What Is Family?

Disclaimer :

Yusuke Muraya & Riichiro Inagakiri

Story :

Kisiki Nagome

Begitu banyak kebahagian yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Dan begitu banyak pula, cobaannya.


Scene 1

Aku dibesarkan dalam keluarga bermarga Hiruma. Ayahku, Yuya Hiruma adalah pecatur payah sekaligus seorang single parent. Mungkin lebih baik kita flashback dulu kemasa lalu keluarga ini…


Flashback…

Waktu itu umurku enam tahun. Masih TK. Kupilih masa itu, karena keluarga kami sedang mencapai puncak musim semi. Teringat dengan jelas saat Ayah berhasil memenangkan kejuaran catur tingkat Nasional. Berkat kemahirannya mengolah data, yang diubahnya menjadi sebuah formula andalan, hingga terbentuklah rasio kemenangan, dan menghantarkannya ke dekapan tangan. Ibuku, Yuuka Hiruma adalah seorang aktris ternama. Sudah lebih dari lima belas film berhasil memasuki top ten chart di Jepang, dan tengah merintis karirnya menuju Internasional. Setiap saat yang kami lalui kala itu, penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan. Benar-benar musim semi yang indah.

Namun, semua itu berubah ketika Ayah kalah di kejuaraan Internasional. Alasan kekalahannya bukan karena sakit, tekanan batin, apalagi lupa ke kamar kecil sebelum bertanding. Yang membuatnya kalah telak adalah, dirinya yang terbawa oleh perasaan terhadap orang lain.

Bisakah kau bayangkan Yuya Hiruma, seorang poker face sejati, tiba-tiba menunjukkan emosinya? Dia, menampakkan rasa belas kasihan pada lawannya dan membuatnya menjadi seorang pecundang kelas dunia.

Meski begitu, aku tetap tak akan pernah memaafkan siapapun lawan tanding Ayah saat itu, sebut saja 'lawan sialan'. Gara-gara dia hidup kami semua jadi berantakan! Apapula dia menggunakan cerita kiasan yang terkesan menyedihkan demi meminta belas kasihan pada lawannya, sungguh perbuatan yang lebih kejam dibandingkan dengan menembak lawanmu secara langsung.

Sejak insiden itu, Ayah mengalami gangguan mental, berawal dari frustasi berlanjut ke depresi hingga menjadi gila. Batinnya semakin tertekan kala media mengusut prahara tersebut dan menjadikannya sebagai headline news. Kehancuran pertama keluarga Hiruma, yang akan membawa kehancuran lainnya.

Ibu yang sedang meniti karirnya di tingkat Internasional terancam gagal, dikarenakan berita di media massa yang membicarakan tentang masalah Ayah yang labil. Agensi tempat Ibu bekerja mencegah Ibu untuk kembali eksis di dunia perfilman, sebab enggan berurusan panjang dengan media yang bisa mencoreng nama baik agensi tersebut. Hingga akhirnya, Ibu diberhentikan sebelum masa kontraknya habis.

Semakin hari, Ayah semakin tak punya akal sehat. Ditengah krisis besar keluarga, ia masih sempat-sempatnya berjudi, yang menghasilkan NOL BESAR. Sementara Ibu, dia bagaikan hidup tanpa nyawa. Yang dia lakukan hanya bergerak bagaikan hidup sendiri. Yang bisa kutangkap sebagai tindakan normal darinya hanyalah kegiatan, makan dan minum, sisanya sepanjang hari diisinya dengan melamun.


Suatu ketika, Ayah pulang dalam keadaan mabuk berat. Jalannya sudah sempoyongan. Matanya nyaris putih semua. Bicaranya tak jelas. Saat itu, aku berumur delapan tahun, kelas dua SD. Yang terekam jelas dalam ingatanku adalah ketika Ayah dan Ibu bertengkar di ruang keluarga. Aku yang sedang makan malam di ruang makan bergegas berlari untuk melihat apa yang terjadi pada mereka. Setelah sekian lama hidup dalam dunia masing-masing, mereka pun bicara. Satu hal yang selalu kunantikan, namun, tidak untuk pembicaraan seperti ini…

"Kau itu seorang istri! Tugasmu ya mematuhi perintah suami. Kalo suamimu bilang 'A' ya turuti saja!" Ayah berteriak dalam keadaan setengah sadar sambil mengacungkan telunjuknya ke wajah Ibu.

