"Hei, Tetsu."
Kuroko tak perlu menoleh untuk menatapnya karena langkah mereka beriringan. "Ya?"
Karena jeda yang dibuat Aomine kelewat lama, Kuroko menatap sepintas. Terjadi kontak mata di antara mereka berdua selang beberapa detik, sebelum pada akhirnya Aomine tidak tahan.
"Nggak—"
(sang cahaya memalingkan muka.)
"—…tidak apa-apa."
(bayangannya melihat.)
.
.
"Berpaling Muka"
Apabila Aomine berbohong, ia akan memalingkan muka.
© Kaoru Ishinomori – 5.291.578
kuroko no basuke and all identifiable character(s) are owned by fujimaki tadatoshi. the author of the fan fiction does not, in any way, profit from the story and that all creative rights to the characters belong to their original creators.
.
(canon chp 213 pg 6&9)
.
.
Apabila Aomine berbohong, ia akan memalingkan muka. Kuroko sudah tahu sejak pertama kali mereka bertemu, sejak pertama kali mereka saling bercakap-cakap, dan sebenarnya kalau ia boleh berterus terang, Aomine yang melakukan hal itu kentara sekali. Kuroko heran mengapa tidak ada yang menyadarinya.
Dilihatnya muka Aomine kini memerah. "Sial," ia menghela napas, tampang kalah terbentuk di wajahnya. Persis seperti maling yang ketahuan dengan barang curian komplet di tangan. "Seharusnya aku tidak menanyakannya padamu."
Kuroko mengulas senyum. Benar rupanya. Ia tahu, Aomine hendak membicarakan sesuatu, hal terpendam yang mengusik ketenangan batinnya, namun itu diurungkannya dengan kata 'tidak apa-apa' sembari memalingkan muka.
"Hanya karena aku tahu kamu bohong, bukan berarti kamu harus memberitahuku kebenarannya," Kuroko mengendikkan bahu. Berhenti sejenak, lalu memutuskan untuk menyambung. "Tapi," ia menatap pemuda yang lebih tinggi tepat dua puluh senti darinya ini, "apabila kamu ingin mengungkapkannya, aku akan ada di sini."
Langkah Aomine dipaksa berhenti. Ia menatap sang bayangan di sampingnya, bola matanya membesar. Terperanjat—itulah kata yang pantas untuk menggambarkan reaksinya kini. Ia tak percaya ada seseorang yang berkata siap untuk mendengarkan apa yang ingin ia curahkan, seperti sekarang.
Saat itu, ingin rasanya ia mengungkapkan apa yang sempat ditundanya tadi. Akankah inilah saat Aomine berubah? Aomine yang tak pernah repot-repot mencari tempat pengungkap isi hati tanpa takut dikhianati? Aomine yang tak pernah membagi kegundahan hatinya pada seseorang? Aomine yang terbiasa memendam? Akankah ini pilihan yang tepat: percaya pada bayangan yang selalu sedia di sampingnya?
Ah.
Tapi, bukankah seorang Aomine bisa berdiri di atas kaki sendiri? Bukankah seorang Aomine yang tidak terkalahkan tidak memerlukan bantuan dari siapapun? Untuk apa membutuhkan seseorang apabila pada akhirnya dia justru direpotkan oleh orang itu?
"Yeah—"
(sang cahaya memalingkan muka.)
"—…oke."
(namun, bayangannya tak melihat.)
owari
a.n.
maso itu re-read manga kurobas teiko arc. /dilempar
oke. pas aomine bilang 'yeah-i-got-it' (chp 213 pg 9) itu matanya nggak dilihatin, 'kan. menurutku, pas dia bilang itu, dia malingin mukanya ;; jadi aomine juga bohong pas dia bilang itu ;; tapi tetsu-nya nggak awas ;; (ini cuma teori kok, lagi kurang kerjaan soalnya.)
eniwei, mohon maaf lahir dan batin. terima kasih sudah membaca!
kaori
