Opium
.
Rated : M
Warning : No children, B x B, M-Preg (maybe)
Summary : Pria ini, Chanyeol, aku mengenalnya sebagai penggoda yang handal, pecandu yang fatal, kesalahan yang paling manis. Semua yang kulakukan adalah dosa, tapi di tangannya, dosa dosa itu berserakan di kaki, terlupakan. Maka aku akan menggila, membiarkan tangannya menyentuh lebih dalam. Membiarkan ia meraup semua pasokan oksigenku. Membiarkan dirinya menginvansi dan mengisi pikiranku dengan namanya. Aku hanya harus menjaga sebuah sisi kecil dalam akal sehatku—yang akan menghentikannya ketika semua sudah terlalu jauh.
Pamanku ini kecanduan denganku,
Dan aku tidak pernah bilang jika diriku keberatan akan hal itu.
.
.
candu/can·du/ n 1 sesuatu yang menjadi kegemaran;
Pria bodoh yang sedang berpangutan dengan panas di depan apartemenku itu adalah pamanku.
Wanita yang ada di pelukannya mengeliat nyaman—siapa yang akan risih dicium orang tampan, seperti mengundang si tiang bodoh untuk berbuat lebih. Aku mengerjap sebentar, menatap mereka berdua dan kemudian menyunggingkan senyum miring. Apalagi ketika salah satu dari mereka akhirnya menyadari keberadaanku.
"Hyorin," Chanyeol—itu nama si tiang bodoh, melepaskan pangutannya. "Kurasa aku harus pergi sekarang."
Samar samar aku mendengar suara beratnya.
"Benarkah? Tidak ingin melanjutkannya ke sesuatu yang lain?" Gadis dengan kulit eksotis yang seksi itu mengerling nakal, "Aku tidak punya janji."
"Maaf, mungkin nanti malam?" Chanyeol tersenyum. Menolaknya dengan halus, huh.
"Kenapa kau terburu buru?" Kutebak gadis itu sudah tidak dapat menahan gairahnya, dia mendekatkan tubuh sintalnya pada Chanyeol dan mulai merengek.
"Aku harus menemani keponakanku."
Chanyeol menunjuk ke arahku dan yang ada di lengannya menarik pandang ke arahku. Menemukan seorang bocah yang berdiri beberapa meter dari mereka.
Yah, aku menyunggingkan senyum miring. Maaf menganggu acara penuntasan hasratmu, noona.
"Kalau begitu aku akan memberikan padamu hadiah sebelum kau menemani bocah itu."
Hey, tapi aku bukan bocah.
Aku mengawasi tangan nya yang dengan sensual merayap ke bawah perut Chanyeol. Oh, berhenti tepat di penisnya. Aku mengangkat alis, menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
Gadis itu mulai meremasnya sensual, sekali, dua kali. Ia mengigit bibirnya dan menatap Chanyeol.
".. Kau benar benar menolakku untuk menemanimu malam ini?"
"Ya." Chanyeol tidak terlihat terangsang, berkata mantap.
"Dan bisakah kau melepaskan tanganmu? Seseorang sedang melihat kita."
Merasa disebut, aku menyeringai.
"Apa kau sama sekali tidak bergairah?!"
Aku tertawa kecil di tempat. Bergairah padamu? Yang benar saja—
"Tidak sama sekali. Aku pergi."
Pamanku itu, sudah lama sekali kecanduan pada tubuhku.
...
Pamanku—aku lebih suka memanggilnya Chanyeol, terlihat seperti pria yang normal. Usianya genap dua puluh lima, di usia yang matang seperti itu, memang sudah sepantasnya dia berkencan dengan banyak wanita berdada besar dan berbibir tebal, atau kadang bersuara rendah dan memiliki paha yang besar. Dia juga seperti pria lainnya, suka mengurung di kamar dan melakukan sesuatu pada selangkangannya—yang kalian pasti tahu itu apa. Hanya saja, yang membedakan pamanku ini dengan yang lain adalah ; ia sebetulnya hanya tertarik pada diriku.
Ralat, pada tubuhku.
Siapa yang menyangka, di balik wajahnya yang sangat tampan, ternyata ia menyukai keponakannya sendiri—seorang bocah yang baru lulus sekolah menengah atas.
