Naruto selamanya milik Bapak Masashi Kishimoto.

.

.

_Uculicious and Gyuya0206_

.

.

Matahari, bintang yang memiliki massa dan berat. Terbentuk sekitar empat koma enam miliar tahun yang lalu akibat peluruhan gravitasi suatu wilayah di dalam sebuah awan molekul besar. Seluruh komponen tata surya termasuk planet dan satelitnya, asteroid, komet, dan debu angkasa berputar mengelilingi matahari, yang menjadikannya sebagai pusat tata surya. Di samping sebagai pusat peredaran, matahari juga merupakan sumber energi untuk kehidupan yang berkelanjutan. Banyak pula yang mengatakan bahwa salah satu faktor planet bumi dapat ditinggali adalah karena bumi mendapat paparan sinar matahari.

Sebagai sumber cahaya dan sumber hidup, tak ayal matahari pun disembah oleh kaum manusia dahulu kala. Dipercayai pula adanya keturunan pemilik kekuatan besar matahari nan agung yang kemudian disebut sebagai dewa matahari. Dari penjuru dunia, penamaan dewa tersebut pun beragam. Ada yang mengenalnya dengan sebutan Helios, Apollo, Ra, Amaterasu. Anyanwu, Wata, dsb.

Semakin berkembangnya zaman, kisah tentang dewa matahari kemudian menjelma cerita. Teredam menjadi sebuah kepercayaan. Sejarah membingkai. Logika mulai membenam kenyataan. Kepintaran manusia turut pula menggeser yang mereka percaya menjadi sebuah ilmu nyata. Mencatat kelogikaan tentang kehebatan matahari ke dalam ilmu Astronomi.

Ilmu itu tidak salah.

Namun, hilangnya kepercayaan manusia tentang kehebatan sosok pemilik kekuatan matahari menyebabkan kisah yang tercatat di dunia tidak sampai mencakup semua kebenaran yang ada. Bagaimana akhirnya zaman para dewa berganti dan kemudian manusia mulai mengambil alih dunia, mereka tidak mengetahui pastinya.

Tetapi dia mengetahuinya. Dia, yang selalu menatap pada benda yang paling bersinar di langit siang. Matahari memiliki peran khusus untuk keberadaaannya di dunia. Mereka—kaumnya—diciptakan sebagai penjaga matahari. Mungkin bagi manusia yang hidup sekarang ini, tugas yang disematkan padanya akan terdengar bagai sebuah lelucon. Sesuatu yang tidak masuk pada logika mereka. Karena sesuai dengan ilmu yang digali oleh kelogikaan mereka, jelas manusia tidak akan memercayainya.

Namun manusia meluputkan apa yang para pendahulunya kisahkan pada mereka.

Legenda menyebutkan bahwa makhluk magis dengan tubuh setengah singa dan setengah elang adalah pemilik tugas tersebut, atau yang dikenal dengan sebutan griffin. Ada pula yang hanya mengingat griffin sebagai kendaraan sang dewa matahari. Dia tidak akan menyalahkan. Ingatan manusia memang tidak pernah bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, yang tercatat oleh mereka hanyalah sisa-sisa yang mampu diingat.

Manusia tidak lagi mengingat ekstistensinya di bumi, seolah dirinya ikut tertelan oleh kisah yang terlupakan. Diketahui, pada masa terakhir periode zaman manusia, zaman besi dikenal sebagai masa yang terburuk karena kebaikan dikalahkan oleh kejahatan. Karena dunia tercemar oleh kejahatan, para dewa pun meninggalkan dunia. Dan ingatan manusia tentang mereka terputus.

Mengurut dari penyebab yang terjadi, kejahatan di bumi disebabkan oleh kotak Pandora yang terbuka lalu segala keburukan pun menjangkiti manusia. Namun masih ada satu yang tersisa di dalam kotak tersebut, yaitu harapan. Harapan inilah yang akhirnya mengiringi berkembangnya kehidupan mereka.

