Chapter One

Salju turun perlahan. Menimbulkan semarak putih yang menghiasi berbagai sudut kota itu. Membuat pejalan kaki yang tengah sibuk melanjutkan masing-masing aktivitas, terpaksa merapatkan jaket masing-masing, menghindari tiupan angin musim dingin. Ditengah keramaian petang, tampak di salah satu apartemen besar, seorang pemuda berdiri – menyandarkan tangan pada balkon kamar apartemennya sedangkan salah satu kaki disilang pada kaki lain – sembari memandang beberapa pejalan kaki yang tampak berlalu-lalang dibawah. Pandangan mata tajam itu menyiratkan sesuatu. Sesuatu yang – entahlah, begitu terlihat absurd untuk didefinisikan.

Cklek. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka begitu saja. Tidak perlu menoleh karena dia tahu pasti siapa yang tengah memasuki ruangan pribadinya itu semena-mena.

"Yo!" Sapa orang itu.

Pemuda yang sedari tadi tidak beranjak sedikitpun itu mendengus. Sinis. "Sudah lupa bagaimana etika dalam bertamu, Asuma?"

Orang yang bernama Asuma hanya tersenyum kecil. "Ingin kulakukan, tapi kau tidak pernah mempedulikannya." Ia mendekati pemuda yang setahun lebih muda darinya itu. "Tengah memikirkan sesuatu?"

Hening. Tidak ada nada sedikitpun yang terlintas. Asuma mendesah. Sungguh, rasanya jiwa pemuda ini sudah mati. Ditatapnya kesamping. Mata itu. Mata yang sangat tidak ingin dilihatnya. Seketika Asuma tersentak.

"Hei…hei… Kau tidak serius, bukan? Aku rasa itu hanya sebuah ketidak sengajaan, lagipula keluarganya sudah memaafkan kejadian itu."

Sekali lagi, hanya dengusan sinis yang melintasi telinga Asuma. Membuatnya kembali mendesah pelan – entah untuk yang berapa kalinya di petang ini.

"Kau tahu roda hitam?" Asuma mengikuti pose pemuda disampingnya. Pemuda yang tidak lebih sudah dianggap sebagai adik sendiri. "Balas-membalas-dan dibalas. Hentikan dirimu sendiri sebelum sesuatu yang akan menghancurkan, menghentikanmu."

Asuma tidak terpengaruh begitu sepasang mata dengan sorot dingin dan seakan tidak berjiwa itu memandangnya penuh benci.

"Tunggu saja sampai tiba…" Suara bass menyentak pendengaran Asuma. "… pembalasan…" Suara itu menghilang seiring menjauhnya sosok angkuh yang sarat akan amarah.

"Kebencian, huh?" Asuma menutup wajah dengan telapak tangannya.

'Kebencian yang dapat menghancurkanmu…'

.

.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Author : Faicentt

Pair : Iruka Umino – Kakashi Hatake

Rating : M (adult theme)

Warning : OOC, BL, oddity, Typo(s) maybe, undefined genre, etc

.

.

Faicent, proudly present

CAN YOU HEAL THIS DARKNESS?

Ditengah pejalan kaki yang tampak memenuhi sisi jalan, tampak seorang pemuda setengah berlari menuju ke suatu tempat. Dikejar waktu, sepertinya. Terlihat dari wajah cokelat manisnya yang sesekali melirik jam yang melekat ditangan kanannya, sambil bergumam tak jelas.

"Gomen…gomen…" ucapan itu dilantunkan saat tubuhnya yang tengah tergesa tidak sengaja menyenggol beberapa pejalan kaki. Namun bukan sepenuhnya salah, mengingat salju yang sudah berhenti membuat orang-orang kembali memadati jalan, menjalankan kegiatan masing-masing.

Sampai di depan kedai, ia berhenti. Dengan nafas yang terengah, ia membenarkan posisi jaketnya dan memasuki kedai itu. Ichiraku ramen.

"Iruka-sensei! Osoi-yoo." Seorang bocah blonde tampak menghampirinya. Sekilas wajahnya terlihat mengembung menahan cemberut. Membuat pemuda bernama Iruka tersenyum sembari mengacak lembut rambut bocah tersayangnya.

"Gomen-gomen." Ia menggandeng bocah itu dan segera duduk. "Kau sudah lama, Naruto?"

