Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
[MAYUZUMI x READER] [slight!Reader x ?] fanfiction. Second POV used.
Enjoy!
.
.
.
Enigma : a person or thing that is mysterious, puzzling, or difficult to understand.
Kau terus berlari, mengacuhkan kedua tungkaimu yang berontak serta napas yang tersengal. Rasa sesak yang menyeruak di dada serta kabut yang merubungi otak telah mengacaukan sistem pikiranmu. Kekalutan menguasai—sehingga keadaan sekitar tak lagi kauindahkan. Hingga—
Bruk.
Kakimu tersandung dan kau terjatuh. Terkapar di jalanan taman kota yang sudah sepi.
Masa bodoh dengan gaun putih yang ternoda debu, terserah dengan luka yang mengalirkan darah segar di lutut, pun dengan kaki terkilir yang berdenyut nyeri. Yang kaulakukan hanya menangis tanpa suara—mengeluarkan segala rasa sakit yang menggelayut. Rasa sakit yang terkumpul perlahan—dimana malam inilah puncaknya. Menegaskan bahwa dia—sedari dulu dan sampai kapanpun—tak akan pernah menolehkan kepalanya padamu.
Cinta bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan, eh?
.
"Hei kau." Tiba-tiba ada suara memasuki gendang telingamu. Kau mendongak—dengan mata yang basah—dan kau langsung disambut oleh sepasang manik kelabu yang menyorot datar. Pemuda pemilik tatapan kosong itu mengulurkan tangannya ke arahmu.
Tunggu … Sejak kapan dia disana?
"Kaumau berdiri tidak?" tanyanya, dengan datar. Kau masih terlalu bingung untuk merespon ucapannya—apalagi menyambut uluran tangannya. Beberapa detik berlalu, dan tanpa tedeng aling-aling pemuda itu merunduk dan meraih tanganmu yang masih menempel di jalan, lalu menariknya untuk memaksamu berdiri.
"Tu-tunggu!" sergahmu. Tak direspon, malahan ia mengalungkan lenganmu ke bahunya, lalu menuntunmu berjalan ke bangku taman terdekat. Ia mendudukkanmu disana. Oh, seharusnya kau sadar daritadi kalau pemuda ini hanya ingin membantumu.
"Terima ka—"
"Kakimu berdarah. Tunggu disini, akan kucari obat," potongnya, kemudian langsung berbalik dan pergi.
"Ah, iya …" gumammu pelan. Kau menatap punggungnya sementara tanda tanya terukir di kepala. Siapakah pemuda datar tanpa ekspresi yang tiba-tiba menolongmu ini? Tapi tak ada celah untuk memikirkannya lebih lanjut, karena rasa kalut kembali menyelubungi.
Kau terlarut dalam kemelut pikiran. Rasa perih masih menggelayuti dadamu, dan ingatan mengenai kenangan menyakitkan yang kaualami terus menari-nari di kepala tanpa bisa dicegah. Kain putih dari gaun yang menutup bagian paha kauremas kuat—dan sejurus kemudian likuid bening mulai menetes membasahinya.
Bila aku tahu akan berakhir begini, aku tak akan datang ke prom night dengan harapan yang konyol—yaitu berdansa dengan lelaki yang aku sukai sedari dulu. Bodohbodohbodoh—
Srek.
Saat sedang merutuki diri sendiri—tiba-tiba seseorang meletakkan sebuah kantung kecil di sebelahmu. Kau mendongak—dengan mata yang masih lembab—untuk melihat siapa pelakunya.
"Eh?!" Kau agak terkesiap kala mendapati pemuda bersurai kelabu itu yang tau-tau sudah berada di hadapanmu—tanpa sedikitpun hawa kedatangan. Kemudian tanpa aba-aba, pemuda yang tak kauketahui identitasnya itu langsung berlutut dan membersihkan lukamu dengan kapas yang dibaluri alkohol.
