Tittle : Complicated
Author : LovePanDragon-PHB
Main Cast :
- Huang Zi Tao as Tao
- Wu Yi Fan as Kris
- Kim Jongin as Kai
- Park Chanyeol as Chanyeol
Other Cast : Akan muncul seiring berjalannya waktu
Pairings : KrisTao/KaiTao/ChanTao
Other Pairings : Akan muncul seiring berjalannya waktu
Length : Chapter 1
Genre : a Little 'bit Angst, Hurt
Rating : T+
Disclaimer : Cast diatas ada milik Tuhan, orangtua mereka, SMEnt, kecuali TaoRis milik saya..#dibakartaorisshipper. Cerita ini MURNI pemikiran saya, apabila ada kejadian atau persamaan lainnya, saya mohon maaf. Tapi ini MURNI hasil pemikiran saya. SO DON'T PLAGIAT! DON'T COPAS!
Warning: OOC (Out Of Character), Miss Typo(s), Yaoi, Alur cerita yang makin gaje.. Dan masih banyak kekurangan lainnya.. DON'T LIKE! DON'T READ! NO BASHING!
Happy Reading~
And the story begin~
Apa definisi kebahagiaan bagi kalian semua?
Apa definisi cinta untuk kalian?
Adakah dari kalian yang bisa menjelaskannya padaku?
Adakah dari kalian yang dapat mengajarkannya kepadaku?
Karena walaupun aku terus berusaha untuk mencari jawabannya..
Hanya kehampaan yang aku dapat..
Hanya rasa kecewa yang aku terima..
Hanya rasa kehilangan yang teramat sangat yang aku dapatkan..
Hanya rasa sakit yang sangat menyiksa yang aku rasakan..
Hanya rasa.. Entahlah.. Aku bahkan sudah tidak dapat mengetahui apa itu semua..
Aku rasa.. Aku sudah tidak mempunyai jiwa lagi.. Terasa hampa..
Ya.. Hanya kekosongan yang dapat aku rasakan..
Jadi.. Bisakah di antara kalian yang dapat menjelaskannya padaku?
Apa arti kebahagiaan dan terlebih..
Apa itu..
.
.
.
Cinta?
SEOUL, 24 Desember 2009
Tampak seorang pemuda tengah berdiri memandangi sebuah pohon natal besar di tengah kota. Ramainya orang yang berlalu lalang tidak sedikitpun membuat pemuda berparas manis itu terganggu. Nampak pemuda manis itu mulai mengeratkan syal dan juga jaket yang dikenakannya. Hembusan nafasnya pun terlihat mengepul menandakan bahwa cuaca malam itu benar-benar sangat dingin. Pemuda manis dengan surai hitam dan bermata panda itu menatap kosong ke arah pohon natal itu, tak menghiraukan suara tawa orang-orang di sekitarnya.
Malam ini adalah malam natal, tampak semua orang tengah berbahagia. Ada yang sedang duduk bersama dengan teman-temannya sambil bersenda gurau. Adapula pasangan yang saling bergandengan tangan dan tertawa bahagia. Pemuda manis itu mengedarkan pandangannya menatap kosong orang-orang di sekitarnya.
"Apa itu bahagia? Mengapa mereka semua bisa tertawa seperti itu? Kapan aku juga bisa merasakan hal itu ?" Gumam pemuda manis itu lirih.
Pemuda manis itu mengatupkan kedua tangannya lalu meniup pelan—berusaha untuk menghangatkan kedua tangannya yang sudah kedinginan karena ia tidak menggunakan sarung tangan di tengah cuaca dingin seperti ini.
Kembali pemuda manis itu mengedarkan pandangannya, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada sebuah keluarga kecil di sebuah cafe yang terletak tidak begitu jauh dari tempat dirinya berdiri saat ini. Pemuda manis itu menatap sendu keluarga kecil yang tengah tertawa dan bersenda gurau bersama. Cairan bening mulai menghiasi kedua iris kelamnya yang indah.
"Kapan terakhir kali aku merasakan hal itu?" Gumamnya lirih. "Rasanya seperti baru terjadi kemarin." Lanjutnya sambil tersenyum pahit.
"Apa aku juga bisa merasakan kebahagiaan seperti yang sedang mereka rasakan saat ini?"
TES
Setetes airmata berhasil lolos menghiasi pipinya. Kemudian pemuda manis itu mengalihkan pandangannya ke langit malam yang mulai menurunkan butiran-butiran salju yang tampak sangat indah.
Pemuda manis itu mengulurkan kedua tangannya membiarkankan butiran-butiran salju menyentuh kedua tangannya—mengabaikan sensasi dingin ketika butiran salju itu menyentuh telapak tangannya—
PUK
Sebuah tepukan di pundaknya membuatnya tersadar lalu segera mengalihkan pandangannya ke arah seorang pemuda tampan yang saat ini tengah tersenyum kepadanya.
"Apa yang sedang kau lakukan di tengah keramaian seperti ini?"
Pemuda manis itu memiringkan kepalanya menatap sang pemuda tampan dengan raut wajah bingung. "Siapa kau? Apa aku mengenalmu?"
"Ah.. Maafkan aku. Aku lupa memperkenalkan diri." Pemuda tampan itu menepuk keningnya—menyadari kebodohannya mungkin. "Namaku Kim Jongin.. Kau boleh memanggilku Kai." Lanjut Kai—pemuda tampan itu— sambil mengulurkan tangannya—bermaksud untuk berjabat tangan—.
Pemuda manis itu menautkan kedua alisnya melihat uluran tangan Kai. Sepertinya pemuda manis itu masih sedikit ragu dengan pemuda asing yang secara tiba-tiba muncul di hadapannya tersebut. Pemuda manis itu menatap Kai dengan tatapan bingung serta ragu. Di satu sisi Kai masih terus mempertahankan posisinya dan tersenyum layaknya orang bodoh..
Cukup lama mereka berdiam diri dan bertahan pada posisinya masing-masing. Hingga akhirnya pemuda manis itu mengeluarkan suaranya memecah keheningan yang melingkupi mereka berdua—perlu diingatkan jika suasana di sekeliling mereka masih ramai dengan orang yang berlalu lalang—seperti tercipta ruang lain untuk mereka.
"Namaku.. Huang Zi Tao. Kau boleh memanggilku Tao." Tao—pemuda manis itu—membalas uluran tangan Kai—walaupun dengan sedikit ragu.
Kai tersenyum lega sambil tetap menggenggam erat tangan Tao. "Senang berkenalan denganmu Tao."
"I-iya. Senang berkenalan dengamu Kai." Ujar Tao sambil berusaha tersenyum—namun alih-alih tersenyum, ia malah terlihat seperti orang yang tengah meringis menahan sakit gigi—
Kai yang menyadari dan juga melihat senyum Tao tak mampu untuk menahan tawanya. "Hahaha.. Apa kau takut padaku Tao?"
"T-tidak. Tentu saja tidak. Kenapa aku harus takut pada Kai?" Tao menggelengkan kepalanya, tidak membenarkan apa yang sudah dikatakan Kai.
"Hahaha.. Ya. Ya. Aku percaya." Ujar Kai tersenyum melihat reaksi dari pemuda manis yang berada di hadapannya. "Lalu, apa yang sedang kau lakukan seorang diri di tengah keramaian ini. Dari awal aku memperhatikanmu, kau hanya menatap pohon natal ini. Apa pohon natal ini begitu menarik perhatianmu?" Kai menunjuk ke arah pohon natal besar yang sangat indah itu.