"Apa-apaan kau ini, selalu saja semauanya! Memangnya kau pikir wanita itu apa! Seenaknya saja dijadikan bahan taruhan! Salahmu sendiri kenapa berjudi kalah dan berhutang, jangan bawa-bawa aku!" Ibu berteriak tak kalah sengit. Suara yang kuyakini hanya dikeluarkannya saat bersandiwara. Karena yang kutahu, Ibu adalah orang yang lemah lembut, seberapa berat masalahya, ia tak akan pernah meninggikan suaranya.

"Cepat ikuti saja perintahku!" Ayah dengan kasar menarik lengan Ibu keluar. Aku baru saja membuka mulut untuk mencegahnya, tapi ternyata Ibu lebih sigap. Dia melepaskan cengkraman lengan Ayah dan menamparnya dengan ujung pintu yang terbuka.

Ayah berjalan terhuyung ke belakang sambil meringis kesakitan, tampaknya dia sudah pulih dari pengaruh alkohol. "Aku benci kau! Aku benci dan menyesal telah menikahimu! Gara-gara kekalahanmu yang memalukan itu, aku harus kehilangan semua mimpi dan cita-citaku! Dan sekarang, kau buat aku jadi bahan taruhan, menyuruhku berpakaian seperti pelacur dan melayani tamu-tamu nakal? Kau benar-benar suami yang GILA! KAU GILA! Aku muak denganmu, aku minta cerai saat ini juga!"

"Silahkan kalau memang itu maumu! Cepat pergi dari rumah ini! Jangan pernah kau dekati aku ataupun Youichi!" Ayah menyalak.

"Silahkan saja! Urus anakmu itu sendiri! Aku tak peduli lagi padanya!"

Kemudian Ibu pergi dan membanting pintu keluar meninggalkan aku yang masih syok dan juga Ayah yang masih tampak berapi-api.


Sejak kepergian Ibu, kami pun tinggal berdua di sebuah mansion kecil. Tak ada lagi wartawan yang menyorot kami setiap waktu sejak saat itu. Hidup terasa lebih damai dan tenang saat itu. Ayahpun sudah kembali menjadi Ayahku yang dulu. Dia tak lagi berjudi dan menghambur-hamburkan uangnya. Dia mulai mencari pekerjaan dan menafkahi kami. Meski hidup kami tak semewah dulu, namun perasaan nyaman dan tenang, selalu hadir di setiap kesempatan yang ada.

Satu tahun pertama Ayah tampak tenang. Dia selalu memamerkan senyumnya yang cemerlang. Namun, di tahun berikutnya, aku dapat melihat dari balik iris emeraldnya memancarkan kesepian. Dia mulai sering menerawang jauh. Aku yakin, dibalik lamunannya, sosok Ibu pasti muncul. Ya, dia membutuhkan seorang perempuan yang, mungkin, lebih baik darpida Ibu untuk menemaninya. Dugaanku benar, karena dua tahun lebih beberapa bulan setelah kepergian Ibu dia berkata.

"Youichi, kau ingin punya Ibu baru tidak?"

Aku tersentak dibalik wajah datar yang kutunjukkan. Terdiam sesaat, kemudian menjawab. "Bukannya Ayah yang ingin punya Ibu baru?"

Dia tertawa. "Hahaha, kau ini… Yah, memang. Ayah kan laki-laki dewasa yang tak bisa hidup tanpa perempuan,"

Keh, berlebihan.

"Jadi menurutmu gimana?" Ayah mengulang pertanyaannya.

