Inunaki Village: Take Me Home
Disclaimer: Vocaloid milik Yamaha dan kawan-kawannya. Dan penggalan lagu Akakakushi dalam fic ini milik Akiko Shikata dan Haccaworks
Fic ini gak ada sangkut pautnya dengan Fic Inunaki Village: No Escape milik Author Soralina Factory. Mikan hanya terinspirasi dan membuat cerita yang berjudul sama. Dan maaf kalo summary-nya gak nyambung =w=a
.
.
Tujuan awal mereka adalah pulang dengan selamat. Tapi bagaimana bisa? Saat bayangan hitam itu memeluk mereka menenggelamkan mereka dalam sebuah lubang neraka bernama desa Inunaki.
.
.
Genre: suspense, mystery, horror
Pair: LenxMiku RinxLen
Warn: Gore, cannibalism, typo, horrornya gak terasa, suspensenya mengada-ada, romancenya maksa
xXx
Len menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi dan menghela nafas panjang. Siapa sangka honeymoon bisa membuat merasa sangat lelah? Hah, paling tidak bus tua ini bisa mengantarkannya kembali pulang ke rumah. Dia menoleh ke jendela jendela. Pohon-pohon yang berbaris dengan cantiknya di sepanjang jalan seolah-olah berusaha menutupi jurang terjal yang berada dibawahnya.
Len menarik nafas, lalu menoleh pada bangku disampingnya. Sebuah senyum lembut terpatri di bibirnya saat dia mengamati wanita yang tertidur dengan nyenyak. Diangkatnya tangannya dan mengelus kulit porselen wanita itu . disibaknya rambut teal wanita itu untuk melihat wajah cantiknya lebih jelas. Dengan suara halus dibisikkannya kata-kata cinta pada wanita yang sekarang menjadi istrinya itu.
Len kembali bersandar dan menatap keluar jendela. Pohon-pohon bergerak cepat dan menghasilkan warna hijau yang blur. Dengan kecepatan yang cukup tinggi ini Len berharap mereka sampai di kotanya besok sore. Lambaian tangan yang mungil membuatnya kembali dari alam hayalnya. Dia melihat ke kursi depan, Seorang gadis kecil dengan rambut hitam diikat twintail tersenyum padanya.
"Jii-san, jii-san punya permen?" ucap anak itu dengan suaranya yang imut.
"Yuki, jangan begitu."
Seorang wanita yang sedikit lebih tua darinya mengangkat anak itu dan menggendongnya. Dia tersenyum dan meminta maaf pada Len. "Maaf ya, apa dia mengganggumu?"
Anak itu cemberut. "Mama, Yuki Cuma minta permen sama paman itu."
Len tersenyum tipis melihat Yuki yang terlihat lucu dan menggelengkan kepalanya. "Tidak dia tidak menggangguku sama sekali." Dirogohnya kantongnya dan mengeluarkan beberapa buah permen rasa jeruk. "Ini untuk Yuki."
Mata Yuki bersinar mendapatkan makanan manis itu. pipinya yang gembil bersemu merah dan bibirnya membentuk senyuman lebar. "Arigatou Jii-san!" serunya gembira.
Len melihat Yuki dengan senyum yang tidak pernah terlepas. Bayangan akan anaknya di masa depan nanti mengisi kepalanya. Apa anaknya akan menjadi seriang dan selucu ini? Apa anaknya akan menjadi kuat dan sehat? Bayangan gadis kecil dengan rambut pirang dan mata teal yang indah berlarian di kepalanya. Apa anaknya akan seperti yang dipikirkannya?
"Kalian baru menikah?"
Pertanyaan ibu Yuki mengembalikannya dari fantasinya. Dia tersenyum dan mengangguk. Wanita itu tertawa ringan. "Sudah kuduga, wajahmu itu persis seperti yang Kiyoteru pakai sejak aku mengandung Yuki."
Len merona mendengarnya. Apa dia semudah itu dibaca? Wanita itu masih tertawa dan membuat pipi Len bertambah merah.
"Hehe, namaku Hiyama Kokone, siapa namamu?"
"Ka, Kagamine Len, dan ini istriku Miku." Jawabnya sambil menunjuk wanita yang tertidur di sampingnya.
Mendengar namanya dipanggil, Miku yang baru saja terbangun membuka mata sedikit dan melihat suaminya sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita. Wanita berambut coklat itu menggendong seorang anak perempuan dan tertawa bahagia bersama Len.
"Kalian akan ke kota X? bukankah akan lebih cepat kalau naik pesawat saja?" ucap Kokone tidak percaya.
"Sebenarnya aku berencana begitu, tapi nyonya muda disini tidak kuat melihat pramugari-pramugari disana." Jawabnya sambil menyentuh pipi Miku dengan jari telunjuknya.
Miku merona. "Hei!" Dia hendak memukul kepala Len, tapi Len justru menangkap tangannya dan menciumnya, membuat wajah Miku merah padam. Kokone yang menyaksikan itu tersenyum lebar.
"Ah, pasangan baru. Kuharap kalian bahagia."
Yuki menguap lebar. "Yuki sepertinya mengantuk. Ayo kita tidur Yuki, ucapkan selamat malam pada Len-jiisan."
"Oyasumi Len-jiisan, Sayonara." Ucap Yuki dengan nada rendah.
Len merasa tidak enak mendengar kata-kata Yuki tapi tidak terlalu memusingkannya. Perhatiannya kembali pada Miku yang kini cemberut. Dia hanya tertawa saja dan hal itu membuat Miku semakin kesal padanya.
xXx
Sisa perjalanan mereka terasa sepi. Langit yang tadinya berwarna biru cerah kini berubah gelap, hampir semua orang di dalam bus terlelap, bahkan Miku. Tapi Len masih terjaga, menelpon seseorang melalui handphonenya.
