The Shadow

"Malam terus berlalu dan aku tak pernah tenang melaluinya. Bayangan itu terus bermunculan tanpa henti menghiasi malamku yang seharusnya menjadi waktu istirahat bagiku. Terganggu dengan kehadirannya membuatku kesulitan mengedipkan mata apalagi menutupnya. Dia seakan-akan mengikutiku tanpa berhenti, hantu kah itu atau halusinasiku yang tak menentu?"

Jendela itu terbuka tanpa ada yang menyentuhnya, angin bahkan tak menyenggolnya, dan tak ada sihir disana. Sang gadis penghuni kamar berjendela yang terbuka itu, merasa sudah terbiasa dengan jendela yang terbuka secara tiba-tiba, setelah malam-malam sebelumnya sudah terjadi. Dengan begitu lemas sang gadis kembali menutup jendela tanpa melihat keadaan di luar jendela. Ia muak jika melihat orang itu di tepi jalanan untuk kesekian kalinya mengganggu malamnya.

Hermione Granger, gadis itu duduk di kasur dengan menundukkan kepalanya yang disangga oleh kedua tangannya. Mencoba untuk menutup mata namun sia-sia. Hatinya terus bergeming untuk melihat orang di tepi jalanan itu lagi seperti malam sebelumnya. Namun sang gadis menolak melakukannya, orang itu hanyalah bayangan yang terus mengganggu dirinya atau halusinasinya yang tinggi membuat sosok lelaki itu muncul di tepi jalanan seakan menunggu dirinya, saat dihampiri, lelaki itu menghilang tanpa jejak. Itulah yang membuatnya muak saat hendak tidur malam. Maka sudahlah jelas itu hanyalah halusinasinya. Hermione tahu, mungkin itu efek dari kerinduannya terhadap sahabatnya. Sejak liburan dimulai ia sudah terbayang akan sosok sahabatnya itu. Hingga suatu malam di jam yang sama lelaki itu mulai menampakkan wajah tampannya. Ketika dicobanya untuk didekati lelaki itu menghilang dan tak muncul lagi.

Namun pada malam berikutnya, sosok lelaki di tepi jalanan muncul tidak sebagai sahabatnya, melainkan orang lain, orang yang selalu mengganggu hari – harinya di Hogwarts ketika bertemu. Orang menyebalkan yang selalu muncul pada setiap saat.

Akhirnya Hermione memutuskan untuk kembali membuka jendela untuk mendapati lelaki itu, karena penasaran siapa lelaki itu kali ini sahabatnya kah atau orang menyebalkan itu. Jas hitam panjang menjadi busana yang dikenakan oleh sang lelaki. Setiap malam, lelaki itu muncul selalu dengan memakai jas hitam yang halus. Tak pernah ganti.

"Harry, benarkah itu kau atau hanya ...?" bisik Hermione dalam hati menatap lelaki berkacamata bulat itu yang tersenyum pada dirinya. Sosok itu begitu nyata namun sulit untuk percaya bahwa dia memang sahabatnya.

Pada malam berikutnya bayangan akan sosok lelaki yang menghantui Hermione berganti, itupun sulit ditebak secara pasti dua sosok lelaki mana yang lebih dulu muncul. Terkadang kedua sosok itu muncul dalam dua hari atau lebih di jam yang sama dan tempat yang sama. Harry Potter sebagai sahabatnya kah, atau Draco Malfoy sebagai pengganggu dirinya. Ia memasuki kamarnya yang selalu dalam keadaan rapi, buku-bukunya dengan jumlah lebih dari lima puluh buku tertata rapi disepanjang rak dan jendela terdekat seakan menyambutnya. Membuka dengan lebar. Ia mencoba mencari di beberapa buku sihir mengenai masalah ini bahkan buku muggle sekalipun. Kenapa setiap malam ia datang, jendela selalu terbuka dengan sendirinya tanpa ada sihir bahkan angin, kemudian muncul sosok mengejutkan dihadapannya. Tetapi semua itu sulit ditemukan bahkan ia belum menemukan di buku sihir manapun.

"Baiklah Hermione, bersiaplah untuk melihat siapa kali ini yang muncul" ucap dalam hati Hermione katakan sembari mendekati jendela dan melihat keluar sana. Sosok bayangan itu adalah_Draco Malfoy. Jas abu-abu yang ia kenakan masih sama seperti terakhir kali Hermione melihat sosok itu. Ia tampak tampan bahkan senyumannya bukan menyiratkan kesombongan dan tidak tampak menyebalkan. Dalam hati Hermione bingung, kenapa sosok Draco muncul menghiasi malamnya dengan sifat yang jauh berbeda dari sifat sebenarnya yang ia kenal. Ia bahkan tak mengerti perasaannya terhadap lelaki asrama Slytherin yang terkenal kekayaannya juga kesombongannya itu.

