SWEET ENEMY

cast : Lee taeyong, Kim Doyoung

Warning : GS, Typos, ETC.

Original Story is belong to "Sweet Enemy" by Shanty Agatha

THIS IS REMAKE

kalau kalian pernah merasa baca cerita ini di wattpad, itu punya saya :)

HOPE U ENJOY IT~

"Itu dia orangnya baru datang," Johnny menunjuk dari jendela di lantai paling atas mansion itu , "Dia anak miskin itu, yang dipungut oleh eomma Taeyong."

"Mana?" Gongmyung ikut-ikutan mengintip di jendela dan mengernyit, "Sepertinya dia biasa-biasa saja? Apa yang membuat eomma Taeyong memungutnya?"

"Karena dia anak kesayangan di sekolah yang didirikan oleh eomma Taeyong, nilai-nilai pelajarannya paling sempurna, dan otaknya jenius, meskipun dia datang dari keluarga miskin, dengar-dengar ayahnya baru meninggal karena kecelakaan di tempat kerja, dan dia tidak punya siapa-siapa lagi, karena itulah Nyonya Lee memutuskan menjadi penyandang dananya."

Gongmyung melirik ke arah Taeyong yang tampak tidak tertarik, sedang menenggelamkan diri dalam buku bacaannya. Lelaki itu tampak begitu dingin, muram dan tidak tersentuh, hanya beberapa orang yang bisa berdekatan dengannya, Lee Taeyong putera dari konglomerat nomor satu di negara ini. Johnny dan Gongmyung adalah sebagian yang beruntung. Mereka dekat bukan karena Taeyong membuka diri, tetapi karena kedua orangtua mereka memang bersahabat dan mereka sudah berkenalan sejak kecil. Taeyong bukanlah orang yang dekat dengan kedua orangtuanya. Ayahnya tidak pernah ada di mansion, sibuk dengan bisnisnya, dan Ibunya lebih senang berkeliaran di luar dengan kegiatan amal dan kebaikan hatinya, merasa bahagia karena dipuja orang sebagai pribadi yang darmawan. Meskipun begitu Taeyong sangat menghormati kedua orangtuanya itu. Dan Doyoung, orang yang mereka bicarakan itu tentunya menjadi subjek terbaru ibunya untuk menuai pujian dari semua orang. Taeyong mengernyit kesal. Ibunya selalu membuatnya repot dan sekarang, dia menampung anak gelandangan itu di sini, di mansionnya. Taeyong harus selalu berinteraksi dengan anak gelandangan dari keluarga miskin itu.

"Tapi dia cantik," Gongmyung bergumam lagi, kali ini mengamati dengan lebih intens, "Taeyong, kau benar-benar tidak ingin melihatnya?"

"Tidak." Taeyong mengangkat kepalanya dari buku, merasa terganggu karena kedua temannya itu mengganggu konsentrasinya membaca, "Toh aku akan bertemu dengannya nanti, dia akan tinggal di mansion ini."

Johnny mengernyit, "Eommamu memutuskan supaya dia tinggal di mansion keluarga Lee? Aku pikir dia hanya akan menanggung biaya hidup dan pendidikannya."

"Doyoung tidak punya rumah, karena ayahnya begitu miskin dan tidak mampu membayar hutang, rumah mereka disita oleh bank, karena itu eomma memutuskan menempatkannya di sini," Taeyong mencibir, membayangkan betapa senangnya Doyoung mendengar keputusan ibunya.

Anak gelandangan itu pasti tidak akan melepaskan kesempatan sekalipun supaya bisa tinggal di mansion mewah, mansion keluarga Lee. Tinggal tunggu waktu saja sebelum anak gelandangan itu mencoba menggerogoti harta ibunya. Semua orang sama, semuanya mengincar harta keluarga Lee. Begitupun anak gelandangan itu, Taeyong sangat yakin Doyoung punya rencana buruk untuk menggerogoti kekayaan keluarganya.

"Kau tidak menyukainya ya?" Gongmyung menangkap sorot kebencian di mata Taeyong.

