Olla... akhirnya kelar juga ini cerita. Ini side story cerita sebelumnya, jadi supaya gak bingung Grey sarankan baca dulu cerita A date with you. Enjoy~
DISCLAIMER : Furudate-sensei, kecuali OC-nya Grey.
Cover bukan punya Grey. Grey nemu di google terus di edit edit dikit.
Look Into Me
Oikawa menguap lebar, merasa bosan. Kelas sudah berakhir beberapa menit lalu, namun pemuda berambut coklat itu malas untuk keluar kelas. Hari ini mereka tidak ada kegiatan klub, dikarenakan gedung olahraga mereka sedang diperbaiki. Biasanya Oikawa akan mengunjungi Takeru-keponakannya- atau main ke rumah Iwaizumi. Namun sayangnya, Takeru sedang sakit, sedangkan Iwaizumi ada kencan dengan Rei. Well, sebenarnya Iwaizumi hanya akan mengajari Rei bermain voli, namun bagi pasangan gila olahraga ini hal sepele seperti itu sudah terhitung kencan.
Memikirkan Iwaizumi dan Rei membuat Oikawa merasa iri. Pasalnya, dia yang menjodohkan kedua orang itu, tapi dia sendiri sampai sekarang masih single-aka jomblo.
"Aaaahhh... aku juga ingin punya pacar..." Oikawa mengeluh entah kepada siapa, mengingat hanya tinggal ia seorang saja di kelas.
Merasa tidak ada yang bisa dilakukan, Oikawa memilih untuk pulang. Ia mengemasi barang barangnya, dan beranjak dari bangkunya.
"Oh, Oikawa-san. Untunglah kau masih disini."
Oikawa membalikan badannya, dan dihadapannya berdiri seorang gadis berambut pirang keemasan. Mata biru gadis itu memandang Oikawa tepat ke manik coklat miliknya. Sejenak Oikawa terbius oleh tatapan gadis itu.
"Ah, Sakuya-chan. Selamat sore. Ada apa? Kau butuh sesuatu dariku?" balas Oikawa disertai dengan senyumannya yang menawan.
Sakuya McAvey merupakan seorang gadis campuran Amerika-Jepang dan juga merangkap sebagai sekretaris OSIS di SMA Aoba Johsai. Gadis itu menggeleng, dan menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Oikawa.
"Ishida-sensei menitipkan ini padaku. Ia menyuruhku memberikan ini padamu secepatnya."
Oikawa menerima kertas kertas itu dari tangan Sakuya sembari mengucapkan terimakasih.
"Kalau begitu, aku permisi dulu, Oikawa-san. Sampai jumpa."
"Akh, tunggu." Oikawa menahan tangan Sakuya, membuat gadis itu menatap pemuda bersurai coklat itu dengan pandangan heran-yang tetap saja mampu menghipnotis Oikawa.
"Ada apa, Oikawa-san?"
"Bu-bukan apa apa. Hanya saja, aku ingin mengajakmu pulang bersama. Kebetulan aku sedang tidak ada kegiatan klub, dan aku tidak suka berjalan pulang sendirian."
"Hm? Bukankah biasanya kau pulang dengan Iwaizumi-san?"
"Iwa-chan mengkhianatiku. Ia lebih memilih bersama pacarnya daripada denganku," jawab Oikawa dengan bibir mengerucut.
Sakuya mengedipkan matanya beberapa kali, "Eh? Iwaizumi-san punya pacar? Kok bisa?"
"Itu semua berkat aku. Aku yang telah menjodohkan mereka, dan inilah balasan mereka padaku. Benar benar tidak tahu terimakasih!"
"Bukan itu maksudku, Oikawa-san. Maksudku, bukannya kalian berpacaran, mengingat kalian saling menyukai."
Oikawa membeku. Setelah otaknya mampu memproses kalimat Sakuya, ia berkata, "Sakuya-chan, apa kau berpikir bahwa aku dan Iwa-chan adalah... gay..?"
Dan dengan polosnya, Sakuya menganggukkan kepalanya, membuat Oikawa face palm dengan dramatis.
"Kau salah, Sakuya-chan! Kami memang teman sejak kecil, tapi kami bukan gay!"
"Eh? Benarkah? Sayang sekali," Sakuya menghela nafas dan memasang ekspresi kecewa, membuat Oikawa sweatdrop di tempat.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan pertanyaanku tadi? Apa kau mau pulang bersamaku?" ucap Oikawa setelah berdehem.
Sakuya berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk, "baiklah. Aku ambil barang barangku dulu."
Mereka berjalan pulang bersama, dan kebetulan rumah mereka searah. Selama perjalanan, mereka banyak menceritakan tentang diri mereka masing masing. Walaupun mereka telah satu sekolah, bahkan mereka pernah sekelas saat kelas 2, mereka jarang berbicara bersama. Hal itu dikarenakan Sakuya yang sibuk dengan kegiatan OSIS-nya, sedangkan Oikawa selalu sibuk berlatih voli. Bisa dikatakan, ini pertama kalinya mereka bisa mengobrol bersama selama ini.
"Ah, Oikawa-san. Rumahku sudah di depan. Terimakasih telah menemaniku," ucap Sakuya sambil membungkukkan sedikit badannya.
"Ump. Bukan masalah, Sakuya-chan. Aku juga senang karena bisa berbicara denganmu."
Sakuya tersenyuman kecil, dan mengucapkan sampai jumpa kepada pemuda bersurai coklat itu. Namun, sebelum ia masuk kedalam rumahnya, Oikawa memanggil namanya.