Naruto menggeleng. "Belum sebenarnya. Aku tadinya bersama Sasuke. Namun begitu mengantarku kesini, dia langsung pulang. Ada urusan, katanya." Bocah itu tampak bersemangat melihat menu. "Sapporo ramen porsi besar, dua ya, Paman!"

Iruka tersenyum geli melihat bocahnya tampak begitu bersemangat memesan makanan. Diikuti acungan jempol dan cengiran dari sang Paman penjual, Naruto kembali berbalik menghadap Sensei tersayangnya.

"Ne…ne Iruka-sensei. Apa yang membuatmu terlambat? Bukannya youchien (taman kanak-kanak) sudah mulai libur musim dingin?" Ia menaikkan alis. Memang tidak biasanya guru panutan itu datang tidak tepat waktu.

Iruka memandang mantan anak didiknya itu sembari tersenyum. "Iya, memang. Namun aku harus mengikuti rapat dadakan untuk pengarahan musim ini."

Naruto manggut-manggut. Senyumannya melebar ketika dua porsi besar ramen disajikan dihadapan mereka. Kepulan asap ditambah aroma harum dari mangkok besar itu membuat keduanya menelan liur. Memang ramen merupakan salah satu makanan kegemaran mereka berdua, apalagi ditengah cuaca musim dingin seperti ini.

"Selamat makan, Naruto-kun." Ucap paman penjual. Diacaknya helaian pirang itu sebelum kakinya melangkah kembali melayani pelanggan lain.

Naruto menyambutnya gembira. "Itadakimasu." Ucap Naruto dan Iruka bersamaan, sembari mengatupkan kedua tangan mereka. Mereka tampak menikmati kelezatan yang mengisi kekosongan perut itu, sampai sebuah suara terdengar.

"Ne, Naruto. Liburan ini… Kau bilang akan mengajakku ke Obihiro untuk latihan ice skating, bukan?" Tanya Iruka ditengah kegiatan mengunyahnya.

Naruto mengangguk. Diteruskannya dua kunyahan sebelum akhirnya menjawab Iruka. "Apa sensei tahu? Aku sedikit demi-sedikit dapat meluncur. Yaah…tidak selancar Sasuke, sih."

Iruka tersenyum mendengarnya. "Yang penting kau sudah bisa, kan. Sasuke yang mengajarimu?"

Naruto menggeleng. Membuat pemuda disampingnya mengeryit bingung. "Aku lupa menceritakannya pada Sensei."

"Apa itu?"

"Waktu latihan ice skating bersama sekolahan seminggu lalu, aku bertemu dengan seseorang. Dia yang mengajariku bagaimana bermain skating. Tapi aku lupa menanyakan namanya." Wajah Naruto terlihat sedih. "Padahal aku berharap dia bisa mengajariku lagi. Ne…ne, Iruka-sensei. Kau tahu? Permainannya hebat. Aku dan teman-teman kagum melihatnya."

Dipandangnya sepasang safir yang tampak bersemangat. Benarkah begitu? Membuat penasaran saja. Dengan penuh sayang, Iruka mengacak pelan rambut Naruto. "Cepat habiskan ramenmu. Setelah ini kita akan belanja untuk makan malam nanti."

"Yossh!" Naruto tersenyum lebar, sembari memegang sumpit dan menghabiskan sisa ramen kesukaannya.


Suasana arena ice skating, Obihiro, pagi itu terlihat lengang. Hanya tampak segelintir orang yang turun dalam arena, sementara segelintir lagi memilih untuk menghangatkan diri dengan minuman panas yang disediakan diluar arena ice skating. Tidak heran, mengingat suhu dalam gedung itu sangat dingin. Dengan berat hati Iruka melepaskan overcoat miliknya dan melapisi baju thermal nya dengan sweater cokelat tebal yang sengaja dibawa dari rumah.

"Iruka-senseiii!" Teriak Naruto saat pemuda itu tengah mengikat ice skates-nya dengan ikatan agak longgar dibagian atas.

Iruka mendongakkan kepala. Dilihatnya Naruto mendekat dengan senyuman lebar yang khas. Oh, dia tahu mengapa Naruto terlihat begitu semangat barusan. "Ohayou, Sasuke."

"Ohayou, Iruka-sensei." Balas Sasuke dengan wajah stoic-nya.

"Aku tidak tahu kalau ternyata kalian berdua janjian." Iruka menggoda. "Apa aku mengganggu?" Pertanyaan itu sontak membuat helaian donker dan pirang dihadapannya itu merona.