"Aw …" rintihmu ketika rasa pedih menjalar. Namun ia tak peduli dan terus mengusap lukamu dengan kapas. Benar-benar tak acuh, walau kau tahu tujuannya baik, sih. Tunggu, bagaimana kalau dia ini orang jahat? Duh, ini sudah malam dan taman ini sangat sepi …
"Aku hanya mengobatimu agar lukamu itu tidak infeksi. Aku tak berniat melakukan lebih dari itu," ujarnya datar.
Kau sedikit berjengit mendengarnya. Apa dia esper? Ah, lupakan saja. Selanjutnya kau membiarkan dia mengoleskan obat merah dan diakhiri dengan membalut lututmu dengan perban. Setelah selesai dengan perawatan praktis namun berguna itu, dia langsung bangkit dan duduk di sebelahmu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Terima kasih," ucapmu sambil tersenyum pada sang pemuda misterius. Namun tak ada respon sedikitpun. Yang dilakukan pemuda itu hanya mengeluarkan sebuah novel dari dalam sakunya, membuka halaman yang sudah ditandai pembatas, lalu memfokuskan manik kelabunya pada rangkaian tulisan yang dicetak disana.
Kauperhatikan sosok itu dengan seksama. Ia memiliki surai kelabu dengan sepasang manik berawarna senada. Dilihat dari tampang, sepertinya dia anak kuliahan—atau bisa juga SMA. Yang pasti, wajahnya cenderung datar, tegasmu sekali lagi.
Lalu kau beralih ke bagian tubuh. Tubuhnya yang tinggi dan ideal untuk ukuran lelaki itu dibalut oleh kemeja putih yang dilapis tuksedo hitam—dan dipadu dengan celana hitam. Tampak seperti setelan untuk ke pesta. Kalau begitu, mengapa ia malah membaca novel di taman begini? Tanda tanya kembali muncul.
Seolah sadar dengan tingkahmu yang sedari tadi meniliknya, bola mata sang pemuda bergerak untuk melirikmu, membuatmu salah tingkah. Baru saja kau hendak meminta maaf atas ketidaksopananmu, namun—
"Melarikan diri dari pesta, huh?" –Tiba-tiba lelaki itu buka suara, dengan mata yang masih tertuju pada novel bacaannya. "Gadis yang telah berdandan cantik, dengan gaun indah serta akserori—mana mungkin kau menata diri sedemikian rupa bila telah merencanakan akan melakukan ini, 'kan?"
"… Kautahu jawabannya." Kau tertawa miris. "Lalu … Kau sendiri sepertinya berdandan untuk ke pesta. Tapi mengapa malah disini?"
"Sama sepertimu, melarikan diri dari prom night," jawabnya tanpa menoleh ke arahmu.
Manikmu membulat dan spontan kau bertanya, "Eh, kau dari SMA Rakuzan juga?"
"Ng."
"Apa kau … gagal berdansa dengan perempuan yang kausukai?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, dan sedetik kemudian kau merutuki dirimu yang telah bertanya hal sensitif seperti itu. Tapi kaulihat tetap tak ada perubahan raut di wajah pemuda itu. Ia membalik halaman novelnya dengan tenang.
"Samasekali tidak. Aku hanya benci keramaian."
"Oh, begitu … Lalu, mengapa kau datang?" Entah mengapa ada rasa penasaran yang menggelitikmu untuk mengenal sosok yang ternyata asal sekolahnya sama denganmu itu.
"... Bukan urusanmu."
Kau terdiam. Lalu timbul dorongan untuk mengatakan hal yang sebenarnya sudah kaukatakan tadi. "Ng, itu … terima kasih sudah menolongku tadi."
Hanya gumaman pelan sebagai respon. Selanjutnya, hening kembali mengambil alih. Pemuda itu terlarut dalam novel bacaannya, sedangkan kau mencoba agar tak terlarut dalam kesedihan dan menangis seperti tadi. Kau tak ingin terlihat cengeng, apalagi di hadapan orang asing begini.
Kau pun mendongak, memilih untuk menikmati hamparan kanvas hitam yang ditoreh cahaya purnama serta kerlip bintang. Manikmu menerawang angkasa—dengan tatapan kosong, sesuai dengan keadaan hatimu yang terasa hampa.
Hampa. Namun setidaknya lebih baik dibanding dihujam beribu jarum.
