Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto-sensei
Tidak ada keuntungan material yang didapat dari pembuatan fanfic ini. Fanfic ini dibuat hanya untuk hiburan semata.
.
[The Suspicious Coffee, Bab 1: Permulaan]
—AU & typo(s)—
.
.
.
Sejak lima menit yang lalu, Naruto hanya terdiam di depan pintu dapur sambil memperhatikan istrinya yang sedang sibuk memberikan intruksi kepada pelayan dapur. Istrinya yang bernama Hinata itu dengan cekatan mencicipi satu per satu masakan yang sudah selesai. Jika ia kurang puas dengan rasanya, tak jarang dirinya sendiri yang terjun langsung untuk menambahkan bumbu yang kurang.
"Sampai kapan kau akan diam di situ, Naruto?" Pertanyaan dari sang istri membuat Naruto meringis.
"Kau menyadarinya?"
Hinata menoleh sambil menggembungkan pipinya. "Lebih baik kau membantu kami daripada hanya diam saja."
Naruto tertawa kecil sambil mendekati sang istri dan memeluknya dari belakang. Mendapat perlakuan seperti itu, Hinata reflek memukul pelan lengan Naruto. "Ja-jangan, Naruto. Bibi Chiyo dan yang lain melihat ki-kita," ucap Hinata gugup dengan wajahnya yang memerah.
Bibi Chiyo yang sedang sibuk dengan masakannya hanya menoleh sebentar kemudian tersenyum kecil dan menyuruh pelayan-pelayan untuk fokus pada pekerjaan masing-masing. Sedangkan Naruto semakin mengeratkan pelukannya sambil menenggelamkan kepalanya pada lekukan leher Hinata. "Tidak apa, mereka pasti mengerti."
"Dasar!" Akhirnya Hinata menyerah. Mata kelabunya kemudian tanpa sengaja melihat pemandangan kebun belakang dari jendela dapur. Bunga sakura terlihat bermekaran dengan cantiknya sembari mahkotanya bermain dengan sang angin.
"Sayang, kita ke ruang tamu? Di sini panas," ucap Naruto tiba-tiba. Hinata tersenyum kecil kemudian mengajak suaminya ke ruang tengah.
Baru saja Hinata duduk di sofa, Naruto sudah mengeluh kepadanya. "Sudah kubilang untuk memesan makanan saja, kan? Aku tidak mau kau kelelahan, Hinata."
Hinata menggembungkan pipinya lagi. "Kita sudah membicarakan ini, kan? Lagipula aku tidak kelelahan, ada Bibi Chiyo, Ayame, Sara, Shion—"
"Sstt ...," Naruto meletakkan telunjuknya di depan bibir Hinata. "Baik, aku menyerah, asalkan kau tidak kelelahan."
"Ah, aku hampir lupa, Kak Neji bilang dia akan datang terlambat," ujar Hinata.
"Hmm ... bagaimana dengan yang lain, Sayang?"
Hinata kemudian merogoh saku roknya dan mengambil ponselnya untuk melihat semua pesan yang ia terima tadi. "Ino akan berangkat dengan Sakura."
"Duo perempuan itu memang tidak bisa dipisahkan," komentar Naruto. "Apa kau ingat, Hinata? Dulu, saat kita kelas satu SMA, mereka pernah bertengkar hebat di lorong sekolah dan membuat satu sekolahan gempar seketika," tambah Naruto sambil mengingat wajah Sakura dan Ino yang acak-acakkan dipaksa masuk ke ruang BK.
Hinata tersenyum geli saat mengingatnya. "Tapi sekarang mereka adalah sepasang sahabat yang sulit dipisahkan."
"Ino dan Sakura ditempatkan di satu kamar saja, bagaimana?"
Hinata memiringkan kepalanya sambil berpikir. "Bagaimana kalau ditambah Temari juga?"
"Eh? Kenapa? Memangnya Shikamaru tidak datang?"
Wanita bersurai biru gelap itu menggeleng. "Dia tidak bisa libur dari pekerjaannya."
Naruto hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan dramatis. "Dasar Bapak Sersan sok sibuk. Lebih memilih pekerjaannya daripada reuni akbar yang kita buat, Hinata."