"Se-Sensei!" sergah Naruto. Gugup, mungkin?

Iruka tertawa pelan. "Gomen-gomen. Hanya bercanda." Ia berdiri, menegakkan badan dan melihat arena. "Ayo. Aku mau melihat seberapa lihai kalian."

Dengan penuh semangat, Naruto menarik lengan Sasuke menuju arena ice skating. Iruka menyusulnya dari belakang. Dilihatnya bocah pirang itu meluncur perlahan didampingi Sasuke yang mengikutinya dari belakang. Sesekali tangan kecokelatan itu berusaha menggapai pemuda dibelakangnya saat dirasakan hilang keseimbangan.

Mau tak mau Iruka tersenyum geli melihatnya. Dua bocah itu, mungkin menganggap diri mereka rival sejak kecil. Namun Iruka tahu, ketergantungan tidak lepas dari keduanya. Saling melengkapi, membutuhkan dan dibutuhkan. Namun sedetik kemudian senyuman perlahan memudar dari wajah manis itu. 'Membutuhkan dan dibutuhkan, huh? Kapan aku merasakan hal itu, darinya?'

Lamunan Iruka terpecah begitu didapatinya Naruto meluncur perlahan mendekati. Sepasang mata safir itu terlihat tidak fokus. "Ne… ne, Sasuke. Benar kan, itu 'dia'?"

Iruka menaikkan alis. Dia? Diikutinya arah pandangan bocah pirang itu. "Siapa,Naruto?" tanyanya penasaran.

"Sepertinya, iya." Jawab Sasuke singkat. Sesekali tangan pucatnya tampak membenarkan posisi syal yang sempat tertarik si pirang tadi.

"Iruka-sensei. Orang itu…" Tunjuk Naruto pada seseorang yang tampak mengamati suasana arena. "Dia yang mengajariku. Orang yang pernah kuceritakan pada Sensei. Iya, tidak salah lagi!" tanpa memberi kesempatan Iruka menanyakan lebih lanjut, bocah itu langsung saja melambai-lambai.

"Oniisaan!" Teriak Naruto. Pemuda yang merasa dipanggil itu pun berjalan mendekat. Ditatapnya bocah berisik yang melambai padanya.

"…Kau…?"

Naruto nyengir. "Oniisan yang mengajariku skating waktu itu kan? Ne..nee… Masih ingat padaku?" tanyanya penuh semangat. Namun sedetik kemudian ia mengaduh ketika sebuah tangan porselen menjitak kepalanya. "Ittaiii, Sasuke!" keluhnya sambil memijit helaian pirangnya.

"Kau berisik, Dobe!" ucap Sasuke tak mau kalah.

Pemuda di hadapan mereka tersenyum kecil. "Kurasa aku ingat padamu. Bocah berisik yang sering tergelincir dulu itu kan?"

Naruto cemberut dibuatnya. Namun ia langsung tersenyum. "Naruto. Uzumaki Naruto." Ujarnya bangga. "Aku senang bertemu dengan Niisan disini. Aah, perkenalkan. Ini temanku, Uchiha Sasuke." Ia menunjuk Sasuke, sedikit mengerucutkan bibir. Namun ekspresi itu berubah menjadi cengiran begitu menunjuk Iruka. "Dan itu… Iruka-sensei. Oniisan ku tersayang."

Iruka bersemu dibuatnya. Pandangannya beralih pada pemuda tampan didepannya. "Umino Iruka." Ucapnya penuh senyum. Senyum yang dapat membuat banyak orang luluh akan paras manis pemuda ini.

"Hatake Kakashi." ucap suara berat itu. "Kalian sudah lama?"

"Eh?" Iruka menggeleng dengan segera. "Tidak, Hatake-san. Aku…"

"Cukup Kakashi."

Iruka menaikkan alis. Namun ia tersenyum kembali kemudian. "Kami baru saja datang. Kebetulan Naruto dan Sasuke ingin berlatih mengisi kekosongan liburan."

Kakashi diam. Ditatapnya intens pemuda bersurai cokelat dihadapannya, membuat Iruka sedikit salah tingkah. Ada yang salah kah dengannya? Kenapa sepasang mata tanpa ekspresi itu menatapnya…aneh?

"Kakashi-niisan!" panggil Naruto. Membuyarkan tatapan pemuda silver itu. Mata itu beralih pada bocah pirang.

"Hm?"