Perkembangan manusia dari zaman ke zaman—setelah para dewa lenyap dari ingatan—tentunya menarik beberapa dewa untuk kembali menguasai bumi. Salah satunya adalah dewa matahari, yang akhirnya menjadi satu-satunya dewa yang berambisi untuk kembali. Dia yang kini menghuni matahari beberapa kali mencoba menerobos keluar. Dan menjadi tugas para griffin-lah agar sang dewa tidak meninggalkan singgasananya. Sudah tak terhitung lagi berapa kali dia bertarung melawan sang dewa. Berhasil menahan sehingga manusia-manusia di bumi terselamatkan.

Pertarungan sengit itu tak pelak menimbulkan kekacauan yang manusia kenali sebagai fenomena badai matahari. Manusia meyakini bahwa badai matahari terjadi karena adanya gejolak di atmosfer matahari yang dipicu terbentuknya bintik hitam. Kondisi ini dapat mengakibatkan loncatan lidah api (solar flare) yang materinya dapat terlontar ke bumi.

Sekali lagi, dia tidak menyalahkan apa yang manusia ketahui dengan logika mereka. Manusia tidak akan pernah tahu betapa kaumnya sekuat tenaga melindungi mereka. Menjaga dari kehancuran abadi, meskipun keberadaan mereka tersapu dalam nyata.

Di balik kaca bening, sinar hangat itu menembus hingga menyoroti hampir seluruh tubuhnya. Kedua tangannya mengait di balik pinggang. Dia mengamati benda terang itu lamat-lamat seolah sinarnya tidak mampu menyengati tubuh. Seolah, dia hapal betul hawa panas sinar sang matahari. Kegiatan ini berulang dia lakukan. Mengulangnya sampai dia tidak ingat lagi sudah berapa banyak dia melakukannya.

Lama mendiami bumi, sosok aslinya pun tersembunyi. Disembunyikan demi bisa berbaur dengan para manusia. Berinteraksi dan menjelajahi seluk beluk hal yang tidak diketahui. Dalam skala waktu dia berpindah ke wilayah baru dan berganti identitas. Mempelajari hal-hal yang tidak didapati di wilayah sebelumnya.

Zaman berkembang, budaya bermunculan. Lagi, dia mengelilingi semua penjuru bumi. Dan sepanjang dia menghabiskan hidup mengikuti arus zaman manusia, menjejaki perubahan demi perubahan, dan menyaksikan mereka berkembang, melimpah pula kekecewaan yang tertelan olehnya.

Keserakahan manusia menempati urutan pertama. Bagaimana dengan tanpa teganya mereka menghancurkan alam sehingga yang didengarnya setiap malam adalah tangisan sendu jiwa-jiwa pepohonan yang tersakiti. Tanah-tanah meronta dipasak tajam mendalam. Mereka berteriak, mereka menangis, dan sayangnya hanya kaumnya yang mampu mendengar. Manusia telah menuli.

Tidak hanya itu, perlahan rasa muak memupuk subur mana kala dia mengetahui tidak hanya pada alam kekejaman terjadi. Sifat egois mereka, dia begitu membencinya. Kasih sayang menipis terkikis zaman. Manusia tidak lagi ragu menghabisi kaumnya sendiri. Hati mereka seolah mati membusuk dan tak terselamatkan lagi.

Kemarahannya menggejolak. Membakar panas bagai bara yang terus menyala tertiup angin. Di sekelilingnya dia selalu menyaksikan. Mata picik menatap penuh kelicikan. Bisikan jiwa haus dan kelaparan. Bau-bau busuk niatan jahanam. Kesadisan yang tersembunyi di balik senyuman. Dia melihatnya, dia mendengarnya. Tetapi perintahnya berkata lain. Dia tidak bisa menghentikan mereka.