"-Ya, mungkin kami bisa sampai besok sore. Hm, hm, eh? Tidak! Mana mungkin kami memiliki anak secepat itu! uh…" suara tawa dari seberang membuat wajah Len memerah untuk kedua kalinya. "… tidak, tidak tenang saja, aku akan menjaga Miku. Kaito? Aku yakin Meiko akan membantunya melupakan Miku… hm, ya, ya"
Disaat mereka tengah asik-asik berbincang, Len mendengar sesuatu dari luar, seperti suara nyanyian. Dan nyanyian itu benar-benar berisik.
"… uh…apa? Aku tidak bisa mendengar" hei, Mikuo, Mikuo?" tidak ada jawaban dari seberang, hanya bunyi gemerisik dan suara yang nyaring dari lagu yang bukan hanya berasal dari luar, tapi juga dari speaker handphonenya membuat telinga Len sakit dan terpaksa memutuskan telponnya.
Saat itulah Len menyadari bus yang dinaikinya kini bergerak terlalu cepat dan tidak wajar. Len melihat keluar jendela tapi tidak bisa melihat apapun. Dia berdiri dari kursi dan berjalan menuju sopir. Nafasnya tertahan melihat ke luar jendela, tak ada jalan lain didepan mereka kecuali jurang yang dalam. Sang sopir tak sadarkan diri, tubuhnya membiru. Len mencoba membangunkannya, tapi tak bisa. dengan pikiran panik dia menarik sopir itu dari kursinya dan menggantikan pria malang itu mengemudikan benda besar ini.
Terlambat. Setengah dari badan bus itu telah memasuki jurang, dan membawa setengah lainnya bersamanya. Bus itu jatuh terguling. Guncangan yang hebat membuat seluruh isi bus berantakan, kaca – kaca jendela pecah dan badan bus penyok disana sini. Beberapa penumpang jatuh, berguling dan anehnya, tetap tidak sadarkan diri. Setelah beberapa kali berguling, dihantam oleh pohon dan batu, bus sampai di bawah dengan posisi miring ke kiri.
Butuh waktu yang cukup lama hingga Len terbangun. Sambil memegangi kepalanya yang berdarah dia melihat ke belakang, para penumpang tetap tertidur dengan posisi-posisi yang tampak menyakitkan, tidak ada yang meringgis kesakitan ataupun terbangun. Len melihat Miku tertelungkup dengan seseorang menghimpitnya. Dengan terhuyung-huyung Len berdiri dan menyingkirkan orang itu dari istrinya.
"Miku, Miku, bangunlah." Ucapnya seraya menepuk-nepuk pipi Miku.
Miku mengerang rendah, sebelum membuka matanya. Dia tersenyum melihat Len, tapi ekspresinya berubah saat melihat dimana mereka berada sekarang.
"Le, Len, Len…"
"Sssh, tidak apa-apa Miku, kamu selamat." Bisik Len sambil memeluknya.
Suara tangisan menarik perhatian mereka mereka mencari asal tangisan itu, di kursi paling belakang, Yuki kecil menangis memanggil mamanya yang tergeletak penuh darah. Disampingnya, seorang pria memeluk gadis itu erat dan menangis dalam diam.
"Papa, hiks, mama gak mau bangun. Hiks,hiks…"
"Yuki…" Len memanggil anak itu dengan nada rendah. Mata coklat Yuki yang berair melihat Len.
"Len-jiisan, mama Yuki gak mau bangun…" ucapnya dengan suara serak. Len dan Miku hanya bisa melihat Yuki kecil dengan tatapan sedih.
"Kalian penumpang bus ini juga?" pria yang memeluk Yuki bertanya. Len dan Miku mengangguk.
"Apa anda ayahnya Yuki?" Len bertanya. Pria itu mengangguk. "Namaku Hiyama Kiyoteru,"
"Sepertinya hanya kita berempat yang selamat…" Miku berkata lirih.
"Kita harus mencari tempat beristirahat dulu. Besok pagi kita kuburkan mereka semua dan mencari jalan keluar." Kata Kiyoteru, meski mendapat protes dari Yuki, Kiyoteru berdiri, membawa Yuki dalam gendongannya.
Mereka berjalan menelusuri gelapnya hutan. Satu-satunya penerangan mereka hanyalah senter kecil yang Len selalu bawa untuk jaga-jaga. Sedikitpun ada cahaya bulan yang bisa melewati celah hutan mengerikan itu. suara lolongan serigala yang menggema membuat Miku makin mendekatkan dirinya ke Len, tubuhnya gemetar ketakutan.
"Disini!"
"Aku menemukan dagingnya!"
"kesini, kesini!"
Len melihat ke kanan. Suara lolongan serigala yang mereka dengar barusan telah berganti dengan suara-suara berat seperti seseorang memanggil-manggil.
Tak berapa lama mereka melihat cahaya. Cahaya itu berasal dari lampion kecil, yang dipegang seorang anak laki-laki. Anak itu melihat mereka dengan pandangan datar, sebelum akhirnya berteriak memanggil orang-orang.
"Aku menemukan mereka!"
Beberapa menit kemudian puluhan pria-pria berpakaian hitam datang masing-masing membawa sebilah pedang maupun belati. Wajah mereka terlihat garang. Kiyoteru mendekap tubuh putrinya erat sedangkan Miku makin merapat ke punggung Len.
Dari balik kerumunan itu, seorang pria tua menggunakan tongkat kayu berjalan tertatih-tatih ke arah mereka. Wajahnya tampak ramah dan terlihat bijak. Orang-orang itu memberikan jalan untuk pria tua itu dan sedikit membungkuk padanya. Sepertinya dia orang yang disegani oleh orang-orang sangar ini.
"Kami mendengar suara berisik dari kampung kami. Apa yang sebenarnya terjadi?" ucap pria tua itu dengan nada khawatir.
"Bus yang kami tumpangi jatuh ke jurang dan hanya kami yang selamat." Len berkata dengan pelan.