Tao tersentak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh pemuda tampan berkulit tan yang sedang berdiri di hadapannya tersebut. Ia mengerutkan keningnya tampak seperti tengah memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan pemuda tampan tersebut.
"Aku hanya sedang berpikir—" Jeda. Kembali ia memilah-milah kalimat yang tepat untuk jawaban dari pertanyaan tersebut.
"Ya?" Dengan sabar Kai menunggu lanjutan dari kalimat Tao yang menggantung tersebut.
"—Apa itu kebahagiaan?" Kai mengerutkan keningnya mendengar kalimat—atau bisa dikatakan jawaban—yang dilontarkan oleh Tao. 'Apa maksudnya?' Ingin sekali ia bertanya, namun ia menahan itu semua karena berpikir jika pemuda manis di hadapannya tersebut masih belum selesai bicara.
Tampak pemuda manis tersebut menghela nafas sebelum melanjutkan kalimat—atau jawabannya tersebut— "Dan apa aku juga masih bisa—pantas—merasakannya?" Tao mengedarkan pandangannya ke arah kerumunan orang yang sedang tertawa bahagia. Pandangannya mendadak berubah sendu dan kembali senyuman pahit yang menghiasi wajah manisnya. Kai menyadari tatapan itu, menyadari perubahan ekspresi wajah Tao yang terlihat begitu—sendu dan—kecewa—.
"Mengapa mereka semua bisa tertawa dan tampak bahagia seperti itu? Seperti tidak ada satu pun masalah yang menghampiri mereka—walaupun aku pernah merasakannya—atau setidaknya—mungkin—?" ujar Tao lirih, namun masih mampu di tangkap oleh indra pendengaran Kai. Tampak Kai tersentak kaget mendengar jawaban dari Tao.
Pemuda tampan berkulit tan tersebut kembali diam setelah mendengar jawaban—atau mungkin lebih tepatnya sebuah pertanyaan yang harus ia jawab—. Otaknya sibuk memikirkan kata—atau mungkin kalimat atau mungkin jawaban—yang tepat. Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua, namun semua itu tak bertahan lama ketika Kai tersenyum tulus kepada Tao."Kau juga bisa seperti mereka Tao. Aku yakin kau juga bisa merasakan apa itu kebahagiaan. Semua orang pantas bahagia. Dan kau juga salah satu dari orang-orang tersebut. Termasuk diriku."
Tampak pemuda manis tersebut tertegun sesaat. Senyuman itu terlihat begitu tulus—tampak seperti malaikat baginya—. Kalimat yang dilontarkan oleh pemuda asing itu pun—Tao masih menganggap Kai orang asing namun entah mengapa ia tidak merasakan takut sedikitpun—terdengar begitu tulus dan jika boleh jujur, Tao merasakan rasa nyaman dan entahlah. Ia tidak yakin dengan yang ia rasakan saat ini. Apakah Kai yang akan mengajarkan padanya arti sebuah kebahagiaan yang sesungguhnya? Ia pun sedikit ragu dan sangsi—mengingat mereka baru berkenalan—. Tapi melihat senyuman itu, entah mengapa ia merasakan sebuah kepercayaan lebih terhadap pemuda berkulit tan tersebut.
oOo
"Rumahmu di mana Tao? Mau aku antarkan pulang?" Tanya Kai terhadap pemuda manis yang saat ini tengah memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. Mungkin sudah hampir satu jam lamanya mereka berdua duduk di bawah pohon natal besar tersebut. Mereka saling memperkenalkan diri masing-masing. Bersenda gurau dan Tao menikmati itu semua. Ia mampu tertawa bahagia mendengar berbagai lelucon yang di ceritakan oleh Kai. Namun setelah mendengar pertanyaan yang di ucapkan oleh Kai. Ekspresi wajahnya kembali berubah sendu.
"Aku.. Sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi Kai." Tao menundukkan kepala menatap ujung sepatunya.
"Apa maksudmu? Kenapa kau bisa tidak mempunyai tempat tinggal lagi?" Kai mengulurkan tangannya untuk memegang dagu Tao dan membuat Tao melihat ke arahnya. Dan saat itu juga dapat ia lihat bulir-bulir airmata yang mulai membasahi wajah manis Tao.
Ia tampak terkejut melihat Tao yang tiba-tiba menangis. "Hey.. Kenapa kau menangis?" ujar Kai kebingungan. Jujur saja ia tidak mengetahui penyebab pemuda manis bermata seperti panda—ia menganggapnya demikian—.
Orang-orang sekitar yang tengah berjalan mulai menatap aneh ke arah mereka berdua bahkan ada yang dengan terang-terangan menunjuk-nunjuk ke arah mereka berdua—atau mungkin lebih tepatnya jika orang-orang tersebut menunjuk ke arah Kai—.
"Tsk.. Lihat pemuda itu, dia membuat pemuda manis itu menangis."
"Tega sekali orang itu.. Membuat namja semanis itu menangis."
"Ya! Bukan aku yang membuatnya menangis. Kalian salah paham! Sungguh.. Bukan aku yang membuatnya menangis." Kai mengibas-ngibaskan kedua tangannya panic ketika mulai mendapat tatapan menusuk dari orang-orang yang memperhatikan mereka berdua.
"Ya! Kau..! Berhentilah menangis. Kau membuat semua orang salah paham kepadaku Tao." Kai mengacak rambutnya, frustasi karena Tao masih saja menangis. Tanpa pikir panjang ia segera bangkit berdiri lalu menarik tangan Tao.
"Sudahlah. Ayo. Kita pindah tempat saja." Kai menarik Tao menjauh dari pohon natal besar itu tanpa menghiraukan tatapan dari orang sekitarnya.
oOo
20 Menit kemudian
Kini Kai dan Tao tengah berdiri di depan sebuah rumah yang minimalis namun tampak sangat nyaman. Tampak Tao tertegun sesaat melihat bangunan di hadapannya saat ini.
"Ini.. Rumah siapa Kai?" Akhirnya Tao membuka suaranya setelah selama perjalanan tadi hanya menangis, dan itu semakin membuat Kai sangat frustasi karenanya.
"Ini rumahku. Kenapa?" Kai menatap Tao yang tampak bingung.
"Ru-rumahmu? Untuk apa kau membawaku ke sini Kai?" Tao memiringkan kepalanya dan menatap Kai bingung.
"Bukankah tadi kau bilang kau sudah tidak mempunyai tempat tinggal? Karena itu aku membawamu ke rumahku. Aku tidak mungkin membiarkan kau tidur sendirian di tengah jalan dengan cuaca dingin seperti ini. Aku ini masih punya perasaan Tao." Kai mempoutkan bibirnya kesal.
Kembali Tao tersentak kaget mendengar ucapan yang keluar dari bibir pemuda tampan berkulit tan yang berdiri di hadapannya saat ini.. Mata Tao kembali terlihat berkaca-kaca.. Kai yang menyadarinya, langsung terlihat gugup.
"Ya! Ya! Jangan menangis lagi." seru Kai yang mulai terlihat panic ketika melihat airmata mulai mengalir membasahi pipi Tao.