"Ada apa, Oikawa-san?"
"Ng.. bukan apa apa, sih. Hanya saja, apa kau mau pergi bersamaku akhir pekan ini? Jangan khawatir, aku juga mengajak Iwa-chan dan pacarnya kok."
Sakuya terdiam sejenak, "apa kau baru saja mengajakku kencan?"
"Ya.. begitulah," Oikawa menggaruuk belakang lehernya, "sebenarnya aku hanya sedikit kesal pada Iwa-chan karena ia selalu berkencan dengan Rei-chan setiap akhir pekan. Karena itulah, secara tidak sadar aku mengatakan padanya kalau akhir pekan ini aku juga akan ikut dengan membawa pacarku."
"Jadi... kau memintaku menjadi pacar seharimu?"
"Yah... entah kenapa kalau kau mengatakannya terdengar sangat kejam. Tapi memang seperti itulah. Dan aku mengerti kalau kau menolak-"
"Baiklah," potong Sakuya sambil tersenyum, "aku tidak keberatan. Katakan saja waktunya, aku pasti akan datang."
"Oi, apa kau benar benar mengajak pacarmu, guzukawa? Aku bahkan tidak yakin kalau kau benar benar punya pacar."
"Kejam! Aku benar benar mengajak seseorang,kok. Dan dia janji dia akan datang."
Taman bermain Paradise Island adalah sebuah tempat yang dikenal sebagai tempat kencan favorit karena sebuah mitos yang mengatakan bahwa setiap pasangan yang datang ke tempat ini tidak akan berpisah, apapun yang terjadi. Dan di depan pintu gerbang taman bermain tersebut tampak Oikawa, Iwaizumi, dan Rei yang sedang berdiri menunggu dengan wajah kesal. Well, sebenarnya hanya Iwaizumi yang kesal, karena, seperti yang telah kita ketahui, Iwaizumi sangat benci menunggu. Dan ia sudah berdiri kira kira setengah jam menunggu pacar Oikawa yang katanya akan datang. Tapi kenyataannya, sosok yang ditunggu tak kunjung tiba, membuat pemuda spikey itu mempertanyakan kebenaran dari perkataan sahabat masa kecilnya itu.
"Sudahlah Hajime," Rei mencoba menenangkan pacarnya yang sudah tersulut emosi itu, "kita tunggu saja sebentar lagi. Aku yakin pacar Tooru-senpai akan datang."
Iwaizumi mendecih kesal, tapi ia tidak membantah. Mereka kembali menunggu dan kira kira 3 menit kemudian, mereka mendengar suara yang meneriakkan nama Oikawa.
Mereka bertiga memandang ke arah datangnya suara, dan seketika itu juga mereka terpana-terlebih Oikawa. Penyebabnya tak lain adalah Sakuya yang terlihat sangat menawan dalam balutan kemeja putih tanpa lengan yang memerlihatkan bentuk tubuhnya, sebuah rok pendek yang sewarna dengan iris matanya, dan sepasang boots hitam menutupi seluruh betisnya. Rambutnya yang lurus di curly pada bagian bawahnya, membuat gadis itu terlihat sangat sempurna.
Sakuya berjalan setengah berlari menghampiri ketiga manusia yang tengah terdiam itu dan membungkukkan badannya, "maafkan aku membuat kalian lama menunggu. Aku ini orangnya bingung arah, jadinya aku tadi tersesat saat akan menuju kesini. Maafkan aku."
Tidak ada respon. Sakuya menegakkan tubuhnya kembali, dan memandang ketiga orang tersebut dengan heran. Ia bahkan melambaikan tangannya di depan wajah mereka, namun mereka masih diam mematung.
"Sakuya-senpai adalah pacar Tooru-senpai?!" sepertinya Rei lah yang lebih dulu sadar-atau mungkin gadis bersurai hitam itu masih tidak sadar dan tanpa sengaja ia menyuarakan pemikirannya.
"Begitulah. Ah, ngomong-ngomong, kamu pacar Iwaizumi-san, ya? Matsuzaki... Mei?" balas Sakuya.
"Matsuzaki Rei, kelas 2. Dan, ya... aku memang pacar Hajime," jawab Rei sambil tersipu malu, membuat Sakuya tersenyum kecil.
"Wow, aku tidak menyangka kalau ternyata Oikawa berpacaran dengan anggota inti OSIS," perkataan Iwaizumi membuat Sakuya mengalihkan pandangannya kepada pemuda itu.
"Benarkah? Tapi sebenarnya aku lebih tidak menyangka kalian tidak berpacaran. Padahal diam diam aku mengharapkannya," ucap Sakuya sambil tersenyum sedih.
"Hah? Maksudmu?"
"Ups. Bukan apa apa, lupakan saja," Sakuya melambaikan kedua tangannya sambil tertawa canggung.
Iwaizumi mengernyitkan alisnya, tapi kemudian dia mengangkat bahunya cuek. Pemuda itu melirik Oikawa, yang sampai sekarang matanya masih terpusat pada Sakuya. Barulah setelah Iwaizumi menyikutnya-dengan keras- Oikawa sadar dari pesona gadis pirang itu.
"Ittai! Iwa-chan, kau tidak perlu menyikutku sekeras itu! Ah, ngomong ngomong Sakuya, kau terlihat sangat cantik. Baju itu cocok untukmu."
Yang dipuji hanya tersenyum kecil dan mengucapkan terimakasih. Dan karena Iwaizumi sudah bete, mereka akhirnya masuk ke taman bermain itu dan memulai kencan ganda mereka.