Dengan acuh Taeyong mengangkat bahunya, "Aku tidak suka semua gelandangan miskin pengincar harta."

Gongmyung dan Johnny saling melemparkan pandangan tahu sama tahu, akan gawat bagi Doyoung, kalau Taeyong tidak menyukainya. Karena Taeyong terkenal kejam dan tak berbelas kasihan kepada orang-orang yang tidak dia suka.

Doyoung turun dari Limousine yang dikirimkan Nyonya Lee kepadanya, dan tertegun menatap mansion yang begitu indah di depannya. Astaga. Mansion ini besar sekali, seperti istana di negeri dongeng. Ini adalah mansion terbesar yang pernah Doyoung lihat, yang bisa Doyoung bayangkan. Tetapi kemudian Doyoung mengernyit, mansion ini terlalu besar, terlalu mewah dan Doyoung merasa tidak nyaman kalau harus tinggal di sini. Dia sudah berusaha menolak ketika Nyonya Lee memintanya tinggal di mansion keluarga Lee yang terkenal itu, setelah Doyoung tinggal sebatang kara karena kematian ayahnya. Tetapi Nyonya Lee bersikeras, dan Doyoung tidak bisa menolaknya, Nyonya Lee sudah membiayai sekolahnya, Doyoung sangat berhutang budi kepadanya. Saat ini, sebatang kara di dunia ini Doyoung sepenuhnya tergantung kepada kebaikan hati Nyonya Lee. Dia masih ingin sekolah, dan menyelesaikan pendidikannya. Itulah impian ayahnya, supaya Doyoung menjadi anak pintar dan berpendidikan, sehingga bisa hidup lebih baik daripada ayahnya yang tidak mengenal bangku sekolahan. Digenggamnya kalung perak di lehernya, kalung itu sederhana, dengan liontin bulat yang bisa dibuka, di dalamnya ada foto Doyoung bersama ayahnya. Kalung perak itu adalah benda miliknya yang paling berharga, satu-satunya peninggalan ayahnya, hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas, dan dibeli ayahnya dari seluruh uang tabungannya selama bekerja sebagai buruh bangunan.

Seorang pelayan menjemputnya ke depan pintu dan membungkukkan tubuhnya dengan formal. "Selamat datang, Nyonya Lee sudah menginformasikan kedatangan anda, silahkan masuk, kamar anda sudah disiapkan."

Doyoung menatap pelayan itu dengan gugup, "Eh... Apakah Nyonya Lee ada di mansion?"

Pelayan itu menggeleng, "Beliau tidak ada di mansion jam-jam segini, biasanya di malam hari beliau baru ada, itu pun kalau tidak ada undangan-undangan jamuan makan malam penting, tetapi saat ini Tuan Muda ada di mansion. Mari saya antar anda ke kamar anda."

Doyoung mengangguk gugup, membiarkan pelayan itu mengambil kopernya, sejenak Doyoung merasa malu karena koper bututnya tampak tidak pantas berada di dalam mansion semewah ini. Tetapi pelayan laki-laki itu tampaknya tidak memperhatikannya. Dengan ragu Doyoung mengikuti pelayan itu melangkah menaiki tangga lingkar dengan pegangan keemasan yang berkilau menuju lantai dua.

"Ini kamar anda, semoga anda betah di sini." pelayan itu membukakan sebuah pintu besar dan mempersilahkan Doyoung masuk.

Doyoung masuk, lalu terpesona. Astaga. Luas kamar ini mungkin sama dengan luas rumah kecil yang dia tinggali bersama ayahnya dulu, bahkan mungkin lebih besar. Interiornya mewah, bergaya Eropa dengan nuansa keemasan. Karpet yang melingkupi seluruh lantainya juga begitu tebal, sampai-sampai Doyoung merasa malu karena sepatu jeleknya tampak tidak pantas untuk menginjak karpet kamar itu.