Kerusakan itu tidak dapat dia perbaiki. Yang dilakukannya hanyalah mengamati sampai rasanya dia benar-benar ingin mati. Dia ingin mengakhiri. Dia sudah terlalu jenuh. Terlalu lelah untuk menghitung waktu yang berdetak. Seberapa banyak dia berpikir, lambat laun tidak ada lagi keinginan untuk bertahan dan mempertahankan hidup manusia.

Tugasnya pun, dia tidak ingin lagi menjalani.

00000

Suara ketukan pintu menarik kesadarannya dari ritual menatap matahari. Rutinitas wajib yang pasti takkan terlewati. Dari balik jendela besar yang berukuran hampir setinggi tubuhnya, dia mengamati. Berharap sesuatu yang telah lama dinanti akan tiba hari ini.

Ketukan di pintu kembali menginterupsi, seolah memanggil-manggil sehingga mengacaukan konsentrasi. Pada ketukan ketiga dia segera menyahut, karena hanya itulah cara menghentikan suara penggangu kegiatan ritualnya. Posisinya tidak berubah. Tanpa perlu berbalik pun dia bisa mengetahui siapa yang mengetuk pintu ruangannya.

"Dokter. Haruno-san sudah tiba," ucap Temari, seorang wanita berumur tiga puluh lima tahun yang menjabat sebagai asistennya sejak dia memutuskan untuk membuka praktik sendiri.

Dia bergeming. Benda langit itu masih menyedot perhatiannya. Dia menyadari sesuatu. Matahari tak bersinar wajar. Benda itu menampakkan tanda-tanda tak lazim bentuk pemberontakan sang dewa. Ini bukanlah sekadar firasat. Sebagai penjaga matahari, mereka pasti bisa menyadari keanehan yang muncul. Sang dewa mulai berulah. Akhirnya.

Setengah menit kemudian dia berbalik, menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan. Pintu ditutup. Pandangnya kini tertuju pada kalender duduk yang terletak di tepi kanan atas meja kerjanya. Terfokus menatap tahun yang tertera di sana.

2050.

Hampir lima belas tahun dia menanti datangnya masa-masa ini. Menunggu sang dewa memberontak lagi. Rupanya tak salah dia memilih Jepang sebagai tempat hidupnya sekarang. Alasannya bisa dibilang cukup sederhana, karena Jepang memiliki sebutan sebagai Negara Matahari Terbit. Masih bersangkutan dengan matahari sehingga mungkin saja di sinilah segalanya akan berakhir. Keinginannya bisa terpenuhi. Matahari tidak akan pernah terbit lagi.

Senyum tersungging tanpa sadar. Dia merasa begitu senang sampai tidak menyadari pintu terbuka lagi, menampilkan seorang perempuan berambut merah muda berjalan masuk ke ruangannya. Manusia bermasalah, begitulah dia melabeli semua orang yang datang dan akan berurusan dengannya. Apa lagi? Pekerjaannya sebagai seorang psikiater pastinya memang menangani masalah-masalah yang mereka alami. Lebih pada kejiwaan mereka. Jiwa manusia-manusia rusak.

Tidak. Dia mengambil pekerjaan ini bukan untuk memperbaiki mereka. Puluhan tahun lalu dia sudah menyerah atas keinginan mulia itu. Bahkan dia sendiri telah berserah pada lelah, meski terkadang secuil harapan masih suka meradangi, tetapi ujung-ujungnya dia kembali memilih tak peduli.

Dan menjadi psikiater tentunya bukan tanpa sebuah alasan. Malah memiliki lebih dari satu alasan.

Pertama karena dia telah mencoba segala profesi di bumi, kecuali astoronot. Bukan bermaksud untuk sombong, tetapi dia sudah menjelajahi luar angkasa jauh-jauh sebelum manusia menemukan roket sebagai transportasi keluar bumi. Dan lagi, dia bisa melakukannya kapan saja. Kapan pun dia ingin. Jadi, astoronot tidak akan pernah masuk ke dalam daftarnya sehingga menyisakan psikiater pada urutan terakhir.