"Waaa... tempat ini keren sekali!"
Rei yang memang jarang ke taman bermain menatap sekitarnya dengan mata berbinar binar. Kepolosan gadis itu membuat Iwaizumi tersenyum. Pemuda itu menggandeng tangan pacarnya dan berkata, "kalau begitu, bagaimana kalau kita berkeliling dan mencoba semua wahana disini?"
Senyuman Rei makin lebar, dan ia mengangguk dengan antusias. Tapi belum sempat mereka beranjak pergi, Oikawa menepuk bahu Iwaizumi dengan cukup keras, merusak momen mereka berdua.
"Kuharap kau tidak melupakan kami, Iwa-chan. Nah sekarang, wahana apa yang harus KITA naiki terlebih dahulu?" ucap Oikawa dengan menekankan kata kita, membuat Iwaizumi cemberut, dan Rei tertawa canggung.
"Bagaimana kalau kita naik wahana yang menegangkan, seperti roller coaster?" celetuk Sakuya.
Mereka bertiga saling bertukar pandang, sebelum akhirnya Iwaizumi menjawab, "aku sih tak masalah. Bagaimana denganmu, Rei?"
"Aku tidak keberatan! Ayo kita naik roller coaster!" jawab Rei dengan semangat.
"Baiklah, kalau begitu sudah diputuskan-"
"Tunggu dulu," potong Oikawa tiba tiba, "Sakuya-chan, kusarankan kita tidak menaiki wahana itu, mengingat sekarang kau mengenakan rok pendek. Lebih baik kita cari wahana yang lebih tidak beresiko."
Bukan hanya Sakuya, tapi Iwaizumi dan Rei sangat terkejut mendengar perkataan Oikawa. Siapa yang sangka pemuda childish itu bisa bersikap gentle kepada lawan jenis.
Sakuya mengedipkan matanya beberapa kali dan tertawa kecil, "aku tak menyangka kau akan mengkhawatirkanku, Oikawa. Tapi tenang saja, aku sudah sering naik roller coaster dengan menggunakan rok pendek. Jadi aku bisa pastikan rokku tidak akan terbuka."
Oikawa menatap Sakuya, sebelum akhirnya menghela nafas, "bagaimanapun, tetaplah berhati hati."
Mereka lalu mengantri untuk menaiki roller coaster. Dan seperti yang dikatakan Sakuya, selama mereka menaiki wahana itu, tak sekalipun rok pendek gadis blasteran itu terangkat. Bukan hanya di roller coaster, tapi di semua wahana ekstrim yang mereka naiki. Oikawa penasaran mantra apa yang dipakai oleh Sakuya untuk membuat roknya anti angin. Ia bahkan menanyakan hal itu pada Iwaizumi, yang membuat pemuda pecinta alien ini mendapat pukulan keras di kepala coklatnya.
Setelah berkeliling dan mencoba banyak wahana, mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah kafe di taman bermain itu. Mereka berempat duduk dan memesan pesanan masing masing, dan sembari menunggu, mereka mengobrol bersama.
"Eh, aku dengar katanya nanti malam akan ada pertunjukan kembang api. Bagaimana kalau kita melihatnya?" ucap Oikawa.
"Benarkah, Tooru-senpai?! Aku ingin lihat! Hajime, ayo kita lihat bersama!" jawab Rei dengan terlalu bersemangat.
Iwaizumi tersenyum melihat pacarnya yang -menurutnya- makin imut saat bersemangat. Pemuda itu mengusap kepala Rei dan menjawab, "Oke. Apapun itu, asalkan bersamamu tidak masalah bagiku."
Rei tersenyum senang, sedangkan Oikawa yang duduk di seberang meja melihat mereka dengan bete. Ia juga ingin beromantis ria, tapi apalah daya seorang jomblo yang hanya bisa gigit jari. Ia melirik Sakuya-yang saat ini sedang memainkan HP nya, tidak terganggu dengan pasangan lovey-dovey di depannya. Gadis itu memandang HP nya dengan pandangan... sedih? Entahlah, Oikawa tidak tahu. Biasanya ia bisa membaca orang lain, namun entah kenapa ia tidak bisa membaca Sakuya sama sekali. Gadis itu misterius, ia seperti menyembunyikan sesuatu yang besar.
Apa yang Sakuya-chan sembunyikan? Apa ia pernah mengalami hal buruk yang menyebabkan ia trauma? Tapi ia tidak terlihat seperti itu. Ia tetap bersosialisasi dengan yang lain, bahkan ia menjadi anggota inti OSIS. Apa yang sebenarnya terjadi pada gadis ini? Mengapa ia memandang HP nya seperti itu?
Oikawa tidak sadar bahwa dirinya sekarang sedang memandang Sakuya terang terangan. Sakuya sendiri menyadari tatapan Oikawa padanya, tapi ia mengabaikannya. Namun siapa juga yang tahan dipandangi seintens itu?
"Ada apa, Oikawa? Apa ada sesuatu yang aneh di wajahku?" kata Sakuya dengan sedikit kesal.
"Eh? Ah, tidak ada. Maafkan aku."
Sakuya menatap Oikawa, namun akhirnya ia menghela nafas dan kembali menekuni HP nya.
"Ah, aku ke toilet sebentar ya." Ucap Rei tiba tiba.
"Tunggu, aku ikut." Jawab Sakuya dengan cepat. Sekalian menghindari Oikawa, pikir gadis itu.