Tiba-tiba jantung Hermione menendang dirinya, lelaki itu berjalan menuju teras rumah dengan begitu yakin. Belum pernah dilihatnya lelaki dalam bayangannya meninggalkan tepi jalan itu. Ini untuk pertama kalinya Draco melakukan itu dalam bayangannya. Biasanya usai ia melihat sosok lelaki dalam bayangannya di setiap malam, ia langsung menutup kembali jendela dan memaksa dirinya untuk menutup matanya juga. Keesokan harinya ia mencoba membuka jendela dan di luar tak ada lagi sosok lelaki. Ia berlari meninggalkan kamar tidurnya menuju pintu depan rumah. Dengan kegairahan hatinya yang menendang-nendang, dibukanya pintu hingga angin malam menerpa dirinya dengan lembut tetapi sangat dingin sembari memperlihatkan sosok lelaki rambut pirang, mata abu-abu yang sama sekali tidak menyiratkan kegelapan dalam kejahatan, hanya menyiratkan rasa kasih sayang dalam cinta. Draco yang ini jauh lebih baik dan jauh berbeda dari sosoknya yang sebenarnya.

Satu hal setelahnya, ia memeluk lembut Hermione dan kehangatan menjalari tubuhnya mengusir dinginnya malam itu. Dengan begitu nyaman Hermione membalas pelukannya, keduanya saling berpelukan erat tetapi tidak menyiratkan kesan apapun. Bahagiakah mereka berdua, atau sedih atau terharu, entahlah. Yang Hermione rasakan hanyalah ternyata begitu nyaman berada di dekat Draco yang seandainya ini nyata. Ia yakin sosok lelaki ini hanyalah bayangan saja. Angin malam berhembus riang memasuki rumah tanpa peduli bahwa dirinya membuat suasana dingin menjetik kulit. Angin itu berhembus semakin kencang, kedua pemuda itu tetap bertahan. Hermione hanyut dalam pelukan lelaki itu, ia bahkan tak bisa membuka matanya. Saat itulah teriakan mengenaskan terdengar ngeri berhasil menyadarkannya.

Badannya terlentang di depan pintu yang terbuka. Tubuhnya mulai terasa menggigil kedinginan. Ia memaksa untuk membuat tubuhnya bangun. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Dilihatnya dua sosok menghampiri dirinya dengan panik.

"Hermione kenapa kau berada di depan pintu?" satu dari sosok itu adalah ayah Hermione yang sudah beruban dengan kacamata kotak ia kenakan. Pakaian dokter gigi sudah dengan rapi ia pakai.

"Ayah apa yang terjadi?" Hermione masih bingung sendiri bagaimana ia bisa berada disitu dengan kepala agak pusing. Sang ibu disampingnya yang memakai pakaian biasa hanya khawatir dan prihatin melihat putrinya.

"ibumu menemukan dirimu tergeletak disini, ada apa. Apa kau bermimpi sambil berjalan?"

Sebuah ingatan akan malam itu akhirnya berhasil menghentak Hermione. Semalam ia berpelukan dengan sosok lelaki dalam bayangannya itu dan setelahnya pingsan begitu saja. Ada apakah ini?

Empat hari telah berlalu sejak kejadian malam itu. Kejadian yang telah menurunkan kesehatan Hermione dan menghapus semangatnya hingga hampir luntur sepenuhnya. Saat-saat yang membosankan itu, ia tak mendapati bayangan akan sosok lelaki pada malam hari. Ia berfikir itu takkan terjadi lagi dan sudah berakhir. Jendela di kamarnya pun tak lagi menyambutnya dengan membuka lebar tanpa sebab. Sekarang tubuhnya sudah kembali normal setelah mendapat obat dari dokter Muggle teman ayahnya. Sehingga ia bisa menikmati bacaan dari buku sihir "Katy Perry : The Singer Wizard That Inspirate" yang ia dapatkan dari Ron Weasley, sahabatnya selain Harry Potter. Buku itu baru tiba tadi pagi dan malamnya nanti ia berencana untuk membacanya.