Lagi pula dengan menjadi seorang psikiater bisa membuatnya merasa bahwa dia tidaklah sendiri. Dia tidak akan munafik. Dengan berani dia mengakui kalau dirinya pun bermasalah. Keinginannya untuk mati adalah permasalahan terpenting. Mengkhianati tugasnya sendiri adalah masalah lainnya. Dan bertemu dengan orang-orang bermasalah membuatnya merasa ringan. Setidaknya hal itu sedikit memberi kelegaan. Bukan hanya dia yang bermasalah, begitu pikirnya. Dan itu menjadi alasannya yang kedua.

Sang pasien yang telah membuat janji temu sebelumnya kini telah menduduki kursi. Mereka duduk berhadapan dengan meja sebagai pemisah.

"Jadi Haruno-san, saya dokter Uchiha." Dia memperkenalkan diri lalu tertawa dalam hati, menertawakan dirinya sendiri. Sesungguhnya dia tak pantas menyandang predikat seorang dokter karena dia pun tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang duduk menghadapnya, yang meminta pertolongan dan bantuannya, sedangkan dia tidak bisa menolong dirinya sendiri.

Pasien yang bernama Haruno Sakura itu menganggukkan kepala dengan kaku. Mata hijau wanita itu melirik sekilas pada papan bening bertuliskan nama lengkap sang dokter, namanya: Uchiha Sasuke.

00000

Ketika dokter Shizune, psikiaternya selama bertahun-tahun menyarankannya untuk menemui psikiater lain yang lebih hebat, Sakura mengira dia akan melihat seorang pria paruh baya berkacamata dengan pembawaan seorang ayah yang mencintai anak-anaknya. Dia berharap. Penting baginya untuk bertemu orang-orang yang akan membuatnya tenang di situasi yang tak menyenangkan. Seseorang yang memberikannya, tak hanya terapi sesuai prosedur pengobatan, tetapi juga sebuah tempat di mana dia nyaman untuk bercerita.

Tapi yang kini duduk di balik meja besar berwarna putih di hadapannya, sama sekali berbeda dari bayangannya. Seorang pria, berusia tak lebih dari tiga puluh tahun. Penampilannya lebih cocok jika disandingkan pada pekerjaan yang lebih besar, lebih tinggi jabatannya. Sakura membayangkan sebuah ruangan mewah di salah satu lantai gedung pencakar langit. Pria ini berdiri di tempat itu, di hadapan sebuah jendela besar, sementara orang-orang berlomba-lomba untuk membuatnya senang.

Seorang miliarder. Seorang pengatur. Seseorang yang mengintimidasi.

Atau mungkin, seorang panglima perang.

"Jadi Haruno-san, saya dokter Uchiha." Pria itu memperkenalkan diri. Caranya berbicara terdengar sangat berpendidikan. Nada suaranya menyenangkan. Tapi ada sesuatu yang sinis dari cara pria itu menyebutkan namanya sendiri. Sakura mengamatinya dengan rasa ingin tahu yang teramat besar. Rasa ingin tahu yang mendorongnya untuk membalas tatapan pria itu.

Sakura mengangguk kaku.

Dia tak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Dia tak tahu harus memulainya dari mana. Mungkin perilakunya bisa disebut sebagai kemunduran dalam bertingkah laku. Padahal dokter Shizune sudah sering menganjurkan padanya untuk memulai sebuah percakapan dengan orang lain. Namun orang asing masih membuatnya berkeringat dingin.

Dokter Uchiha meraih sebuah rekam medis yang sejak tadi memang sudah ada di atas meja putih di hadapan mereka. Sakura menebak itu adalah miliknya, dan sudah jelas memang seperti itu. Beberapa detik lagi Sakura habiskan dalam diam. Dia mulai meragukan kemampuan dokter Uchiha dalam bidangnya. Sebab psikiater yang Sakura temui sebelum dokter muda ini selalu memiliki pembawaan yang ramah dan terbuka. Dia menyimpulkan itu adalah syarat wajib untuk menjadi seorang psikiater.