Rei melirik Sakuya yang saat ini berdiri di sebelahnya sambil mencuci tangan. Gadis itu melihat kakak kelasnya dari atas ke bawah, lalu melihat dirinya sendiri, sebelum akhirnya menghela nafas.
Sakuya-senpai cantik sekali. Tubuhnya tinggi, badannya bagus, dan ia bahkan berdarah campuran. Tak heran ia menjadi pacar Tooru-senpai. Sementara aku...
"Ada apa, Rei? Kenapa kau terlihat sedih seperti itu?"
"Eh? B-bukan apa apa. Hehe." Jawab Rei dengan canggung.
Sakuya menatap Rei tepat ke matanya, "Rei, apa kau iri padaku?"
"... Eh?"
"Ah, bukan iri. Lebih seperti... rendah diri? Apa kau merasa kau lebih buruk dariku dari segala bidang?"
"... d-darimana... senpai tahu?"
Sakuya tersenyum, "terlihat di matamu. Tapi Rei, kau tidak boleh merasa rendah diri seperti itu. Kau harus tahu, bahwa setiap orang punya kelebihan dan keunikan tersendiri, dan kelebihanmu adalah sifat ceriamu. Kau bisa membuat orang tersenyum hanya dengan melihat senyumanmu. Iwaizumi sendiri buktinya. Aku perhatikan, Iwaizumi selalu tersenyum setiap kali kau memerlihatkan lengkungan bibirmu itu. Karena itu, percaya dirilah!"
Rei terdiam oleh kata kata Sakuya. Memang benar, sepanjang hari ini ia selalu menganggap dirinya tidak layak untuk berdiri bersama para senpainya. Tapi berkat perkataan Sakuya, gadis itu merasa jauh lebih baik.
"Terimakasih, Sakuya-senpai. Ternyata benar, kau itu orang yang sangat baik. Kuharap senpai dan Tooru-senpai menjadi pasangan yang serasi."
Kalimat terakhir Rei menghilangkan senyuman diwajah Sakuya. Gadis itu tersenyum sedih dan berkata, "aku hargai itu, Rei. Tapi kurasa hal itu tak akan terjadi."
"Eh? Kenapa?"
"Aku dan Oikawa tidak pernah pacaran. Dia hanya memintaku menemaninya hari ini karena ia sudah janji akan ikut dengan kalian. Setelah hari ini berakhir, kami akan kembali seperti dulu."
Rei terkejut dan menutup mulutnya dengan telapak tangannya, "ti-tidak mungkin... padahal kalian terlihat sangat cocok bersama."
Sakuya tersenyum dan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, "karena itulah, Rei. Bisakah kau merahasiakan percakapan kita ini?"
Rei terlihat ragu, tapi akhirnya ia mengangguk juga walau dalam hati, ia masih berharap mereka benar benar pacaran.
Malam pun tiba, dan pertunjukan kembang api akan segera dimulai. Para pengunjung mulai memadati air mancur yang terdapat di tengah tengah taman bermain, karena dari tempat itulah kembang api akan diluncurkan.
Iwaizumi menggenggam tangan Rei dengan erat, "Rei, jangan lepaskan tanganku apapun yang terjadi."
Kalau situasi normal, mungkin Rei akan merona parah akibat perkataan Iwaizumi yang-entah sengaja atau tidak- sangat romantis. Namun kali ini ia tidak merona lantaran ia sedang panik.
"Hajime, aku tidak bisa melihat Tooru-senpai dan Sakuya-senpai! Apa jangan jangan kita terpisah? Bagaimana kalau kita cari mereka?"
"Tunggu," Iwaizumi menahan tangan Rei, "tidak ada gunanya mencari mereka di antara pengunjung yang semakin memadat ini. Jangan khawatir, mereka akan baik baik saja."
"T-tapi..."
"Rei, bukankah kau ingin melihat kembang api bersamaku? Kita tidak bisa menikmati kencan berdua karena ada Oikawa dan Sakuya bersama kita. Bukan berarti aku tidak senang mereka ikut, hanya saja aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu."
Dan Iwaizumi sukses membuat wajah Rei semerah kepiting rebus. Gadis itu mengangguk, dan dengan bergandengan tangan, mereka mencari tempat terbaik untuk melihat kembang api.
Disisi lain, Oikawa dan Sakuya sedang duduk di bangku taman bermain itu. Mereka sengaja memisahkan diri karena ingin memberikan waktu berdua untuk Iwaizumi dan Rei.
"Pada akhirnya kau memberikan mereka waktu berduaan juga." Sakuya memulai pembicaraan.
"Tentu saja. Aku merasa bersalah menganggu kencan mereka, karena itulah kuputuskan untuk membiarkan mereka berduaan."
"Kau ini orang yang teman baik, Oikawa." Ucap gadis itu sambil tertawa kecil, yang dibalas Oikawa dengan cengiran.
"Ah, ngomong ngomong," ucap Sakuya lagi, "karena sekarang tinggal kita berdua, aku rasa sekarang saat yang pas untuk mengatakannya."
Oikawa menatap Sakuya dengan heran, "mengatakan apa?"
Sakuya memejamkan matanya, sebelum menatap Oikawa dengan manik birunya, "Oikawa, aku penasaran, sudah berapa lama kau memendamnya?"
"Memendam apa?"
"Emosimu," jawab Sakuya. Tangan gadis itu terulur, menangkup pipi pemuda bersurai coklat itu, dan menariknya mendekati wajahnya. Iris biru nya menatap dalam dalam ke bola mata coklat Oikawa. Ia melanjutkan, "semua emosimu, dimulai dari kemarahan, kekecewaan, penyesalan, keputus asaan, kesedihan. Sudah berapa lama kau memendamnya?"