Kata-kata 'Oh' dan 'Kasihan' terdengar dari kerumunan orang-orang. Pria tua itu hanya terdiam dengan wajah sedih, tapi sejenak Len melihat matanya memiliki cahaya aneh. Dia mendekati Len dan menepuk pundaknya dengan halus. Dia melihat orang-orang dibelakang Len; Miku, Kiyoteru dan Yuki yang terlelap.
"Oh, menyedihkan sekali. Biar kami yang mengurus jasad para korban. Kalian berempat istirahat saja di desa kami. Besok akan kuantar kalian ke tujuan kalian." Ucap pria tua itu.
Pria tua itu menoleh ke belakang dan melambaikan tangan. "Rin, kemarilah."
Tak lama seorang wanita muncul diantara kerumunan. Len terperangah melihat wanita yang berdiri di depannya itu. dibanding orang-orang disini yang berpakaian warna gelap, dia justru memakai pakaian berwarna cerah dan menutupi tubuhnya dengan rapat. Rambut honey blondnya yang dipotong pendek dihiasi sebuah pita putih. Senyum tipis terkembang di bibirnya yang berwarna merah muda. Saat mata mereka bertemu, senyum wanita itu makin berkembang dan mata ceruleannya terlihat lebih bersinar.
"Kakek memanggilku?"
Pria tua itu mengangguk. "Perkenalkan, dia cucuku, Rin. Jika kalian membutuhkan sesuatu minta saja padanya." Pria tua itu memberi isyarat tangan pada Rin. "Antarkan mereka ke rumah dan berikan pakaian baru. Juga berikan mereka makanan hasil buruan yang baru saja kita dapat."
Rin mengangguk pada kakeknya lalu mengisyaratkan pada mereka untuk mengikutinya.
Miku menarik tangan Len untuk menyamakan langkah kakinya dengan Rin. Kiyoteru hanya diam selama perjalanan sambil menggendong Yuki yang masih terlelap di gendongannya. Sebelum mereka terlalu jauh Len menoleh ke belakang. Suara tawa para penduduk terdengar sebelum mereka benar-benar menjauh dari sana.
xXx
"Selamat datang di desa Inunaki." Dua orang wanita muda menyambut mereka beberapa detik setelah mereka menginjakkan kaki ke desa yang mereka ketahui bernama desa Inunaki tersebut. Len mengerjap. Tubuhnya merinding tiba-tiba saat melihat mata merah wanita itu melihatnya dari atas hingga ke bawah, lalu tersenyum dengan misteriusnya. Dia mempercepat langkahnya mengikuti Rin yang memasuki sebuah rumah. Tapi sebelum masuk dia menoleh kepada kedua orang itu dan berkata dengan suara manis.
"Siapkan makanan untuk tamu kita Tei, Mayu. Ini perintah dari tetua desa."
Kedua orang itu mengangguk. Menatap Len dan kawan-kawan untuk beberapa saat, lalu pergi.
"Ini kamar kalian dan di sebelah sana kamar mandi. Aku akan membawakan baju ganti untuk kalian sebentar lagi." Ucap Rin sebelum meninggalkan mereka berempat.
Kiyoteru tanpa berkata apapun masuk ke kamar untuk menidurkan Yuki. Tatapannya yang kosong itu membuat Len merasa simpati. Pasti rasanya menyakitkan jika orang yang kita cintai meninggalkan mereka secepat ini. Dia tidak ingin dirinya dan Miku mengalami hal yang sama. Dia tidak tahu apa dia bisa bertahan sehari saja tanpa canda tawa Miku. Dia pasti mati. Len merasakan lengan bajunya ditarik dan dia menoleh ke arah istrinya.
"aku akan mandi. Kamu mau ikut Len?" Tanya Miku dengan senyum seductive. Sayangnya Len hanya tersenyum dan menggeleng.
"Maaf, aku ingin berkeliling dulu." Tolak Len halus.
"Ya, sudahlah. Kamu akan menyesal karena menolak ajakanku nanti." Ucap Miku sebelum berjalan menuju ke kamar mandi tanpa berbalik lagi.
Len menghela nafas, mengambil ponselnya yang telah kehabisan baterai dari kantongnya. Hah, sepertinya dia harus meminjam telpon. Mungkin di desa ini ada telpon rumah atau yang lainnya. Dia tidak bisa tidak menghubungi Mikuo saat ini. Bisa gila Mikuo jika tidak mendapat kabar bahwa mereka akan terlambat sehari- dua hari saja.
Len berjalan mencari wanita bernama Rin tadi tanpa mengetahui bahwa dia telah berada di dapur. Tak sengaja dia mendengar bisik-bisik dari sana.
"Aku ingin yang kecil itu. dagingnya pasti enak dan lembut sekali."
"Hei, kalau kita sudah berhasil, boleh aku mengambil kenang-kenangan? Aku ingin rambut yang hijau panjang itu."
"Sssh… kalian jangan terlalu berisik. Bisa bahaya kalau mereka mendengar kita."
Len mengintip. Di sana dia melihat Rin dan 2 wanita lain saling mengobrol dengan asyiknya. wanita yang memiliki rambut putih panjang tertawa sambil memotong-motong sesuatu sedangkan wanita dengan rambut bergelombang ikut tertawa kecil sambil sesekali menjilati bibirnya. Sayang sekali penerangan yang ada disana hanyalah cahaya bulan yang merayap dari celah-celah jendela. Eh, tunggu, apa itu jari tangan? Len menutup mata dan menggeleng. Saat dia membuka mata, yang terlihat hanyalah kaki rusa yang masih segar. Halusinasi, dia pasti berhalusinasi. Penerangan bulan yang tidak terlalu bagus juga kejadian tadi pasti membuat otaknya berpikir yang aneh-aneh.
"Ah, tuan. Apa anda ingin makan sekarang? Maaf, hanya Tei dan Mayu saja yang ada di sini jadi kami tidak bisa membuat makanan lebih cepat lagi."