"Aku sudah membaca rekam medis yang dokter Shizune kirimkan," kata dokter Uchiha. Raut wajah pria itu menjadi lebih menyenangkan dibanding tadi. "Aku harap kau tak keberatan jika kita memulai semuanya dengan lebih akrab?"

Permulaan standar, batin Sakura. Psikiater selalu memulainya dengan cara seperti ini, melepas sikap formal. Sakura tak bisa mencegah dirinya untuk berpikir skeptis. Setidaknya dokter ini tak terlihat seperti orang yang suka menculik wanita muda. Namun dia belum begitu yakin. Penampilan bisa sangat menipu.

Sakura menggeleng sambil menundukkan kepalanya. Dia mulai lagi, bersikap sangat curiga pada setiap hal, setiap orang yang dia temui untuk pertama kali. Kapasitasnya akan berkurang setelah beberapa pertemuan. Namun kecurigaan itu tak pernah bisa benar-benar hilang.

Ketika dia mengangkat kepala, dokter Uchiha sedang mengamatinya dalam diam.

"Apa aku membuatmu cemas?" tanya sang dokter.

Sakura mengangguk sekali.

Dokter Uchiha menutup rekam medisnya seketika, dan mendorong benda itu ke pinggir meja. Senyuman tipis menghiasi bibir pria itu. "Kau memilih warna yang sangat unik untuk rambutmu." Perkataan dokter Uchiha mau tak mau membuatnya sedikit merasa santai. Dia selalu suka membicarakan tentang rambutnya.

Tanpa sadar Sakura mengangkat tangannya, melilitkan sejumput rambut merah muda sebahu itu di satu telunjuknya. "Maksudmu mencolok?" Dia tersenyum. "Warna aslinya mahoni. Tapi aku memutuskan untuk mengecatnya menjadi merah muda beberapa tahun yang lalu." Sakura melirik pada dokter Uchiha yang mendengarkan ceritanya dengan saksama.

"Kadang-kadang, semua ingatan tentang masa lalu membuatku sangat gugup," tambah Sakura. "Aku melakukan usaha apa pun dokter, agar bisa sembuh." Sakura merasa tak perlu menambahkan bahwa rasa gugup bisa membuatnya sulit bernapas, dan dia tak mau itu terjadi disaat dia hanya tinggal sendirian di rumah. Dia yakin sekali dokter Uchiha sudah mengetahuinya.

Pria itu terdiam lagi sejenak, namun tidak lama. Ketika dia berbicara, suaranya terdengar bijak dan menguatkan. "Kau sudah melakukan hal yang tepat untuk dirimu sendiri." Lalu. "Aku sudah membaca rekam medismu berkali-kali, Sakura," ujar sang dokter, tak terlihat segan menyebut nama panggilannya. "Aku akan menjabarkannya secara singkat agar tak ada kesalahan. Apa kau tak masalah dengan itu?"

"Tidak masalah," jawab Sakura tenang.

Dokter Uchiha kembali tersenyum tipis. "Kau bisa memintaku berhenti jika itu mulai mengganggumu." Setelah Sakura kembali mengangguk, pria itu melanjutkan. "Post Traumatic Stress Disorder, PTSD."

"Stres Pasca Traumatik." Sakura menyambung kalimat sang dokter.

Dokter Uchiha tampak terkejut dalam beberapa detik. Dan pria itu memilih untuk mengatakan alasannya. "Kau begitu terbuka."

Sakura tersenyum. "Tak semua orang sakit terlihat sakit, dokter," katanya. "Walaupun aku lebih tenang jika tak membahasnya." Dia mengangkat bahu. "Namun itu namanya melarikan diri. Sedangkan aku harus menghadapinya agar bisa sembuh dan dapat hidup lebih lama."