Pupil Oikawa membesar karena terkejut. Dengan sedikit kasar, ia menepis tangan Sakuya, "apa yang kau bicarakan? Jangan katakan hal hal yang tidak masuk akal!"
"Jangan menyangkalnya, Oikawa. Semua itu terlihat jelas di matamu."
Oikawa terdiam, sedangkan Sakuya masih menatapnya dengan bola mata birunya, memandang jauh ke dalam Oikawa.
"Bagaimana... bagaimana bisa kau... melihatku... sedalam itu?"
Sakuya tersenyum, "ternyata benar. Apa ini ada hubungannya dengan kekalahan kalian melawan Karasuno? Kalau soal itu, kurasa sebaiknya kau tidak perlu terlalu memikirkan-"
"Kau salah."
"Eh?"
"Bukan kekalahan melawan Karasuno. Tapi kekalahanku melawan Tobio."
"Tobio? Siapa dia?"
Oikawa tersenyum kecut, "adik kelasku, sekaligus seorang setter jenius."
"Apa maksudmu, kau kesal karena kau kalah dari seorang jenius? Kau seharusnya tidak berkata seperti itu, Oikawa. Hanya karena Tobio-kun jenius, bukan berarti kau tidak bisa mengalahkannya. Kau harus-"
"KAU LAH YANG SEHARUSNYA TIDAK BERKATA SEPERTI ITU!" tiba tiba Oikawa berteriak kepada Sakuya, membuat gadis itu terdiam.
"Tahu apa kau soal kekalahan?! Kau tidak pernah tahu rasanya dikalahkan karena kau juga seorang jenius! Kau kira aku tidak tahu siapa dirimu, hah?! Walaupun kau menyembunyikannya, aku tahu bahwa kau adalah seorang pemain biola jenius! Aku tahu sejak kecil kau selalu mengikuti perlombaan biola, dan kau selalu menang! Orang sepertimu tidak berhak menceramahiku tentang kekalahan, karena kau tidak pernah tahu rasanya!"
Oikawa meluapkan semua emosinya dalam perkataannya, membuat dadanya sesak. Pemuda itu menatap Sakuya dengan tajam, dan mendapati ekspresi hampa gadis itu. Seketika Oikawa panik, berpikir kalau kata katanya kelewat kasar dan menyinggung perasaan gadis itu.
"Hey, kau baik baik saja? Aku minta maaf-"
"Kau benar, Tooru."
Oikawa kembali terdiam, merasa aneh dengan gadis itu. Sakuya baru saja memanggilnya dengan nama depannya-hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan walaupun ia berbicara, bola mata biru gadis itu tidak bersinar seperti seharusnya. Matanya terlihat kosong, tidak ada jiwa didalamnya.
"Kau benar Tooru," Sakuya kembali berbicara, "aku memang seorang pemain biola jenius. Hanya dengan sekali-duakali latihan, aku sudah bisa memainkan melodi yang sulit. Saat berusia 8 tahun aku mengikuti perlombaan biola nasional, dan aku menang. Sejak itu aku selalu mengikuti berbagai kejuaraan, dan aku tidak pernah kalah sekalipun. Seperti yang kau katakan, aku tidak tahu seperti apa dikalahkan, karena aku tidak pernah kalah."
Oikawa mengertakkan giginya kesal, "lalu kenapa-"
"Tapi,kalau karena bakatku ini aku kehilangan Reika, maka aku lebih memilih tidak punya bakat sama sekali!"
Pemuda bersurai coklat itu mengerjapkan matanya, bingung dengan perkataan Sakuya. Dan siapa itu Reika? Tapi Oikawa tidak sempat memikirkannya lama lama, karena Sakuya yang tiba tiba menjambak rambut pirangnya dan menjerit histeris.
"INI SALAHKU! INI SEMUA SALAHKU! KENAPA BUKAN AKU SAJA YANG MATI?! KENAPA HARUS REIKA?!"
"Hey, hey Sakuya. Tenangkan dirimu!"
"INI SALAHKU! INI SALAHKU! INI SALAHKU! INI-"
"HENTIKAN SAKUYA!"
Sakuya terdiam. Tampaknya teriakan Oikawa mampu menyadarkannya. Dengan perlahan gadis itu menurunkan tangannya, dan mengangkat kepala, memandang wajah rupawan Oikawa yang tengah menatapnya khawatir.
"O-Oikawa..."
"Tenangkan dirimu. Jangan diingat kalau hal itu menyakitimu."
Sakuya menganggukkan kepalanya, "aku baik baik saja sekarang. Terimakasih."
Oikawa diam di tempatnya, masih memandang wajah Sakuya. Keadaan gadis itu memang sudah lebih baik, wajahnya tidak lagi hampa dan bola matanya sudah kembali bersinar, walau redup.
Oikawa mengusap pipi Sakuya dengan tangannya, bermaksud menenangkannya. Dalam hati ia bertanya tanya apa yang membuat gadis yang biasanya kalem itu sampai histeris seperti itu. Namun pemuda itu cukup tahu diri untuk tidak memaksanya bercerita, meskipun ia penasaran setengah mati.
"... sama seperti Iwaizumi bagimu, Reika adalah sahabatku sejak kecil."