"Anoo…" Dilihatnya bocah itu menggaruk kepalanya. Sedangkan bocah disampingnya hanya mendengus kecil. "Apakah Niisan mau mengajariku…skating?" tanyanya ragu.

Kakashi terdiam. Namun sedetik kemudian ia menyunggingkan senyum kecil. "Boleh."

"Yatta!" Lompat Naruto girang. Namun nyaris saja ia jatuh tergelincir, kalau saja Iruka dan Sasuke tidak meraih tangan itu – masing-masing dikanan dan kiri. Bocah itu hanya nyengir kembali saat satu jitakan kembali diperoleh dari sahabat tercinta.

Tidak lama kemudian tiga sosok itu menuruni tengah arena. Minus Iruka, tentu saja. Ia lebih memilih memperhatikan dari jauh sambil menyusuri pinggiran arena. Ia tersenyum sesekali saat melihat adik tercintanya tergelincir saat mencoba membuat gerakan angka delapan. Beruntung ada Sasuke dan pemuda itu yang segera menarik tubuh yang tampak kehilangan keseimbangan itu. Eh…pemuda itu? dipandangnya pemuda bersurai silver yang terlihat sabar membimbing Naruto. Sesaat dia teringat kembali tatapan itu. Membuat Iruka tanpa sadar memegang tengkuk dan memijitnya perlahan. Perasaan apa ini?

Tanpa mengalihkan pandangan, Iruka terus mengamati sosok itu. Tubuh tinggi yang atletis – jangan dibandingkan dengannya yang bertubuh ramping dan sedikit lebih pendek – Wajah tampan dengan tulang rahang kokoh yang menghiasi paras rupawan itu. Tidak lupa dengan helaian jabrik perak yang menambah kesempurnaan fisik pemuda itu. Terlihat begitu… Seksi…huh? Iruka langsung membuang muka. Wajah cokelat itu memerah tanpa bisa dicegahnya.

Iruka perlahan menyusuri tepi, memilih kembali duduk di bangku yang disediakan dipinggir arena. Ia menhempaskan tubuhnya pada bangku. Wajahnya menunduk kemudian. Mengapa ia kembali teringat pada pemuda 'itu'? Pemuda yang sangat ia sayang. Apakah… 'ia' juga tengah merindukannya? Iruka menghela nafas pelan, ketika disadarinya sosok jangkung menghampiri.

"Tidak ikut?" suara berat itu mengalun ditelinga Iruka. Membuatnya menengadahkan kepala seketika.

Iruka tersenyum. "Tidak." Ia sedikit menaikkan alis waktu dilihatnya dua bocah tengah berlatih ditengah arena. Lebih tepatnya satu yang berlatih, sementara yang lain menemani.

Pandangan Kakashi ikut mengarah ketengah arena. "Kusuruh dia untuk berlatih pelan-pelan. Aku rasa Sasuke tidak akan membiarkannya terjatuh walau aku tidak disana."

Iruka tersenyum kembali. Dua pasang mata itu saling berpandangan. Seolah ikut terhanyut, mata Iruka tidak bisa lepas dari tatapan itu. Perasaan ini lagi, batin Iruka aneh. Ia segera mengalihkan pandangan kembali ke tengah arena. Didengarnya hela nafas lembut Kakashi, saat pemuda itu ikut menghempaskan tubuh disampingnya.

"Mereka berdua cukup dekat."

Suara berat itu kembali terdengar. Pernyataan yang entah kenapa terlihat seperti pertanyaan. Bingung menanggapi, Iruka hanya mengangguk.

"Kulihat kau tidak mirip dengannya."

Iruka menoleh seketika. Ia kembali memandang Naruto. Senyum kecil tertoreh diwajahnya. "Memang."

Alis Kakashi terangkat, meminta penjelasan – kalau pemuda manis itu tidak keberatan.

Iruka mengulum senyum. "Sudah jadi rahasia umum, kalau aku dan Naruto memang tidak ada hubungan darah." Sinar mata itu perlahan meredup. "Dia…muridku saat berada youchien. Saat itu Naruto kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan. Kulihat dia jatuh dalam keterpurukan sejak kejadian tragis itu. Aku…tidak tega melihatnya. Masih kecil dan rapuh. Membuatku teringat masa lalu."