"Haishh.. Astaga.." Ia kembali mengacak rambutnya frustasi.
GREP
Tanpa sadar Kai menarik Tao kedalam pelukannya. Tao tersentak kaget karena ulah Kai.
"Jangan menangis. Jangan menangis lagi. Aku mohon. Maafkan jika aku sudah membuatmu menangis lagi." Kai mengusap pelan punggung Tao. Tao menganggukan kepalanya tanda ia tidak akan menangis lagi. Kai melonggarkan pelukannya, lalu tatapan keduanya bertemu. Lama ia memandangi wajah Tao. Hingga akhirnya entah mendapatkan keberanian dari mana, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Tao. Tampak Tao tersentak kaget, namun ia tidak mampu untuk menolak ataupun menjauh. Mata itu.. Mata itu seakan telah menghipnotis dirinya, membuatnya diam terpaku dan memejamkan kedua mata pandanya. Deru nafas mereka berdua semakin terasa ketika jarak diantara mereka berdua semakin menipis.. Dan..
CHU..
Bibir keduanya pun bertemu. Perasaan hangat melingkupi mereka berdua di tengah cuaca bersalju dan dingin malam ini. Hanya sebuah kecupan lembut tanpa rasa menuntut sama sekali. Entah apa yang sudah dirasakan oleh mereka berdua. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu semua itu.
oOo
SEOUL, 06 November 2011
TAO POV
Tanpa terasa sudah hampir dua tahun aku tinggal bersamanya. Bersama dengan pemuda tampan yang telah menolongku dari rasa kesendirianku. Pemuda tampan yang banyak mengajarkan kebahagiaan untukku. Pemuda tampan itu Kim JongIn namanya. Tapi dia biasa di panggil Kai.
Dulu.. Kami sangat bahagia—hingga mungkin banyak orang yang iri dengan kami. Ya.. Aku dapat merasakan kembali arti sebuah kebahagiaan dari dirinya. Aku dapat merasakan bagaimana rasanya menyukai bahkan mencintai seseorang dengan setulus hatiku. Ya.. Kai telah merubah banyak hidupku.
SRET
Aku mengambil sebuah figura berwarna putih yang terpajang di meja nakas di dekat tempat tidurku. Aku mengusap pelan foto yang terpajang di dalamnya. Diriku. Dan juga dirinya. Tampak tengah berbahagia sambil memeluk sebuah boneka panda yang sangat besar di tengah-tengah kami.
Ah.. Itu adalah boneka panda pemberiannya ketika ulang tahunku tahun lalu. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana ia dengan susah payah menyiapkan sebuah pesta kejutan kecil untukku. Dan ketika ia juga menyatakan perasaannya padaku pada saat yang sama. Bahkan aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi wajahnya ketika ia mengatakan kalau ia mencintaiku dan memintaku untuk menjadi kekasihnya—untuk selalu berada di samping dirinya, apapun yang terjadi—. Aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana ia mencium bibirku dengan lembut ketika aku membalas perasaannya dan mengatakan jika aku juga mencintainya—terdengar begitu mengharukan sekaligus membahagiakan, right?—
TES
Setetes airmata berhasil lolos. Aku mencengkram dadaku. Rasanya begitu sakit, sesak, perih, pedih, kecewa dan entahlah semuanya bercampur menjadi satu—setiap kali mengingat kenanganku dengannya di masa lalu. Dulu, ia selalu—bisa— membuatku tertawa dengan leluconnya—walaupun kadang tidak lucu, tapi melihat usahanya, aku benar-benar merasa senang—. Dulu, ia selalu bisa membuatku tenang—disaat aku kembali menangis karena teringat masa laluku—. Dulu, ia akan selalu memeluk tubuhku ketika aku mengatakan jika aku sangat membutuhkan dirinya—tidak ingin kehilangan dirinya—. Tetapi itu semua dulu. Ya.. Itu semua dulu. Semuanya telah berubah sekarang. Semuanya. Ya.. Semuanya.
oOo
Tampak seorang pemuda manis bermata panda tengah terlelap di ranjang berukuran king size berwarna serba biru. Pemuda manis itu pun tampak tengah memeluk sebuah boneka panda kecil—pemberian dari sang kekasih, dan menjadi harta berharga untuknya—. Wajah manisnya terlihat sangat—bahkan begitu— damai. Deru nafasnya yang teratur menandakan bila sang pemuda manis itu tidur dengan sangat nyenyak. Bahkan mungkin nyamuk pun tak akan tega mengganggu tidur pemuda manis tersebut.
BRAK
Pintu kamar terbuka sangat kasar, membuat pemuda manis bermata panda itu terlonjak dari tidurnya. Pemuda manis itu menyipitkan kedua matanya berusaha untuk melihat siapa yang sudah berani membuka pintu kamarnya dengan kasar—dan secara tidak langsung sudah mengganggu mimpi indahnya—. Perlahan pemuda manis itu dapat melihat dengan jelas sosok pemuda tampan yang saat ini tengah berjalan ke arahnya.
PLAK
Sebuah tamparan telak menyentuh pipi mulus sang pemuda manis. Refleks sang pemuda manis itu memegangi pipinya yang terasa sangat sakit—dan juga perih— karena terkena tamparan tersebut. Matanya membulat sempurna dan menatap sang pelaku dengan tatapan yang sulit untuk diartikan/
"K-Kai.. Kau kenapa? Kenapa kau menamparku?" Suara pemuda manis itu sedikit bergetar bahkan terdengar begitu lirih, membuat pemuda tampan di hadapannya memutar bola matanya malas.
"Cih.. Berisik sekali kau. Memangnya harus ada alasan jika aku ingin menamparmu? HAH? JAWAB AKU! APA HARUS ADA ALASAN? JAWAB PERTANYAANKU TAO!" " Kai—sang pelaku penamparan— memegang dagu Tao—sang pemuda manis itu— dengan sangat kasar. Tampak Tao meringis menahan sakit karena perlakuan kasar dari pemuda tampan tersebut—yang kini menatap Tao dengan tatapan penuh dengan amarah—. Ia hanya mampu menggelengkan kepalanya dan berusaha untuk menahan airmata yang mulai menggenangi kedua pelupuk matanya—ia bingung, ia takut melihat ekspresi wajah sang kekasih hatinya tersebut—. Ini pertama kalinya ia melihat ekspresi wajah kekasihnya yang menyiratkan sebuah kemarahan bahkan.. kebencian—yang ia sendiri tidak tahu apa penyebab dan alasannya—.
"Menangis lagi? Apa hanya itu yang bisa kau lakukan? HAH? APA HANYA MENANGIS SAJA YANG BISA KAU LAKUKAN?" Kai berteriak tepat di wajahnya—membuat ia kembali tersentak kaget mendengar teriakan kekasihnya tersebut—. Dengan segera ia menggelengkan kepalanya—lagi— dan memejamkan kedua matanya. Sakit. Terasa sangat sakit. Itulah yang dirasakannya saat ini—ia merasa sedikit kecewa jika ia boleh jujur—".