Apa yang menyebabkan Chanyeol ketagihan dengan tubuhku? Aku tidak terlalu mengerti. Aku hanya senang menggodanya (mengelus penisnya, meremasnya, tapi aku bersumpah ia belum pernah melakukan itu) saat umurku empat belas. Sekarang umurku sembilan belas, yang artinya sudah lima tahun lamanya Chanyeol mengilai tubuhku.
Ia tidak bisa ereksi dengan mudah.
Tapi ia sangat mudah terangsang padaku, bahkan dengan satu gerakan kecil pada bokongku sudah membuatnya bergairah. Aneh memang, padahal dipikir pikir, bokongku tidak semenarik milik pacar-pacarnya. Bibirku juga ukuran standar—tidak tebal dan tidak terlalu tipis juga, bukan jenis terbaik yang bisa memberikan blowjob terpanas. Intinya, kupikir tubuhku tidak se-menggoda itu sampai bisa membuat seseorang kecanduan.. Tapi kenyataannya, ada seseorang. Dan orang itu adalah pamanku sendiri, yang sedang berjalan ke arahku dan dengan santai melingkarkan tangannya di sekitar bahuku.
"Kenapa kau tidak mengirim pesan? Aku bisa menjemputmu."
Aku mengeliat, risih dengan beban tangannya. "Aku ingin mengganggu waktumu dengan pacar barumu. Omong omong, dia cukup seksi."
"Tapi dia tidak pernah lebih seksi darimu, Baekhyun."
Bulu kudukku meremang hanya karena ia menyebut namaku dengan suaranya yang dalam dan serak.
"Bokongnya bagus," Aku tertawa canggung, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Apakah kau pernah meremasnya?"
Tidak ada jawaban, sehingga aku menekan tombol down pada lift sebelum berbalik, menatap dirinya.
Ting! Pintu terbuka.
Dia mendorongku masuk ke dalam lift dengan lembut. Aku terkejut, menatap wajahnya yang terlihat sangat.. Menggoda. Ia mengurungku di antara tangannya sedangkan pintu besi itu tertutup secara otomatis di belakangnya.
"Kau tahu dengan pasti, Baekhyun. Aku lebih suka untuk meremas ini—" Ia menangkup kedua pantatku, perlahan meremasnya. "—Daripada bokong wanita manapun."
Aku menggigit bibir, "C—Chanyeol."
"Ya, sayang?"
"J—jangan lakukan ini disini."
"Kenapa tidak, sayang?" Chanyeol tersenyum licik, perlahan satu tangannya merayap dan menangkup aset-ku.
Tuhan.
Tanganku refleks mencoba mendorong tubuhnya untuk menjauh, tapi terlambat, si tiang bodoh ini sudah terlebih dahulu menarikku ke dalam lumatan dengan tangan yang meremas penisku. Damn, aku mati matian menahan desahan saat ia menambahkan lututnya untuk menggesek area selatan milikku.
"Aku benar benar merindukan tubuh ini.." Chanyeol bergumam di sela pangutan. Ia mengigit bibirku kecil, meminta akses untuk masuk ke dalam rongga mulutku.
Kami berakhir dengan saling berpangutan dengan tangannya yang ada di selangkanganku dan decakan lidah di dalam lift.
Pria ini, Chanyeol, aku mengetahuinya sebagai pria yang berbahaya. Tidak, ia bukan mafia. Dia hanya penggoda yang handal, pecandu yang fatal, sehingga bersama dengannya dalam 24 jam adalah kesalahan.
Kesalahan yang manis.
Semua yang kulakukan adalah dosa, tapi di tangannya, dosa dosa itu berserakan di kaki, terlupakan. Aku menggila, membiarkan tangannya menyentuh lebih dalam. Membiarkan ia meraup semua pasokan oksigenku. Membiarkan dirinya menginvansi dan mengisi pikiranku dengan namanya. Aku hanya harus menjaga sebuah sisi kecil dalam akal sehatku—yang akan menghentikannya ketika semua sudah terlalu jauh.
Pamanku ini kecanduan denganku,
Dan aku tidak pernah bilang jika diriku keberatan akan hal itu.
TO BE CONTINUED
Next Chapter is waiting but can you leave a review for me first?
Thank you.
