.
Setelah menyerah berpikir, aku memutuskan untuk menelepon Piko-tan lagi dan meminta maaf secara langsung.
… Dan Piko-tan sengaja tidak menjawab panggilanku.
"PIKO-TAN TEGAAAAAAAAAA!" Aku menangis di bantal Nyaahan-ku, memukul-mukul kedua tanganku di atas kasur. "Tega! Kejam! Tidak berperasaan! Jahat! Aku benci Piko-taaaaaan! Hiks…"
.
.
.
Aku terbangun hanya untuk mendapati kedua mataku yang bengkak karena menangis tadi dan bahwa sekarang sudah hampir tengah malam. Aku ketiduran lagi, rupanya.
"Piko-tan sudah pulang belum, ya?" Aku bergumam pelan seraya beranjak dari tempat tidurku.
Aku lalu berjalan menuju kamar Piko-tan. Lampu kamarnya masih belum dinyalakan, pertanda Piko-tan masih belum pulang.
Aku menghela nafas lagi. Aaaah, Piko-tan, aku benar-benar merindukanmuuuu.
Ketika aku berjalan kembali ke kamarku, handphone-ku bergetar. Dengan segera, aku mengangkatnya.
"Seki―"
"PIKO-TAN! KAU DI MANA!? INI SUDAH HAMPIR TENGAH MALAM DAN NOMORMU DARI TADI TIDAK BISA KUHUBUNGI!" Aku berteriak panik sebelum Piko-tan sempat berkata apa-apa. Rasanya, aku benar-benar ingin menangis dan memeluk Piko-tan seerat mungkin.
"S-suman, t-tadi aku sedang berada di dalam kereta, lalu ada seorang bapak-bapak yang melecehkanku, jadi aku―"
"Apa!?" Tanpa sadar, aku mengepalkan tanganku dengan erat―sangat erat. "Berani-beraninya dia melakukan hal semacam itu pada Piko-tan-ku!" Entah kenapa, rasanya, dadaku panas. "Kau ada di mana sekarang!?"
"A-aku sedang menuju ke kantor polisi dekat Stasiun AAA."
"Tunggu aku di sana!" Aku menekan tombol merah si keypad-ku dan memasukkan handphone-ku ke dalam saku celanaku. Kemudian, aku melesat mengambil jaket dan kunci kamar, lalu pergi keluar setelah mengunci pintu kamar dan sambil memakai jaket dengan buru-buru.
Karena kantor polisi yang dimaksud Piko-tan terletak cukup dekat dengan apartemen kami, tidak sampai 5 menit kemudian, aku sudah sampai.
Blam!
Aku membuka (membanting) pintu ruang tunggu.
"Piko-tan!"
Setelah mendapati sosok Piko-tan yang sedang duduk di kursi ruang tunggu, aku langsung menghampirinya. Ia berdiri, sepertinya hendak menjelaskan kejadian tadi kepadaku, tapi―
Gyut!
―Aku langsung memeluk Piko-tan dengan erat.
"Kau tidak apa-apa!? Apa yang dia lakukan padamu!? Apa kau terluka!?" tanyaku bertubi-tubi. Aku sangat khawatir.
Piko-tan mendorongku dengan agak kuat, lalu memukul bahuku.
"A-apa yang kau lakukan, kono baka!? Jangan memelukku seperti itu!" teriaknya kesal.
"T-tapi aku kan khawatir!" ujarku membela diri. Wajahku terasa sangat panas sekarang. Panas karena khawatir dan marah, tentunya.
Piko-tan terdiam sebentar, menundukan kepalanya. "… Tak ada hubungannya."
Aku melihat ke sekelilingku. "Di mana orang itu?" tanyaku kemudian, menatap Piko-tan.
"… Eh?" Piko-tan mendongak dan melihat ke wajahku, balas menatapku. Tatapan matanya menyiratkan rasa takut, khawatir, dan juga perasaan bersalah. Kenapa, Piko-tan? Apa wajahku saat ini seseram itu, sampai-sampai Piko-tan merasa takut?
Tepat ketika aku hendak bertanya lagi, seorang petugas keamanan keluar bersama dengan seorang polisi dan seorang bapak-bapak, yang kuduga adalah si tersangka brengsek itu.
"Piko-san, saya sudah menjelaskan―"
Duagh!