"Tidak menjawab,uhm? Baiklah. Kau memang harus ku hukum." Kai mendorong—dengan sangat— kasar tubuhnya ke ranjang. Dan dengan segera mengunci pergerakan pemuda manis tersebut dengan menindih tubuhnya. Tampak Tao memandang takut melihat ekspresi wajah kekasihnya tersebut. Sorot mata itu, ia tidak mengenal sorot mata itu. Sorot mata yang menyiratkan kebencian yang teramat sangat. Sorot mata yang menyiratkan sebuah kemarahan—yang tidak ia ketahui alasannya. Ia tidak mengenal itu. Ini bukan Kai yang ia Kai yang selalu membuatnya tertawa bahagia. Bukan.. ia bahkan tidak mampu mengenali sosok pemuda tampan berkulit tan yang saat ini tengah membuka pakaiannya secara kasar.
"K-Kai.. Hentikan.. Aku moh-on.. Hent- Hmphhh.." Ucapan Tao terputus karena Kai telah membungkam bibir merah Tao dengan bibirnya. Tampak Tao berusaha untuk memberontak, tapi tentu saja tenaga Kai lebih besar darinya—sebenarnya ia bisa saja melawan, tapi entah mengapa ia merasa seluruh kekuatannya menghilang—. Dan juga, ia tidak ingin melukai kekasihnya tersebut—ia percaya jika ada sesuatu alasan dibalik sikap kasar kekasihnya tersebut. Betapa polosnya pemikiranmu Tao.
Di saat Tao tengah tenggelam dengan pemikirannya. Dengan perlahan Kai mulai mengalihkan bibirnya ke arah leher jenjang Tao. Dan tidak ketinggalan ia meninggalkan jejak kepemilikkannya di leher putih Tao—seakan ingin memberitahu jika pemuda manis bermata panda itu miliknya—. Tao tersentak kaget dan kembali pada kenyataan ketika pemuda tampan berkulit tan tersebut menggigit dengan kasar pundaknya—meninggalkan jejak keungungan dan bisa dipastikan tidak akan hilang dalam waktu beberapa hari—.
"Ka-ii.. He..ntikan.. Ak-ku moh-on.. Akh.. Sa-Sakit Kai-ii.. Hen..tikan.." Airmata yang sedari ditahannya kini mengalir dengan sendirinya—menghiasi wajah manisnya—. Namun tampaknya sang kekasih tidak mendengar—atau bahkan sengaja— permohonannya tersebut. Bahkan semakin gencar mengerjai tubuh mulusnya—yang baru pertama kali ini kekasihnya menyentuhnya—. Ia tahu cepat atau lambat mereka akan melakukan hubungan intim—selama ini Kai selalu menjaga dirinya dan mengatakan akan melakukannya jika Tao benar-benar siap dan menginginkannya—. Namun bukan yang seperti ini yang ia inginkan. Bukan. Tidak di saat sang kekasih diliputi rasa amarah—yang bahkan tidak ia ketahui alasannya—. Mengapa, dan kenapa? Kedua kata itulah yang saat ini memenuhi pikirannya. Ia ingin berontak saat kekasihnya membuka dengan kasar celana tidurnya. Namun ia tahu. Ia tahu jika ia melawan hanya akan memperburuk keadaannya. Ia hanya mampu mengigit bibir bawahnya—menahan isakan dan juga rasa perih— ketika ia merasakan sesuatu yang sangat besar—yang ia yakini dan ia ketahui apa itu—mulai memasuki dirinya dengan kasar. Kedua iris kelamnya hanya mampu menatap kosong ke langit-langit kamar. Ia menyerah. Menyerah. Menyerah pada kekasih yang saat ini tengah menyalurkan hasratnya dengan sangat kasar. Tanpa memperdulikan jeritan tangisnya, tanpa mempedulikan setiap permohonannya. Ya, kekasihnya yang telah hilang kendali tanpa ia tahu apa penyebabnya. Kekasihnya yang telah berubah menjadi sangat kasar pada dirinya. Sakit. Semuanya terasa sangat sakit. Tubuh. Hatinya. Bahkan mungkin jiwanya saat ini. Dirinya yang terlihat begitu malang dan.. memprihatinkan..
oOo
Tao berharap jika sikap kasar kekasihnya tersebut hanya terjadi pada malam itu—yang setelahnya akan kembali seperti semula—. Namun ternyata semua itu hanyalah harapan yang sia-sia. Karena pada kenyataannya sikap kasar Kai tidak hanya berlaku pada malam itu saja. Bahkan bisa dikatakan semakin bertambah parah. Kini hampir setiap hari Kai mulai membentaknya dengan kata-kata kasar—terlampau kasar hingga Tao tak percaya jika itu semua keluar dari mulut kekasihnya. Tak jarang pula Kai melayangkan pukulannya ke wajah manis Tao. Tanpa Tao tahu, apa yang sebenarnya sudah terjadi hingga Kai memperlakukannya dengan sangat kasar seperti itu.
Seperti hari ini. Di pagi yang cerah ini. Saat dimana mereka bedua tengah bersiap menyantap sarapan pagi mereka.
"Cih.. Masakan macam apa ini? KAU INGIN MERACUNIKU HAH?"
PRANG
Kai melempar dengan kasar piring yang berisikan makanan untuknnya ke lantai dan menatap wajah pemuda manis yang berada di sampingnya dengan penuh kemarahan. Pemuda manis tersebut hanya mampu tersentak kaget dan menundukkan kepalanya—tak berani menatap wajah kekasihnya tersebut—.
'Seperti ini lagi? Kenapa kau seperti ini Kai? Kenapa kau berubah seperti ini? Apa yang sebenarnya sudah terjadi?' batin Tao. Ekspresi wajahnya berubah sendu menrima perlakuan kasar kekasihnya tersebut. Ia benar-benar tidak menyangka jika kekasihnya akan berubah secara drastis seperti ini—mengingat ia sepertinya tidak pernah melakukan kesalahan fatal sebelumnya—. Ia ingin sekali bertanya tentang alas an dibalik perubahan sikap kekasihnya tersebut. Namun ia menelan kembali pertanyaannya tersebut. Bukan. Bukan karena ia takut. Hanya saja ia berpikir jika itu jalan satu-satunya agar tidak memperburuk keadaan. Ia masih percaya jika sikap kasar kekasihnya tersebut tidak akan bertahan lama. Dan ia akan menunggu sampai kekasihnya itu 'kembali' seperti semula. Menjadi kekasihnya yang selalu..
"KENAPA DIAM?! BERSIHKAN ITU! CEPAT!"
Teriakan di telingannya mebuatnya kembali pada kenyataan. Belum sempat ia menjawab, Kai telah mendorong tubuhnya dengan kasar—ia benar-benar kaget dan tidak siap dengan semuanya—. Membuat tubuhnya jatuh tersungkur ke lantai dan tanpa sengaja telapak tangannya terkena pecahan piring tersebut—dan membuat darah mengalir keluar dari luka tersebut—.
Tao meringis menahan sakit yang dirasakannya. Dengan sedikit perasaan takut mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah kekasihnya tersebut—berharap jika kekasihnya tersebut akan luluh dan meminta maaf kepadanya karena telah bertindak kasar—. Tapi ternyata ia harus menelan kembali kenyataan pahit—karena itu semua hanyalah harapan kosong belaka—. Karena hal yang terjadi berikutnya benar-benar tidak sesuai dengan harapan dan khayalannya belakangan ini.
"KENAPA DIAM? APA KAU TULI?" Kai menarik telinga Tao dan berteriak—lagi— tepat di telinga Tao. Ia hanya mampu memejamkan kedua matanya kembai dan meringis menahan rasa sakit yang sakit. Ah ya. Rasa sakit di telapak tangannya, telinganya dan terlebih lagi.. rasa sakit di hatinya.