"Terserah kau saja,"

Kubiarkan Ayah menebak sendiri maksud dari jawabanku. Aku bukannya tak ingin punya Ibu baru, karena tak mau jadi anak tiri yang dianiaya seperti Cinderella. Bukan juga karena aku masih berjalan pada Ibuku di masa lalu. Aku hanya ingin mendhindari, kenangan pahit yang telah berlalu, terulang lagi di masa kini.


Selang beberapa waktu. Ayah pulang bersama dengan seorang wanita berumur tiga tahun lebih muda daripada Ayah, namanya Maria Anezaki, calon Ibu baruku. Ayah mengenalkannya padaku. Katanya dia adalah salah seorang rekan Ayah di kantor tempat Ayah bekerja. Mereka sudah lama mengenal dan sudah cukup lama berhubungan satu sama lain, sekitar empat sampai lima bulan. Maria ternyata seorang Ibu beranak satu. Dia diceraikan oleh suaminya dua tahun lalu gara-gara orang ketiga.

"Jadi, bagaimana menurutmu Youichi?" tanya Ayah setelah menceritakan SELURUH hal tentang Maria Anezaki, yang sangat membosankan.

"Aku tak peduli," akupun bangkit dari kursi ruang keluarga lalu meninggalkan mereka berdua.

Tanpa ku jawab 'ya' Ayah pasti akan dengan sendirinya menikahi janda itu. Jadi buat apa berlama-lama menahan kantuk yang sudah kutahan sejak dua jam lalu.


Pernikahan kedua Ayah dengan Maria berlangsung dengan tenang dan damai. Tidak ada pesta atau apapun. Cukup dengan ikrar di depan penghulu, dan 'fuala' jadilah mereka pasangan suami-istri.

Setelah upacara berlangsung, aku dan Ayah segera pindahan ke rumah Maria Anezaki –ralat sekarang Maria Hiruma– di belahan kota Tokyo lainnya. Rumah dua lantai itu terlihat minimalis dengan eksterior bergaya Eropa, namun interiornya masih seperti rumah tradisional Jepang, lengkap dengan tatami dan kotatsu.

"Okaa-saan,"

Aku yang baru saja memasuki genkan rumah terhenyak saat mendengar suara gadis kecil yang berlari dari dalam rumah. Gadis itu tampak seperti Maria ukuran mini. Lengkap dengan rambut auburn dan mata sapphirenya.

"Mamori-chaan…" Maria menggendong gadis kecil itu sesaaat, lalu ia menurunkannya kembali dan mendorongnya mendekatiku.

"Mamori ini saudara barumu, namanya Youichi," Maria mengarahkan kelima jarinya yang telentang ke arahku. " Youchi kenalkan ini Mamori," begitupula sebaliknya.

Aku menatap gadis itu lekat-lekat. Manis. Ia menjulurkan tangannya untuk menjabatku. "Selamat siang, aku Mamori Anezaki, salam kenal,"

Aku membalas tangannya. "Youichi Hiruma,"

"Mamori, mulai sekarang, namamu bukan Anezaki lagi, tapi HIruma. Ingat ya, Mamori Hiruma," Maria mendikte ke arah Mamori.

"Ah, iya, baik,"

Ada satu hal yang membuatku tak bisa memalingkan pandanganku sejak pertama kali bertemu Mamori. Entahlah, saat itu, aku belum paham tentang berbagai sinyal yang bergetar di dalam tubuhku ini. Lagipula, umurku saat itu baru sepuluh tahun, kelas 4 SD.

TO BE CONTINUE…


Kisiki kembali~

Lagi jadi author rajin nih, hehe. Yah, kebetulan setelah selesai semua urusan sekolah, Kisiki dapet jatah liburan, kekeke...

Oh ya, ini cerita series pertama! Semoga lancar dan nggak ada hambatan buat nulis kelanjutannya..

Sebelumnya, author mau ngucapin sama teman-teman offline tercinta yang sudah memberi inspirasi untuk menulis tentang Hiruma (yang sangat susah ditulis meskipun pengen nulis sejak lama).

Yosh. Ayo, fans Hiruma, mana suaranya di kotak REVIEW :D