Hinata terkikik pelan mendengar ucapan sang suami. "Ucapanmu terlalu berlebihan. Kita hanya membuat acara menginap selama tiga hari dua malam saja. Bukan reuni akbar."
"Ah, bagiku sama saja. Lalu Kiba dan kawan-kawan?"
"Mereka juga datang tepat waktu. Oh, Hanabi akhirnya memilih ikut acara kita, Sayang," beritahu Hinata gembira.
Naruto memicingkan matanya saat menatap sang istri. "Kalau Hanabi ikut, berarti tunangannya juga ikut?" Hinata menggangguk. "Lihat saja! Aku tidak akan membiarkan Konohamaru tidur satu kamar dengan adik iparku!"
"Jadi, Konohamaru bergabung dengan para laki-laki yang lain?"
"Tepat sekali, Sayang. Di lantai dua, ada kamar besar yang cukup menampung mereka semua. Sakura, Ino, dan Temari tidur di kamar dekat perpustakaan di lantai satu, bersebelahan dengan kamar Hanabi," terang Naruto.
"Lalu kita?"
Naruto tersenyum senang mendengar kata kita yang diucapkan Hinata. Rasanya menyenangkan di saat sudah tidak ada kata aku dan kamu lagi, melainkan kita. "Di mana saja boleh, asalkan aku bisa bersamamu, Sayang," sahut Naruto kemudian mengecup bibir Hinata cepat.
Wajah Hinata memerah seketika. Ia memukul pelan dada sang suami. "Dasar!"
"Ya ampun, aku hampir melupakan mereka. Neji dan Tenten tidur di kamar sebelah kamar kita," terang Naruto. "Kita tidak boleh kalah dengan pengantin baru seperti mereka, Sayang," Naruto kembali mengecup bibir Hinata, kali ini ditambah dengan sedikit lumatan.
Hinata segera menjauhkan tubuhnya dari Naruto kemudian berdiri dengan cepat. "Naruto mesum!" ucapnya dengan wajah yang memerah. "Ki-kita juga pengantin baru, kan?" tambahnya kemudian kembali ke dapur.
Sedangkan Naruto hanya terkekeh di tempat duduknya. Setelah Hinata tidak tertangkap melalui indra penglihatannya, laki-laki berumur 27 tahun itu menghela napas pelan. Rasanya akhir-akhir ini ia lelah sekali. Mungkin lebih tepatnya semenjak ia menikah dengan Hinata setengah tahun yang lalu. Ah, tidak, tidak. Kelelahan yang ia rasakan ini sudah terjadi sejak satu tahun lalu saat ayah Hinata meninggal dunia.
"Aku ingin setelah kau menikah dengan Hinata, kau mau membantunya mengurus perusahaan. Hinata memerlukanmu, Naruto."
Kalimat yang diucapkan oleh Hyuuga Hiashi itu kembali terngiang di kepala Naruto. Naruto tidak bisa menolak keinginan laki-laki itu. Naruto meninggalkan impiannya demi mendukung Hinata karena ia begitu mencintai wanita itu.
Karena keputusannya itu, Naruto mendapatkan segalanya. Tempatnya berdiri sudah disiapkan dengan banyak emas. Hidupnya seperti berada di sangkar emas. Memang semuanya terbuat dari emas, tapi dia terkurung. Tidak bebas.
Andai saja ia tidak memilih jalan ini. Andai saja ia tidak melepaskan impiannya. Mungkin ia tidak akan merasakan kelelahan seperti ini. Tapi ... masih ada jalan keluar lain. Dia bisa saja berpisah dengan Hinata atau ...
Naruto memejamkan matanya kemudian menggelengkan kepalanya. "Berhenti berpikir seperti itu, Naruto. Kau itu orang baik! Kau tidak pernah memanfaatkan istrimu!" ucapnya kepada dirinya sendiri.
"Sekarang lebih baik fokus pada acara ini. Sudah hampir sore, aku harus menyiapkan kamar untuk mereka semua."
.
o0o
.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi sayangnya Neji masih harus terkurung dalam rapat yang sepertinya tidak akan pernah berakhir ini. Semenjak pamannya meninggal satu tahun yang lalu, semua kendali perusahaan berada di tangannya tapi semua keputusan tetap berada di tangan sepupunya. Bagaimana pun juga, Hinata adalah ahli waris dari pamannya.
"Saya rasa kontrak yang diminta oleh pihak farmasi tidak terlalu menguntungkan kita. Lebih baik kita mencari perusahaan lain atau kita meminta perubahan kontrak kepada mereka," ucap Neji. "Kalau begitu, rapat hari ini kita sudahi saja. Kita lanjutkan minggu depan. Terima kasih, Semuanya."
Akhirnya saat pukul dua belas malam, ia bisa pulang ke rumahnya. Neji memeriksa ponselnya saat berada di areal parkir. Ada satu pesan masuk dari istrinya. "Seharusnya kau tidak perlu menungguku," gumamnya sambil tersenyum kecil.
Begitu sampai di apartemennya, Neji segera disambut oleh senyuman sang istri. "Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Bagaimana kalau kau mandi dulu? Ada air ha—"
Ucapan Tenten terputus saat Neji memeluknya dengan tiba-tiba. "Aku pulang," ucapnya sambil mengistirahatkan kepalanya di atas pundak sang istri.
Tenten dengan pelan mengelus punggung Neji. "Kau sudah bekerja keras hari ini. Sekarang kau mandi dulu, aku akan menghangatkan supmu dulu." Neji akhirnya menuturi perintah sang istri sesudah sebelumnya mengecup dahi sang istri.
"Aku sudah menghubungi Hinata kalau besok kita akan datang terlambat," terang Tenten saat Neji duduk di meja makan.
"Besok? Maksudmu nanti?"
"Eh?" Tenten menoleh ke arah jam dindingnya. Sudah pukul setengah dua pagi. "Kau benar, Neji."
Setelah meletakkan semangkuk nasi dan lauk pauk yang lain di depan Neji, Tenten segera mengambil tempat duduk di hadapannya. "Kau tidak makan?"
"Aku sudah makan, Neji. Bagaimana pekerjaanmu di kantor?" tanya Tenten basa-basi.
Neji menelan makanannya sebelum menjawab. "Menjemukkan seperti biasanya."
Tenten hanya bisa meringis mendengarnya. "Kau tidak akan mengatakan itu menjemukkan kalau saja perusahaan itu menjadi milikmu, kan?"
Pria bermarga Hyuuga itu menghentikan gerakannya dan menatap sang istri. "Jangan berbicara yang tidak-tidak, Tenten."
Tenten kembali meringis. "Ya ampun, aku hanya bercanda. Kau menanggapinya terlalu serius."
Suasanya kembali hening.
"Lalu, bagaimana dengan pekerjaan Naruto?"
Neji kembali menghentikan gerakannya demi menatap wajah sang istri. "Dia ... aku rasa baik."
"Dasar pembohong."
Neji hanya mengernyit mendengar penghakiman sepihak dari Tenten.
"Aku sudah mengenalmu sejak kita sekolah menengah, Neji. Kau mungkin bisa menyembunyikan semua kekesalanmu dari dunia tapi kau tidak bisa menyembunyikannya dariku," lanjut Tenten.
Sang suami hanya bisa terdiam sambil meruskan acara makan malamnya yang sangat terlambat itu.
"Kau tidak suka karena pamanmu tidak mewariskan apapun padamu padahal sejak awal perusahaan itu milik ayahmu dan pamanmu. Hanya karena ayahmu sudah meninggal lima tahun yang lalu, pamanmu berpikir bahwa perusahaan itu miliknya dan mewariskan semuanya kepada Hinata dan Hanabi."
"Sudahlah, Tenten. Semuanya sudah terjadi. Aku tidak apa-apa," balas Neji kemudian meminum airnya.
"Kau harus menangani semua urusan perusahaan dan mendapat gaji sebagai direktur pemasaran. Sedangkan Naruto? Hanya karena dia suami dari Hinata, dia bisa menjadi direktur utama tanpa harus bekerja keras. Ini tidak adil, Neji. Dunia tidak adil padamu!" Emosi Tenten semakin tidak terkendali.
"Cukup, aku tidak apa-apa."
Tenten hanya menatap Neji dengan pandangan iba. Mata cokelatnya tidak berhenti memperhatikan setiap gerakan suaminya yang mulai merapikan semua peralatan makannya dan membawanya ke wastafel. Neji bahkan tidak pernah menyusahkannya. Laki-laki itu selalu membantu Tenten mengerjakan urusan rumah tangga yang ia bisa. Seperti sekarang ini, Neji mencuci semua peralatan makannya sendiri.
Gadis bertubuh tinggi itu kemudian berdiri dan menyusul Neji. Ia memeluk suaminya dari belakang sambil menumpukan kepalanya pada punggung tegap Neji.
"Aku tahu kau lelah, Neji. Aku tidak ingin kau menanggungnya sendiri."
Neji menghentikan aktivitasnya dan membalikkan tubuhnya sambil menghadap sang istri. Mata kelabunya dapat melihat mata Tenten yang berkaca-kaca. Pria berumur 27 tahun itu tersenyum kecil. "Aku melakukan semua ini bukan karena terpaksa. Tapi aku menyukai pekerjaanku walau sedikit menjemukkan. Seperti katamu tadi, perusahaan itu juga milik ayahku, jadi aku ingin melindunginya agar perusahaan itu semakin besar dan aku bisa membuat ayahku bangga."
Tenten menatap Neji tidak percaya. "Kau bicara banyak sekali. Tidak biasanya," balas Tenten sambil menghapus air matanya.
"Sudah, jangan pikirkan ini lagi," ucap Neji sambil memeluk Tenten. "Besok kita akan bersenang-senang selama tiga hari penuh."
Tenten semakin menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Neji. "Ya, kau benar."
Dalam hatinya, Tenten berharap kalau rasa senang itu tidak hanya bertahan selama tiga hari. Dia juga ingin Neji hidup bahagia tanpa terbebani seperti ini. Andai saja perusahaan itu menjadi milik Neji. Semuanya akan terasa lebih mudah.
.
o0o
.
TING! TONG!
Sakura mengerjapkan matanya saat mendengar suara bel pintu. Ah, mungkin mimpi. Akhirnya ia memejamkan matanya kembali. Tapi sayangnya suara bel pintu itu semakin menjadi-jadi.
"Siapa yang berani menggangguku sepagi ini?" erangnya frustasi sambil melihat layar ponselnya. "Jam tujuh pagi? Hmm ... kenapa aku tidak mendengar suara alarm ponselku?" ucapnya pada dirinya sendiri saat dirinya ingat memasang alarm untuk pukul setengah tujuh. "Baiklah, sepertinya aku harus berterimakasih pada orang gila yang memencet bel pintuku dengan membabi buta."
Sakura mengenakan jaket di luar baju tidurnya sebelum bangun dan membuka pintu apartemennya. Mata hijaunya tak berkedip saat melihat sesosok laki-laki berdiri di balik pintunya. "Waahh ... aku tidak kaget melihatmu, Sasuke."
"Hn," balas sang pemuda kemudian masuk seenaknya ke dapur Sakura. Sakura hanya bisa mengikutinya sambil memperhatikan pemuda Uchiha yang sedang meletakkan sebuah kotak panjang di atas meja.
Sakura mengerutkan keningnya. "Aku harap penyakit pasienmu di rumah sakit tidak menular padamu. Karena sepertinya otakmu tidak bisa membedakan apartemenmu dengan apartemenku, Sasuke," ucap Sakura sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Aku bawa donat. Buatkan aku kopi," titah Sasuke seenaknya sambil membuka kotak berwarna oranye yang ia bawa. "Kau boleh ambil rasa cokelat mint kesukaanmu, Sakura."
Rasa kesal Sakura sedikit berkurang saat melihat jajanan goreng berbentuk roda dengan rasa kesukaannya. Mau tak mau, Sakura akhirnya menuruti permintaan Sasuke. "Aku pikir kau tidak suka donat."
"Ya, memang," sahut Sasuke sambil mengambil satu donat dengan hiasan madu di atasnya.
"Lalu?" Sakura masih sibuk dengan alat pembuat kopinya kemudian mengambil dua buah cangkir dari rak dapurnya.
Sasuke menggigit donat pilihannya sebelum membalas ucapan Sakura. "Kau tahu Nawaki?"
Salah satu alis Sakura naik ke atas. "Ah, pasienmu yang nakal itu. Aku jadi ingat, seminggu yang lalu dia berlari di koridor sambil menggunakan tiang infusnya sebagai pedang dan menganggap semua perawat sebagai musuhnya. Wah, kacau sekali!"
"Dia sudah keluar rumah sakit kemarin sore. Orang tuanya memberikanku ini. Aku tidak bisa menolak, kan?"
Sakura menuangkan kopi hitam yang masih panas itu ke dalam dua cangkir dan memberikan satu cangkir pada Sasuke. Gadis bermata hijau itu mengambil tempat duduk di hadapan Sasuke dan mengambil donat kesukaannya. "Hei, rumah sakit kita melarang dokter menerima suap," goda Sakura.
Sasuke menghentikan kunyahannya sambil memicingkan matanya menatap Sakura. "Ini hadiah, bukan suap!"
"Hahaha ... aku bercanda, Sasuke. Kau serius sekali. Oh iya, hari ini kau libur?"
"Hn, aku bertukar shift jaga malam dengan Kabuto kemarin. Jadi, sekarang dia yang bertugas seharian menggantikanku," terang Sasuke. "Kau benar-benar mengambil cuti tiga hari?"
Sakura mengangguk dengan semangat. "Iya, untung saja kepala administrasi memberiku izin. Aku sudah tidak sabar untuk liburan. Akhirnya aku bisa berkumpul dengan teman-teman sekelasku saat SMA."
Diam-diam Sasuke tersenyum kecil melihat senyuman bahagia Sakura. "Kau berangkat jam berapa?"
Sakura menoleh melihat jam dinding di dapurnya. "Aku berjanji berangkat jam delapan dengan Ino. Ah, gawat, aku harus mandi dulu."
Pemuda yang sudah menjadi teman Sakura semenjak kuliah itu hanya menghela napas. "Kau punya waktu tiga puluh menit untuk bersiap-siap, Nona."
Tanpa menghiraukan peringatan Sasuke, Sakura segera pergi ke kamarnya untuk mengambil baju ganti kemudian melesat masuk ke kamar mandi. Sasuke hanya tersenyum kecil melihat tingkah Sakura. Tak berselang beberapa lama, indra pendengerannya menangkap suara shower dari kamar mandiri.
"Ah, lelahnya," geram Sasuke sambil meregangkan ototnya kemudian berjalan ke arah balkon Sakura. Bekerja semalaman di rumah sakit memang bisa menguras tenaganya. Salah satu tangannya menarik kaca geser yang membatasi balkon apartemen Sakura. Udara pagi menerpa kulit wajahnya. Memang dingin tapi menyegarkan. Apalagi saat mata hitamnya dapat menangkap mahkota bunga sakura di taman kota. Posisi apartemen Sakura yang berada di lantai tujuh memudahkan Sasuke melihat pemandangan di luar.
"Hei!" Sebuah tepukan pelan pada punggungnya mengalihkan perhatian Sasuke. "Kenapa melamun di sini? Kau tidak pulang?"
Sasuke menarik salah satu ujung bibirnya saat melihat penampilan Sakura yang sudah berubah. Gadis itu sudah selesai bersiap-siap. "Kau cepat sekali," ucap Sasuke sambil mengacak-ngacak pucuk kepala Sakura.
"Hei, hei, hentikan. Rambutku akan berantakan lagi."
Kali ini kedua tangan Sasuke menarik kedua pipi Sakura. "Begini jauh lebih baik."
"Dasar! Kau suka sekali menggodaku. Sekarang cepat pulang ke apartemenmu, Sasuke. Turun satu lantai, kau akan sampai di tempatmu," ucap Sakura sambil mendorong punggung Sasuke keluar dari apartemennya.
Sasuke akhirnya mengalah dan membiarkan dirinya didorong hingga pintu keluar. "Tunggu dulu, Sakura."
Sakura mengerutkan dahinya sambil berkacak pinggang. "Apa lagi?"
TUK!
Sasuke mengetukkan dua buah jarinya di dahi Sakura. "Ini jimat agar kau tidak bersedih saat melihat cinta pertamamu di acara reunimu."
Mata hijau Sakura membesar ketika mendengar semua ucapan Sasuke. "A-apa maksudmu, Sasuke? Cinta pertama apa? Hahaha ...," ucap Sakura kaku.
Sasuke masih tetap mempertahankan seringaiannya. "Kau punya kebiasaan buruk saat mabuk, Sakura. Kalau tidak salah namanya Naruto?"
DEG!
Jantung Sakura tiba-tiba berdegub aneh ketika mendengar nama itu disebut. Kenapa Sasuke bisa tahu nama itu? Kapan terakhir kalinya dirinya mabuk? Apa dia membongkar semua masa-masa kelamnya di hadapan Sasuke?
Saat otak Sakura masih berusaha mengingat kapan terkahir kalinya dia mabuk, Sasuke tiba-tiba menepuk kedua bahunya. "Kau menceritakannya padaku saat cinta pertamu itu menikah setengah tahun yang lalu."
Seakan mendapat pencerahan, Sakura berusaha tertawa. "Ya ampun, itu sudah lama sekali. Aku sudah merelakannya, lagipula dia menikah dengan sahabatku. Aku bahagia melihat mereka bahagia."
Sasuke menghela napas. "Memang. Tapi cinta pertama itu sulit dilupakan, Sakura."
Sakura terkekeh pelan mendengar ucapan dramatis Sasuke. Seakan tidak percaya seorang Uchiha Sasuke bisa mengatakan hal seperti itu. "Kau berbicara seakan-akan pernah mempunyai cinta pertama, Sasuke. Hahaha ..."
"Aku punya." Jawaban Sasuke menghentikan tawa Sakura seketika itu juga. Ada perasaan aneh yang menyerang dirinya saat mendengar sahutan serius Sasuke. "Sudah, aku pulang. Kau bersenang-senanglah dengan teman-temanmu."
Sasuke akhirnya melangkahkan kakinya menjauh dari apartemen Sakura. Baru beberapa langkah, pria itu tiba-tiba berbalik. "Telepon aku kalau kau sudah sampai di villa temanmu itu, Sakura," ucap Sasuke sambil memberikan sebuah senyuman hangat yang jarang diperlihatkannya.
Gadis bermahkota merah muda itu hanya mematung di posisinya tanpa bisa membalas ucapan Sasuke. Sakura memandang punggung Sasuke dengan tatapan yang sulit diartikan sampai akhirnya sosok pria itu menghilang di belokan.
.
o0o
.
"Ayo cepat masuk, Chouji. Kita bisa terlambat sampai di sana," ucap Kiba sambil menghidupkan mobilnya. "Tidak ada barang yang tertinggal, kan?" tanyanya sekali lagi.
"Iya, semua sudah lengkap. Ayo berangkat!" ucap Lee penuh semangat. "Aku tidak sabar untuk sampai di sana."
Kiba akhirnya melajukan mobilnya di jalan raya. Akamaru yang duduk di sebelahnya menyalak dengan riang saat kepalanya terkena hembusan angin.
"Aku tidak tahu kalau kau akan mengajak Akamaru, Kiba," ujar Chouji yang duduk di kursi deretan ketiga ditemani bertumpuk-tumpuk tas.
"Hei, aku dan Akamaru tidak bisa dipisahkan. Kau dengar itu?" balas Kiba.
"Kau tidak akan pernah bisa menikah kalau seperti ini, Kiba," celetuk Shino tiba-tiba.
Lee yang duduk di sebelah Shino merangkul pemuda itu. "Jangan seperti itu, kita semua juga belum menikah, Shino. Jangan membuatku mengingat nasib kita. Aku ingin tahu di mana jodohku!" tambah Lee dengan dramatis.
Kiba hanya bisa tertawa dalam hati ketika mendengar curahan hati temannya itu. "Selera berpakaianmu harus kau perbaiki dulu, Lee. Wanita akan menjauh saat melihat laki-laki berpakaian serba hijau sepertimu."
"Terlalu menyilaukan," tambah Chouji.
"Dulu Neji berada di kelompok kita. Tapi sekarang dia sudah meninggalkanku." Lee masih terus memuntahkan semua curahan hatinya yang selalu dibalas dengan gonggongan Akamaru.
"Dia beruntung mendapatkan Tenten," tanggap Chouji.
"Seharusnya Tenten bisa menjadi wanita kaya raya kalau saja Neji menjadi pemilik perusahaan Hyuuga," celetuk Shino tiba-tiba.
Kiba mengerutkan dahinya. "Berhenti berbicara seperti itu."
"Aku hanya mengatakan fakta yang ada," balas Shino sambil memperbaiki letak kaca matanya.
"Aku tidak suka kau membicarakan Neji seperti itu. Dia bekerja sangat keras demi perusahaan itu. Aku yakin dia tidak pernah berpikiran untuk memiliki perusahaan itu."
Lee menyambung ucapan Kiba dengan hati-hati. "Tapi seharusnya itu memang menjadi milik Neji, kan? Maksudku ayahnya juga pemilik perusahaan itu dulu."
"Kenapa kalian membahas masalah ini? Tujuan kita untuk bersenang-senang dan melupakan semua masalah kita, kan?" ucap Chouji untuk menghentikan pembicaraan mengenai masalah keluarga Hyuuga ini.
"Ya, ya, kau benar, Chouji. Ayo kita bersenang-senang!" teriak Kiba di kursi kemudi. Akamaru dengan semangat menggonggong untuk membalas ucapan majikannya.
"Kau juga sama saja, Kiba." Sepertinya Shino belum ingin mengakhiri pembicaraan ini. Kiba hanya mengerutkan dahinya karena tidak mengerti arah pembicaraan Shino.
Shino menghela napas dari tempat duduknya sambil memandang kepala Kiba dari belakang. "Kalau saja Hinata menerima perasaanmu dulu, mungkin sekarang kau sudah menjadi direktur utama seperti Naruto tanpa perlu bersusah payah menjadi apoteker dengan gaji kecil seperti sekarang."
Emosi Kiba sedikit terpancing ketika mendengar kalimat pedas dari mulut sahabatnya itu. Pegangannya pada setir kemudi semakin mengerat. "Itu sudah berlalu, jangan dibahas lagi, hahaha ...," balas Kiba dengan tawa memaksa. Lee juga ikut tertawa dengan Chouji, hanya Shino yang sadar kalau Kiba sedang berbohong saat ini.
"Ah, aku lelah, bangunkan aku kalau kita sudah sampai," ucap Shino pada akhirnya.
.
o0o
.
Ino dengan semangat membantu Sakura memasukkan koper ke dalam mobilnya. "Kau membawa apa saja, Sakura? Banyak sekali," ujar Ino.
Sakura memutar matanya saat melihat barang bawaan Ino yang jauh lebih banyak. "Berkaca terlebih dulu sebelum berbicara, Ino."
"Sudah, sudah, kita berangkat sekarang?"
"Tentu," sahut Sakura kemudian duduk di kursi penumpang.
"Hei, Bu Dokter, kita menyetirnya bergantian ya?"
Sakura menganggukkan kepalanya. "Baik, baik, Ibu Perawat."
Gadis bermarga Yamanaka itu segera menyalakan mobil berwarna putihnya dan menjalankannya di jalan yang masih cukup lengang itu. "Aku tidak sabar ingin melihat villa milik Naruto."
Sakura mengerutkan dahinya karena tidak menyetujui ucapan Ino. "Bukannya itu villa Hinata?"
Giliran Ino yang memutar bola matanya. "Sekarang mereka itu suami istri, jadi semuanya menjadi milik mereka berdua, kan? Apa yang menjadi milik Hinata juga menjadi milik Naruto."
Sakura menghela napas. "Ya, terserahmu saja, Ino."