"Sa-Sakit Kai. Lepaskan.. In-ini sakit. Benar-benar sakit. Aku mohon lepaskan.." Suaranya begitu lirih. Ia memohon. Ia kembali memohon kepada Kai. Dapat ia rasakan matanya semakin memanas. Ia sudah tidak dapat menahannya lagi. Kini ia pasrah. Sakit. Hatinya sangat sakit. Luka. Hatinya terluka sangat dalam melebihi luka di tangannya.
Kai tampak tersentak kaget mendengar ucapan Tao, lalu dengan segera menjauhkan tangannya dari telinga Tao. Ia menatap pemuda manis di hadapannya yang saat ini tengah mengusap telinganya sambil sesekali meringis menahan sakit—. Tak berapa lama tatapannya berubah sendu. Ada sedikit rasa bersalah yang menyergap dirinya—ingin rasanya ia memeluk pemuda manis di hadapannya tersebut—. Namun sayang, itu semua tidak bertahan lama. Karena tak lama kemudian ia berubah kembali—menatap pemuda manis itu dengan penuh rasa benci—.
"Bersihkan cepat! Atau malam ini kau harus tidur diluar." Ancamnyai, lalu beranjak pergi meninggalkan pemuda manis bermata panda tersebut seorang diri— yang terduduk dan tanpa ia sadari tengah menatap sendu ke arah dirinya—.
"Kenapa? Kenapa kau berubah seperti ini Kim JongIn? Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi? Kenapa? Apa yang harus aku lakukan agar kau tidak seperti ini kembali?" Ia bergumam lirih. Dengan segera ia mengalihkan pandangannya ke arah tangannya yang terluka—darah masih mengalir dari telapak tangannya dan tampaknya ia enggan untuk mengobatinya—.
"Apa kau tahu? Bahkan rasa sakit di tangan ini, tidak sebanding dengan rasa sakit di sini, Kai." Ujarnya sambil mencengkram dengan erat dadanya. Menahan rasa perih dan juga kecewa. Ia lelah. Namun ia mencintai kekasihnya tersebut—sekasar apapun dirinya—. Ia yakin jika pemuda tampan itu juga masih mencintainya. Dan itu yang membuatnya tetap bertahan hingga detik ini.
"Aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu, Kim JongIn.."
oOo
Kini ia tengah berdiri di hadapan sebuah kaca yang sangat besar yang berada di dalam kamarnya. Ia tersenyum miris menatapi bayangannya sendiri—terlihat begitu menyedihkan dan juga memprihatinkan di matanya—.
"Lihatlah dirimu saat ini Huang ZiTao. Kau tampak sangat menyedihkan. Lihat luka di tubuhmu. Bahkan kau tidak dapat mencegah atau melawannya ketika ia memukulimu atau berlaku kasar padamu. Kau lemah Huang ZiTao. Kau itu sangat lemah. Kau tidak pantas menjadi seorang laki-laki. Terlalu lemah." ujarnya bermonolog pada bayangannya sendiri dalam cermin. Sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman—senyuman meremehkan lebih tepatnya—.
Ia terdiam. Kembali menatap pantulan dirinya di cermin besar tersebut.
Tak lama senyuman menghiasi wajah manisnya. "Tapi aku sangat mencintainya. Aku tahu jika aku telah dibutakan oleh cintaku padanya. Karena berapa kalipun ia memukuliku, menampar diriku, bahkan melukai tubuhku. Aku tetap tidak perduli. Aku mungkin bodoh. Mungkin itu semua karena rasa cintaku yang begitu besar terhadapnya."ujarnya mantap sambil memperhatikan pantulan dirinya di cermin. "Ya. Aku sangat mencintainya.. Bahkan jika aku harus mati di tangannya pun, mungkin dengan suka rela akan ku berikan nyawaku padanya."lanjutnya sambil tersenyum dengan manis.
"Kau bodoh Huang ZiTao. Kau itu tidak berguna. Ia tidak mencintaimu lagi. Lihatlah apa yang sudah ia lakukan terhadapmu selama ini. Ia menyiksamu ZiTao. Ia tidak mencintaimu. Bodoh!" Ia menatap jijik ke arah pantulan dirinya di cermin—kembali senyum meremehkan itu muncul—walau mungkin lebih tepatnya senyuman pahit yang tersirat menghiasi wajahnya—.
"Ya aku tahu. Aku tahu jika aku ini bodoh. Namun itu semua karena aku terlalu mencintainya. Aku tidak ingin kehilangan dirinya. Aku percaya ia sebenarnya masih mencintaiku. Aku yakin itu. Dan aku tidak akan meninggalkannya. Aku mencintainya. Benar-benar mencintainya." Ia tersenyum dengan tulus ke arah pantulan dirinya. Ia jujur. Ia mengatakan itu semua tulus dari dasar hatinya. Ia sungguh-sungguh mencintai pemuda berkulit tan tersebut—bahkan dengan seluruh jiwa dan raganya—.
BRUK
Pemuda manis itu jatuh terduduk. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Perlahan tubuhnya mulai bergetar, semakin lama semakin bergetar dengan hebat. Isakan tangis pun mulai terdengar dari bibirnya yang tampak sedikit pucat tersebut.
"Ya. Aku ini bodoh. Namun aku terlalu mencintainya. Sangat mencintainya. Aku bodoh. Bodoh!" ujarnya sambil menjambak rambut kelamnya sendiri. Ia kecewa. Namun ia mencintai orang itu. Sangat. Namun.. ia juga.. lelah.
oOo
Another Side, Sebuah Perpustakaan di Seoul
Terlihat seorang pemuda manis bermata bulat tengah sibuk menggerak-gerakan kursor pada laptopnya. Jika diperhatikan, tampaknya pemuda manis itu tengah melakukan sesuatu dengan sebuah foto. Namun.. Entah apa yang tengah dikerjakan oleh pemuda manis itu sebenarnya. Sepertinya ia benar-benar menikmati kegiatannya tersebut. Terbukti dari ekspresi bahagia yang terpancar di wajah manisnya.
"Sebentar lagi. Sebentar lagi 'ia' akan menjadi milikku. Dan akan ku pastikan 'orang itu' tidak akan mengganggu diri'nya' lagi. Tidak akan." Ujarnya riang tanpa menghentikan sedikitpun kegiatannya. Hingga tidak menyadari kehadiran seseorang di sampingnya. Yang sedari tadi mengamati kegiatannya tersebut.
GREP
Seseorang menginterupsi kegiataan pemuda manis tersebut, hingga membuat pemuda manis tersebut sedikit terlonjak dari duduknya. "Hentikan perbuatanmu."
Mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya, dengan segera pemuda manis itu mengalihkan pandangannya dan menatap tajam seorang pemuda tampan yang tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
"Kau tidak perlu ikut campur dengan urusanku hyung. Urus saja urusanmu sendiri." Dengan kasar ia menepis genggaman tangan pemuda tampan di hadapannya tersebut sambil terus menatap tajam sang 'pengganggu'—menurutnya pribadi—.
"Dia tidak mencintaimu." Tersirat nada lelah pada kalimat yang dilontarkan pemuda tampan tersebut.