Len terkejut. Bagaimana bisa Rin mengetahui dia ada di sini? Padahal dia tidak bersuara sedikit pun! Len keluar dari tempat persembunyiannya dan menghadap mereka. Dengan menggaruk kepala dan rasa malu karena telah menguping pembicaraan orang. Dengan malu-malu Len melihat ketiga wanita itu.
"Ah, um… ano, aku hanya ingin bertanya. Apa disini ada telpon rumah atau alat komunikasi lainnya? Aku harus menelpon keluargaku."
Rin memiringkan kepalanya sedikit. Tangannya menggaruk pipinya dan ekspresinya seolah-olah mencoba mengingat-ingat sesuatu. Teman-temannya berbisik di belakangnya dan tertawa kecil sambil melihat Rin dan Len.
"Seingatku ada satu telpon umum di sini. Tepat di ujung desa. Tuan mau aku mengantar tuan ke sana."
Len mengangguk. "Maaf merepotkan."
"tidak merepotkan kok. Mari," ucap Rin sambil tersenyum manis. "Mayu, tolong antarkan pakaian 3 orang lainnya ya,"
Gadis dengan rambut bergelombang itu memilin-milin ujung rambutnya yang berwarna-warni dan mengangguk senang. Rin memegang tangan Len dan membimbingnya keluar. Len merona merasakan kulit lembut Rin menyentuh kulitnya. Dia melihat Rin dan mengetahu wajah Rin juga memerah sedikit. Di belakang Len mendengar siulan dan godaan dari teman-teman Rin yang membuat wajah mereka berdua semakin memerah.
XxX
"Bagaimana?"
Len menggeleng pasrah. "Tidak ada sinyal."
"Maaf tuan, kami tidak pernah menggunakan benda itu sejak benda itu ada di sini jadi saya kalau benda itu masih berfungsi atau tidak."
Len melihat Rin membungkuk dengan rasa bersalah. Membuat Len tidak tahan untuk tidak mengacak-acak rambut honey blonde gadis itu. Dan dia memang tidak dapat menahannya. Rin terlihat terkejut sekali saat tangan Len memegangi puncak kepalanya dan mengacak-acak surai blondenya. Saat dia mengangkat wajahnya Len tidak tahan untuk tidak tersenyum puas. Rin benar-benar mengingatkannya pada sepupunya yang ceroboh bernama Lenka.
"Kamu gak salah kok. Dan jangan panggil aku 'tuan'. Panggil aku Len saja."
Senyum lebar terkembang di bibir Rin, matanya yang menatap Len terkena cahaya bulan membuat manik cerulean itu terlihat bersinar. Len merasakan detak jantungnya berdebar hebat. Perasaan apa ini? Tidak mungkin dia menyukai anak ini. Dia sudah memiliki Miku, ya kan?
"Baiklah Len. Panggil aku Rin juga ya!" suaranya yang bersemangat itu bukan hanya membuat jantung Len bergemuruh tapi wajahnya juga terasa panas.
Sial, ini tidak mungkin. Len melihat ke arah lain, tidak Rin melihat wajahnya yang sekarang. Pandangannya tertuju pada para penduduk yang baru saja pulang. Mereka membawa ember-ember berisi daging dengan wajah gembira dan gelak tawa mengisi perjalanan mereka.
"Sepertinya mereka mendapat buruan yang banyak ya." Ucap Len sambil melihat orang-orang itu. Rin juga melihat mereka. Wajahnya kosong saat melihat ember-ember yang orang-orang itu bawa.
"Ya, ada kawanan rusa yang melewati desa kami dan kami menangkap hampir semua dari mereka. Kita akan makan besar malam ini." Jawabnya pelan.
"Orang-orang di desa ini benar-benar baik dan ramah. Pasti menyenangkan tinggal disini." Komentar Len.
"Tidak juga." Rin berkata dengan nada dingin membuat Len terkejut. Dia menoleh melihat Rin duduk di rerumputan dengan kedua kakinya dipeluk. Rin menghela nafas berat.
"Aku tidak suka disini. Aku ingin keluar dari desa ini jika aku bisa." Keluh Rin. Len melihat gadis bertubuh kecil di sampingnya ini dengan kening berkerut.
"Aku ingin keluar dari desa memuakkan ini. Mungkin aku bisa mencari pekerjaan sebagai perawat, aku selalu ingin menjadi perawat kau tahu. Lalu mungkin aku bisa hidup dengan normal di dunia yang biasa dan mungkin aku bisa menikah dengan manusia biasa yang baik dan perhatian…." Rin melirik Len dengan ujung matanya. "Sepertimu." Bisiknya.
Len mendengarnya tentu saja. Wajahnya memerah tapi dia segera menggelengkan kepalanya. Mencoba menghapus apa yang baru saja dia dengar dari wanita blonde itu. "Ah, mungkin Rin hanya merasa bosan karena selalu berada di desa kan? Suatu saat nanti kamu pasti bisa menemukan hal lain yang membuatmu senang berada disini." Len mencoba menghibur, tapi sepertinya tidak ada gunanya karena Rin justru melihat ke arah lain dan tidak mau melihat ke arah Len.
"… begini saja," Rin melihat melalui celah rambutnya yang menutupi wajahnya. Len duduk di sampingnya, dengan sebuah senyum terkembang di bibir.
"Aku akan berbicara pada kakekmu, aku akan membawamu bersamaku ke kota selama beberapa hari kemudian kembali lagi ke desa ." Lanjutnya.
"Benarkah?" Rin bertanya. Wajahnya terlihat senang sekaligus tidak percaya. Len mengangguk.
"Terima kasih…"
Mereka kembali terdiam, melihat dari kejauhan para penduduk desa yang dengan semangat membuat tungku untuk memasak daging yang mereka dapat.
"Ne, Len?"