Iruka terdiam sejenak, menarik nafas. Diliriknya dari ekor mata, Kakashi tampak memperhatikan arena skating. Namun entah kenapa, ia yakin pemuda itu mendengarnya dengan seksama. "Kami bernasib sama. Sama-sama tidak memiliki orang tua sejak kecil." Kembali dipandangnya Naruto. "Sejak itu aku mengambilnya, dan merawatnya – sebagai bagian dari keluargaku."

"Hanya berdua?"

Senyum simpul terlihat diwajah manis itu, membuat Kakashi tertarik untuk memandangnya. "Iya. Beruntung ada Sasuke yang selalu menemaninya sejak kecil, sejak mereka berkenalan di youchien. Sesekali gadis kecil bernama Sakura pun sering menemaninya. Membuatku lega melihatnya. Setidaknya itu akan membuatnya merasa tidak kesepian."

"Kau sendiri?"

"Eh?" Iruka bingung.

Kakashi mendengus tipis, sebelum menopangkan kedua siku dipaha, dan meletakkan dagu pada tangan yang terlipat. "Apa kau tidak kesepian?"

Iruka terhenyak. Ke...sepian? Ia terdiam. Kesepiankah dirinya? Kembali rasa rindu yang aneh mendera. Yah, ia kesepian. Ia memang merasa kesepian. Ia butuh orang 'itu'. Ia butuh seseorang untuk menemaninya, menjaganya selalu, seperti waktu itu…

Tidak. Tidak boleh begini. Iruka menggelengkan kepalanya. "Tidak." Seulas senyum kembali terlihat. "Aku memiliki Naruto, dan anak-anak itu… Bagiku cukup."

"Benarkah?"

Iruka menatap Kakashi. Heran. Ada apa dengan pria itu?

"Hanya memastikan." Seolah Kakashi tahu apa yang sedang ia pikirkan. "Kalau kau kesepian, aku bersedia menemanimu."

Tawaran menggiurkan? Tentu saja. Siapa yang tidak tertarik untuk ditemani oleh pemuda tampan dan… err… seksi? Namun tentu saja itu tidak berlaku untuk Iruka. Ditepisnya pikiran aneh yang sempat berkecamuk. Setia – adalah prinsip yang selalu dipegang dan dipertahankannya, setidaknya sampai saat ini.

"Terima kasih." Iruka memamerkan gigi putih yang berderet rapi dimulutnya. "Kau sangat ramah, Kakashi."

'Dan kau sangat menarik.' Kakashi menyeringai tanpa diketahui pemuda disampingnya. Ditatapnya tajam wajah pemuda itu, seolah ingin menembus lebih dalam. Pertemuan pertama yang sangat menarik…


Salju kembali menuruni kota kecil itu. Membuat Iruka melangkahkan kakinya dengan cepat, menghindari suhu yang semakin lama dirasa semakin dingin. Namun langkahnya terhenti seketika. Dengan sedikit gelisah, ia membuka kembali plastik-plastik belanjaannya.

"Daging sapi... jamur… tahu… sayur… bumbu… Eh?" Ia tersentak dan menepuk kening. Bodoh, pikirnya. Kenapa tidak terpikir untuk sake dan telur? Padahal ia yakin persediaan dirumah sudah habis.

Dengan langkah kesal – atas kecerobohannya sendiri yang lupa akan bahan memasak – ia kembali ke supermarket. Diliriknya jam yang senantiasa menempel manis pada pergelangan tangan. Petang begini supermarket tampak penuh oleh pembeli yang juga sedikit banyak memiliki tujuan sama dengan Iruka. Memasak. Helaan nafas terdengar kemudian. Naruto pasti sudah kelaparan, keluhnya.

Sembari menyambar sekotak telur, dengan langkah yang sedikit terburu ia menuju ke rak sake. Tubuh ramping itu berjinjit sedikit begitu dilihatnya sake yang hendak diambil terletak diatas kepala. Tidak sampai. Jengkel, ia meletakkan belanjaannya dibawah, dan kembali berusaha menggapai sake yang diinginkan.

"Ini yang kau mau?" Suara lembut menghampiri telinga Iruka. Ia menoleh seketika. Bola mata indah itu membulat seketika. Wajahnya langsung memerah tanpa aba-aba. Ditatapnya dengan penuh intens sosok helaian perak dihadapannya.

"…K-kau…?"


"Tadaima…" Iruka melepaskan sepatunya dan menaruh pada rak yang berada disamping pintu. Begitu pula overcoat yang tadinya menempel ditubuh ramping itu, kini sudah tergantung rapi pada gantungan didekat rak. Dengan perlahan ia memasuki ruangan tengah, tempat Naruto biasa menunggunya.