Pemuda manis itu mendengus sebal mendengar ucapan tersebut. "Karena itu aku akan membuat ia mencintaiku."
Pemuda tampan itu menghela nafas mendengar jawaban pemuda manis di hadapannya. Jika ingin jujur, ia sudah lelah memohon seperti ini. "Tapi caramu salah. Kau telah membuat orang lain terluka karena ini. Aku mohon. Hentikan perbuatanmu sekarang."
Kembali pemuda manis tersebut mendengus sebal sambil menatap jenuh pemuda tampan tersebut. "Sudah aku katakan berulang kali padamu hyung—dan aku berharap ini terakhir kalinya aku mengatakan hal ini. Jangan pernah ikut campur urusanku! Aku sudah muak terhadapa segala nasihatmu." Ujarnya sambil menatap marah pemuda tampan di hadapannya. Membuat pemuda tampan di hadapannya tercekat mendengar penuturan tersebut. Ia benar-benar tidak menyangka jika kata-kata itu akan keluar dari bibir pemuda manis tersebut.
"Kau tidak mengerti—bahkan tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya mencintai orang, tetapi orang itu sama sekali tidak pernah menganggapmu ada." Lanjut pemuda manis tersebut, namun kini ekspresinya berbeda—menyiratkan kesedihan yang amat sangat—. Tampak bulir-bulir airmata kini mulai membasahi wajah manisnya.
Pemuda tampan itu terdiam. Ia berusaha mencerna setiap katanya. Setiap kalimatnya. Pemuda tampan itu lalu menatap sendu kearah pemuda manis yang saat ini tengah menghapus airmata yang membasahi pipinya—
'Aku mengerti. Kau tidak tahu itu. Aku bahkan sangat mengerti apa yang kau rasakan saat ini. Andai saja kau tahu jika aku juga merasakannya. Apa kau tahu? Jika orang yang aku cintai juga tidak pernah menganggapku ada? Dan apa kau tahu jika ternyata orang itu adalah kau. Iya, dirimu. Dirimu yang hanya mampu melihat dirinya. Bukan diriku.'
"Tinggalkan aku hyung. Kau membuat moodku menjadi buruk." Kembali pemuda manis itu menatap tajam ke arah sang pemuda tampan—yang tampaknya sudah kembali pada kenyataan yang sedang terjadi—.
"Ta-Tapi—"
"PERGI! AKU BILANG PERGII!" Pemuda manis itu berteriak marah. Beruntung keadaan perpustakaan tersebut sedang sepi—jika tidak, mungkin mereka sudah menjadi bahan tontonan banyak orang saat ini juga—.
Pemuda tampan itu kembali menghela nafasnya. Ia harus sabar. Benar-benar sabar jika ingin menghadapi pemuda manis yang saat ini tengah menatap tajam dirinya. "Baiklah. Maaf jika aku sudah mengganggumu. Dan aku harap kau memikirkan kata-kataku tadi. Aku hanya tidak ingin kau menyesal di kemudian hari." Menepuk pelan pundak pemuda manis tersebut sambil tersenyum."Kalau begitu aku pulang duluan. Sampai bertemu besok." Pemuda tampan itu membungkukkan badannya lalu beranjak pergi—meninggalkan pemuda manis yang saat ini tengah mengepalkan tangannya dengan erat. Ia tidak suka. Ia tidak suka jika ada orang yang mengganggu urusannya. Ia benci itu.
BRAK
Pemuda manis itu menggebrak meja di hadapannya tak lama setelah kepergiaan pemuda tampan itu. Ia mengalihkan pandangannya ke arah laptoptnya yang masih menyala—dan terbengkalai sesaat karena 'gangguan' kecil—. Matanya menatap sendu ke arah layar laptopnya. Tangannya terulur untuk menyentuh layar laptopnya tersebut lalu mengelus dengan perlahan—bisa dikatakan dengan perasaan sayang—. Jika diperhatikan tampak sebuah foto seorang pemuda tampan berkulit tan yang tengah tersenyum bahagia dengan seorang namja manis bermata panda—dan jika dilihat dari tempatnya, sepertinya mereka tengah berada di sebuah taman bermain— .
Pandangan pemuda itu beralih pada pemuda manis di sebelah pemuda tampan tersebut. Rahangnya mengeras, dan ia nyaris saja membanting laptop kesayangannya tersebut karena ia sangat benci terhadap pemuda manis itu. "Aku. Akan memisahkan kalian berdua. Lihat saja nanti. Akan ku pastikan.. Kau akan menjadi milikku. Selamanya."
oOo
SEOUL, 24 Desember 2011
Lagi. Sekali lagi. Pemuda manis bermata panda itu kini kembali memandangi pohon natal besar yang dua tahun lalu ia tatap. Kembali kedua iris kelamnya menatap kosong kearah pohon natal besar itu. Ingatannya kembali pada pertemuan pertamanya dengan pemuda tampan berkulit tan yang telah merubah kehidupannya. Kini keadaanya berbeda. Jika dua tahun lalu ia tidak membawa tas—atau pakaian apapun selain yang dipakainya—. Kini Tao—pemuda manis itu— tengah menenteng sebuah tas besar berisi dengan pakaian-pakaiannya—pemberian dari kekasihnya, walaupun sebenarnya ia tidak ingin membawa sepotong pakaian pun. Namun tetap saja, setidaknya ia ingin membawa sesuatu yang bisa membuatnya mengingat masa lalunya—yang manis bukan yang buruk tentunya—. Ya, Tao telah meninggalkan rumah mereka—lebih tepatnya kabur dari rumah Kai—, karena ia mulai benar-benar tidak tahan dengan semua perlakuan kasar Kai terhadapnya. Bukannya ia ingin menjilat ludahnya sendiri. Namun ia benar-benar sudah lelah. Sangat lelah. Toh, dia juga hanya manusia biasa yang punya batas kesabaran dan tidak sempurna, right?
Cukup lama ia terdiam sambil menatap pohon natal besar yang berdiri kokoh di hadapannya, hingga akhirnya ia membuka mulutnya—walaupun hanya berupa gumaman lirih yang tenggelam oleh ramainya keadaan sekitar—.
"Apa kau tahu Kai? Saat ini aku tengah berdiri di bawah pohon natal tempat pertemuan pertama kita dulu."
Ia memandang sendu ke arah pohon natal yang sangat besar itu..
"Apa kau ingat Kai? Saat dulu pertama kali kau menyapaku yang tengah menatap langit sambil mengulurkan kedua tanganku."
Ia mengulurkan kedua tangannya lalu menatap langit menahan airmata yang siap mengalir kapan saja.
"Apa kau tahu Kai? Aku merasa seperti melihat seorang malaikat ketika pertama kali melihat senyumanmu dulu."
Ia kembali mengalihkan pandangannya dan menatap kosong ke depan.
"Apa kau tahu Kai? Jika saat ini rasa cintaku padamu masih sama besarnya seperti saat sebelum kau mulai berubah kasar."
Kini ia mencengkram erat dadanya, menahan rasa sakit yang dirasakannya. Sungguh, rasanya begitu menyakitkan.
"Apa kau merasakannya juga Kai?"
Ia bergumam lirih menatap pohon natal besar itu.
TES
Setetes airmata berhasil lolos dari kedua iris kelamnya. Kini ia mengedarkan pandanganya ke arah orang-orang yang tengah berlalu-lalang di hadapannya.
