Orang biasanya memanggilmu dengan sebutan Naruto.

Yeah, hanya Naruto tanpa nama marga. Karena kamu tak pernah tahu siapa keluargamu.

Umurmu masih menginjak empat belas tahun saat ini.

Masih dibilang muda untuk anak seusiamu yang melakukan pekerjaan berbahaya sepertimu. Berkeliaran tiap waktu di tempat yang ramai oleh publik. Kamu selalu menggunakan pakaian yang hampir menutupi seluruh ciri-ciri tubuhmu yang mencolok. Dengan topi sport hitam untuk menutupi rambut jabrikmu yang berwarna kuning. Dan dibalik penutup topimu, matamu yang berwarna biru cerah kamu tutupi dari tatapan orang-orang disekitarmu. Tapi matamu itu tetap terpasang rapat untuk mengamati seluruh gerak-gerik orang yang melewatimu.

Kamu menyunggingkan senyummu, saat kamu dapati orang yang tepat sebagai targetmu pada hari ini. Dengan langkah yang mantap, kamu tegapkan tubuhmu yang semula bersandar di dinding stasiun. Berjalan mendekati si target yang menurutmu sangat lengah akan keadaannya sendiri. Tak butuh waktu lama. Cukup sekitar dua puluh detik, kamu sudah keluar dari kerumunan orang-orang. Dengan senyumanmu yang semakin lebar, seraya menepuk saku jaketmu yang sudah mengembung karena berisi.

Selang beberapa menit kemudian, dari kejauhan, sayup-sayup kamu dengar suara teriakan panic dari si target barusan. Sang korban telah menyadari, bahwa barang berharganya telah dicopet. Kamu berusaha keras untuk menghiraukan suara itu, dan mempercepat langkahmu sebelum orang-orang menyadari siapa dirimu.


C O P E T

By Sayaka Dini-chan

Naruto © Masashi Kishimoto

Naruto =love= Hinata

4EVER!

C O P E T


Kamu datang ke tempat perkumpulannya teman-temanmu, seperti biasa, suasana di sana tak pernah berubah dengan hari-hari sebelumnya. Berbagai orang dengan usia yang berbeda-beda, hampir menghabiskan seluruh waktunya di tempat itu. Di bawah jembatan tol yang kumuh.

Kamu menghampiri beberapa anak sebayamu. Tak lupa kamu memamerkan gigimu yang bersih, berharap dengan begitu, teman-temanmu ikut ceria seperti dirimu. Dan hal itu selalu berhasil kamu lakukan. Anak-anak kecil lainnya yang sudah melihat gelagat kedatanganmu, langsung mengerubunimu dengan wajah berbinar mereka.

Cengiranmu semakin lebar, saat kamu mengeluarkan semua isi jaketmu, disambut sorakan bahagia dari teman-temanmu dan beberapa anak kecil di bawah umurmu –yang wajahnya kotor oleh debu.

Berbagai macam benda kamu bagikan pada anak-anak polos itu, apa saja, meski itu Kartu Tanda Penduduk, kartu nama, dan berbagai kartu yang anak-anak itu sendiri tak mengerti apa artinya, mereka hanya gunakan benda tipis dan tak gampang robek itu sebagai mainan anak-anak yang berharga 'mahal' katamu.

Sementara teman-teman sebayamu –yang tak pernah kamu lupakan. Kamu bagikan tiga isi dompet dengan rata pada mereka, tak lupa kamu sisakan buat dirimu sendiri, juga buat setoran untuk 'pajak' tak tertulis pada para preman yang sudah menatapmu sinis dari kejauhan. Tatapan tajam mereka seolah mengatakan 'Berikan padaku. Atau kau dan semua orang di sini mendapatkan masalah besar.'

Begitulah kehidupanmu. Kamu sendiri tak pernah ingat sebelumnya. Kapan kegiatan ini semua bermula? Bahkan, kamu tak pernah ingat. Kenapa kamu berada di tempat yang bukan di tempatmu sebenarnya? Dan di mana kamu bearasal? Belum ada yang bisa memberimu jawaban untuk saat ini.

Kamu menjalani semua ini, tanpa merasa beban. Merasa semuanya baik-baik saja, dan merasa tak ada yang salah dengan apa yang kamu lakukan. Kadang kamu merasa mencopet atau mencuri adalah permaianan anak kecil yang menyenangkan, tanpa mau ambil pusing dengan resiko besar yang mungkin menimpamu kapan saja. Karena kamu tahu, melakukan hal ini semua untuk kebaikan orang disekelilingmu. . . .

Sampai akhirnya, seorang anak perempuan akan mengubah jalan pandang hidupmu. . . tunggu saja Naruto. . .

Dia akan datang dalam kehidupanmu. . .

.

C O P E T

.

Kamu langsung melompat cepat ke dalam bus. Kakimu yang tak terlalu panjang karena usiamu yang masih empat belas tahun, mengakibatkan tumpuan kakimu tak stabil, tubuhmu oleng ke belakang, nyaris jatuh di atas aspal, beruntung ada orang dewasa yang meraih lenganmu, menarikmu ke atas dan menutup pintu bus di belakangmu, transportasi umum itu pun berjalan menuju halte selanjutnya.