"Naruto… Gomen ne, aku…" Ucapan Iruka terhenti saat melihat sosok yang tengah duduk santai disamping Naruto. Mata itu tengah asyik membaca – entah buku apa itu – tanpa memperhatikan kedatangan sang pemilik rumah.

"Iruka-sensei! Kau lama sekali." Naruto bergegas menghampiri sambil mengambil belanjaan Iruka yang tergeletak dilantai. "Aku lapar sekali, Sensei."

Mata Iruka beralih pada wajah mungil yang tengah cemberut. Ia tersenyum. "Gomen, Naruto. Tadi ada beberapa bahan yang aku lupa untuk membelinya. Terpaksa aku kembali lagi ke supermarket." Dilihatnya sosok tadi menoleh dan mengangkat sebelah tangan – menyapa.

"Maaf aku masuk ke rumah tanpa ijinmu." Ucap suara berat itu.

"Tidak apa, Kakashi. Aku hanya terkejut, kau bisa ada disini." Iruka mengeluarkan belanjaannya dari plastik, dan meletakkan didapur yang terletak tepat di sebelah ruang tengah. Ia kembali lagi sambil tersenyum. "Sudah lama?"

Kakashi menggeleng. Bibirnya yang hendak mengeluarkan sederet kalimat terhenti saat satu suara mendahuluinya.

"Lama sekali, Sensei. Kakashi-niisan sudah menemaniku dari tadi – aku yang mengajaknya." Naruto kembali duduk disamping Kakashi. "Dan sekarang kami berdua kelaparan." Ucapan polos itu membuat tangan Kakashi mengacaknya dengan gemas.

Iruka tersenyum geli dibuatnya. Dua minggu setelah pertemuan pertama itu – kedua, menurut sudut pandang Naruto – entah mengapa pemuda itu tampak begitu dekat dengan sang 'adik'. Namun… begitu lebih baik, bukan? Setidaknya itu yang dipikirkan Iruka, melihat sosok rupawan itu tampaknya cukup bersahabat, walau dengan sikap ignorant yang membuatnya terkesan angkuh. "Baiklah… Sebagai permintaan maafku, aku akan membuatkan sukiyaki yang lezat untuk kalian." Ucapnya sembari melipat lengan kemeja putihnya.

Kakashi tiba-tiba berdiri – memasukkan buku itu kedalam saku celana – dan menghampiri sosok manis itu. "Kubantu."

"Hee?" Iruka terkejut. "Kau bisa?"

"Tidak." Jawab Kakashi membuang muka. Sedikit malu…mungkin? Iruka kembali mengulum senyum. Lucu juga pemuda ini. "Kecuali kau memberi arahan."

"Kurasa tidak ada salahnya untukmu mencoba." Sedikit tertawa kecil – mengetahui bahwa pemuda tampan itu tidak punya pengalaman yang berhubungan dengan dapur – ia melangkahkah kakinya menuju dapur. Kakashi memandang Naruto yang tengah tersenyum sembari menghangatkan tubuhnya didekat heater dibawah meja, sebelum akhirnya menyusul Iruka menuju dapur.

Dilihatnya Iruka sedang membuka beberapa bungkus bahan makanan. "Kau sama sekali belum pernah menyentuh dapur?"

"Sudah." Jawab Kakashi santai. Dipandangnya berbagai bahan masakan yang namanya kurang begitu ia ketahui.

Iruka mengangkat alis. "Apa saja yang kau masak?"

"Air." Jawaban polos itu membuat tawa Iruka terpecah. "Dan ramen siap saji." Tambahnya. "Tentu saja berakhir dengan ramen yang tidak memiliki rasa."

Jawaban yang semakin membuat pemuda manis itu tertawa geli. Membuat sang pemilik helaian perak menggaruk sedikit kepalanya, dengan wajah yang terlihat merona. Malu.

"Kau ini." Iruka mengusap sudut mata yang berair akibat tertawa. "Lebih baik sekarang kau membantu aku memotong tahu-tahu ini." Ia memberikan sebuah pisau pada Kakashi. "Jadi delapan bagian saja." Ia sedikit terkejut melihat pemuda itu hanya diam memandang pisau dan tahu secara bergantian. "Jangan bilang kau…tidak bisa memotong tahu?"