Oikawa mengerjapkan matanya, awalnya ia tidak mengerti perkataan Sakuya, tapi akhirnya dia meyadari kalau gadis itu sedang bercerita tentang kenangan buruknya. Oikawa tidak berkata apa apa, dia hanya duduk menghadap gadis itu, mendengarkan setiap perkataannya.
"Reika sangat mengagumi Sherlock Holmes. Ia bahkan bercita cita menjadi detektif, tapi aku mengatakan padanya bahwa hal itu tidak mungkin. Karena itulah, Reika mulai belajar bermain biola. Ia ingin memiliki paling tidak satu kesamaan dengan tokoh idolanya itu. Aku tidak tahu kapan dia belajar. Tiba tiba saja suatu hari ia menunjukkan hasil latihannya di depanku. Harus kuakui, untuk ukuran anak kecil, permainan biola Reika sudah cukup bagus. Saat aku memujinya, Reika sangat senang. Ia bahkan menyuruhku mencobanya juga. Aku menerima tawarannya dengan senang hati, tapi itulah awal dari masalah."
"Apa yang terjadi?"
Sakuya tersenyum sedih, "aku belum pernah bermain biola sebelumnya, memegangnya saja aku belum pernah. Tapi saat aku mulai bermain, aku mampu menghasilkan nada nada yang indah. Bahkan permainanku lebih bagus dari Reika yang telah berlatih dengan keras. Disitulah aku menyadari bakatku, dan bersamaan dengan itu, Reika memandangku sebagai saingan utamanya."
"Tahun demi tahun berlalu. Orangtuaku yang mengetahui bakatku ini memaksaku untuk ikut kursus biola bersama dengan Reika. Aku tidak pernah ingin bermain biola, karena itulah aku sering membolos latihan. Disisi lain, Reika sangat rajin mengikuti latihan dan kursus yang diberikan. Melihatku yang tidak sungguh sungguh membuat Reika marah. Ia bilang seharusnya aku bersyukur karena memiliki bakat itu. Ia bilang seharusnya aku berlatih dengan keras untuk mengembangkan bakatku. Mendengar perkataan Reika membuat emosiku memuncak. Tanpa sadar aku mengucapkan kata kata yang tidak seharusnya aku katakan."
Sakuya menghela nafas, suaranya bergetar saat ia berbicara, "aku bilang padanya 'kau menceramahiku, karena kau sebenarnya iri padaku, bukan? Kau iri padaku, karena aku memiliki bakat yang sama dengan tokoh idolamu, kan? Ironis sekali. Bakat yang kau dambakan malah dimiliki oleh sahabatmu sendiri, yang sebenarnya tidak tertarik dengan bakat ini. Kalau aku bisa memberikan bakat bodoh ini padamu, maka sudah dari dulu aku berikan.'"
Oikawa tercengang, tidak menyangka seorang gadis seperti Sakuya bisa berkata sedemikian kasarnya pada sahabatnya sendiri. Ia berkata, "apa yang terjadi selanjutnya?"
"Reika menamparku, dan mengatakan bahwa kami bukan sahabat lagi. Dan memang itulah yang terjadi. Kami tetap mengikuti kursus yang sama, tapi kami tidak pernah berbicara satu sama lain. Awalnya aku tidak begitu peduli, tapi lama lama aku merasa bersalah. Aku memutuskan meminta maaf pada Reika. Aku mendatangi rumahnya pada sore hari setelah audisi orkestra tingkat nasional. Namun yang kutemukan di rumahnya adalah... tubuh Reika... yang tergantung... di langit langit kamarnya..."
Pundak gadis itu bergetar saat ia mengucapkannya. Oikawa lalu merangkul Sakuya dari samping, bermaksud menenangkannya. Pemuda itu juga menggenggam telapak tangan gadis itu, berharap bisa membuat Sakuya merasa lebih baik. Lama mereka diam di posisi itu sebelum Sakuya melanjutkan.
"Polisi mengatakan kasus itu sebagai kasus bunuh diri akibat depresi, karena tidak ditemukan bekas bekas kekerasan di tubuh dan di kamar Reika. Tapi di meja belajarnya mereka menemukan kertas yang penuh dengan tulisan tulisan aneh. Karena mereka tidak tahu apa maksud tulisan itu, mereka menganggap itu hanyalah iseng belaka. Padahal sebenarnya, kertas itu adalah pesan kematian Reika... untukku."
"Reika menulis pesan itu dengan menggunakan sandi yang kami ciptakan bersama, karena itulah aku yakin pesan itu hanya ditujukan untukku. Bunyi pesannya adalah aku sangat membencimu Sakuya-chan, sampai aku ingin sekali membunuhmu. Tapi tiba tiba aku ingat dengan Ratu Jahat di cerita Putri Salju yang dulu sering kita baca. Aku menyadari bahwa posisiku sekarang sama dengannya. Kami sama sama ambisius, Sang Ratu dengan kecantikannya, dan aku dengan permainan biola. Tapi yang menyedihkannya adalah, kami sama sama tidak memiliki apa yang paling kami inginkan. Hal yang kami inginkan malah dimiliki oleh orang terdekat kami, yaitu Putri Salju dan kau.
Hal ini membuatku semakin sedih, karena kesannya akulah penjahatnya, sedangkan kau adalah tuan putri yang tak berdosa. Aku tidak ingin hidupku berakhir seperti Sang Ratu-menjadi nenek sihir yang jahat. Bagaimanapun juga, kau adalah sahabatku, Sakuya-chan. Aku tidak ingin dendam mengontrolku, dan berujung dengan membunuhmu. Karena itulah, aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku, agar aku tidak perlu menjadi tokoh antagonis, dan juga agar aku tidak perlu merasakan ketidakadilan di dunia yang kejam ini. Sampai jumpa, Sakuya-chan. Aku harap kita bisa bertemu lagi di dunia baru, dimana kita bisa bersama sebagai sahabat, tanpa ada dendam diantara kita."
