Note's: Cerita ini terinspirasi dari dua film. Bukan menjiplak. Kisah perpisahan dan penyatuan mengundang kesedihan.
.
.
The Call
Disclaimer: Naruto © Kishimoto Masashi
.
Disclaimer: typos, AU, deskripsi seadanya, multichapter, terinspirasi oleh film campuran antara Korea dan Bollywood | Genre: Romance, School, Fluffy, and Drama | Rate: T | Main Pairing: Uzumaki Naruto and Hyuuga Hinata | Story is mine | Dedicated to all readers
Enjoy Reading!
~o.O.o~
Musim gugur adalah awal pertanda kita bertemu...
Chapter 1 of 7 : Autumn
Angin bertiup kencang dari bilik jendela, melayangkan kain menyelimutinya. Ruangan putih bernuansa sederhana membuat sang pemilik menggeliat dan membuka matanya. Wajahnya nan cantik bersamaan dengan tempat tidurnya yang anggun, menyadarkan betapa indahnya dia. Saat bangun, dia menatap jendela terbuka dengan sinar matahari pagi di sekitarnya. Dia membuka selimutnya lebar-lebar, bangkit dan merasakan aroma sensasi awal musim gugur. Yah, ini adalah bulan di mana musim gugur dimulai. Awal pertemuan dia dengannya.
Kedua bola mata perak yang rupawan, memandang indah pemandangan di depannya. Balkon terasa dingin menusuk tulang tidak membuat gadis berambut biru panjang ini merasakan dan membayangkan saat pertama kali dia bertemu sahabat sedari kecilnya. Sahabat yang dulu pergi. Namun, dia mengingatkan pertama kali dia bertemu dengan orang itu saat ayahnya membawa ke rumahnya. Itu bermula saat usianya sepuluh tahun, sedangkan orang sebelas tahun.
Bunyi ketukan pintu dan berdering sebuah bel, membuat sang beriris mata perak menolehkan wajahnya cepat. Dia tahu kalau ayahnya sudah pulang membawakan berita baik. Sang anak berlari, membuka pintu-pintu tersebar di rumahnya. Rumah sederhana, tapi mewah ini memang bukanlah sebuah rumah. Tapi, sebuah istana yang megah.
Kaki kecilnya berlari diikuti banyak pelayan. Kaki kecil yang telanjang terus berlari menghampiri pintu utama. Di sana ada kakak sepupunya Neji lebih tua darinya tersenyum dan mengangkat tangan untuk menunjukkan di luar sana telah pulang sang ayah, Hyuuga Hiashi.
Pintu terbuka lebar buat gadis kecil memiliki nama manis, Hyuuga Hinata. Anak dari seorang pengusaha muda dan seorang pengacara handal yang sudah menjadi duda. Cahaya masuk ke dalam pelupuk mata, menyinari sekitar dan menampakkan sang ayah berdiri membelakangi sang putri. Anak bungsu kecil ini pun berteriak, "Ayah!"
Sosok ayah berbalik badan dan menemukan anaknya berlari kepadanya. Dia merentangkan tangan, memberikan sebuah pelukan merindukan. Hinata meloncat dan memeluk ayahnya. Hiashi membalas dan berputar-putar tanpa melepaskan. "Hei, anak ayah ternyata sudah besar."
"Aku merindukanmu, ayah!" sahut Hinata kecil terus memeluk ayahnya. Setelah berhenti berputar, dia melirik anak laki-laki lebih tua setahun dengannya berwajah datar tidak berekspresi. "Siapa dia ayah?"
Hiashi menolehkan wajahnya ke arah tatapan Hinata. Dia tersenyum dan menurunkan tubuh Hinata ke lantai tangga marmer. Hiashi mendekati bocah laki-laki tersebut. Merangkul pundaknya yang kecil, "perkenalkan ini adalah teman barumu sekaligus orang yang akan tinggal dengan kita. Anggota baru keluarga Hyuuga. Namanya Naruto."
Mimiknya membentuk senyuman, penuh rasa syukur bisa mempunyai teman baru. Rasa syukur bisa bertemu dengan dia, dengan orang itu. Tapi, setiap melihat wajah tanpa berekspresi. Dia sedih, takut, dan berpikir 'kenapa dia berekspresi seperti itu? Wajah dan tubuh hanyalah setumpuk wadah, sedangkan hatinya tidak ada. Kosong dan hampa'. Dia pun mendekatinya tanpa berpikir panjang, menyentuh tangan yang dingin, dan menyuruhnya masuk ke dalam rumah.