"Apa kau tahu Kai? Bahkan di tengah keramaian seperti ini aku masih merasakan kesepian?"
Ia menatap sendu ke arah orang-orang yang tengah tertawa bahagia.
"Apa kau juga tahu Kai? Jika saat ini aku tengah merindukanmu. Padahal belum ada sehari aku pergi dari rumahmu. Aku ini bodoh ya. Kau pasti akan menertawakanku jika melihat keadaanku saat ini." Ujarnya sambil tersenyum pahit. "Apakah saat ini kau juga tengah merindukanku?. Bolehkah aku berharap sedikit saja?" Lanjutnya lirih.
TES
TES
Airmata semakin membasahi wajah manisnya seiring dengan kakinya yang terus melangkah tanpa arah menjauhi pohon natal besar itu. Sudah cukup. Ia tidak ingin terus-terusan di tempat itu. Hanya akan membuatnya semakin.. berat untuk melepaskan pemuda tampan itu. Ia terus melangkahkan kakinya tanpa mempedulikan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia terus melangkahkan kakinya ke tengah jalan raya, bermaksud untuk menyebrang—tanpa mendengar teriakan orang-orang yang meneriaki dirinya agar berhenti—. Karena tanpa ia ketahui sebuah mobil Ferrari berwarna putih tengah melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya.
CKIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTTT
oOo
KRIS POV
"Tsk.. Nyonya besar itu sampai memanggilku pulang ke rumah hanya untuk menjodohkan dengan wanita seperti itu? Benar-benar menyebalkan." Aku menggeram kesal dan sedikit memukul stir mobilku. Persetan dengan perjodohan atau wanita atau apapun itu. Aku hanya masih ingin menikmati kesendirianku. Well, setidaknya untuk saat ini.
"Astaga.. Hyung.. bisakah kau tidak marah-marah seperti itu terus? Kau membuat telingaku berdengung sakit mendengar ocehanmu sejak tadi." Gerutu pemuda di kursi penumpangku.
Dengan segera aku mengalihkan pandanganku—toh jalanannya juga terlihat sepi. Menatap tajam pemuda yang saat ini tengah –seperti biasa—memberikan cengiran khasnya. Dan aku sedikit memakluminya. Sudah tipikalnya.
"Kau tidak tahu apa yang ada di pikiran ibuku Park Chanyeol. Dan aku berani bertaruh jika saat ini ia pasti sudah mempunyai ide gila lainnya. Astaga. Aku benar-benar muak dengan semua ini." Aku sedikit menjambak rambutku. Ibuku benar-benar membuatku frustasi belakangan ini.
"Hahaha.. Ya,ya ya.. Aku ingat itu hyung. Ibumu benar-benar ingin kau segera menikah dan menimang seorang cucu. Harusnya kau senang jika ibumu ingin kau menikah secepatnya. Setidaknya akan ada yang membangunkanmu setiap pagi supaya tidak telat masuk kuliah." Aku mendengus sebal mendengar ucapannya tersebut. Dapat ku lihat kini ia tengah tertawa terbahak-bahak karenanya. Oh, benar-benar lucu kah? Ingin rasanya aku menimpuk dirinya dengan apapun juga saat ini. Park Chanyeol, dia adalah sahabat baikku. Kami dekat karena kami memiliki banyak persamaan—tidak termasuk kelakuannya yang suka tersenyum lebar—. Dan entahlah, mungkin hanya dia yang bisa menyaingi sikap dinginku—hanya dialah yang benar-benar tidak takut berada di sekitarku sepanjang waktu—. Well, kami satu tempat tinggal sebenarnya, jadi mungkin kami sudah terbiasa satu sama lain.
Arghh.. Sial.. Aku benar-benar tidak dapat berpikir jernih. Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sangat tinggi. Entahlah.. Aku tidak peduli dengan aturan lalu lintas saat ini. Aku hanya ingin segera sampai di apartemenku dan tidur dengan nyenyak. Selesai. Persetan dengan keesokan harinya. Aku hanya lelah. Dan butuh istirahat.
"HYUNGGGGGG! AWASSS! DISANA ADA ORANG!" Chanyeol berteriak sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku tersentak kaget begitu mendengar teriakan Chanyeol lalu refleks menginjak rem.
CKIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTTTTT
DUK
Kepalaku sedikit terbentur dengan stir mobilku. Sungguh. Aku benar-benar kaget. Dengan segera ku alihkan pandanganku ke depan. Dan nihil. Aku tidak melihat siapapun. Apa mungkin Chanyeol salah lihat? Tapi tidak mungkin. Kalau salah lihat tidak mungkin ia sepanik itu.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah Chanyeol yang kini tengah meringis memegangi keningnya. "Kau tidak apa-apa Chanyeol?"
"Aku tidak apa-apa hyung. Tenang saja.. Tidak perlu khawatir." Ia memberikan sign "v" dan sedikit menyengir seperti tidak terjadi apapun. Dia itu sebenarnya.. Ya sudahlah.. Toh dia baik-baik saja kan.
Aku menghela nafas lega, lalu aku kembali mengalihkan pandanganku ke arah luar dan melihat orang-orang mulai mendekat ke arah mobilku. Sesaat kemudian aku teringat kalau aku hampir saja menabrak seseorang. Dengan cepat aku membuka pintu mobilku lalu membantingnya dengan kasar tak menghiraukan teriakan Chanyeol yang memanggil namaku. Aku benar-benar penasaran dengan apa atau siapa yang nyaris aku tabrak tadi.
Aku melihat seorang pemuda tengah berjongkok sambil mendekap tubuhnya sendiri. Aku dapat melihat dengan jelas tubuhnya yang bergetar dengan hebat. Ketakutankah? Itu pasti. Karena hampir saja nyawanya melayang begitu saja. Sebenarnya aku tidak tega untuk memarahi orang itu. Namun ia hampir saja membuat diriku dan Chanyeol celaka—walaupun well, aku pun sedikit salah karena tidak memperhatikan jalan—tapi toh, tidak ada yang mengetahuinya juga kan?
Aku menatap pemuda itu. Tubuhnya masih bergetar dengan hebat. Namun tetap saja..
"YA! KAU INI INGIN CARI MATI YA?!"
Ia tidak bergeming sedikitpun mendengar bentakanku. Aku melangkahkan kakiku untuk lebih mendekatinya. Namun seseorang menghentikan langkahku—dan aku tahu pasti siapa orangnya-
"Sudahlah hyung. Jangan membentaknya seperti itu. Apa kau tidak lihat dia sudah sangat ketakutan seperti itu?"
oOo
Kris menatap tajam ke arah Chanyeol yang tengah menahan dirinya.
"Ya! Tapi karena dia menyeberang seperti itu aku hampir saja menabraknya. Bahkan kita berdua pun hampir celaka karenanya! Kenapa kau malah membela orang itu?!" seru Kris kesal.
Chanyeol hanya menghela nafas mendengar omelan sahabat baiknya tersebut. Lalu tanpa memperdulikan caci maki dari Kris, ia mulai berjalan mendekati pemuda yang nyaris ditabrak olehnya—atau lebih tepatnya Kris—. Ia berjongkok agar sejajar dengan pemuda itu. "Apa kau baik-baik saja?" ujarnya sambil mengacak pelan surai kelam pemuda di hadapannya.