"Kalau dipikir-pikir, Naruto itu beruntung sekali. Seharusnya dia berterimakasih pada kita karena sudah mendekatkannya dengan Hinata," celetuk Ino.
Sakura tidak membalas ucapan Ino. Dia jadi teringat kalau dia dulu berusaha mendekatkan Naruto dengan Hinata karena ia tahu Hinata menyukai Naruto. Dia terpaksa harus menahan perasaannya sendiri demi kebahagiaan sahabatnya itu.
Melihat Sakura yang terdiam, Ino tahu apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu. "Kau tidak sedang menyesali keputusanmu, kan?"
Sakura menoleh cepat ke arah Ino. "Tidak! Tentu tidak!" sahut Sakura cepat. "Aku senang mereka bahagia, Ino."
"Kau tidak perlu menyembunyikan perasaanmu di hadapanku. Aku tahu kau menyukai Naruto sejak kelas satu SMA. Kau saja yang terlalu lembek dulu."
Sakura mendesah di tempat duduknya. "Sudahlah, Ino. Jangan membahas itu lagi. Semuanya sudah berlalu."
"Benar. Lupakan saja Naruto. Kau sudah punya penggantinya, kan?" goda Ino. "Jangan berpura-pura tidak sadar, Sakura. Aku sedang membicarakan Sasuke. Dia benar-benar menyukaimu."
"Hahaha ... tidak mungkin Sasuke menyukaiku. Aku yakin dia punya selera yang tinggi. Dia pintar, tampan, mapan, dokter yang hebat. Ah! Yang pasti dia tidak mungkin menyukaiku."
Ino terkikik kecil sambil menghentikan mobilnya karena lampu lalu lintas berwarna merah. "Kau baru saja memuji-mujinya, Sakura. Lihat, kau juga menyukainya, kan?"
Sakura bosan mendengar pembicaraan ini. Ino memang suka menggoda hubungannya dengan Sasuke. Mereka hanya teman kuliah dan sekarang mereka juga bekerja di tempat yang sama. Hanya teman. Tidak kurang, tidak lebih.
"Berhenti membicarakanku. Bagaimana hubunganmu dengan Idate?" tanya Sakura berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Ino menghela napas keras sambil menjalankan mobilnya kembali setelah lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. "Kami sudah putus."
"Eh? Kenapa kau tidak memberitahuku?"
"Sekarang aku sedang memberitahukanmu, Sakura," balas Ino.
"Masalahnya apa kali ini? Aku sudah tidak ingat berapa jumlah mantan pacarmu."
Ino menghela napas panjang. "Entahlah, aku selalu bosan dengan hubunganku. Mungkin ... aku masih memikirkan dia," ucap Ino tanpa sadar.
"Dia siapa?" tanya Sakura tidak mengerti.
"Hm?" sahut Ino ketika dia sadar dengan ucapannya tadi. "Ah, dia ... dia itu bukan siapa-siapa. Jangan dipikirkan."
Sakura sebenarnya masih belum puas dengan jawaban Ino tapi dia memilih diam. Kalau Ino memang ingin menceritakan masalahnya, pasti dia akan bercerita. Sakura tidak suka mencampuri urusan orang lain walaupun itu sahabatnya sendiri.
Dari tempat duduknya, Ino sedikit menoleh ke arah Sakura. Melihat Sakura yang tidak meneruskan pembicaraan tadi, Ino akhirnya bisa bernapas lega. Kenapa mulutnya bisa kelepasan berbicara seperti itu? Kenapa juga dirinya masih belum bisa melupakan orang itu? Itu hanya cinta monyet!
"Kau sudah tidak menyukainya, Ino," gumamnya pada dirinya sendiri.
"Hah? Apa? Kau mengatakan sesuatu?" tanya Sakura.
"Tidak, tidak, Sakura. Aku tidak mengatakan sesuatu," sahut Ino kemudian kembali fokus menyetir.
.
.
.
.
.
~Bab 1 Selesai~
A/N: Saya ucapkan terima kasih bagi yang sudah membaca. Jangan lupa buat ninggalin komentar kalian di kotak review yaaa :) Sampai jumpa di bab selanjutnya...