"Ayo kita masuk. Kamu pasti lelah," kata Hinata kecil menarik tangan Naruto, bocah memiliki rambut kuning keemasan dan mempunyai mata biru langit yang indah, tapi beraut kesedihan. Naruto Cuma menurut tanpa berbicara. Mereka melangkahkan kaki masuk dalam rumah megah tersebut. "Jangan malu-malu. Anggap ini rumahmu juga, kak Naruto. Bolehkah aku memanggilmu begitu?"
Otak tidak bisa berpikir dan tidak ada satu pun anggota badan bergerak. Hinata tahu kalau bocah laki-laki ini mengalami masa-masa sulit. Masa-masa di mana dia sendirian dan ditinggalkan. Hinata tahu karena dia pernah merasakan ditinggal sang ibu. Tapi, dia tidak sendirian karena ada kakak kandungnya, bersamanya.
Hiashi mengikuti dari belakang, bersama kepala pelayan sambil membawakan barang-barangnya. Dia tersenyum menatap sang buah hati bungsu menarik tangan menuju ruang kamar yang baru. Anak laki-laki berusia dua belas tahun mendekati sang ayah.
"Kenapa ayah membawa anak itu?" tanya anak laki-laki bernama Hyuuga Neji itu.
Hiashi menatap Neji dan menepuk kedua pundaknya, lalu melirik lagi Hinata dan Naruto menaiki tangga. "Ayah menemukannya di medan perang, anakku. Dia sendirian. Sepertinya orang tua dan semua keluarganya dibunuh oleh tentara. Makanya ayah membawanya kemari. Ayah juga menemukan dia bersimbah darah sambil memegang sebuah kalung berbentuk seekor rubah merah." Hiashi menyilangkan kedua tangan. "Wajahnya kosong, tapi ayah merasa dia menangis habis-habisan. Itulah kenapa ayah membawanya sehabis pulang dari luar kota."
"Jangan-jangan tempat anak itu ditemukan adalah kota mati diserbu pembunuh bayaran? Kota itu dulunya kota terkenal, tapi karena banyak insiden. Kota tersebut telah mati karena sang walikota mati bersama keluarganya yang lain. Aku tidak tahu masih menyisakan bocah seperti itu," Neji menggeleng-geleng, memandangi sang adik kecilnya dan bocah itu menghilang.
"Ayah akan merawat dan menjaganya sama seperti kamu dan Hinata, Neji." Hiashi tersenyum dan mengusap-usap rambut cokelat muda Neji. "Ayah harap kamu baik-baik dengan dia."
"Tentu saja, ayah."
Pintu terbuka. Cahaya masuk ke dalam ruangan tersebut menampilkan daun-daun kuning. Ruangan itu memang berantakan, tapi sangat indah. Keindahannya menampilkan sebuah aroma yang khas. Ruangan bernuansa putih.
"Ini menjadi kamarmu, kak Naruto." Hinata berlari mengitari ruangan tersebut. Naruto tidak membalas kesenangan dapat kamar baru. Hinata berdiri di hadapannya, menariknya menuju balkon. "Lihat! Di sana menampilkan pohon-pohon bernuansa kuning. Ruangan ini terletak di suasana hangat saat musim gugur. Kalau kesepian, bisa melihat pemandangan ini kapan pun kak Naruto mau!"
Naruto tidak berucap apalagi menikmati pemandangan tersebut. Hatinya kosong. Ingin sekali dia bergembira seperti sang perempuan mungil ini, namun dia tidak berniat. Hari-harinya dulu selalu gembira, tapi setelah mendapat kabar kalau walikota dibunuh. Sang keluarga melarikan diri. Sayang, mereka gagal. Bertahan adalah dia sendiri. Jadi, untuk apa berbahagia di saat dia masih berkabung.
Hinata melirik tatapan warna biru langit Naruto. Tatapan menatap lurus ke depan, tapi tidak menikmati pemandangan unik ini. Hinata tidak akan menyerah, dia akan membuat kakak barunya tersenyum seperti dirinya. Seperti musim gugur ini. Pasti!
Dia melamun. Melamun tentang sosok berwajah kosong. Setiap kali memperlihatkan wajah tersenyum, yang datang adalah ekspresi sedih. Tapi, dulu dia tidak menyerah dan pasti akan membuatnya tersenyum. Waktu itu adalah hari yang tepat untuk membuatnya terseyum. Tapi, yang didapatkan bukanlah senyuman melainkan kemarahan.
Gadis kecil berlari di sebuah taman yang indah menampilkan banyak pohon-pohon berwarna kuning, seperti Momiji. Bunga Sakura juga ada di tempat tersebut. Daun-daun berguguran bercampur dengan daun-daun berwarna kuning kecokelatan. Dia menari dan membawa serta sang bocah laki-laki tersebut.