Ada sesuatu yang terjadi pada dokter Uchiha ketika Sakura mengutarakan keinginannya untuk sembuh dan dapat hidup lebih lama. Mata pria itu terlihat berkilat, dalam artian yang sebenarnya. Sakura berpikir mungkin dia salah lihat. Mungkin itu hanya pantulan sinar lampu yang tepat berada di atas kepala mereka. Udara di sekitar mereka juga terasa menyempit. Pendingin ruangan seolah tak lagi berguna. Hawa panas itu, Sakura duga, berasal dari tubuh dokter Uchiha. Pemikiran itu sedikit tak masuk akal, karena manusia tak mungkin memiliki hawa panas yang bisa memengaruhi udara di sekitarnya, dalam artian sebenarnya.

"Kau mengalami penculikan di usia empat belas tahun." Dokter Uchiha melanjutkan. "Sebuah penculikan bukan dengan tujuan untuk meminta tebusan." Sakura mulai merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya seiring dengan kalimat yang keluar dari mulut sang dokter. "Kau berhasil menyelamatkan diri." Sakura mengangguk. Dia memang berhasil menyelamatkan diri, tapi ada sesuatu yang membuat kenangannya tetap tertinggal di tempat itu untuk waktu yang lama; membuatnya mulai mengalami mimpi buruk yang berulang-ulang.

"Apa yang kau lakukan setelah itu, Sakura?" tanya dokter Uchiha.

"Aku melanjutkan hidup. Tapi ...,"

"Tapi kau mulai mengalami mimpi buruk," sambung dokter Uchiha. "Apa kau yakin kau ingin meneruskannya?" Sakura kembali mengangguk. Dia harus menghadapinya lagi dan lagi, sampai kenangan itu tak membuat perasaannya campur aduk.

"Aku mengalami mimpi yang sama berulang-ulang," kata Sakura. "Aku mulai mencurigai setiap orang yang kutemui di jalanan. Aku pikir itu hanya akan berlangsung sementara. Tapi lalu ... lalu ... Tayuya ditemukan. Dan aku ... kupikir dengan aku memercayakannya pada polisi, maka aku akan kembali bertemu dengannya. Tapi dia, dia ... itu sudah terlalu lama."

Kenangan lama itu kembali memasuki kepalanya, menyerangnya tanpa ampun seolah baru terjadi kemarin hari, bukannya dua belas tahun yang lalu. Waktu membuat kenangan itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih menakutkan. Dia melihatnya lagi, seperti sebuah film yang ditayangkan terus-menerus, dengan dia sebagai penonton di baris terdepan. Seolah dia ada di sana sebagai pemerhati atas apa yang terjadi.

00000

Sebuah bangunan kayu tinggi bekas peternakan terlihat masih berdiri kokoh di sebuah lapangan luas yang jauh dari keramaian. Hari itu mendung. Awan kelabu menutupi hampir seluruh warna biru indah langit. Namun hujan terlihat masih enggan untuk turun. Didalam bangunan, di tengah ruangan yang luas, seorang gadis berwajah oriental berseragam SMA duduk lemas menunduk tak berdaya dengan dua kaki terantai. Ada satu bulatan berbentuk kelereng berukuran raksasa, terbuat dari logam, tersambung erat dengan rantai yang melilit kaki-kaki putih gadis itu, menyebabkan ruam kebiruan dan lecet permanen yang masih mengeluarkan darah sedikit-sedikit.

Jika diperhatikan lebih jauh, di sudut belakang, di tempat yang tak terkena cahaya, ada gadis lainnya yang tergeletak tanpa ada luka sedikit pun di sekujur tubuhnya selain luka yang telah mengering di keningnya. Hal itulah yang tampaknya menjadi penyebab gadis itu pingsan sekian lama. Sang gadis memiliki wajah mungil, campuran antara barat dan timur, dengan rambut pendek seperti pria, berwarna mahoni. Tubuhnya kecil, dengan lekuk yang belum terbentuk sempurna. Tubuh kecil itu terbalut seragam SMP yang telah berdebu dan kotor.

