I Know You Were Trouble
.
Characters belong to Masashi Kishimoto.
.
This Is SasuHina Story!
Alternative Universe! Out Of Character! Plot Rush! Unbetaed! Grammatical Errors! Typical Errors!
You've been warned!
.
.
.
"Aku mencintaimu, Hinata," suara serak Sasuke dengan yakinnya mengirimkan hawa yang membuat tengkuk Hinata bergidik.
"Aku... aku tahu itu," Hinata menghela nafas.
"Lalu apa lagi yang kau ragukan?"
"Aku tidak... bukannya aku ragu tapi aku hanya... aku tidak tahu harus menjawab apa. Maksudku, mungkin ada jalan lain, bukan?" Hinata mencoba menjelaskan.
Desisan cerca keluar dari mulut Sasuke, salah satu ujung bibirnya menukik membuat seringai sarkatis. "Selama ini aku benar-benar memohon kepadamu, Hinata. Mengikutimu, mencoba menemuimu setiap jam pulang sekolah. Aku tidak pernah melakukan apapun selain mencoba membuatmu yakin, selain mencintaimu dengan semua yang aku punya. Dan sekarang kau bahkan tidak bisa memilihku?"cecar Sasuke tajam.
Hinata mengepalkan tangannya untuk meredam kegugupan, rahangnya terkatup erat. Ia terpejam beberapa saat sampai akhirnya berlari ke arah Sasuke dan memeluknya erat. "Apa yang kau katakan? Aku mencintaimu, sungguh, Sasuke. Aku akan melakukan apapun yang kau minta," sanggahan Hinata membuat Sasuke menyeringai tipis, ia menyukai bagaimana gadis itu berusaha meyakinkannya. "Tapi ini... pindah bersamamu..." Hinata menggantung kalimatnya.
"Kau tidak mempercayaiku?" Sasuke melepaskan tangan Hinata yang mencengkram kausnya.
"Aku percaya padamu. Tapi aku baru saja lulus dan... kabur dari keluargaku... aku merasa bukan pilihan yang bagus."
"Itu masalahnya, Hinata," Sasuke menahan diri untuk tak berteriak. "Kau jelas tahu ayahmu selalu mencoba segala cara untuk membuatku jauh darimu! Atau kau memang ingin kita berakhir, pergi dariku dan menuruti orang tuamu untuk melanjukan sekolah di luar negeri?" kata-kata Sasuke setajam tatapan oniksnya, ia mulai memutar badan untuk menjauh.
"Tidak!" sela Hinata, tangannya terangkat menarik lengan Sasuke sebelum pemuda itu keluar dari jangkauannya. "Aku tidak ingin pergi kemanapun. Aku hanya ingin kau," Hinata mencicit dengan kepala tertunduk.
..
...
..
"Kau tidak seharusnya belajar setiap waktu, Hinata?" Sakura mempertanyakan dengan nada frustasi.
"Lupakan saja. Dia tidak akan mendengarkan apapun yang kau katakan. Kutu buku memang selalu seperti itu," timpal Ino sarkatis meskipun tak bermaksud menghina.
Hinata memutar bola matanya atas komentar sahabatnya barusan, ia memasangkan ransel tepat di punggungnya sebelum berdiri. "Aku bukan kutu buku, Ino. Aku hanya mengusahakan agar kelak masa depanku lebih cerah dari kalian," Hinata menepuk lengan atas Ino pelan sebelum berjalan menuju pintu.
"Heyyy," Ino memprotes, ia dan Sakura kemudian berjalan cepat mengejar Hinata, bersama-sama menuju gerbang sekolah mereka. "Kau ini sudah cerd—eh, jenius bahkan. Lagipula kau bisa mencemaskan tentang masa depanmu nanti. Aku kasihan padamu yang sekarang seolah menyia-nyiakan masa muda."
"Dia benar, Hinata," tambah Sakura. "Tidak akan ada pengaruhnya kalau hanya datang ke pesta selama... yah katakanlah satu jam."
Hinata menghela nafas, ia membenarkan ujung blazernya yang terlipat sambil terus berjalan. Matahari musim panas yang tepat berada di atasnya cukup membuatnya payah, matanya menyipit mengurangi silau berlebih yang menerpanya.
"Ujian semester dimulai minggu depan. Hanya kalian yang sempat memikirkan tentang pesta," timpal Hinata akhirnya.
"Itulah kenapa, Hinata. Kita butuh hari tenang, sebelum bertempur minggu depan" jelas Sakura.
"Dan pesta adalah pilihan terbaik. Bayangkan apa saja yang bisa kita dapat!" sambung Ino.
"Suasana yang menyenangkan."
"Pemuda tampan."
"Dan seksi!"
Dan tadi itu adalah Ino dan Sakura yang saling melengkapi dalam menyebutkan daftar kesenangan pesta dalam benak mereka.
"Jangan lupakan kegagalan dalam ujian fisika," Hinata menambahkan. "Bagaimana?"
"Ohh, Hinata. Lebih baik kau tidak mengatakan apapun daripada menghancurkan imajinasi kami," sungut Ino yang disambut anggukan Sakura.
Sambil menyisipkan helai rambutnya ke belakang telinga, Hinata kembali menghela nafas panjang. "Aku juga ingin datang. Tapi aku memang harus melewati ujian kali ini dengan baik," Hinata beralasan. "Lagipula kalian tahu ayahku tidak akan mengizinkanku untuk pergi ke pesta semacam itu."
"Oh sumpah! Kalau aku jadi kau, aku mungkin sudah memilih untuk bunuh diri daripada terjebak di bawah atap yang sama dengan ayahmu setiap harinya."
Untuk hal itu, Hinata tidak diberi pilihan, bukan? Rasanya ia hampir terbiasa dengan segala aturan dan perintah dalam keluarganya. Dilahirkan dari kalangan dengan kekayaan di atas rata-rata yang begitu menjaga citra, Hinata tak memiliki banyak pilihan selain untuk mengikuti kahendak sang ayah. Hinata terus didorong untuk belajar dengan giat untuk menjaga nama baik keluarganya. Dan ia tak mengeluhkan hal itu.
"Ya Tuhan, mereka benar-benar mengganggu," desisan Sakura saat mereka hampir melewati gerbang membuyarkan pemikiran Hinata.
"Siapa?"
Sakura menggerakkan dagunya mengarah ke kawanan berandal yang berkumpul di seberang jalan. Asap rokok terlihat mengepul di sekitar mereka, lengkap dengan tawa keras dan candaan kotor terlempar dari mulut mereka setiap menggoda gadis-gadis yang lewat.
"Bisanya menggoda anak sekolahan, dasar bajingan tidak tahu diri. Kenapa tidak ada yang melaporkan mereka, sih?" komentar Sakura lirih.
"Tentu saja karena tidak ada yang mau bermasalah dengan mereka, bodoh," balas Ino.
Tubuh Hinata agak menegang, sejujurnya ia agak takut jika saat keluar nanti ia akan menjadi terget godaan mereka. Memang hanya secara verbal, tapi tetap saja hal itu merupakan pengalaman yang sangat tak nyaman bagi seorang gadis sepertinya.
Hinata berusaha mempertahankan raut wajah datarnya, bersikap seolah tak peduli keberadaan mereka. Namun beberapa kali rasa penasarannya membuat ia melirik kecil gerombolan bertato dan tindik di seberang sana yang mungkin rata-rata berumur dua puluh sampai tiga puluh tahunan.
"Abaikan saja," cicit Hinata kepada sahabatnya.
Mereka terus melangkah keluar. Namun langkah Hinata seolah melambat secara otomatis ketika netranya tanpa sadar mendapati salah seorang pemuda diantara gerombolan berandal itu. Hinata hanya meliriknya sekejap namun cukup untuk menyadari bahwa pemuda yang tak memiliki tindik atau tato berlebih seperti kawanannya itu, menatap tepat ke arahnya.
Hinata merasakan jantungnya meliar, tentu saja ia takut jika diperhatikan lelaki seperti itu. Hinata menundukkan kepalanya, berharap pemuda itu sudah tak lagi melihat ke arahnya. Dan saat ia kembali melirikkan matanya, ia melihat pemuda itu bersandar santai di motor, satu tangan masuk ke dalam saku jeans dan tangan lainnya bebas memainkan rokok di sela jari. Pemuda itu terlihat bergerak santai, namun tatapannya masih tak meninggalkan Hinata.
Butuh beberapa detik untuk Hinata menyadari betapa kerasnya air wajah pemuda itu. Surai hitam kelam, garis rahang sempurna, hidung mancung, bibir tipis, tatapan yang intens dan di atas semua itu, profil yang tajam.
Hinata bergidik ngeri dan memutuskan untuk mengalihkan pandangan. Berikutnya, ia merasakan Ino meletakkan lengan di sekitar bahunya, membuatnya tersadar bahwa ia tengah menahan nafasnya sendiri.
"Kau dengar yang kami katakan tidak, sih?" tanya Ino.
"Huh?"
Ino dan Sakura hanya menghela nafas mendengar respon Hinata.
Hinata masih dalam pikirannya sendiri. Ia masih merasa diperhatikan. Dengan itu, ia memutuskan untuk memberikan lirikan terakhir. Untuk memastikan. Dan benar saja, netranya kembali terhubung dengan manik kelam itu. Kali ini pemuda itu bersandar di tiang lampu di sampingnya. Batang rokok yang digenggamnya ia jatuhkan sembarang ke tanah sebelum ia injak. Dan Hinata yakin ia tak salah melihat saat pemuda itu menyeringai tipis ke arahnya.
Kembali mengalihkan pandangannya, Hinata mencoba mengabaikan semua itu meskipun harus ia akui, ia cukup ketakutan sekarang.
"Itu... mengerikan,"cicitnya kepada diri sendiri.
"Apa yang mengerikan?" tanya Sakura yang ternyata mendengar gumamannya.
"Apa kau melihat bagaimana dia menatap kita?" respon Hinata dengan pertanyaan.
"Siapa yang menatap kita?"
"Lupakan. Mungkin hanya perasaanku saja," ujar Hinata pada akhirnya.
..
...
..
Beberapa hari berikutnya, kelompok berandal itu kembali berkumpul di seberang gerbang sekolahnya lagi. Hanya saja, kali ini Hinata menerima senyuman dari seorang pemuda yang sama yang tempo hari menatapnya tajam. Hinata tak berniat untuk membalas senyuman itu sama sekali, ia memilih untuk berpura-pura tak melihatnya. Sungguh, Hinata berharap agar tak bertemu dengan siapapun di antara rombongan itu lagi.
Dalam satu minggu ini, Hinata sudah bertemu empat kali dengan pemuda itu. Dua kali saat pemuda itu datang bersama kawanannya, dua lainnya saat datang sendirian. Hinata merasa tak nyaman dengan itu. Rasanya ingin sekali melaporkan tentang hal ini kepada sang ayah, namun ada sesuatu dalam diri Hinata yang mencegahnya berbuat demikian.
Hingga pada suatu Senin, Hinata kembali mendapati pemuda itu di depan sekolahnya. Hari itu ia pulang terlambat karena harus menyelesaikan laporan tugasnya sehingga Ino dan Sakura terlebih dahulu meninggalkan sekolah. Hinata tak bodoh, hitungannya mengenai pertemuan mereka dan bagaimana pemuda itu memperhatikannya sudah cukup bagi Hinata untuk mengambil kesimpulan bahwa semuanya bukanlah ketidaksengajaan. Bahwa pemuda itu memiliki motif atas ini.
Saat dimana Hinata melangkah keluar gerbang, pemuda tinggi dengan tubuh tegap itu terlihat melangkah santai menyebrangi jalan dengan tangan ia selipkan di saku jaketnya. Hinata tertegun kaku menyadari bahwa pemuda itu berjalan mendekatinya, pikirannya mendadak kosong.
Situasinya sekarang tak terlalu ramai, jam pulang sekolah sudah lewat hampir dua jam yang lalu. Hanya ada beberapa anak yang mungkin kelewat rajin seperti Hinata yang masih berkeliaran. Jadi jika sesuatu hal terjadi pada Hinata, kemungkinan besar tak ada yang berani menolongnya.
Seharusnya Hinata lari menjauh. Seharusnya ia menghindari konfrontasi apapun dengan gangster semacam pemuda itu. Namun tubuhnya malah diam, netranya menatap pemuda dengan potongan emo unik itu dengan penuh pertanyaan.
"Hey," sapa pemuda itu setelah berhenti di hadapan Hinata.
Ya Tuhan, pemuda itu benar-benar sanggup membuat Hinata menahan nafas hanya dengan satu suku kata. Jarak mereka kini masih cukup jauh, tiga atau empat langkah namun Hinata dapat melihat dengan jelas betapa tampannya pemuda di hadapannya itu.
Hinata berkedip dua kali menyadarkan dirinya. Apa yang ia pikirkan? Terpesona dengan berandalan di hadapannya? Dengan kikuk Hinata meremas tali ranselnya mulai mengambil langkah untuk pergi.
"Hey, tunggu!" pemuda itu bergerak cepat untuk menahan Hinata dengan meraih lengannya. Hinata terlonjak atas kontak fisik singkat itu, ia menarik tangannya dan tanpa sadar menatap tajam oniks di hadapannya. Pemuda itu tertawa kecil melihat reaksi Hinata. "Aku tidak berencana untuk menculikmu, jangan khawatir," jelasnya singkat. "Aku Sasuke. Namamu?"
Hinata masih diam.
Menyadari bahwa Hinata tak akan menjawabnya, Sasuke—nama pemuda itu—memainkan bola matanya, melirik ke arah name tag yang menempel di blazer Hinata.
"Hyuuga Hinata," ujarnya sambil menganggukkan kepala. "Aku menyukaimu," tambahnya, membuat Hinata sontak mendongak menatapnya. "Jadi, jika kau memiliki pemikiran untuk menolakku... kau hanya perlu tahu bahwa aku memiliki kenalan yang cukup membantu dalam urusan penculikan dan aku bisa dengan mudah memanfaatkan mereka," bisik Sasuke rendah namun tetap terdengar sangat jelas di telinga Hinata.
Sasuke mundur selangkah sehingga Hinata bisa melihat dengan jelas seringai yang pemuda itu lukiskan di wajahnya. Ia mengedipkan mata kanannya ke arah Hinata singkat sebelum berbalik dan berjalan menuju motor sport-nya, meninggalkan Hinata berdiri mematung dalam perasaan takut sekaligus takjub.
..
...
..
Satu bulan penuh berlalu dan Sasuke masih belum berhenti mengikuti Hinata seperti penguntit. Dimulai dari Hinata keluar dari gerbang sekolahnya hingga detik saat gadis itu memasuki gerbang rumahnya yang memang tak begitu jauh dari sekolah. Sasuke mengikutinya, terkadang dengan motor kesayangannya, tak jarang pula dengan berjalan kaki. Meskipun begitu, Sasuke tak pernah mendekatinya lebih dari itu. Hinata merasa risih tentu, tapi ia tak memiliki keberanian untuk menghadapi Sasuke dan mengatakan pada pemuda itu untuk berhenti.
Semakin lama Hinata semakin terbiasa dengan apa yang Sasuke lakukan. Hingga tanpa sadar ia memikirkan pemuda itu lebih sering daripada yang seharusnya ia pikirkan. Tanpa sadar ia terkadang bertanya-tanya tentang apakah Sasuke akan muncul di gerbang sekolah dan masih akan mengikutinya.