Len menoleh, melihat mata cerulean Rin yang menatap lurus padanya. Dan tak sampai sedetik, bibir mungil Rin telah mendarat di bibir Len. Len tentu saja terkejut. Tapi secara perlahan dia tetap membalas ciuman yang tidak terpekirakan itu.
Saat Rin melepaskan ciuman mereka, sudah dipastikan wajahnya merah padam, begitu juga dengan Len. Mereka tidak berkata apapun dan hanya melihat tanah hingga Rin menarik tangan Len dan membawanya menuju tempat menginap. Rin bersikap seolah tidak terjadi apa-apa meski wajahnya mengatakan hal lain. Hingga mereka sampai di kamar Len pun Rin tidak bisa menghentikan rona merah yang menjalari wajahnya.
"Ma, maaf tadi itu-" ucapan Rin tadi tidak dapat diselesaikannya karena Len kini menciumnya juga. Len melihat Rin lurus dengan tangannya mengelus pipi Rin yang merona. "Tidak ada yang perlu dimaafkan." Ucapnya
Mereka hampir akan berciuman lagi jika saja suara Miku yang memanggil Len tidak menyadarkan mereka berdua. Dengan membungkuk dalam dan meminta maaf Rin berlari menuju dapur tempat teman-temannya berada.
"Len? Aku tadi mendengar suara Rin-san. Apa terjadi sesuatu?"
Len melihat istrinya dengan tatapan sendu. Hal berikutnya yang dia lakukan adalah memeluk Miku dan meminta maaf berulang-ulang. Tentu saja Miku yang tidak mengetahui apapun kebingungan dengan sikap Len dan bertanya. Tapi Len tidak mau menjawab. Dia hanya membenamkan wajahnya di bahu Miku dan menyesali apa yang dia perbuat di dalam hatinya.
XxX
Tengah malamnya, Len dikejutkan dengan teriakan Kiyoteru yang histeris.
"YUKI MENGHILANG!"
"Wa…" Miku yang baru saja terbangun segera merapikan dirinya dan mengikuti Len ke kamar Kiyoteru yang berada di samping kamar mereka.
"Ini semua salahku, seharusnya aku tidak meninggalkannya sendirian. Dia tidak mengenal tempat ini, pasti sekarang dia tersesat dan ketakutan. Bagaimana, bagaimana kalau dia bertemu binatang buas?!" Kiyoteru mulai berteriak dan menangis. Tangannya menggenggam kuat pita merah dengan garis kuning yang tadinya menghiasi salah satu rambut twintail Yuki. Miku memeluk Kiyoteru dan menenangkannya dengan kata-katanya.
"Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Di desa ini pasti ada banyak anak-anak, mungkin dia bermain bersama mereka." Miku mencoba menghibur.
"Kau jangan khawatir Kiyoteru, aku akan mencari Yuki-"
"Tidak, biar kami saja yang mencarinya." Rin menginterupsinya. Tangannya memegang pundak Len dan dia tersenyum manis. Matanya yang berwarna cerulean itu terlihat berkilauan dan terdapat sedikit cahaya merah disudut matanya.
"Orang-orang kami akan mencarinya. Sebaiknya kalian makan dulu. Mayu dan Tei baru saja selesai menyiapkan semuanya. Ayolah,"
Rin menarik tangan kiri len dan menuntun mereka ke meja makan. Len hanya diam dan menurut saja. Ada apa dengan Len? Apa karena ciuman itu Len menjadi anjing yang penurut? Apapun itu jelas membuat Miku cemburu. Segera dia memeluk lengan lengan Len, tapi Len tidak mempedulikannya. Melihatnya saja tidak. Miku memukul lengan Len dan akhirnya Len melihatnya juga.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin. Miku terkejut dan menjadi sedikit takut. Dia menggeleng pelan. Ini pertama kalinya Len menggunakan nada seperti itu padanya.
Di sepanjang perjalanan, mereka mendengar sayup-sayup alunan nada yang anehnya tidak terasa asing di telinga Miku dan Kiyoteru. Saat itu juga, Len merasa tangannya digenggam kuat oleh Rin.
'Naisho
Naisho
Kikoe kuru no wa
Yoi no sakai no kagura uta…'
"Ah, lagu ini!" Miku berseru tiba-tiba membuat Len melihatnya dengan bingung. Apa Miku tahu lagu ini?
"Aku pernah mendengar lagu ini di bus sesaat sebelum tertidur." Lanjut Miku seraya menutup mata dan menggumamkan lagu itu.
"Benarkah? Aku tidak mendengarkan apapun di bus." Sahut Len dengan kening berkerut.
Miku melihat Len dengan alis terangkat. "Itu karena kau sedang menelpon Len. Saat kau berbicara dengan Mikuo kalian seolah-olah lupa akan dunia." Ucapnya dengan wajah masam. "Kadang aku merasa kalau semua yang janji yang kau ucapkan saat kita menikah hanya janji palsu dengan caramu bersikap dengan orang-orang di sekitarmu…" Miku melanjutkan dengan nada rendah bahkan Len tidak dapat mendengarnya. Matanya melirik Rin yang berjalan di depan mereka, lalu pada tangan Rin yang saling bertautan dengan Len. Miku semakin mengeratkan pelukannya ke lengan Len. Saat dia melihat Len yang kebingungan sekali lagi. Dia menggelengkan kepala dan tersenyum tipis.
"Ah, lupakan. Hei, Kiyo-san juga mendengarnya kan?"
Pertanyaan Miku sama sekali tidak dijawab oleh Kiyoteru. Pria brunette itu terlalu sibuk berdoa untuk keselamatan putrinya, tangannya yang bertautan memegangi pita merah bergaris kuning yang sebelumnya menjadi hiasan rambut Yuki.