Tak bisa diperkirakan sudah berapa lama mereka berada di dalam bangunan itu, karena memang tak ada satu orang pun dari mereka yang sadar cukup lama untuk bisa melihat siang dan malam yang berganti. Gadis yang dirantai di tengah ruangan mungkin yang paling sering sadar walau sebentar, seperti sekarang ini. Ketika dia mengangkat kepalanya, maka baru terlihat lebam-lebam di sekitar mata dan pipinya. Noda darah yang telah mengering ada di sudut-sudut bibirnya.

"Sakura," panggilnya lemah seraya berusaha memalingkan wajahnya ke belakang, ke arah gadis berseragam SMP. Gadis yang dipanggil masih bergeming.

"Sakura," panggilnya lebih keras, dan seketika meringis karena luka di bibirnya.

Sakura, gadis yang dipanggil, mengerjapkan matanya sekali. Terdengar erangan dari mulutnya yang kecil, kemudian terdiam lagi. Gadis itu sepertinya enggan membuka mata, takut dengan apa yang akan dia dapati begitu melakukannya. Tapi panggilan itu akhirnya memaksanya untuk terbangun dan merespon.

Dia berusaha duduk, sedikit merasakan pening di kepalanya. Satu erangan keluar lagi dari mulutnya saat dia memaksa tubuhnya untuk berdiri dan berjalan tertatih menuju pemilik suara lembut yang memanggilnya. Dia sempat terjatuh beberapa kali karena kaku di kakinya yang sudah tak digerakkan entah berapa lama.

"Tayuya," katanya lirih, tercekat setelah melihat gadis yang memanggilnya tadi dari dekat. "Apa yang mereka lakukan padamu?" Dia tersedak tangisnya sendiri.

"Sakura, dengarkan perkataanku baik-baik." Sakura mengangguk. Tayuya berusaha untuk tersenyum, terlihat berusaha untuk tetap tegar. "Sakura, kau harus pergi dari sini." Sakura membelalakan matanya kemudian menggeleng kuat-kuat.

"Kita akan pergi bersama," kata Sakura masih dengan air mata yang mengalir di pipinya.

"Aku tak bisa pergi Sakura."Mereka melihat sedih pada rantai di kaki Tayuya.

"Aku akan membuka rantainya."

"Kau tak akan bisa," potong Tayuya. "Lagipula kita tak memiliki cukup waktu.Mereka akan segera kembali," desaknya.

Sakura kembali menggeleng. Tangisannya semakin deras dan sesenggukan. Dia menarik rambut pendeknya frustrasi. Matanya nyalang menatap Tayuya yang masih berusaha tetap tenang dan menenangkan.

"Tayuya." Sakura berlutut di hadapan gadis yang lebih tua tiga tahun darinya itu.Kemudian lengannya terulur, memeluk erat tubuh ringkih dan penuh luka itu. Mereka menangis bersama. Keputusan telah dibuat saat itu.

"Pergi Sakura, pergilah! Setidaknya ada salah satu dari kita yang selamat," kata Tayuya disela isak tangis. "Lagi pula, kau bisa mencari bantuan dan membawaku pergi dari sini," tambahnya.

"Berjanjilah untuk bertahan," kata Sakura dengan suara bergetar.

"Aku berjanji, aku berjanji akan bertahan untukmu," Tayuya meyakinkan. "Aku berjanji" ulangnya lagi.