Hinata memikirkannya, tentang semua hal yang terjadi dalam satu bulan ini. Tentang Sasuke. Jelas sekali Sasuke merupakan pengaruh buruk untuknya. Jika pemuda itu memiliki setiap menit untuk mengikuti Hinata, bukankah itu artinya pemuda itu tak memiliki aktivitas yang berarti? Tato, tindik dan setiap perkataan kasar yang diumbarnya saat berbicara dengan kelompoknya bukankah sudah menjadi pertanda bahwa Sasuke bukanlah pemuda yang baik?
Dan sekarang Hinata menemukan dirinya terpesona oleh sosok itu. Oleh sosok yang selama sebulan ini terus memperhatikannya. Bukan salahnya, bukan? Bagaimanapun, Hinata hanya gadis yang tanpa sadar terpesona oleh seseorang yang menghadiahkannya sebuah perhatian yang begitu dalam.
Tapi mungkin, cepat atau lambat Sasuke akan merasa lelah dan bosan.
Itu yang Hinata pikirkan. Hingga kemudian, ia akan menemukan bukti bahwa pemikirannya salah.
"Sungguh, Hinata, kau tidak berniat untuk melaporkannya?" tanya Ino saat Hinata buru-buru keluar setelah merapihkan barang buku-bukunya ke dalam ransel.
"Dia tidak melakukan apapun kecuali mengikutiku."
"Bukan tidak, Hinata, tapi belum! Dia mungkin seorang penculik bayi yang sedang menunggu momen yang tepat," Sakura bergabung dalam pembicaraan ini.
"Terima kasih sudah memperingatkan—"
"Ada apa disana?" Ino menyela kalimatnya yang belum rampung, netra gadis itu menatap kerumunan padat tak jauh dari gerbang sekolah. Baik Hinata dan Sakura mengikuti arah pandang sahabatnya itu.
"Sepertinya dia bermasalah dengan salah satu anggota gang itu," ujar seseorang yang kebetulan berdiri tak jauh dari tempat mereka. "Tapi petugas sekolah sudah menelpon polisi."
Mata Hinata melebar. Gang? Ini bukan tentang Sasuke, kan? Ia benar-benar berharap bukan.
"Biarkan aku lewat," Hinata tiba-tiba bergerak, memutuskan untuk memastikannya. Ia mendorong kerumunan siswa yang ironisnya hanya berani menyaksikan dari seberang jalan.
Dan benar saja, ia menemukan Sasuke dan kawan-kawannya berdiri melingkar mengurung Shino—partnernya di kelas biologi—yang kini tersungkur dengan tangan melindungi kepala dan perutnya dari injakan ataupun tendangan kaki-kaki di sekelilingnya.
"Hentikan!" Hinata berteriak, tanpa pikir panjang ia menggerakkan kakinya cepat menyebrangi jalan.
Dengan kasar, Hinata meraih lengan Sasuke dan menariknya. Sasuke yang merasa terganggu memutuskan untuk berbalik dengan kepalan yang siap menghantam siapapun itu yang menariknya. Namun kepalan tangannya berhenti di udara saat menyadari bahwa yang menariknya tadi adalah Hinata.
"Tahan!" titah Sasuke kepada kawanannya yang detik itu juga langsung dituruti.
Hinata menatap naas Shino yang kini berhias debu, memar dan darah di beberapa bagian tubuhnya. Ia kemudian mengarahkan tatapannya ke arah Sasuke, kali ini dengan pandangan yang tajam. Entah keberaniah dari mana, Hinata mendorong tubuh Sasuke dengan seluruh tenaganya. "Apa masalahmu?!" murka Hinata, namun di matanya tetap tergenang cairang yang sekuat mungkin ia tahan agar tak terjatuh.
"Masalahku? Dia menyukaimu, bukan?" nada yang Sasuke gunakan begitu serius. "Aku sudah memperingatkannya untuk jauh-jauh darimu tapi si keparat ini malah menantangku," cercanya menunjuk Shino.
"Jadi kau mengumpulkan teman-temanmu untuk menghajarnya? Jantan sekali caramu!" balas Hinata dalam ironi.
Sasuke memandang Hinata tajam, tak suka atas apa yang baru saja gadis itu ucapkan. Ia maju selangkah, membuat jaraknya dengan Hinata mengkin hanya satu kepalan tangan. Kepalanya menunduk agar oniksnya bisa menangkap iris lavender Hinata yang juga tengah menatapnya dengan keberanian.
"Aku akan melukai lebih banyak orang jika kau menolakku, Hinata," bisiknya tajam.
Mata Hinata melebar, namun tatapannya melembut meski belum mengalihkan pandangannya dari iris kelam pemuda di hadapannya itu. "Memangnya apa yang harus kukatakan?" ujar Hinata rendah. "Toh kau juga tak memberiku pilihan untuk menolak, bukan?"
..
...
..
Hinata jatuh cinta kepada Sasuke dalam keadaan yang salah saat berusia enam belas tahun. Dan hingga usianya bertambah satu tahun, Sasuke seperti menjadi dunianya, hidupnya, nafasnya. Segalanya tentang Sasuke semakin mempesona Hinata. Bahkan perilaku kasar dan kebiasaan-kebiasaan buruknya. Namun Hinata mempercayainya. Semua yang Sasuke lakukan untuknya membuat ia percaya bahwa pemuda itu tak hanya jatuh cinta padanya, namun juga setia padanya.
Siapa juga yang tak akan jatuh dalam pesona bad boy seksi yang perhatian seperti Sasuke? Lagipula Hinata hanyalah tipikal remaja yang baru merasakan cinta. Sayangnya ia jatuh cinta kepada tipe yang salah.
"Kenapa ayahmu tidak memperbolehkanmu pulang larut?" tanya Sasuke, mereka tengah berjalan santai tanpa arah, tangannya meremas pelan tangan Hinata di genggamannya. Saat itu, hubungan mereka sudah berada pada level dimana Hinata berani membolos untuk Sasuke.
"Kau ini bertanya apa, sih? Tidak ada orang tua yang membiarkan anaknya berkeliaran larut malam, apalagi jika secara hukum usianya belum dewasa."
Sasuke mengedikkan bahu. "Ibuku membiarkanku pulang jam berapapun, aku tidak pulang juga sepertinya tidak akan peduli. Dia terlalu sibuk menjalang."
"Jangan bicara seperti itu, Sasuke," Hinata berhenti menatap simpati, membuat Sasuke yang menggenggam tangannya pun otomatis berhenti melangkah.
"Kenyataan terkadang memang kejam, bukan?" ia melepaskan genggamannya dari tangan Hinata hanya untuk melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu. "Kau mau dengar kenyataan lainnya?" bisik Sasuke di leher Hinata.
"Apa itu?" Hinata menahan kekehan geli akibat dari terpaan nafas Sasuke di belakang telinganya.
Hening sebentar, hanya nafas Sasuke yang Hinata rasakan. Hingga hal yang selanjutnya ia sadari adalah Sasuke yang tiba-tiba mendorong tubuhnya, membuatnya terhimpit antara tubuh besar Sasuke dan dinding gedung gang itu.
Jemari Sasuke mendarat di dagu Hinata hanya untuk membuat gadisnya mengangkat kepala, menatapnya. "Kau sangat cantik," bisiknya.
Satu tangan sasuke mengunci pergelangan tangan Hinata dan tangan lainnya masih melingkari pinggang gadis itu, membuat tubuh mereka semakin merekat. Sasuke menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hinata. Membuat wajah gadis itu memanas.
Hinata hampir terhanyut dan baru tersadar ketika Sasuke melepas dasi sekolahnya. "A-aku... harus pu-pulang," cicit Hinata.
"Jangan khawatir, tidak ada seorangpun disini," Sasuke mempersuasi Hinata sembari sembari jari-jarinya bergerak membuka dia kancing teratas seragam Hinata. Telapak tangannya kemudian menyusup, mengelus sekitar leher dan tulang selangka Hinata, menghasilkan erangan tertahan dari gadis itu. "Tidakkah kau mengingikan sentuhanku, Sayang?" desisnya sebelum kembali merekatkan bibir kembali di permukaan kulit sang gadis.
Tubuh Hinata mengejang saking gugupnya. Ini sudah yang kesekian kalinya Sasuke membujuk Hinata untuk melakukan seks dengan agak memaksa meskipun pemuda itu sudah berjanji akan menunggu setidaknya sampai Hinata lulus sekolah.
"Sasuke... hentikan," Hinata bergumama dengan suara yang bergetar.
Sasuke melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Hinata hanya untuk kemudian manjamah permukaan kulit di balik rok sekolah Hinata sambil menghujani gadis itu dengan ciuman-ciuman ringan di leher.
"Berhenti!"
Hinata berusaha menjauhkan Sasuke dengan mendorong bahu lelaki itu, namun gerakannya terganggu saat sang kekasih mendaratkan ciuman yang basah di bibirnya. Hinata selalu lemah saat bibir Sasuke menyentuh bibirnya. Namun ia tidak bisa menyerahkan dirinya saat ini, ia tidak ingin.
Dan momen daat tangan Sasuke meraba pahanya lebih jauh, Hinata seketika tersadar. Ia tak menginginkan Sasuke bergerak lebih jauh lagi. Dan dengan seluruh sisa kekuatannya, Hinata mendorong Sasuke hingga pemuda itu mundur satu langkah. Lalu saat Sasuke dengan egois hendak menyentuhnya lagi, telapak tangan Hinata mendarat di pipi kiri pemuda itu dengan kekuatan yang tidak bisa dibilang lemah.
"Aku bilang berhenti!" Hinata berteriak, suaranya mengisi gang yang sepi itu.
Terkejut, Sasuke menatap gadisnya seperti melihat sosok hantu. Pipi kirinya jelas memerah tapi ia tak terlihat peduli dengan kesakitan yang mungkin dirasakannya. Hinata menyadari perubahan air muka dan kepalan Sasuke yang mengerat.
Tanpa mengucapkan apapun, Sasuke berjalan, berniat pergi dari sana. Mungkin menyadari jika ia tetap disana dengan amarahnya, dia akan melukai Hinata.
"Sasuke," panggil Hinata pelan, entah objek yang dituju dapat mendengarnya atau tidak.
Pada akhirnya, Hinata memilih untuk tak mengejar Sasuke. Lagipula ini bukan kesalahannya. Sasuke lah yang bersalah disini.
..
...
..
Hingga tiga hari setelah kejadian itu, Hinata tak mendengar kabar dari Sasuke. Pemuda itu bahkan tak mengiriminya satu pesanpun. Hinata gelisah dan akhirnya memilih untuk mengesampingkan gengsinya. Hinata mengirimkan Sasuke sebuah pesan, menanyakan apakah pemuda itu bisa datang ke rumahnya mengingat sang ayah tengah dalam perjalanan bisnisnya ke luar negeri.
Tidak ada balasan. Bagaimanapun Hinata tahu kekasihnya bukanlah tipikal yang akan mengalah. Tapi ia juga tahu, jika ada sesuatu atau seseorang yang bisa membuat Sasuke mengalah, itu adalah dirinya.
Malam itu Sasuke datang dengan penampilan seperti biasa. Kaos hitam kasual dan jeans biru pudar. Wajah bantal yang masih terlihat dan surai yang berantakan membuat Hinata yakin kekasihnya itu baru saja bangun tidur. Ya, ini memang bukan waktu tidur, namun Sasuke memiliki kebiasaan tertidur pada waktu yang acak.
"Masuklah," ujar Hinata, ia masih merasa canggung karena kejadian tempo hari.
"Kau benar-benar memiliki kehidupan yang menyenangkan, ya," komentar Sasuke saat menapaki kakinya di ruang tamu kediaman Hyuuga—yang meski tak begitu megah, namun terkesan elegan.