XxX
Mereka sampai di ruang makan dan disambut dengan hidangan yang ada di meja. Berbagai macam makanan berbahan dasar daging bisa ditemukan disini. Len tidak menyadari perutnya yang keroncongan hingga dia mendengarnya sendiri. Kiyoteru juga merasakan lapar menyerangnya saat dia melihat sepiring nasi kare yang Mayu berikan padanya. Suara tawa riang Mayu membuat Len merinding entah kenapa.
"Kalian pasti sudah kelaparan kan? Aku, Mayu, akan menyarankan kalian untuk memakan kare ini lebih dulu. Ini dibuat dari daging anak rusa yang empuk. Kalian pasti menyukainya. Ini akan memenuhi perutmu yang kosong dengan cara yang sangat menyenangkan." Ucapnya sambil menyuapkan sesendok kare ke Kiyoteru.
Wajah Kiyoteru terkejut dengan tindakan Mayu yang berani, tapi sedetik kemudian sebuah senyum terkembang di bibirnya. Dia mengambil sendok yang tadinya Mayu pegang dan menyuap kembali kare itu dengan lahap. Seolah-olah rasa kehilangan Yuki tadi telah terlupakan akibat nikmatnya makanan itu.
Miku juga mencobanya dan sangat menikmati rasanya. Dia menyenggol Len yang berada di sampingnya yang tidak menyentuh makanannya sama sekali.
"Ayo coba Len. Ini sangat enak!"
Len mengangguk. Dan menyentuh sendok yang tadi hanya terbaring di atas piring di depannya. Tapi sebelum Len sempat mengambilnya, Rin menahan tangannya lebih dulu. Len melihat Rin dengan wajah bingung tapi Rin hanya tersenyum. Dengan kedua tangannya dia memberikan Len nasi karenya.
"Kalau Len tidak kuat memakannya aku akan memberikan makanan lain." Ucapnya.
Len mengangguk saja. Tidak terlalu mengerti apa yang Rin katakan. Dia memakannya sesendok, dan merasa ada yang aneh di mulutnya. Dia memuntahkannya. Matanya membulat dan keringat dingin bercucuran saat dia melihat apa yang dia muntahkan. Pita merah bergaris kuning dan juga bungkus permen jeruk yang dia berikan pada Yuki saat di dalam bus waktu itu. Len berkedip, saat dia melihat makanannya untuk yang kedua kalinya, dia melihat kuah kare itu berwarna merah seperti darah dan daging - daging kare di dalam piringnya adalah potongan-potongan tubuh manusia.
Len memucat. Dia menjauhi meja makan dan berjalan mundur perlahan-lahan. Miku yang melihatnya bersikap aneh memiringkan kepalanya dan bertanya dengan nada polos.
"Len, ada apa?"
"Mi… Miku… Kita harus segera pergi dari sini…" Len berkata dengan nada rendah.
"Eh, tapi… kareku belum habis, aku juga ingin mencoba kebab yang mereka buat!"
"Benar Len-sama. Kenapa harus pergi? Tinggallah disini beberapa hari lagi. Kami akan membuatkan kalian makanan terenak di dunia." Ucap Tei yang datang entah dari mana. Dia mendekati Kiyoteru yang makan dengan rakusnya dan menusuk kepalanya dengan pisau. Darah berserak di atas meja makan itu, tapi Kiyoteru tidak merasa kesakitan dan Miku tidak merasa takut sama sekali. Mereka tetap makan dengan rakusnya.
"Rugi jika membuang makanan seenak ini. Mungkin sebaiknya kau membawanya pulang sebagai oleh-oleh." Ucap Mayu lalu menggunting rambut teal Miku.
Dia tertawa seraya menyerakkan rambut itu ke lantai. Tawanya sangat riang seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru.
Len melihat rambut yang berserak dan darah yang mengalir deras itu dengan ngeri. Kenapa Miku tidak marah, menjerit akan rambut kesayangannya yang dipotong seenaknya pun tidak. Dia terlalu sibuk makan apapun yang ada dihadapannya hingga tidak menyadari apa yang telah terjadi. Len berjalan mundur dengan perlahan, melihat ngeri saat kedua wanita itu menghabisi Kiyoteru secara membabi buta. Dia mencoba memanggil Miku lagi saat Mayu hendak menebas kepala istrinya, tapi seseorang menariknya keluar dari ruang makan.
"APH!" Len melihat ke kiri. Ternyata Rinlah yang menarik dan mendekap mulutnya. Dia melepaskan mulut Len dan mengisyaratkan Len untuk diam dan mengikutinya.
Dengan tangan kanannya masih memegangi tangan Len, Rin menarik Len keluar dari rumah itu dengan berjinjit. Tapi belum sempat Rin menginjakkan kakinya ke luar dari rumah, Len menahannya. Rin menoleh pada Len dengan tanda tanya tersirat di atas kepalanya.
"Ada apa Len?" Tanya Rin dengan polos. Tapi Len tidak menerima aksi polosnya itu. Dia melihat Rin dengan tatapan seram hingga membuat Rin mundur selangkah kebelakang.
"Apa maksud semua ini? Kenapa orang-orangmu melakukan ini? Apa yang mereka lakukan pada Miku dan Yuki? Jawab Rin!" Len bertanya setengah berteriak.
Rin diam untuk beberapa saat. Dia menunduk ke bawah. Len tidak bisa melihat wajah Rin dengan jelas karena tertutupi oleh poninya tapi saat Rin mengangkat wajahnya, dia terlihat seperti ingin menangis.
"Aku… aku juga tidak tahu! Ini pertama kalinya aku melihat mereka seperti itu… itu, itu mengerikan….aku... aku takut..."
Dia menunduk lagi. Meremas bajunya dan kali ini Len dapat melihat bulir-bulir air mata jatuh ke tanah.
Pandangan Len melembut. Sepertinya Rin juga tidak tahu apa-apa. Tentu saja dia ketakutan melihat orang-orangnya berubah menjadi seperti ini. Len sendiri juga takut. Apalagi saat Miku- ah, Miku!