Ia menghampiri meja sebelah kanan ranjangnya dengan bergairah. Langkah awal usai ia mendudukkan dirinya di kursi adalah membuka lembaran pertama dari buku itu yang menampilkan sosok Katy Perry dengan biografinya lengkap. Mulai membaca pada bab pertama "Firework Song Make of Your Life Leave The Suffering". Ia teringat pernah mengambil lirik dari lagu itu untuk memberi semangat kepada Harry saat Tournment Triwizard. "After a Hurricane Comes a Rainbow" . "setelah badai yang menyakitkan dari usaha keras datanglah pelangi dari kesuksesan di kemudian hari." Saat sedang asik bernostalgia, tiba-tiba terdengar suara berdering perlahan-lahan namun mengejutkan. Dengan shock, Hermione berbalik dan melihat jendela itu terbuka lagi. Ditutupnya buku itu lalu dihampirinya jendela itu. Dengan berdegub kencang jantungnya ia melihat keluar jendela.

Giliran Sang Terpilih, Harry Potter yang mengganggu malamnya. Ia pikir sosok lelaki tak lagi membayangi malamnya. Masih dengan wajah yang sama, tersenyum dengan manis menatap dirinya.

"kuhampiri tidak yha." Batin Hermione. "mungkin akan sama seperti Draco kemarin, ia takkan menghilang, baiklah aku coba datangi saja". Dengan semangat Hermione meninggalkan kamarnya menuruni tangga dengan menghembuskan kegairahan. Tiga anak tangga ia turuni sekaligus menampakkan langkahnya begitu lincah.

"Hermione mau kemana?" ibunya mengejutkan dirinya. Di sofa itu sang ibu tengah duduk sambil mengerjakan pekerjaannya di depan laptop. Ibu Hermione adalah seorang sekretasis di sebuah perusahaan permodelan. Ia pernah membujuk Hermione untuk menjadi model majalah tapi ia menolaknya mentah-mentah.

"Ohh Mom, aku mau keluar sebentar."

"tapi bagaimana kalau kau pingsan lagi?"

"aku akan baik-baik saja mom." Balas Hermione sembari membuka pintu depan rumah dengan begitu yakin.

"jangan meninggalkan halaman rumah, ini sudah larut malam, bahaya"

Kekecewaan menghamburi dirinya ketika dirinya berada di tepi jalan. Tempat sang lelaki biasanya muncul tak ada disana. Angin menari-nari bersama pepohonan di bawah sinar rembulan menyambut Hermione. Ia bejalan dengan lesu kembali ke halaman rumahnya. Ia memilih untuk berjalan-jalan sebentar di jalan setapak, ia hendak menghampiri kolam ikan depan rumahnya dengan air mancur ditengahnya. Menatap kolam itu sampai kantuk menghampiri sudah menjadi kebiasaannya ketika menghampiri sosok lelaki pada malam sebelumnya, sebelum ia menemukan sosok Draco memeluk dirinya. Di kolam itu, ikan-ikan bahkan hanya diam saja, seperti mematung di dalam air. Titik-titik air berhamburan menjatuhi dirinya, hujan segera tiba. Tapi ia tak ingin pergi dulu, ia bahkan belum merasa mengantuk. Karena tak merasa kedinginan, geremis ia biarkan menjatuhi tubuhnya.

Tetap duduk di pinggir kolam sembari menatap ikan-ikan yang tetap tak mau bergerak sekalipun geremis tiba. Merasa bosan, ia pun bangkit untuk kembali ke dalam rumah saat sebuah bisikan membuat merinding. "Hermione...!" suara itu berhembus seiringan dengan hujan yang semakin deras. Hermione berbalik untuk mencari sumber dari suara itu. Tak menemukan seorang pun maka ia kembali berbalik untuk segera masuk kedalam rumah sebelum hujan lebih dulu membasahi tubuhnya. Saat itulah sesuatu membuat tubuh langsing Hermione terpental hingga jatuh terjerembab (hampir saja terpleset masuk kedalam kolam). Dilihatnya sosok yang ia tabrak, terkejut mendapati sang lelaki, yang membayangi malam-malamnya tengah berdiri sembari mengulurkan tangannya padanya. Jas hitam yang sangat cocok dengan postur tubuh lelaki itu masih dikenakan olehnya.

Menjawab uluran tangan sang lelaki, Hermione bangun berdiri bertatapan dengan dua pasang mata hijau cemerlang. Sekalipun tertutupi oleh kaca mata yang terkena air hujan, mata hijau itu tetap terlihat meyakinkan.