"Silahkan anda beristirahat dulu, kalau anda butuh sesuatu tinggal tekan intercom di samping ranjang, kami akan menyediakannya. Oh ya, nanti malam silahkan turun ke bawah untuk makan malam, Nyoya Lee ingin bercakap-cakap dengan anda nanti."

Doyoung mengangguk, dan pelayan itu melangkah pergi setelah meletakkan koper Doyoung di kamar, meninggalkan Doyoung sendirian, berdiri ditengah ranjang dan terpana, seolah-olah sedang berada di negeri dongeng.

Suara pintu terbuka mengagetkan Doyoung dari lamunannya, dia menoleh ke pintu dan terpana. Sosok yang berdiri di depannya adalah sosok yang paling tampan yang pernah Doyoung lihat. Lelaki itu bersandar di pintu kamarnya yang sudah ditutup dan menatap Doyoung dengan pandangan penuh penghinaan.

"Kuharap kau nyaman di kamar ini," suara yang keluar begitu dingin, dan tanpa sadar Doyoung memundurkan langkah menjauh.

"Kau... Kau siapa? Kenapa kau masuk ke kamarku tanpa permisi?"

Taeyong mengangkat alisnya jengkel, "Kenapa aku harus meminta permisi kepadamu? Ini mansionku."

Doyoung tertegun, jadi inilah dia, Lee Taeyong, pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarga Lee yang terkenal itu. Doyoung sering mendengar namanya disebut-sebut di berita atau di tabloid-tabloid. Lee Taeyong putera mahkota kerajaan bisnis Lee yang berkepribadian buruk dan sering bertengkar dengan wartawan. Doyoung dulunya tidak pernah tertarik dengan berita-berita itu, dia terlalu sibuk belajar di pagi hari dan kerja sambilan di malam harinya, tetapi satu yang pasti. Lee Taeyong yang asli jelas lebih tampan dari apa yang ditayangkan di televisi atau di tabloid-tabloid.

"Aku kesini untuk memperingatkanmu." Taeyong melemparkan pandangan mencemooh kepada Doyoung, "Kau pasti merasa beruntung sekali karena eommaku mengizinkanmu tinggal di mansion kami. Tapi kau jangan terlalu berbesar hati, aku akan menendangmu langsung dari mansion ini segera setelah kau lulus sekolah nanti, karena tempat yang pantas untukmu bukanlah di mansion ini, tetapi di tempat kumuh, bersama para gelandangan sejenismu!" Taeyong mengernyit menatap Doyoung, lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi meninggalkan kamar Doyoung, dengan pintu berdebam di belakangnya.

"Sepertinya kalian sangat rukun," Gongmyung tertawa geli ketika dia dan Taeyong berpapasan dengan Doyoung di lorong mansion, lalu Doyoung hanya menganggukkan kepalanya dan bergegas menjauh, sementara Taeyong hanya menatap dengan pandangan dingin.

Taeyong melemparkan pandangan marah kepada Gongmyung, "Jangan bercanda, aku benar-benar terganggu dengan kehadirannya di mansion ini."

"Tapi kau tidak berbuat apa-apa untuk mengusirnya dari sini."

"Hmmm..." Taeyong tampak berpikir, "Jangan salah, aku sedang membuat sebuah rencana."

"Rencana apa?" Gongmyung menatap Taeyong dengan pandangan tertarik.

"Rencana yang bisa membuat mama mengusirnya dari mansion ini."

Mansion itu heboh, ketika di pagi harinya Nyonya Lee berteriak marah karena salah satu kalung rubi favoritnya hilang. Kalung itu adalah benda yang berharga, selain karena harganya yang tak ternilai, kalung itu adalah kalung warisan yang diturunkan secara turun temurun kepada pengantin keluarga Lee. Seluruh isi mansion begitu heboh, seluruh pelayan ribut mencari kalung itu, dan ketika tak juga ditemukan, mereka mulai saling menuduh.

"Dulu tidak pernah ada barang yang hilang di mansion ini."

"Iya dulu mansion ini sangat aman."