Sakuya menutup mulutnya dengan tangannya. Iris biru gadis itu berkaca kaca, tapi tidak ada setetes pun air matanya menetes. Oikawa mengeratkan pelukannya, dan dia juga membisikkan beberapa kata untuk menenangkan gadis itu. Setelah cukup lama, Sakuya menghembuskan nafas, dan menatap Oikawa sambil tersenyum kecil.
"Maafkan aku, kau jadi mendengarkan hal tidak penting seperti tadi."
Oikawa menggeleng, "tidak apa. Aku senang kau msu menceritakannya padaku."
Mereka saling menatap wajah satu sama lain untuk beberapa saat, sebelum Sakuya berkata, "Oikawa, yang ingin kukatakan padamu adalah, kau tidak boleh menyerah, walaupun lawanmu adalah seorang jenius sekalipun."
"Tapi sekeras apapun usahaku, aku tetap tidak saja kalah."
Sakuya tersenyum, "usaha tidak pernah mengecewakan hasil, Oikawa. Ingatlah itu selalu kapanpun kau ingin menyerah. Mungkin sekarang belum waktumu untuk menang, tapi waktu itu pasti datang padamu suatu hari nanti. Sambil menunggu waktumu tiba, kau harus berusaha sekeras mungkin."
Oikawa memalingkan wajahnya dari tatapan Sakuya yang seakan akan menembus jauh kedalam dirinya.
"Nee... apa Tobio-kun ini punya teman dekat?"
"Umm... kurasa tidak, mengingat dia selalu sendirian." Jawab Oikawa setelah berpikir sejenak, "tapi kenapa kau tiba tiba bertanya?"
"Kami, orang orang yang kalian panggil jenius, sebenarnya adalah orang yang sangat kesepian. Kalian mengagumi kami, tapi disaat bersamaan, kalian juga menjauhi orang orang seperti kami. Kalian berpikir berteman dengan kami akan membuat kalian tertekan dengan kejeniusan kami. Itulah sebabnya kami selalu kesepian. Aku pribadi sebenarnya lebih memilih terlahir normal daripada harus hidup dalam kesepian. Dan kurasa, mungkin Tobio-kun pernah berpikir demikian."
Masih dengan memalingkan wajahnya, Oikawa berkata, "tapi sekarang tidak lagi. Tobio punya tim yang mendukungnya."
"Mungkin benar, tapi, bukankah kau juga sama? Iwaizumi dan seluruh anggota tim volimu, bukankah mereka siap mendukungmu? Mereka menerimamu sebagai kapten mereka, apa hal itu belum cukup untuk membuktikannya?"
Perkataan Sakuya seakan akan menampar Oikawa, membuatnya kembali tersadar. Sakuya benar, Oikawa telah lama memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh Kageyama, yaitu kepercayaan anggota timnya.
DZIIINGG
DOORRR
Suara kembang api yang ditembakkan membuat pasangan ini menatap kearah langit yang kini dipenuhi oleh warna warni dari kembang api. Langit semula bewarna hitam legam, kini diwarnai oleh berbagai warna yang menakjubkan. Oikawa menatap wajah Sakuya yang tampak sangat menikmatinya. Pemuda itu merasa desiran aneh di dadanya manakala ia menatap wajah rupawan itu.
"Cantik sekali." Tanpa sadar Oikawa menyuarakan pemikirannya.
"Hmp. Kau benar." Jawab Sakuya, mengira pemuda itu membicarakan pertunjukan kembang api, bukannya dirinya.
Dan sepanjang pertunjukan itu, Oikawa menatap wajah Sakuya. Pemuda itu memegang dadanya, dan merasakan detak jantungnya yang kencang.
Mungkinkah... aku jatuh cinta?
Sudah lewat seminggu sejak kencan ganda itu, dan Iwaizumi melihat keanehan pada Oikawa. Pemuda itu sering melamun sendiri dan wajahnya tidak pernah menampakkan senyuman jahil khas-nya. Keanehan itu semakin tampak saat Oikawa tiba tiba ingin curhat dengan Iwaizumi.
"Ada apa, Oikawa? Kau ada masalah dengan Sakuya?"
Oikawa menggeleng, "Iwa-chan, apa kau pernah galau selama berpacaran dengan Rei-chan?"
"Hah? Apa yang kau bicarakan?"
"Tidak ada. Lupakan." Jawab Oikawa sambil berjalan pergi meninggalkan Iwaizumi yang kebingungan.
Iwaizumi merasa ada yang tidak beres. Karena itulah ia bermaksud menemui Sakuya keesokan harinya. Beruntung ia berpapasan dengan gadis itu di koridor, sehingga ia tidak perlu repot repot mencarinya.
"Sakuya, aku ingin kau menjawab pertanyaanku dengan jujur. Ini tentang Oikawa."
"Tentu. Apa pertanyaanmu?"
"Kau dan Oikawa tidak pernah berpacaran, bukan?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu? apa Rei memberitahumu sesuatu?" Sakuya balik bertanya.
"Tidak. Aku yang memaksanya memberitahuku."
Sakuya tertawa kecil, "melindungi pacarmu, kah? Romantisnya. Dan ya, kami tidak pernah berpacaran. Apa kau tidak suka, Iwaizumi?"