"kau tidak apa-apa?" kata-kata itu menjadi ucapan pertama yang Hermione dengar dari sang lelaki setelah berkali kali menghantui malamnya.

"ya aku tak apa-apa, tapi benarkah ini kau Harry?" tanya Hermione, kedua tangannya masih berpegangan dengan sang lelaki.

"menurutmu bagaimana?"

"oh ya ampun, sedang hujan nih ayo masuk ke dalam rumah!" ditariknya tangan Harry, namun tak bisa. Hujan secara tiba-tiba berhenti. Tak ada tongkat sihir yang Harry pegang dan tak mungkin Harry bisa bersihir dengan pikiran tanpa tongkat sihir. Ia belum menguasai itu. Pikir Hermione bingung.

"tak ada hujan, mau jalan-jalan sebentar!" dengan begitu mantap Harry nyengir menarik Hermione mendekat. "yah terserah." Diajaknya Hermione berjalan disepanjang jalan.

Cukup lama keduanya hanya jalan-jalan di dekat rumah Hermione sampai akhirnya cukup jauh dari rumahnya. Hermione ingat ibunya melarang untuk jangan pergi dari halaman rumah semalam ini. Apalagi berjalan jalan berduaan saja dengan seorang lelaki. Apa kata tetangga ketika melihatnya.

"Harry, sebaiknya kita kembali. Ayo" dengan lembut Hermione menarik tangan Harry.

"yah"

"bagaimana kau bisa datang kemari?" Sembari kembali dengan saling berpegangan tangan, Hermione berbicara penuh minat kepada Harry.

"bukannya kau memanggilku Hermione?"

"memanggilmu, apa maksudnya?"

"kau tahu, kenapa kita selalu bisa bertemu disetiap malam, kenapa aku menghilang saat kau hampiri?"

"tidak."

"kita akan selalu bertemu karena cinta yang kuat mengarahkan kita"

"kau ini bicara apa sih?" Untuk pertama kalinya Hermione kesal merasa serba tidak tahu dengan Harry. Biasanya ia selalu tahu segalanya dibandingkan Harry.

"sejauh apapun jarak yang memisahkan kita ... jika memang cintaku hanya ada padamu ... sepanjang apapun waktu berlalu ... pada akhirnya kita akan bertemu untuk bersatu, kau percaya padaku?." Mendengar itu, rasanya Hermione ingin memeluk erat Harry, namun ia hanya menyandarkan kepalanya dipundak Harry. Keduanya berjalan berdampingan. Tanpa sadar Hermione telah sampai di halaman rumahnya.

"cintamu yang kuat telah memanggilku dan membawa kita bertemu". Kata Harry lagi sembari mempererat genggaman tangannya pada Hermione. "Untuk itu Hermione, datanglah padaku tanpa keraguan. Saat kau meragukan diriku saat itulah aku menghilang. Kau tidak bisa membagikan cintamu padaku jika kau ragu!."

Suasana begitu nyaman merayapi Hermione, sepertinya ia tertidur di pundak sang lelaki yang membayangi pikirannya dan berhenti dari jalannya. Ia kemudian ingat, ini hanyalah mimpi dan sebentar lagi ia pasti akan pingsan. Sama seperti kemarin saat bersama Draco. Untuk itu ia mencoba membuka matanya yang telah tertutup nyaman, namun tak bisa. Tubuhnya bahkan tak bisa digerakkan, hanya hatinya yang berteriak keras untuk memerintahkan otaknya agar menjalankan tubuhnya. Suasana menjadi putih bersih sepenuhnya merusak kenyaman yang ia dapatkan. Ada gerakan mengguncang tubuhnya. Guncangan itu semakin keras berhasil membuka matanya dan cahaya menyilaukan menerpa dirinya. Cahaya serba putih yang sedikit membuat kepalanya sakit. Ia sadar berada di kamar tidurnya. Pengelihatannya agak buram.

"Oh ya Tuhan, Hermione kau membuatku jantungan." Itu suara lega dari ibunya.

"kau tak apa-apa kan putriku!" sang ayah telah pulang dari kerja lemburnya.

"Ayah, Ibu, apa aku pingsan lagi?" kini mata Hermione membuka pengelihatannya yang sudah bisa melihat dengan jelas.

"yeah, kau bilang akan baik-baik saja. Apa kau sakit lagi?." Sang ibu dengan lembut menyiratkan kekhawatiran.

"Maafkan aku Mom, aku tidak bisa mencegahnya. Tapi aku baik-baik saja."