"Atau jangan-jangan karena anak itu? Kau pernah lihat kan? Anak angkat Nyonya Lee yang ditempatkan di lantai dua itu, kemarin dia datang dan kalung Nyonya hilang, sungguh suatu kebetulan."

"Betul juga, sebelum kedatangan anak itu, mansion ini tidak pernah terdengar ada kejadian pencurian apapun."

Taeyong kebetulan lewat dan mendengar percakapan para pelayan yang saling berbisik-bisik itu. Dia tersenyum. Bagus. Bara sudah dinyalakan, tinggal menunggu angin menghembus supaya apinya membakar Doyoung. Dengan langkah tenang Taeyong melangkah memasuki ruang kerja ibunya yang kebetulan sedang ada di rumah.

"Aku dengar kalung eomma hilang," Taeyong langsung menyapa dan duduk di kursi, di seberang meja kerja ibunya.

Nyonya Lee mengangkat kepalanya dari berkas dihadapannya dan mengerutkan alisnya, "Benar-benar kecerobohan luar biasa, kalung itu warisan turun temurun keluarga Lee, kalau para pelayan itu tidak bias menemukannya, eomma akan memecat mereka semua."

"Eomma sudah lapor polisi?"

"Belum," Nyonya Lee bersedekap, "Eomma ingin para pelayan mencarinya dulu, kalau sampai malam mereka tidak bisa menemukannya, eomma akan menghubungi polisi."

Taeyong mengangkat bahunya, "Bukankah ini suatu kebetulan?"

"Kebetulan apa?"

"Bahwa kalung eomma hilang setelah anak gelandangan itu masuk ke rumah ini."

"Lee Taeyong! Jaga bicaramu." suara Nyonya Lee meninggi, "Kau tidak tahu apa yang kau tuduhkan. Doyoung adalah anak baik di sekolah, dan dia jenius dengan nilai tertinggi, bagaimana mungkin kau mencurigainya mengambil kalung itu?"

"Aku tidak mencurigainya, aku hanya berpikir bahwa itu suatu kebetulan." Taeyong menatap ibunya dengan penuh perhitungan, "Kalung itu tidak ketemu sampai sekarang, dan kamar anak gelandangan itu adalah satu-satunya tempat yang belum diperiksa pelayan, tidak ada ruginya kan eomma memeriksa kamar anak itu?"

Nyonya Lee termenung mendengar perkataan anak tunggalnya itu. Benar juga, tidak ada ruginya kan kalau dia memerintahkan pelayannya memeriksa kamar Doyoung?

Doyoung sedang belajar dan mencoba memecahkan soal aritmatika yang rumit ketika pintu kamarnya terbuka dan beberapa pelayan masuk, diikuti Nyonya Lee sendiri dan Taeyong yang menatapnya dengan sinar kebencian yang aneh di belakangnya.

"Nyonya Lee?" Doyoung langsung berdiri dari kursi belajarnya.

Nyonya Lee hanya menatapnya datar, "Kau tidak keluar ya seharian ini?"

"Iya Nyonya Lee, sepulang sekolah saya langsung belajar di kamar." Doyoung menatap wajah-wajah yang menatapnya itu dengan bingung. Ada apa? Kenapa semua orang menatapnya dengan aneh.

Nyonya Lee berdeham sebentar dan menggumam, "Kalau begitu kau mungkin belum dengar, kalung rubiku hilang entah kemana pagi tadi, dan seluruh penjuru rumah sudah dicari, tinggal kamar ini yang belum." Tiba-tiba pandangan Nyonya Lee tampak malu, "Maafkan aku Doyoung, mungkin kami terpaksa memeriksa kamarmu, aku harap kami tidak akan menemukan kalung itu disini."

Wajah Doyoung pucat pasi antara perasaan terhina dan sedih. Kalung Nyonya Ler hilang, dan dia sebagai pendatang yang datang dari kelas miskin, harus menghadapi penghinaan karena dicurigai. Dengan pedih Doyoung mengangkat dagunya, "Silahkan periksa kamar ini."

Ketika para pelayan bergerak memeriksa seluruh bagian kamar, Doyoung sungguh yakin bahwa mereka tidak akan menemukan apapapun di kamar ini. Doyoung sungguh tidak mengambil kalung rubi itu, bahkan dia tidak terpikirkan sama sekali akan bentuk kalung rubi itu.

Tetapi kemudian, seorang pelayan membuka laci pakaian Doyoung dan terkesiap. Semua menoleh ke arah suara itu dan tertegun. Di laci baju itu, dibawah pakaian-pakaian Doyoung, ada kalung rubi itu tergeletak di sana.

Wajah Nyonya Lee berubah-ubah antara kekecewaan dan kemarahan, "Aku sudah berbuat baik kepadamu, aku tidak menyangka kau melakukan perbuatan yang begitu tidak terpuji."

Doyoung pucat pasi, sungguh tidak menyangka kenapa kalung itu ada di sana, dia sungguh tidak tahu.

Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin?

Kemudian dia menangkap sinar kemenangan dan seringai menghina sekilas dari Taeyong dan dia sadar. Lelaki itu pernah mengancam akan mendepaknya keluar dari mansion ini. Doyoung sangat yakin ini adalah pekerjaan Taeyong untuk memfitnahnya.

"Nyonya... Saya sungguh-sungguh tidak mengambil kalung itu." suara Doyoung bergetar karena semua pelayan dan Nyonya Lee menatapnya dengan menuduh, "Saya tidak tahu bagaimana bisa kalung itu berada di sana."

"Apa kau pikir kalung itu bisa jalan sendiri?" gumam Taeyong dengan pandangan menghina.

Nyonya Lee menghela nafas panjang. "Kita bicarakan ini nanti, Doyoung, kau ikut ke ruanganku, aku harus mengevalusi kebijakanku memberikan bantuan kepadamu, kau sungguh-sungguh mengecewakanku!" dengan marah Nyonya Lee membalikkan badannya dan pergi, para pelayan langsung mengikutinya.

Sementara itu Taeyong tetap tinggal di sana, bersedekap dan menatap Doyoung dengan santai, "Well... sepertinya kau akan lebih cepat didepak dari sini, tidak perlu menunggu sampai kau lulus sekolah," gumamnya mengejek.

Mata Doyoung berkaca-kaca antara perasaan malu dan marah luar biasa, "Kau sungguh jahat!" desisnya penuh emosi.

Tanpa perasaan Taeyong terkekeh dan kemudian matanya berubah kejam ketika melangkah mendekati Doyoung, membuat Doyoung memundurkan langkahnya setengah takut. Taeyong terus mendekat sampai Doyoung terjebak di tembok,

"Tempatmu bukan disini, tempatmu disana di tempat kumuh bersama para gelandangan, aku sudah pernah bilang kan? Jadi jangan bermimpi kau bisa tinggal dan menikmati kemewahan di mansion ini." tatapan Taeyong tiba-tiba tertarik ke kilatan cahaya dari dada Doyoung, matanya beralih dan menemukan kalung perak yang sangat bagus di sana.

"Kalung apa itu?" tangannya meraih kalung itu dan Doyoung dengan defensif berusaha melindungi kalung peninggalan ayahnya, tetapi Taeyong memaksa sehingga rantai kalung itu lepas, dan Taeyong merenggut kalung itu dalam genggaman tangannya.

"Jangan!" Doyoung berusaha berteriak dan meraih kalung itu, tetapi tubuh Taeyong terlalu tinggi.

Taeyong menatap kalung itu, lalu dengan jahat mengantonginya, "Sepertinya kalung itu sangat berharga ya? Aku akan mengambilnya, sebagai hukuman karena kau mencuri kalung ibuku."

"Aku tidak mencuri kalung itu, aku tahu kau yang memfitnahku!" Doyoung berteriak, berusaha mengejar Taeyong, "Kembalikan kalungku!"

"Tidak, aku memutuskan akan memilikinya," dengan kejam Taeyong membalikkan langkah dan meninggalkan Doyoung yang menangis di belakangnya.