Kakashi mendengus. "Jangan remehkan aku."

Iruka menahan tawa. Membiarkan Kakashi bereksperimen dengan tahunya, ia menata bahan-bahan lain dalam piring saji, lalu membuat bahan saus. Setelah selesai dengan itu, konsentrasinya kembali terarah pada sang Hatake. Ia terdiam memandang potongan tahu itu.

Sadar tengah diamati, Kakashi hanya memainkan pisau ditangannya. "Yah kurasa sepuluh bagian pun tidak masalah."

Iruka tercengang. "Bentuknya…"

"Itu seni." Sela Kakashi. "Salahkan tahu yang terlalu lembut untuk disentuh itu." Membela diri tampaknya tidak salah, kan?

Iruka mengangguk-angguk sebelum tawa kembali lepas dar bibir kecilnya. "Apalah katamu. Letakkan disini." Iruka menyodorkan piring saji yang sudah tertata dengan bahan lain. "Kali ini yang rapi, ya." Ucapnya sebelum kembali beralih pada saus yang sempat ditinggalkannya.

Kakashi menghela nafas. Ia meletakkan potongan-potongan tahu – yang bentuknya tragis itu – dalam piring saji yang sudah disediakan. Dibalikkan badannya dengan tujuan ingin menunjukkan pada Iruka, saat tidak sengaja ditatapnya guratan merah pada tengkuk pemuda itu.

Ia memicingkan matanya. "Iruka…"

"Ya?"

"Lehermu…" Suara itu memelan seiring dengan tatapan tanpa ekspresi yang muncul.

"Eh?" Iruka tersentak. Refleks, ia menyentuh bekas guratan itu dengan wajah memerah. "Anoo… Tadi gatal, makanya tidak sengaja kugaruk." Tertawa jengah, Iruka segera balik badan, berusaha menghindari tatapan penuh curiga itu.

Tidak ada respon. Sampai pada akhirnya rahang kokoh itu menutup keras. Aku tidak mudah kau kelabuhi, Iruka… Seringai kembali tercetak diwajah angkuh itu.


Sesosok pemuda baru saja keluar dari lift dan menuju ke kamar apartemennya mewahnya. Baru saja tangannya hendak meraih kunci di saku, batal, begitu dilihatnya pintu kamarnya menampilkan sedikit celah terbuka. Ia mendengus kesal dan langsung memasuki ruangan.

"Berburu mangsa, Kakashi?"

Ditatapnya pria yang tengah bersandar santai pada sofa dan menyelipkan batang rokok ditangannya. Kakashi tersenyum sinis. "Kau lebih berbakat menjadi perampok daripada pengusaha, Asuma."

Asuma tertawa geli mendengar sindiran itu. Ditekannya ujung rokok pada tempatnya, sebelum akhirnya membuang batang itu – menyusul teman-teman lainnya. Ditatapnya pemuda yang ikut merebahkan diri di sofa besar. Wajah dewasa itu berubah serius.

"Darimana saja, kau?"

"Seperti yang kau katakan." Kakashi menutup sepasang matanya sambil menyandarkan kepala belakang pada kedua tangannya. "Berburu."

Asuma menghela nafas. "Sudahlah, Kakashi…"

Tidak digubrisnya ucapan pria yang lebih tua itu. "Dia sudah kembali."

Suara lirih itu mengejutkan Asuma. Mata yang semula tertutup itu kembali terbuka. Kini mata itu menerawang tajam. Sarat akan dingin dan kebencian mutlak terpancar.

Seringai yang tidak dapat terbacakan – sekalipun oleh Asuma – kembali tercetak manis diwajah dingin itu. Seolah hal menyenangkan akan segera menghampiri. 'Ya. Dia sudah kembali…'

To be continue…

Baru awal permulaan. Special request from Hatakari Hitaraku. This fic special for you. Gomen kalau kurang memuaskan *nundukin kepala. Chapter selanjutnya akan saya usahakan update (tidak janji cepat atau lambatnya DX)

Seperti biasa, saya masih membutuhkan saran, ide, kritik, pendapat atau apalah guna perlu dilanjutkan atau tidaknya fic ini pada para reader semua. Jujur, saran dan masukan kalian akan sangat membantu saya nantinya (berhubung otak sering kali gagal loading gara-gara kapasitas maksimum jebol).

Saa… saya tunggu REVIEW nya minna-san. See u in the next chapter (: