labuh dan jatuh

the moon that embraces the sun © jung eun-gwol; munhwa broadcasting corporation
saya tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini


Senyum Yoon Bo-kyung tersembunyi di balik jubah merahnya; jubah pernikahan yang sudah dipersiapkan lama untuknya. Dalam keanggunannya, tidak kasat mata euforianya, 'Aku adalah Putri Mahkota Joseon, seperti yang Ayah janjikan padaku!'

Di hadapan sang putri mahkota, duduklah suaminya (impiannya, yang menjadi nyata), Putra Mahkota Lee Hwon. Keduanya terpisahkan oleh meja berisi kudapan malam hari dan seorang dayang yang sibuk menuangkan teh gingseng ke masing-masing gelas. Di sekeliling kedua pengantin baru, ada empat dayang bersimpuh di belakang, tersembunyi di dalam bayang. Wajah rupawan sang putra mahkota tak dapat dibaca.

"Tinggalkan kami berdua sendiri," titah Putra Mahkota tiba-tiba. Teh yang jatuh dari corong teko berhenti di tengah jalan. "Aku ingin privasi."

"Mohon ampun, Putra Mahkota, tetapi menurut perhitungan astronomi, hari ini bukan hari yang tepat untuk melaksanakan malam pertama—"

"Kau tidak dengan apa perintahku?! Pergi. Sekarang."

Tusukan perintah itu sedikit menggentarkan Bo-kyung. Ia sedikit kasihan pada dayang yang harus menerima kemarahan sang tuan muda. Dari balik pundak, pintu bersekat kertas beras menutup tiga kali, pertanda para pengganggu telah meninggalkan keduanya sendiri seperti perintah Putra Mahkota.

Mereka di kamar berdua. Lee Hwon akan menjadi raja yang luar biasa, pikir Bo-kyung yang menyembunyikan tremor akibat tatapan sang putra mahkota yang panas padanya. Apakah—apakah dia sedang menatapnya dengan tatapan itu—

Pipinya yang menirus itu tanpa diduga ditangkup oleh sang pemuda. Tubuhnya ditarik untuk mendekat. Meja yang sempat ada di antara mereka, Bo-kyung lupa kapan itu disingkirkan oleh suaminya. Ia terlalu kaget dan pana, wajah yang diinginkan oleh banyak wanita di seluruh Joseon hanya berjarak tiga senti darinya.

Iris Lee Hwon menggelap.

"Kau—tahukah kau bagaimana dirimu bisa menjadi dirimu yang sekarang, hm? " tanyanya.

Sebelum Bo-kyung membuka mulut, Lee Hwon memotong, "Kuucapkan selamat padamu, Ratuku. Selamat karena telah memilikiku sebagai rajamu."

Di suatu tempat di dalam Bo-kyung, ada yang runtuh ke dasar. Rasanya sakit.

"A-apa maksud Putra Mahkota? Hamba mohon ampun karena hamba tidak mengerti."

Cengkraman Lee Hwon mengerat, pipi Bo-kyung memanas. Sang gadis menahan diri untuk tidak mengaduh, "Mungkin, mungkin kita ini suami-istri. Mungkin, kita ini adalah raja dan ratu Joseon kelak. Tapi, jangan pernah kau berharap, bahwa kau telah memiliki hatiku. Paham, Putri Mahkotaku?"

Secepat ia datang, secepat itu pula cengkraman itu lepas. Lee Hwon langsung segera bangkit dari tempat ia bersila, berjalan melewati tiga lapis pintu yang menjeblak terbuka untuknya, ia melangkah keluar kamar pengantin diekori kasimnya, Hyung Sun.

Bo-kyung tak tahu. Ia bisa di sini karena ia percaya pada ayahnya, yang telah menjanjikan istana padanya. Bo-kyung tak tahu, alasan mengapa Lee Hwon memperlakukannya begitu barusan.

Tapi ada satu hal yang ia pahami, seperti ia memahami tetes air mata yang berjatuhan dengan derasnya, tanpa henti.

Tak ada mawar yang tumbuh tanpa durinya.


note. saya sebelum nonton dramanya sudah membaca novelnya lebih dulu (tapi udah lama banget jadi mungkin fic ini rada ooc). menurut saya, bo-kyung ini sama malangnya dengan yeon-woo, mungkin lebih. karena kalo di dramanya dia antagonis berakhir mengenaskan, di novel dia lebih ngenes karena dia cuma anak polos ga tau apa-apa yang dijadiin alat ambisi bapaknya, yang akhirnya dia mati bunuh diri karena halusinasinya akan hantu yeon-woo yang memintanya menyerahkan tahtanya. ah entahlah saya sudah lama ga baca novelnya, sekitar setahunan gitu hehehe 3

maaf kalo lee hwon rada kejem, biar drama gitu heuheu/buang

ada yang ngeship yang-myung/bo-kyung di sini?