Sore sudah beranjak malam ketika Doyoung turun dari bis. Dia diusir dari mansion itu karena di tuduh mencuri, dan Nyonya Lee mengatakan akan mencabut semua bantuannya kepada Doyoung, serta Doyoung harus berterima kasih kepadanya karena Nyonya Lee memutuskan tidak akan melaporkan Doyoung kepada polisi, karena kalau tidak, Doyoung akan dipenjara. Sekarang Doyoung berdiri di dekat kompleks rumah kumuh, rumahnya yang dulu. Dan bingung harus berbuat apa. Dia tidak punya rumah karena rumahnya bersama ayahnya dulu sudah disita, dan dia tidak punya siapa-siapa. Dan... Perutnya lapar, tapi dia juga tidak punya uang, yang dia bawa ketika keluar dari mansion Nyonya Lee hanyalah pakaian-pakaiannya. Sambil menekan perutnya yang mulai terasa perih, Doyoung melangkah ke emperan sebuah toko yang sudah tutup. Dan duduk di sana. Seperti melengkapi kepedihannya, hujan turun dengan derasnya, meniupkan hawa dingin dan cipratan air yang mulai membasahinya, emperan toko itu ternyata tidak cukup melindunginya.

Lapar dan sakit hati, Doyoung teringat akan ayahnya dan menangis. Diingatnya ketika ayahnya pulang sambil membawa jatah makan siang di proyek bangunannya untuk Doyoung, ayahnya berpuasa tidak makan siang supaya bisa membagi jatah makan siangnya dengan Doyoung, mereka lalu makan sepiring berdua, meskipun hanya makanan sederhana, tetapi karena dimakan dengan penuh rasa syukur dan bahagia, terasa begitu nikmat. Ayahnya adalah sosok malaikat dalam hidup Doyoung, meskipun mereka tidak beruntung dalam hal keuangan, tetapi mereka berbahagia dalam kesederhanaan, bisa memiliki satu sama lain. Doyoung selalu mengingat pesan ayahnya supaya dia selalu menjaga hatinya.

"Kita ini orang miskin Doyoungie, tetapi jangan sampai kitajuga miskin hati. Isilah hatimu dengan kebaikan, maka kau akan menjadi orang kaya di hadapan Tuhan."

Dan sekarang ayahnya sudah tiada. Kecelakaan di tempat kerja, ayahnya tertimpa batu ketika sedang mengopernya ke atas, ayahnya berkerja sebagai buruh bangunan di sebuah proyek pembangunan apartment, dan ayahnya meninggal seketika. Di tengah hujan deras ini, hati Doyoung hancur mengingat ayahnya, dan kalung liontin kenangan ayahnya sudah direnggut oleh Taeyong yang jahat itu. Air mata Doyoung mengalir deras. Rasanya lebih baik dia mati saja.

"Eomma masih kecewa dengan Doyoung, eomma tidak menyangka dia akan berbuat seperti itu," Nyonya Lee mendesah sedih sambil menatap makan malamnya, hujan deras turun di luar, dan dia hanya berdua dengan Taeyong dimeja makan yang besar itu. Tuan Lee sedang dalam perjalanan bisnisnya di luar negeri.

Taeyong mendengus kesal, "Yah, eomma seharusnya tahu, orang miskin biasanya memang tergoda menjadi pencuri ketika mereka dihadapkan pada barang-barang berharga."

Nyonya Lee menggelengkan kepalanya, "Dulunya eomma berpikir Doyoung akan berbeda," Nyonya Lee mendesah, "Kau tahu, kita berhutang budi kepadanya."

Hutang Budi? Taeyong mengernyit

Nyonya Lee menatap Taeyong dan tersenyum lembut, "Kau masih kecil waktu itu, mungkin kau lupa." Nyonya Lee mulai bercerita, "Dulu ada seorang pemain biola terkenal, namanya Joonmyeon, dia berasal dari keluarga miskin, tidak mengenal sekolah, tetapi sangat berbakat, dia sahabat appamu."

Taeyong tidak mengingatnya, tetapi entah kenapa ada dorongan samar-samar ingatan di benaknya.