Sakura melepas pelukannya, menatap Tayuya untuk terakhir kali sebelum berbalik dan berlari ke arah pintu, terkunci. Dia gemetaran dan tak dapat berpikir secara jernih. Dia hanya bergerak secara insting saat memanjat di antara celah-celah dinding kayu untuk mencapai jendela tanpa kaca yang tak terlalu tinggi. Dia berhasil sampai ke atas, mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan melompat ke luar bangunan. Tubuhnya terbanting menyakitkan. Seiring dengan itu hujan turun dengan sangat deras. Dia berjalan tertatih-tatih menembus tangisan langit itu dengan satu tujuan pasti. Dia harus mencari bantuan.

00000

Sakura merasakan seolah bumi terbelah dua. Perutnya terasa mual. Perasaannya campur aduk; putus asa, marah, gelisah, merasa terasing dan sendirian, semuanya menjadi satu. Dia kira dengan mengentakkan tubuhnya, rasa mual itu akan hilang. Dia juga mengira dengan menarik napas kuat-kuat, semuanya akan menjadi baik.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kini dia mulai merasa kesulitan untuk bernapas. Tubuhnya mati rasa. Samar-samar dia masih bisa mendengar seseorang memanggil namanya, mengangkat tubuhnya, memasangkan alat bantu pernapasan di bagian mulut dan hidungnya. Namun rasa mual itu belum juga hilang. Perasaannya semakin campur aduk. Seluruh tubuhnya mulai merasa kesakitan. Jadi dia kembali mengentakkan tubuhnya, semakin keras.

"Sakura, dengarkan aku." Suara seseorang berbisik di telinganya. "Aku dokter Uchiha, dan kau mengenalku. Kita sedang berada di ruang praktikku. Kau aman di sini."

Sakura menggelengkan kepalanya. Lengannya terulur ke depan, merasakan seseorang menggenggam telapak tangannya.

"Selamatkan dia." Sakura memohon. Suaranya bercampur dengan isak tangis yang membuat tubuhnya bergetar hebat. "Selamatkan dia. Selamatkan Tayuya," tambahnya lagi. Lebih memaksa dari sebelumnya. "Aku kembali ke sana, tapi dia sudah tidak ada. Kumohon, selamatkan dia."

Napasnya masih terasa sesak. Sesuatu yang berat seolah menimpa paru-parunya dengan sedemikian rupa. Bayangan tentang Tayuya masih berkelebat di kepalanya, bercampur dengan hujan, dan pemandangan jalanan sepi yang merenggut kesadarannya.

Tapi hal itu membawanya kembali pada masa sekarang.

Tubuhnya sudah terbaring di atas tempat tidur pasien. Alat bantu pernapasan terpasang di bagian mulut dan hidungnya. Di sebelah ranjang putih tempat dia terbaring dengan keringat yang membuat pakaiannya terasa lembab, seorang pria—dokter Uchiha—berdiri sambil menggenggam telapak tangannya.

"Selamat datang kembali," ujar dokter Uchiha, terlihat lega.

Sakura menampilkan senyum lelah. "Bisakah kau membuatku tetap hidup, dokter?"

Bersambung.

Author di pojokan.

Hallo, saya Gyuya0206. Ini adalah FF collab pertama saya. Behind the story akan diperjelas oleh rekan saya Ucul *dicubit*

*nangkep mic*

Hmmm, Hai ^^

Behind the story-nya ... Jadi, semua bermula sejak negara api menyerang *dilempar* hahaha. Awalnya dapet PM trus diajakin collab, berhubung saya suka sekali sama tulisan dan cerita2 Gyuya, maka saya tidak menolaknya hahahaha. Saya juga belum pernah benar-benar collab, jadi ini juga pengalaman pertama buat saya.

Semoga suka ceritanya. Kami ngak punya jadwal publish, jadi ditunggu saja. Jangan tanya berapa chapter krn kami juga ngak tau hehehe. Terus rencananya cerita ini akan kami publish juga di wattpad, yang diubah menjadi orific. Gyuya bagian publish di wattpad, saya bagian FFN, dan dengan kesepakatan bersama cerita ini dipublish di akun FFN saya.

Terima kasih.

_ Ucul dan Gyuya_