"Biar kutebak." Suara datarnya memecah keheningan. Masih dengan pandangan terfokus pada novel, ia berbicara, "Kau datang ke prom night dengan harapan dapat berdansa dengan lelaki yang kausukai, akan tetapi harapanmu tak terwujud—dan lelaki itu malah berdansa dengan perempuan lain. Kau sakit hati, dan langsung bergegas meninggalkan pesta."
Kau tercengang mendengar penuturan tiba-tiba dari pemuda itu. Diucapkan dengan lugas dan tepat sasaran. Wow, dia telah merangkum kisah menyedihkan yang kaualami tadi. Seulas senyum getir terbit di wajahmu.
"Kau pintar menganalisis ya? Ngomong-ngomong kau kelas berapa dan siapa namamu?"
"Mayuzumi Chihiro. Kelas tiga."
"Eh, berarti kau adalah senpai-ku dong."
"Hm."
Daripada terjebak dalam kegalauan, lebih baik kau mengobrol dengan sosok yang ternyata adalah kakak kelasmu itu—pikirmu. Mungkin kau bisa mengenalnya lebih jauh.
"Kalau boleh tau, Senpai ikut klub apa?"
"Basket."
Kau terdiam. Jawaban itu kembali mengingatkanmu pada sosok itu, membuatmu terpekur. " … berarti kau mengenalnya. Kau mengenal Akashi …"
"Tentu saja. Oh, jadi dia yang menolakmu? Huh, orang itu benar-benar itu memang tipikal lelaki idaman, seperti yang sering muncul di novel. Dan kau salah satu dari sekian banyak penggemarnya?" tanyanya.
"Ti-tidak, aku … bukan sekedar mengagumi, karena aku … benar-benar menyukainya …"
"Benarkah itu? Darimana kautahu kalau kau memang tulus menyukainya—bukan sekedar terpesona pada fitur rupawannya?"
Kau kembali terdiam.
Apakah rasaku padanya memang sedalam yang kupikirkan?
"Aku sangat menyukainya …" lirihmu.
"Begitu ya. Lalu setelah ditolak, apa yang akan kaulakukan?"
Kau menghela nafas, lalu tersenyum hambar. "Tak ada pilihan lain. Aku harus merelakannya, 'kan?"
.
"Akan kutunggu sampai kau benar-benar melepaskan perasaanmu pada orang itu. Aku akan selalu disini, di sampingmu, menemani dan mengiburmu—karena aku sungguh menyukaimu. Suatu saat, akan kubuat kau berpaling padaku."
Kau membeku kala untaian kalimat penuh makna itu dilantunkan oleh pemuda bersurai kelabu itu dengan lancar dan dengan nada yang tidak sedatar biasanya—seolah ada secercah emosi yang dituang disana.
"Bagaimana menurutmu?" Mayuzumi menoleh padamu yang masih terperangah. Tak ada perubahan ekpresi yang kentara, hanya kedua alis yang terangkat. "Itu adalah dialog yang diucapkan si tokoh pria dalam novel ini."
Mayuzumi menyodorkan novel itu padamu, menunjuk sebuah paragraf yang tercetak di lembar kertas itu. Kau langsung menangkap kalimat yang dimaksud—yang memang sama persis dengan yang diucapkannya tadi.
Seulas senyum terbit di wajahmu—perlahan melebar dan berubah menjadi tawa kecil. "Hahahaha …"
Kau menertawakan kekonyolannya yang mengira kalimat sarat makna itu berasal dari pemikiran sang pemuda. Hei, kalian baru saling mengenal kurang dari sejam tahu. Apalagi, dia bukanlah tipikal lelaki penggoda yang akan mengambil kesempatan bila hanya berdua dengan gadis seperti ini. Dia adalah orang yang misterius dan perkataannya selalu lugas dan tepat sasaran.
"Kisahmu mirip seperti yang dialami sang tokoh utama dalam cerita ini. Patah hati lantaran cinta bertepuk sebelah tangan. Dalam keterpurukannya, datang seorang lelaki yang menyukainya—dan mencoba untuk menghibur sekaligus memenangkan hati sang tokoh utama. Kurang lebih begitu," lanjutnya.
Oh, pantas saja tadi dia ingin tahu mengenai apa yang kaurasakan. Sepertinya dia ingin membandingkannya dengan cerita di novelnya itu. Satu informasi lagi—pemuda itu ternyata menyukai novel bertama romance. Kau tersenyum dalam hati akan seleranya yang tak terduga itu.
Kau kembali bertanya, "Jadi maksudmu, aku sebaiknya menunggu kehadiran seseorang yang akan menjadi pelipur lara bagiku?"
"Terserah, mau ditunggu atau dicari. Bila kau merasa bahwa sesuatu sudah tak bisa diperjuangkan, maka kau harus meninggalkannya."
Wah, dia seperti orang bijak saja.
"Haha … doakan saja aku bisa segera menemukan penggantinya." Dadamu berdenyut nyeri kala mengucapkan itu, dan hatimu bergolak memprotes. "Ah, tapi kurasa butuh waktu lama agar aku bisa merelakannya."
Mayuzumi hanya mengedikkan bahu. "Semoga beruntung."
Kau tersenyum pedih dan menatap langit bertabur bintang—ah, mungkin saja akan ada bintang jatuh yang bisa mengabulkan permohonanmu. Memohon agar sang pemuda yang kausukai berpaling padamu—atau memohon seseorang dapat mengalihkan pandanganmu darinya, mana yang lebih baik?
Di satu sisi kau tak ingin menghapusnya dari hatimu, namun di sisi lain kau juga tak tahan terus-menerus mencintai tanpa balasan. Entahlah—itu masih menjadi sebuah dilema bagimu.
.
Waktu kembali berjalan tanpa ada interaksi lebih lanjut—lantaran Mayuzumi kembali larut dalam bacaannya. Sedangkan kau memilih untuk tetap disana selama beberapa saat untuk menenangkan diri. Kau merasa nyaman dengan atmosfir yang tenang, sapuan angin malam, serta … keberadaan pemuda itu? Ahaha, mana mungkin.
Tak lama kemudian Mayuzumi berdiri. "Pestanya sebentar lagi selesai. Kau dijemput?"
"Ah!" Kau langsung tersadar. Gawat, kau sampai tak memperhatikan waktu lagi. Kau langsung menyusul berdiri. "Aku dijemput di sekolah. Kalau begitu, aku akan segera kesana."
Pemuda itu tak bergeming sejenak—dan sejurus kemudian, ia melepas jasnya. Kau terheran. "Kenapa dilepas, nanti Senpai masuk angin—"
Ia menyodorkan jasnya padamu. "Pakai ini. Kau lah yang akan masuk angin bila berada di luar dengan pakaian seperti itu."
Ah, benar juga. Gaun seperti ini tak akan mampu menangkal dinginnya udara malam yang menusuk.
"Tak perlu repot-repot—"
"Kembalikan saja nanti. Aku selalu di atap sekolah tiap istirahat." Lagi-lagi dia memotong ucapanmu. Sepertinya level ketidakacuhannya benar-benar tinggi. Tapi di lain sisi—dia baik juga.
Kau tersenyum sambil menerima jas itu. "Terima kasih sudah merawat lukaku dan meminjamiku jas ini, Mayuzumi-senpai."
Hanya gumaman kecil sebagai respon. Setelah itu Mayuzumi langsung berjalan keluar areal taman untuk menuju ke stasiun, sedangkan kau berbalik ke arah sebaliknya untuk kembali ke sekolah. Kau segera mengenakan jas itu. Terasa hangat—dan kau dapat menghirup aroma maskulin yang terkuar. Ketika menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan pemuda itu—yang kau dapati hanyalah areal taman yang kosong.
—Cepat sekali perginya! Seperti hantu saja. Tapi kautahu dia adalah manusia biasa—dengan aura yang agak mistis dan misterius—yang merupakan siswa di SMA yang sama denganmu.
(Kau pulang membawa membawa hati yang retak—sekaligus secercah rasa penasaran akan sosok yang baru saja kautemui itu.)
.
.
.
TBC
Tulis pendapatmu di kotak review yaa! :)