Pemuda itu tidak bergeming sedikit pun. Melihat hal itu, Kris semakin kesal terhadap pemuda itu karena tidak memberikan respon apapun ketika ditanya baik-baik oleh sahabatnya.
"Sudahlah. Lebih baik kita pulang saja. Sepertinya orang ini baik-baik saja. Diam berarti ya." ujar Kris datar sambil melipat tangannya di dada.
Mendengar ucapan Kris, Chanyeol menattap sekilas ke arah Kris lalu kembali mengalihkan pandangannya serta perhatiannya ke arah pemuda itu.
"Maafkan temanku itu ya.. Dia memang seperti itu. Jangan di masukkan ke dalam hati." Ujarnya sambil tersenyum dan mengusap pelan surai kelam pemuda itu—lagi—.
Kris yang mendengar ucapan itu segera menatap tajam kea rah Chanyeol yang terhata hanya di tanggapi cengiran oleh sahabat baiknya tersebut.
"Baiklah. Karena kau tidak ingin menjawab pertanyaanku, lebih baik aku pergi saja ya?" Chanyeol kembali mengacak surai kelam pemuda itu, lalu bangkit berdiri dan membalikkan badannya—bermaksud untuk meninggalkan pemuda tersebut—".
GREP
Tanpa sadar pemuda itu memegang erat pergelangan tangan Chanyeol, membuat pemuda tampan yang dijuluki "Happy Virus" tersebut tersentak kaget karenanya. Mengerti maksud pemuda itu, dengan segera ia membalikkan tubuhnya lagi dan kembali berjongkok mensejajarkan dirinya dengan pemuda di hadapannya. Sedangkan Kris kini tengah menyenderkan badannya pada mobil sambil melipat kedua tangannya di depan dada memperhatikan Chanyeol dan pemuda asing tersebut.
"Ada apa, eumm?"
"Ma-maafkan aku." ujar pemuda itu gugup sambil menundukkan kepalanya.
"Ah. Tidak apa-apa. Itu juga kesalahan kami." Chanyeol tersenyum dengan tulus membuat Kris kembali menatap tajam pemuda tampan tersebut—namun sia-sia karena pada kenyataannya kini Chanyeol tengah membelakangi dirinya—. Orang-orang yang tadi mengerumuni mereka kini mulai meninggalkan mereka. Membiarkan mereka hanya bertiga saat ini.
"Ta-tapi.. Karena aku.. Hiks.." Pemuda itu mulai terisak kembal, membuat Chanyeol yang melihatnya segera mengulurkan tangannya lalu mengusap pelan pipi pemuda itu. Melihat kelakuan ajaib sahabatnya, Kris hanya mampu menaikkan alisnya dan menatap dengan heran.
"Jangan menangis." Chanyeol menghapus airmata pemuda itu dengan ibu jarinya dan tersenyum dengan tulus, membuat pemuda itu tersentak kaget karena perlakuan lembut tersebut. Dengan sangat perlahan, pemuda itu mengangkat wajahnya untuk orang yang ada di hadapannya. Dan hal itu sukses membuat Kris serta Chanyeol tertegun sesaat melihat wajah manis pemuda tersebut..
'Astaga. Manis sekali.' Chanyeol menatap pemuda itu takjub.
'Dia itu.. laki-laki atau perempuan? Dan, matanya seperti panda. Lucu sekali.' batin Kris dan menatap pemuda itu tanpa berkedip sedikitpun. Tampaknya ia sudah melupakan jika ia sangat marah pada pemuda itu tadi.
Pemuda bermata mengerjap-ngerjapkan matanya, menatap bingung para pemuda tampan di hadapannya tersebut. Dan hal itu kembali sukses membuat Chanyeol serta Kris semakin terpesona dibuatnya.
"Ma-maafkan aku. Karena aku menyebrang dengan tidak hati-hati." ujar pemuda itu lirih dan membuat Chanyeol serta Kris kembali dari lamunan mereka.
"A-ah. Tidak apa-apa. Tidak masalah." Ujar Chanyeol cepat dan tersenyum. "Kau bisa berdiri?" lanjutnya lalu bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu pemuda manis itu berdiri.
Pemuda manis itu terdiam melihat uluran tangan pemuda asing—menurutnya—tersebut. Sepertiya ia tegah memikirkan sesuatu. Namun akhirnya, dengan sedikit ragu ia menyambut uluran tangan Chanyeol lalu bangkit berdiri. Membuat Chanyeol tersenyum karenanya.
Kris yang melihat hal tersebut, entah mengapa memberikan tatapan yang sulit untuk diartikan melihat tangan Chanyeol yang masih menggenggam tangan pemuda manis itu.
'Tsk.. Kenapa ini? Kenapa aku merasa kesal melihat Chanyeol dan pemuda itu berpegangan tangan ini aneh?' batin Kris.
"Ah ya.. Namamu siapa? Perkenakan namaku Park Chanyeol dan yang membentakmu tadi namanya Wu YiFan, tapi ia biasa dipanggil Kris." ujar Chanyeol sambil tersenyum dan menunjuk kearah Kris yang tengah menatap tajam kearahnya karena ucapannya tadi.
Pemuda manis itu terdiam sesaat setelah sebelumnya mengalihkan pandangannya kearah Kris dan Chanyeol secara bergantian. "A-aku.. Huang ZiTao. Panggil saja Tao." jawab Tao dengan ragu.
"Ah.. Senang berkenalan denganmu Tao." ujar Chanyeol dengan senyum 'Happy Virus'nya.
Tao menganggukan kepalanya lalu mengalihkan pandangannya kearah tangannya yang masih digenggam dengan erat oleh Chanyeol.
"Itu—"
"Ya?"
"Eumm.. Bisakah kau melepaskan tanganmu?" Tao menunjuk kearah tangannya dan tangan Chanyeol yang saling bertautan satu sama lain.
Chanyeol tersentak kaget mendengar ucapan Tao lalu refleks melepaskan genggamannya. "Maaf. Aku tidak sengaja." Ia mengusap tengkuknya dan tersenyum kikuk. Semburat merah terlihat begitu samar menghiasi wajah tampannya. Kris kembali menaikan alisnya melihat kelakuan sahabatnya yang mulai terlihat tidak wajar di matanya.
'Ada apa dengan anak itu? Apa ia menyukai pemuda manis itu? Tapi.. mungkinkah secepat itu?' batin Kris yang sekarang melihat sahabatnya memandang malu-malu kepada pemuda manis bermata seperti panda itu.
Di saat mereka tengah tenggelam dalam pikiran dan khayalannya masing-masing, seorang pemuda tampan tengah berjalan ke arah mereka dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan. Dan ketika semakin dekat..
GREP
Sepasang lengan kokoh memeluk possesif pinggang ramping Tao. Tampak Tao tersentak kaget begitu merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Wajahnya menegang dan berubah mengenal dengan jelas aroma tubuh itu Kris dan Chanyeol hanya mampu membulatkan matanya sempurna melihat pemandangan di depannya.
"Akhirnya aku menemukanmu.. Baby Tao.."
FF ini pernah di publish di berbagai FP.
Namun saya sedikit menambahkan beberapa disana sini.. saya remake sedikit. Karena begitu membaca ulang.. ternyata.. begitulah..
hope you like it.. :)
Keep or Delete?