Pada pagi hari, hari yang ia tunggu-tunggu untuk bisa pergi ke The Burrow. Sebelum itu, Hermione menyadari satu hal bahwa ia pingsan dan mendapati mimpi yang indah malam sebelumnya. Berjalan di tengah sinar rembulan dengan seorang lelaki yang bukan hanya sebagai sahabatnya, tetapi seseorang yang paling dicintainya setelah kedua orang tuanya.

Agak aneh jika membandingkan sosok Harry Potter, sahabatnya sejatinya dalam mimpi itu dengan Harry yang sebenarnya. Ia tak mungkin seromantis itu. "cinta yang kuat akan membawa kita untuk terus bertemu ... sejauh apapun jarak yang memisahkan kita ... jika memang cintaku hanya ada padamu ... sepanjang apapun waktu berlalu ... pada akhirnya kita akan bertemu untuk bersatu".

"itukah sebabnya kenapa kau selalu muncul di setiap malamku, jadi memang karena aku sangat mencintaimu sehingga kau muncul dihadapanku dan ketika aku ragu kau menghilang?"

Bagaimana ia tak menyadari dari dulu akan hal itu. ia selalu bisa nyaman berada disamping Harry, merasa bahagia bisa bersamanya. Itu bukan hanya karena kasih sayang akan sahabat sejati tetapi lebih. Saat Tournament Triwizard satu tahun yang lalu, dirinya selalu dilanda kekhawatiran yang sulit diatasi jika belum melihat keadaan sahabatnya yang terpilih menjadi kontestan dalam turnamen itu. Ia belum pernah sekhawatir itu. Belum pernah merasakan ketakutan yang tinggi jika kehilangan seseorang. Saat kemenangan akhirnya berpihak pada Harry, ia merasa ikut bahagia, bahagia yang belum pernah ia rasakan begitu besar sebelumnya.

Tetapi bagaimana dengan Draco. Dia juga aneh untuk dibandingankan dengan sosok Draco yang sebenarnya ia kenal. Susah untuk membayangkan Draco Malfoy, lelaki kasar dan sok keren menjadi lelaki halus yang nyaman berada didekatnya. Apakah dirinya juga mencintai lelaki yang bahkan takkan peduli jika dirinya kesakitan. Itu tidak mungkin. Jika memang tidak, kenapa Draco muncul sebagai sosok yang kedua. Ia bisa paham jika itu hanya Harry seorang yang menjadi bayangan akan sosok lelaki pujaan hatinya. Tetapi bagaimana ia bisa paham jika Draco juga hadir menjadi bayangan akan sosok lelaki itu. Ia bimbang dengan perasaannya terhadap Draco. Di Hogwarts sekalipun ia selalu menatap lelaki itu penuh kebencian yang sama dengan kedua sahabatnya, Ron dan Harry.

Namun hari ini adalah hari spesial. Ia tak mau pikirannya terganggu dengan hal sepele seperti itu. Persiapan sedang ia buat untuk menghabiskan liburan musim panas di rumah Ron, The Burrow, seperti liburan sebelumnya. Disana ia akan bertemu dengan Harry. Itu akan mengobati kerinduannya.

Surat Harry telah tiba seperti biasanya dihantar oleh burung hantu kesayangannya, Hedwig. Dengan sigap ia segera menghampirinya. Diambilnya surat yang dibawa Harry untuk dirinya lalu membiarkan Hedwig masuk hinggap diatas almarinya. Surat itu berisi :

Dear Hermione,

Sebaiknya kau jangan terlalu mendahului pembelajaran dengan bergadang membaca buku pelajaran. Jaga kesehatanmu. Dan terima kasih untuk kesekian kalinya atas kue yang kau berikan padaku. Kau dan Ron telah menyelamatkan hidupku dari kelaparan bersama keluarga Dursley. Selamat bertemu kembali di The Burrow nanti.

Harry Potter, Your Best Friend.

"Harry aku ingin sekali bertemu denganmu, aku ingin menceritakan mimpi yang kualami..." batin Hermione usai mebaca surat Harry. "tapi apakah mungkin aku mampu mengatakannya.?"

Bayangan akan sosok lelaki itu sekarang tak lagi menghantui Hermione, mungkin karena dirinya telah mengetahui bahwa ia akan segera bertemu dengan Harry di The Burrow. Tetapi bagaimana dengan Draco?.

Satu hal kejujuran yang harus ia akui. Ia merasa nyaman berada di pelukan Draco pada malam itu.