"Bukan begitu. Hanya saja selama seminggu ini Oikawa murung, dan aku yakin hal ini ada kaitannya denganmu. Aku rasa-"
"Jangan khawatir, Iwaizumi," potong Sakuya tiba tiba, "kalau kau mengkhawatirkan aku akan memainkan perasaan Oikawa, maka kukatakan padamu. Aku tidak pernah menyukai Oikawa. Dan kalau Oikawa menyukaiku, maka aku akan menolaknya."
Setelah mengatakannya, Sakuya berjalan pergi, meninggalkan Iwaizumi yang terdiam ditempatnya. Yang tidak mereka ketahui adalah, Oikawa yang mendengarkan percakapan mereka dari balik dinding. Ditangan pemuda itu tergenggam sebuket mawar merah, yang sudah kehilangan bentuknya akibat remasan tangannya.
Oikawa membuang buket bunga itu dan berjalan gontai menuju lokernya. Dia berdiri disana dengan tatapan kosong, memikirkan perkataan Sakuya yang tidak sengaja didengarnya. Tubuhnya seakan akan tidak bertulang, dan kakinya tidak sanggup menahan bobot tubuhnya. Pemuda itu lalu jatuh merosot menghadap ke lokernya. Ia menyembunyikan wajahnya dibalik lututnya, dan mulai menangis.
Tiba tiba punggungnya merasakan beban lain. Ia memalingkan sedikit kepalanya, dan melihat Iwaizumi duduk bersandar di punggungnya.
"Iwa-chan... bukannya kau ada kencan dengan Rei-chan?" kata Oikawa dengan suara parau.
"Kencannya ditunda. Jangan khawatir, aku yakin Rei pasti mengerti."
Tidak ada jawaban dari Oikawa. Iwaizumi menghela nafas dan berkata, "lakukanlah sepuasmu. Aku tidak akan kemana mana."
Dan Iwaizumi merasakan punggung Oikawa bergetar diikuti dengan isakkan kecil. Jelas sekali bahwa Oikawa Tooru sedang mengalami patah hati, bahkan sebelum cintanya bersemi. Sungguh ironis.
Cukup lama mereka diam diposisi itu, sebelum akhirnya suara Oikawa kembali terdengar, "aku baik baik saja sekarang. Terimakasih Iwa-chan."
Iwaizumi menjawab dengan gumaman. Ia lalu memberikan saputangan kepada Oikawa, yang diterima dengan senang hati.
"Bagaimana kau tahu kalau aku berada disini?" tanya Oikawa
"Tadi aku melihatmu. Ya ampun, tak kusangka kau akan mendengar pembicaraanku dengan Sakuya. Harusnya aku mengajaknya ketempat yang lebih sepi."
"Tidak masalah, Iwa-chan. Lebih baik mendapat kenyataan pahit daripada kebohongan yang manis."
"Sesukamulah," Iwaizumi melangkah pergi. Namun melihat Oikawa yang masih diam ditempatnya membuatnya membalikkan badan, "apa yang kau tunggu? Ayo pulang."
Oikawa tertegun, sebelum akhirnya ia mengikuti Iwaizumi. Dalam hati, ia benar benar bersyukur punya sahabat seperti Iwaizumi yang peduli padanya.
-OMAKE-
"Iwa-chan, kau sangat baik padaku. Bagaimana kalau kau jadi pacarku saja?"
"Mati saja kau, guzukawa." Jawab Iwaizumi dengan dingin.
Yeaayyy... tamat sudah cerita nista ini~ Grey minta maaf kalau Oikawa jadi OOC. Grey tiba tiba lupa cara menulis, dan hampir terkena WB. Untunglah ada kawan baek yang mendukung. Maacih ya say~
Dan juga Grey dengan kenistaannya malah membuat beberapa adegan IwaOi di sini. Apa boleh buat, soalnya IwaOi adalah OTP Grey di Haikyuu! Grey sebenarnya kayak Sakuya, diam diam berharap Iwa-chan dan Oikawa jadian. Tapi kawan Grey-masih orang yang sama dengan yang diatas- marah marah karenanya. Dia bilang, "Rei sama Iwa-chan dah cocok, jangan dipisahin lagi! kasian Rei nya." begitulah. makanya Grey gak jadi bikin cerita BL. *sedih*
Beberapa kata kata motivasi yang Sakuya ucapkan itu sebenarnya adalah moto hidup kawan Grey- sebut saja Selena Gomez (gak bohong, dia emang dipanggil selena). Makasih ya say~ berkat dirimu,Grey bisa dapat inspirasi untuk cerita ini.
Grey ingin tahu pendapat minna tentang cerita ini. Apa feels nya dapat? Apa minna ngerti dengan alurnya? Grey tahu ada beberapa plot hole dalam cerita, karena itulah Grey minta kritik dan saran minna lewat review. Grey tunggu reviewnyaa~
Sekian dulu dari Grey... Nantikan karya Grey selanjutnya, yaa... Bye~
.
.
.
.
.
.
END
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
bohong, kok. jangan khawatir, masih ada satu chapter lagi untuk menyelesaikan masalah Oikawa-Sakuya. tapi Grey gak janji bikin happy end~ *digebuk masa* *berlindung dibelakang iwa-chan*
tapi Grey tetap minta review minna-san, yaa.. supaya Grey tahu apa aja yang musti di perbaiki. kritikan atau pujian akan Grey terima dengan lapang dada. sampai jumpa di chapter depan~