Len berbalik ingin kembali menuju ke ruang makan dan menyelamatkan Miku. Tapi gerakannya dihentikan oleh sepasang tangan yang menarik lengannya.
"Jangan kesana Len. Tempat itu berbahaya!" seru Rin sambil menarik tangan Len. Siapa sangka tubuh mungil gadis ini bisa menyimpan kekuatan yang cukup besar?
"Tapi aku harus kesana. Miku membutuhkanku!" Len berkata. Rin menggeleng.
"Sudah terlambat. Miku-san pasti sudah dimakan oleh mereka. Kita harus pergi dari sini sebelum kau juga dimakan." jawab Rin sebelum kembali menarik Len dan berlari keluar rumah. Len yang kalah kuat hanya bisa bertahan ditarik oleh Rin.
Lho, harusnya dia mengatakan kita kan?
"Aku tidak bisa menolong Yuki dan Kiyuteru, juga Miku-san. Maafkan aku. Tapi aku tidak mau Len juga menjadi korban mereka. Karena itu, karena itu aku membantumu keluar."
Len menarik nafas berat. Kepalanya terasa sakit dengan apa yang dialaminya malam ini. Semuanya terjadi begitu cepat dan sangat menakutkan. Hal-hal ini seharusnya hanya terjadi di mimpi burukmu.
Dan Miku, oh Kami-sama. Len menutup matanya dengan kedua tangannya. Miku, istriku Miku, dia sudah… Len merasakan matanya panas. Tidak, dia tidak bisa mempercayai ini. Tidak mungkin. Mereka baru saja mewujudkan mimpi mereka sebagai seorang suami-istri, mereka baru akan memulai kehidupan mereka yang baru, tapi kenapa-
Len tersentak saat Rin menarik tangannya. Rin melihatnya sekilas sebelum melihat ke luar. Air matanya tak terlihat lagi di pelupuk matanya dan wajahnya terlihat serius.
" Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera pergi dari sini sebelum hal yang lebih buruk terjadi."
Tanpa menunggu jawaban dari Len dia menarik tangan Len dan mereka berjalan cepat menuju pintu keluar desa. Sepanjang perjalanan menuju ke sana Len melihat orang-orang berkumpul di beberapa tungku besar dan memakan daging
Yang di rebus disana. Len menahan dirinya untuk tidak muntah saat potongan tangan manusia terjatuh didekatnya dengan hanya sedikit daging melekat di tulangnya.
"Ah, Rin-chan. Kau ingin ikut makan bersama kami?" Tanya seorang anak kecil. Wajahnya melihat Len dan Rin, lalu menjilati bibirnya.
Rin tidak menjawab dan justru mempercepat langkahnya.
"Hei, Rin-chan. Mau kau apakan daging segar ini? Apa boleh aku meminta sedikit?" Tanya seorang pria dengan darah segar mengalir disudut bibirnya. Dia melihat Len dari atas hingga kebawah dengan tatapan lapar, lalu menjilati bibirnya.
"Ah, ini.. itu…" Len melihat Rin tergagap. Dia tidak tau harus berkata apa pada orang-orang tua ini. Dan Len tidak ingin berakhir di piring para kanibal ini. Jadi dia mengambil sebuah tindakan cepat, berlari secepat mungkin.
Orang-orang itu mengejar mereka, membawa senjata tajam dan berusaha menggapai-gapai Rin yang jaraknya tak jauh dari mereka.
"Rin-chan, kau akan kemana?"
"Ayo kemari dan makan bersama kami!"
"Atau kau ingin dimakan juga? Ayo jangan takut~'
Kata-kata mereka membuat Len merinding. Menjadi makanan? Yang benar saja! Len melihat ke belakang. Orang-orang yang mengejar mereka terlihat persis seperti di film-film tentang zombie yang sering ditontonnya, tetapi mereka lebih cepat dan lebih berbahaya. Len mempercepat larinya dan mendahului Rin saat melihat seorang pria membawa kapak diantara kerumunan itu. Kini justru Rinlah yang ditarik oleh Len.
"AAAAHH!"
Seorang pria tua bertubuh gempal menarik kaki Rin. Membuat wanita itu jatuh ke tanah dengan keadaan tersungkur. Disaat yang sama genggamannya pada tangan Len membuat Len jatuh terjungkang ke belakang. Para penduduk desa datang mendatangi mereka dengan beramai – ramai. Mata mereka melotot dan ludahnya menetes – netes. Mereka persis seperti anjing yang kelaparan.
Len meraba – raba tanah di sekitarnya, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk sekedar mengusir orang- orang mengerikan itu. Dan dia menemukannya. Sebuah cabang pohon patah seukuran tongkat baseball. Len memegang tongkat itu dengan kedua tangannya yang bergetar. Dia melihat cabang kayu yang berlumut itu dan kembali pada penduduk desa yang semakin mendekat. Sebuah pertanyaan di kepalanya; apa dia memiliki cukup keberanian untuk melukai orang-orang itu?
"TIDAK! Dell, kumohon jangan!"
"Kau sudah melindungi kami sejak lama Rin-chan. Berikan kami sedikit rasa dari jiwa kotormu itu."
Len melihat Rin yang berada dibelakangnya kini tengah digerayangi seorang pria berambut putih. Matanya yang merah darah bersinar terang seperti mata kucing. Dia tertawa seraya merobek pakaian yang Rin kenakan. Wanita muda itu menangis dan memohon-mohon agar orang itu melepaskannya tapi pria beruban itu sama sekali tidak peduli.
Oh tidak. Ini tidak bisa dibiarkan.
Len menggenggam dahan pohon itu dan memukulkannya ke wajah orang itu. Membuat pria berbadan besar itu jatuh beberapa senti ke sampingnya dengan mulut dan hidung berdarah. Dengan kakinya yang kaku Len mencoba berdiri di depan Rin.
"Larilah Rin. Aku akan melindungimu."