"Suatu hari, ada penculik, kau waktu itu sedang berumur 5 tahun, kau bermain-main sendirian di lorong kantor appamu. Di saat yang sama, Joonmyeon sedang mengunjungi appamu untuk persiapan kunjungannya ke Austria, dia menerima kontrak kerja untuk tampil di konser-konser besar di seluruh dunia, masa depannya sangat cerah."

Tatapan mata Nyonya Lee menerawang, mengenang masa lalu, "Dan dia menemukan penculik itu sedang berusaha menculikmu, penculik itu sudah menyekap dan membawamu, tetapi Joonmyeon mencegahnya..." Nyonya Lee menghela nafas panjang. "Penculik itu membawa pisau...dan melukai Joonmyeon... Tetapi dia berhasil menyelamatkanmu, petugas keamanan datang dan penculik itu ditangkap, kau selamat, kembali dalam pelukan kami."

"Dimana Joonmyeon sekarang eomma?" Taeyong mengernyit, dia tidak pernah mendengar pemain biola terkenal bernama Joonmyeon sampai sekarang. Kalau dia memang berbakat dan bermasa depan saat itu, pasti sekarang dia sudah di elu-elukan dan terkenal sampai penjuru dunia.

Nyonya Lee menyusut air matanya, "Joonmyeon...Penculik itu mencabik tangan kirinya dengan pisau, dan mengenai saraf yang paling penting, luka itu membuat Joonmyeon tidak akan pernah bisa bermain biola seumur hidupnya. Karirnya hancur dan seluruh masa depannya hancur, appamu sebenarnya berusaha menolongnya, tetapi dia menolak semua bantuan dari appamu, dia menghilang." Nyonya Lee menatap Taeyong sendu, "Dua puluh tahun kemudian, tanpa sengaja aku bertemu dengan Doyoung dan melihat kemiripannya dengan Joonmyeon..."

"Apakah maksud Eomma...?" wajah Taeyong memucat ketika berhasil menarik kesimpulan.

"Ya Taeyong, Doyoung adalah anak perempuan Joonmyeon, dan kita punya hutang budi yang begitu besar kepada keluarga mereka, karena menyelamatkanmu lah Joonmyeon kehilangan masa depannya, membuatnya dan anak perempuannya hidup miskin selama ini." Tiba-tiba tatapan mata Nyonya Lee berubah tajam, "Eomma tahu bukan Doyoung yang mencuri kalung eomma."

Wajah Taeyong yang sudah pucat mendengar informasi itu semakin memucat, "Apa?"

"Kau yang melakukannya." Nyonya Lee menatap tajam, "Eomma tahu Doyoung tidak akan berbuat begitu, dia terlalu jujur dan polos untuk mencuri."

"Kalau begitu kenapa eomma mengusirnya dari mansion ini?" suara Taeyong berubah cemas. Dia telah salah paham selama ini, dia telah membuat Doyoung terusir dari rumah ini, karena pandangan jahatnya pada kemiskinan Doyoung. Padahal semua penderitaan yang menimpa Doyoung, semuanya berakar kepadanya! Karena ayah Doyoung berusaha menyelamatkannya!

"Eomma ingin kau belajar dari kesalahanmu, supaya kau tidak gegabah bertindak, dan menilai orang dari kaya dan miskinnya... Taeyong, mau kemana kau."

Taeyong bahkan tidak menoleh ketika tergesa meninggalkan ruangan, "Aku akan mencari Doyoung!" Dan Nyonya Lee duduk di ruang makan itu, me-lap bibirnya dengan elegan dan tersenyum, Taeyong rupanya telah belajar menjadi dewasa.

To Be Continued or End?

Otteh, Otteh? Taeyongie yang mulai merasa bersalah sama Doyoungie

/ketawajahat/

Saya remake lagi Karya Kak Santhy Agatha. Entah kenapa Sweet Enemy itu mengingatkan saya kepada Taedo

Semoga suka dengan remake ini.

Gomawo :)