Aku langsung meninju bapak-bapak itu. Aku tidak peduli jika di sekitarku ada banyak orang dan mereka menganggapku terlalu brutal atau apalah. Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan tentangku. Aku hanya ingin memberi orang brengsek ini pelajaran karena telah menyentuh Piko-tan-ku! ― Piko-tan milikku!
"S-Sekihan!" Piko-tan berlari ke arahku dan menahan kedua tanganku, tepat sebelum aku meluncurkan tinju kedua.
"Dasar tidak tahu diri!" Aku berteriak marah padanya yang jatuh tersungkur di lantai. "Berani-beraninya kau melecehkan Piko milikku! Dasar mesum!"
"Mohon tenangkan diri Anda." ujar polisi yang keluar bersama petugas tadi sambil membantu bapak-bapak itu berdiri.
"Piko-san, dia siapa?" tanya si petugas.
Aku menjawab, "Aku sua―"
Piko-tan menginjak kakiku secepat mungkin, sebelum aku sempat berkata apa-apa. Aku merintih kesakitan.
"Dia Sekihan, sahabatku." ujarnya dengan tenang.
"O-oh, kalau begitu, Piko-san, kami akan menahan bapak-bapak ini di penjara sementara. Anda sudah bisa pulang sekarang." jelas petugas tadi sambil tersenyum ramah.
"Baiklah, terima kasih kalau begitu." ujar Piko-tan. Terdengar jelas kelegaan dari nada suaranya.
Kami pun pamit kepada petugas dan polisi tadi, lalu berjalan pulang.
"Piko-tan, kau kejam sekali, sih. Masa tadi kakiku diinjak?" ujarku dengan wajah muram.
"Habisnya, kau terlalu berlebihan, baka." Piko-tan menjawab dengan tsuntsun-nya.
"Ya, aku kan tidak terima, Piko-tan dilecehkan seperti itu." Aku memanyunkan bibirku, melirik Piko-tan. "Lagipula, memangnya, kau diapakan olehnya?"
"… Dia menyentuh selangkanganku." jawab Piko-tan dengan singkat dan tenang.
"APAAAAAAA!?" Aku berteriak kaget, syok. Bagaimana bisa Piko-tan menjawab itu dengan tenangnya!?
"Jangan berteriak begitu, kono baka! Ini sudah hampir pagi!"
"Huh, aku lega karena sudah meninjunya tadi." gumamku pelan, merasa agak jengkel.
"… Arigatō." Piko-tan tersenyum kecil padaku.
"Hah? Untuk apa?" tanyaku, menatapnya dengan bingung.
"Karena sudah meninju orang itu untukku tadi."
Piko-tan menundukkan kepalanya. Bisa kutebak kalau wajahnya sedang memerah saat ini. Pasti sangat manis. Aaah, tidak ada yang lebih manis daripada sisi dere Piko-taaan~
Aku tertawa kecil dan tersenyum pada Piko-tan. "Itu kan sudah menjadi tugasku, karena aku menyayangi Piko-tan!"
"… A-apa maksudmu!?"
"Maksudku? Sayang, ya, sayang. Memangnya, ada yang perlu dijelaskan lagi?" tanyaku.
"S-sudahlah, jangan membahas itu lagi, k-kono okama."
Wajah Piko-tan terlihat merah padam, membuatku ingin memeluknya dengan erat! Tapi karena aku tidak mau mengambil risiko (kalau aku memeluknya, ia pasti akan meninjuku ― atau lebih parahnya, menendang 'titik lemah'ku), aku hanya tersenyum dan menggandeng tangannya. Mungkin, karena ia masih merasa bersalah, ia tidak menepis tanganku. Lucky!
"Piko-tan tsuntsundere sekali, sih!" tawaku dalam hati.
Kami pun memandang ke atas, menikmati langit malam yang ditaburi bintang-bintang.
終わり
Yuna: Yak! Ini adalah sisi lain (?) dari cerita 電車で ! Fic yang ini diceritakan dari Sekki's POV ^w^
Sekki unyu dan kasihan ya, kayak anak kucing ditelantarkan induknya gitu D: #digampar
Minna! Review ya! Mohon kritik & sarannya! X3d
.
Sei: Sebenarnya, fanfic ini sudah direncanakan seminggu setelah 電車で, tapi karena banyak masalah (seperti Hatter-san yang pelupa dan komputer saya yang telah tewas (?)), jadinya, baru selesai sekarang, deh. Huff.
Semuanya sudah dijelaskan oleh Hatter-san di atas (?), jadi, komentar saya sampai di sini saja.
Review, please?
~Seisou Yuta