Hinata menghela nafas dan membalik tubuhnya untuk menghadap Sasuke. "Aku minta maaf," ia memilih untuk tak merespon komentar Sasuke sebelumnya.
Tiga kata yang Hinata ucapkan membuat Sasuke tertegun. Oniknya berhenti mengamati keadaan rumah sang kekasih. Sebagai gantinya, ia menatap Hinata tak percaya. "Aku yang seharusnya minta maaf, ku tahu?"
"Tapi aku menamparmu."
"Yeah," Sasuke bergumam. "Sejujurnya aku juga tidak menyangkanya."
"Duduklah dulu," Hinata mempersilahkan setelah sadar mereka masih berdiri. "Kau mau sesuatu?"
Sasuke bergerak ke sofa manun tak menjawab Hinata. "Sepi sekali, apa selalu seperti ini?" komentar Sasuke lagi, memecah keheningan.
"Tidak, dulu aku tinggal bersama ayah dan sepupuku. Sepupuku melanjutkan sekolahnya di Inggris sejak tahun lalu dan ayah ada urusan pekerjaan di luar untu beberapa hari," Hinata duduk di samping Sasuke.
"Jadi?"
Satu kata tanya yang Sasuke lontarkan membuat Hinata mendongak menatap kekasihnya. Dan Hinata mengenali mata itu. Sasuke tengah menatapnya seperti predator terhadap buruannya. Dua manik berlawanan warna itu saling mengunci untuk beberapa saat.
Tangan Hinata terangkat, menyentuh ringan pipi Sasuke yang tempo hari menjadi sasaran tamparnya. "Maaf," bisik Hinata, matanya menatap pipi Sasuke, sedangkan pemuda itu masih mencoba menatap mata sang gadis.
Kemudian waktu terasa berjalan tak teratur. Terasa lambat, namun terkesan buru-buru. Entah kapan Sasuke manarik Hinata ke pangkuannya. Bibir keduanya saling terhubung atas ciuman panas yang juga melibatkan lidah. Lengan kekar Sasuke melingkari pinggang Hinata yang masih di pangkuannya sedangkan tangan Hinata sibuk meremas surai kelam kekasihnya.
Malam itu, pada akhirnya menjadi malam terbaik untuk keduanya.
Hinata memiliki Sasuke sebanyak Sasuke memilikinya.
Dan setelah malam itu, Hinata mulai membolos sekolah dengan intensitas yang lebih sering. Namun segala yang terjadi di hidupnya terasa lebih indah. Hingga kemudan sang ayah mengetahuinya dan dimulai pula lah mimpi buruk Hinata.
Hinata telah diperlihatkan semua sinyal-sinyal yang muncul, bahwa Sasuke tidak akan membawa kebaikan apapun baginya. Tapi cintanya untuk Sasuke membuat pikirannya berkabut, membuatnya buta akan apa yang ada di hadapannya.
Namun segala keindahan itu berubah, perlahan digerogoti terganti kekelaman. Bukan, bukan sang ayah yang menyebabkan hal ini terjadi. Saat itu, Hinata baru menyadari kerasnya dunia yang harus ia jejaki karena telah memilih mempertahankan cintanya untuk Sasuke.
.
to be continued...
..
.
*peer up* bosen banget kali ya ketemu saya lagi dalam satu minggu ini hhaha. Resiko gabut, malah jadi ikut-ikutan bebas kayak anak sekolah yang baru selesai ujian.
Song fic? No. Sebenernya bukan song fic, cuma dipikir lagi ternyata konflik intinya serupa sama lagu Taylor Swift, dan jadilah saya pilih judul lagunya untuk judul fic ini. Dan yang satu ini cuma twoshots btw.
Dipublish juga di wp. Kalo di wp udah dua chap karena emang disana saya publish lebih awal, tapi sama aja kok, dua chap di wp itu saya gabungin jadi satu disini (pengen instant aja -_-)
Mind to review?