"Tidak Len, aku-" apa yang Rin katakan tak terjangkau oleh pendengaran Len dikarenakan dia sibuk memukuli orang-orang yang mendekati mereka. Tapi seberapa banyakpun yang telah jatuh, orang-orang kelaparan itu datang lagi dengan jumlah yang lebih besar.
Dua orang laki-laki menahan tangan Len, dan seorang pria tua yang len kenali sebagai tetua desa berdiri di depannya, dengan sabit yang diangkat tinggi-tinggi siap untuk mengoyak perut Len.
Mata Len membulat, wajahnya pucat pasi dan keringat dingin mengucur deras. Senyuman puas terselip dibibir kakek itu saat dia mengayunkan sabit ke arah Len. Len menutup matanya rapat-rapat. Ini akhirnya…
"Tidak!"
Disaat Len mengira ajalnya akan berakhir, sepasang tangan yang kecil dan lembut menyentuh pipinya. Dan suara Rin terdengar tenang tanpa rasa takut menyusupi telinganya.
"Jangan takut, Len. Aku akan membawamu pulang."
Tubuh Len tiba-tiba saja terasa ringan, dan suara Rin yang tenang terasa semakin menjauh.
"Selamat tinggal… Sampai jumpa, Len…"
XxX
"En… Len!" membuka matanya. Dia memicing melihat cahaya-cahaya yang memasuki matanya dengan cepat hingga membuatnya buta untuk beberapa saat. Setelah menggosok matanya dan mulai terbiasa dengan cahaya yang meneranginya, dia melihat sekeliling. Teman-temannya berkumpul disekitarnya dengan wajah khawatir. Diperhatikannya mereka satu persatu hingga manik birunya bertemu dengan manik teal yang dikenalnya.
"Mi… Miku?" panggil Len dengn nada tidak percaya.
Wanita muda itu tersenyum, memeluknya dan menangis di bahunya. Dia melihat sekelilingnya sekali lagi, dan baru menyadari mereka semua mengenakan pakaian formal.
"Kau membuat kami takut, Len." Kaito berkata dengan pelan.
"A, apa yang terjadi padaku?"
"Kau mengantuk di jalan dan mobil yang kau kendarai jatuh ke jurang. Beruntung orang-orang segera menyelamatkanmu sebelum kau mati kehabisan darah." Mikuo menjawab, matanya melihat Len dengan tatapan yang mengkritik. "Gara-gara kebodohanmu, pernikahanmu dan Miku dibatalkan."
"Sudahlah Mikuo. Yang penting Len ada disini, dia selamat." Bela Miku diantara isak tangisnya.
Len hanya terpaku melihat mereka. Jadi, semua itu hanya mimpi buruk?
Len melihat Miku yang masih sesenggukan di bahunya. Pakaian pengantin yang dikenakannya kotor dan sedikit berdarah. Rambutnya yang seharusnya menyentuh lantai kini hanya tergerai hingga punggungya dan dihiasi sebuah jepit rambut berbentuk bunga putih.
Eh? Tunggu dulu!
"Miku?! Apa yang terjadi pada rambutmu?"
Miku mengangkat kepalanya. Dia melihat rambutnya selama beberapa saat lalu menarik nafas.
"Salah seorang dari tukang rias yang kupekerjakan tidak sengaja memotong rambutku." wanita itu menggeleng dan memberikan senyuman kecil. " Tidak apa-apa."
Len melihat Miku dengan pandangan bingung. Aneh, rasanya ada yang mengganjal. Len menggaruk belakang kepalanya dan terkejut merasakan sesuatu di ponytailnya. Dia mengambil benda itu, sebuah pita merah dengan garis kuning yang terasa familiar. Mata Len membulat. Pita ini milik Yuki.
Len bangun dari tempat tidur. Tidak peduli dengan protes teman-temannya yang menyuruhnya kembali berbaring. Dengan bertumpu pada dinding dia berjalan keluar dari kamar.
"Len! Kembali ke tempat tidur sekarang juga!"
"Len, mau kemana kau?"
"Badanmu belum pulih benar, lebih baik kau kembali berbaring."
Semua yang diucapkan teman dan kekasihnya tak sampai ke telinga Len saat dia melihat seorang pria berkacamata yang menggendong anak perempuannya. Rambut hitam bocah itu diiikat dua dengan pita merah bergaris kuning di salah satu kuncirannya. Mata coklatnya melihat Len dengan polos dan sebuah senyuman lebar terkembang di bibirnya. Len menahan nafas.
"Yuki…"
"Len-jisan! Kita bertemu lagi!"
Gadis itu turun dari gendongan ayahnya dan berlari untuk memeluk kaki Len. Semuanya melihat Len dan Yuki dengan bingung, begitu pula dengan Miku dan ayah anak itu.
"Maaf, tapi apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya ayah anak itu.
Len tidak menjawab Karena sejujurnya dia sendiri juga tidak tahu mengatakan apa. Bagaimanapun juga dia tidak yakin apakah kejadian itu benar- benar terjadi atau tidak.
"Ah, Kagamine Len seharusnya kamu tetap berbaring di kasurmu."
Len berbalik dan bertemu mata dengan seorang wanita yang terasa familiar olehnya. Wanita itu berpakaian seperti perawat dengan sebuah clipboard dan pena di kedua tangannya. Rambut blondennya tergerai dengan indah dan senyumnya terlihat menawan, dengan mata birunya yang berkilat kemerahan.
The End...?
Permintaan maaf Mikan untuk Soralina senpai dan semua reader yang membaca fic Mikan yang lain. Mikan baru saja ditimpa nasib buruk hari ini. Semua fic yang Mikan kerjakan (A-Z bonus chapter, Yami no Sekai, Voca Hell-err... House, Against the World dll) baru saja terhapus. Dan kini Mikan harus mengetiknya lagi dari awal TAT
hiks, untuk menyemangati Mikan... review, please?