"Kak Naruto, ke sini! Kita bermain di sana!" Hinata melambai-lambaikan tangan dan mengarahkan ke danau yang dangkal. Naruto tidak menggubris semua ucapan Hinata. Hinata manyun dan berbalik berjalan ke arah danau dengan nada kesal.
Saat berjalan, Hinata menaruhkan tangan ke dinginnya air tersebut. Dingin sekali! Membuat tubuhnya menggigil. Setelah merasakan dinginnya air danau tersebut. Hinata terpeleset saat mendekatkan diri ke air. Hinata tercebur. Dirinya tidak bisa berenang. Dia tidak bisa berteriak karena mulutnya kemasukkan air. "To-tolong..."
Tidak ada suara gembira itu membuat bulu kuduk Naruto meremang. Dia lihat sekitarnya, tidak menemukan gadis berambut biru panjang sebahu tersebut. Naruto bangkit dan berlari mencarinya. Berputar-putar. Setelah beberapa saat mencari, Naruto melihat ke arah danau di mana bulir-bulir air keluar. Jantungnya berpacu cepat. Dia membuka sepatunya dan jaketnya. Dia berenang.
Beberapa menit kemudian, Naruto keluar membawa tubuh kecil Hinata di gendongannya. Tubuh mereka basah kuyup dengan angin dingin menerpa keduanya. Naruto membaringkan Hinata tidak jauh dari danau. Naruto mendekatkan telinganya ke arah dada Hinata. Jantungnya berhenti. Dengan siaga, Naruto menekan dadanya dan memberikan napas buatan.
"Ayo! Kamu harus bangun!" takut jika Hinata kenapa-kenapa, yang bersalah adalah dirinya sendiri. Naruto terus melakukannya berulang-ulang. Setelah menemukan hasil, Hinata menumpahkan semua air danau. Dia sadar kembali dengan pandangan yang masih kabur.
"Aku... di-di... ma... na...?" tanya Hinata melirik sekitarnya dan mendapati Naruto menatapnya... tajam. Hinata bangkit sambil terbatuk-batuk, "Uhuk... kak Naruto menyelamatkanku?"
"Apa-apaan kamu?! Kalau tidak bisa berenang, jangan dekati danau! Kamu tahu apa akibatnya?" Hinata takut, menggeleng-geleng. "Jantungku sakit melihat kamu tidak ada! Jangan pernah lakukan itu lagi! Menyusahkan saja!" teriak Naruto bangkit berdiri dan meninggalkan Hinata sendirian sambil menangis terisak-isak.
Gadis berusia dua puluh satu tahun ini mengeluarkan air mata di pelupuk mata peraknya. Waktu itu dia ketakutan, takut jika dia marah lagi. Dia mengusap air matanya, tersenyum. Setelah dia meninggalkannya sendirian yang menangis. Orang itu balik badan dan menawarkan punggungnya agar gadis kecil itu naik.
"Naiklah. Aku tidak suka anak kecil menangis." Naruto menawarkan punggungnya yang tegap. Hinata tanpa ragu-ragu memeluk leher dari belakang. Naruto bangkit dengan Hinata di punggungnya. "Jangan menangis lagi."
Hinata mengangguk, tersenyum. Dipeluk erat leher Naruto. Naruto tidak merasakan sesak napas, tentu saja. Dia hangat dan menikmati hari-harinya di taman ini. Dia mengeluarkan sebuah senyuman, namun sesaat melihat adik kecilnya tertidur pulas.
Musim dingin adalah pertemuan pertama dengannya. Walaupun dia berekspresi datar, tapi hatinya baik. Sebaik cahaya matahari. Biarpun awal pertama tidak menyenangkan. Tentu saja pertengahan pasti baik-baik saja. Gadis berambut panjang balik badan dan menutup pintu jendela. Dia masuk ke kamar dan merapikannya.
Sudah beberapa tahun sejak kejadian itu. Sungguh awal yang indah. Buruk memang, tapi dia sangat senang. Karena bisa melihat sang kakak lagi selain kakaknya, Hyuuga Neji. Dia membuka pintu, dia keluar dari kamar paling dirindukannya. Dia akan terus mengingatnya sampai saat itu tiba.
To Be Continued...
~o.O.o~
A/N: Ini adalah fic NaruHina lagi. Saya menggabungkan sebuah cerita zaman dulu. Kalian pasti belum tahu, 'kan? Saya membaca buku-buku lama dan menemukan sebuah cerita. Penggabungan antara dua film (Korea dan India). Mungkin kalian tidak tahu. Tidak usah bertanya, ya. Kalau kalian bertanya, nanti pikiran saya pudar. Hehe :p
Sunny Blue February
Date: 07 Maret 2013
Thanks to reading!