"Wow. Nyaris saja kau jatuh nak," ujar pria paruh baya yang baru saja menolongmu itu.

Kamu hanya menampakkan cengiranmu seperti biasa. Menandakan kamu kini sudah tidak apa-apa. "Terima kasih paman."

'Huf, nyaris saja.' Dalam hati kamu menyeka keringat panikmu, dan mencoba mengatur nafasmu yang terengah-engah. Nyaris saja yah, Naruto. Kalau kamu terlambat beberapa detik saja, untuk lari ke arah halte dan melompat cepat ke dalam bus yang sudah mau berangkat kembali. Kamu pasti saat ini sudah menjadi bulan-bulanan masa yang mengamuk di tempat kamu bereaksi tadi. Sedikit keberuntungan lagi-lagi memihak padamu Naruto.

Kamu berjalan, mencari bangku penumpang yang masih kosong. Tapi, baru tiga langkah, kakimu sudah kesandung dengan kaki penumpang lainnya. Sialnya kamu terjatuh sambil beraduh "wuaa!", membuat kamu berjongkok di atas lantai bus. Topi yang kamu genakan ikut terlempar ke depan. Semua mata penumpang kini tertuju padamu. Termasuk pemilik kaki –sang tersangka utama akan isiden ini.

"Hei! Apa yang kau lakukan disitu?" tanya si pemilik kaki yang barusan membuatmu tersandung.

Wajahmu berkerut menahan kesal, mendengar si 'tersangka' berucap dengan nada yang sama sekali tak sopan. Kamu menoleh, mendapati si pemilik kaki, yang ternyata adalah salah satu preman jalanan yang kamu kenal. Nyalimu yang semula ingin memprotes, kini lenyap.

"Kau tak apa-apa?" terdengar suara lain. Yang pasti bukan dari preman maupun pria paruh baya di belakangmu tadi. Karena suaranya terdengar lebih lembut. Kamu menengadah ke depan, tepat ke sumber suara, seorang anak perempuan mengulurkan tangannya padamu. Sejenak hatimu merasa lega, setidaknya masih ada yang berbaik hati menolongmu. Kamu menyambut tangan tersebut, untuk membantumu berdiri.

"Ini topimu 'kan?" anak perempuan itu menyerahkan topi sport hitam milikmu.

"Terima ka. . .sih," ucapanmu yang semula bersemangat, mendadak memelan saat kamu bisa melihat dia lebih jelas lagi.

Matamu terpaku. Kamu terkejut, menatap langsung mata anak perempuan di hadapanmu. Warna pupilnya nyaris menyatu dengan warna putih, jika dilihat sepintas. Satu pertanyaan langsung muncul dalam benakmu.

"A-aku tidak buta kok," kata anak perempuan itu, seolah ia tau arti tatapanmu padanya. Perkataannya mulai gugup, takut karena kamu menatapnya dengan lekat.

Kamu langsung sadar dengan apa yang baru saja kamu lakukan. "Ah, maaf. Aku tidak bermaksud un–"

"Tak apa," matanya kembali fokus padamu, dan saat itu pula kamu sadar. Warna pupil matanya tidak sepenuhnya putih. Melainkan berwarna biru keabu-abuan. "Nih," sekali lagi, anak perempuan itu menyerahkan topimu yang sejak tadi belum kamu ambil kembali.

"Eh? I-iya. Terima kasih sekali lagi," kali ini giliranmu yang gugup.

"Sama-sama,"

Anak perempuan itu kini berbalik membelakangimu. Namun baru satu langkah, ia kembali mengambil langkah mundur.

Kamu mengerutkan keningmu heran, "kenapa?" tanyamu padanya.

Anak perempuan itu menoleh. "I-itu. Bangkuku tadi sudah diduduki penumpang lain."

"He? Gara-gara kau menghampiriku yah? Maaf."

"Nggak juga. Aku senbentar lagi mau turun di halte berikutnya kok. Tenang saja."

"Oh, ."

Dan kini anak perempuan itu berdiri di sampingmu. Dia memegangi kursi penumpang sebagai penyangga agar posisi tubuhnya tetap stabil dalam pergerakan dari bus yang mereka tumpangi.

Sesekali kamu meliriknya melalui ekor matamu. Anak perempuan itu menggenakan seragam sekolah, menandakan dia baru saja pulang sekolah karena kini sudah menjelang sore hari. Rambutnya berwarna indigo, pendek, mirip potongan anak laki-laki, kecuali poninya yang lebat dan beberapa helaian rambut yang membingkai wajah bulatnya.

Warna kulitnya putih. Membuatmu agak takjub, karena ini pertama kalinya kamu menemui anak perempuan yang berkulit bersih seperti dia. Teman-temanmu sudah pasti tak ada yang bisa menandingi kulitnya. Apalagi bau shamponya, harum, wangi, menusuk hidungmu. Padahal sudah sore, kenapa wanginya masih terasa yah?

"A-a-apa yang kau lakukan?"

Kamu berjengit kaget, saat kamu sadar, apa yang baru saja kamu lakukan: Mengendus puncuk kepala anak perempuan itu yang pendek beberapa senti darimu. Kamu melihat wajah anak perempuan itu yang memerah dan menjaga jarak denganmu.

"A-a-aku," tak bisa menjawabnya dengan jujur. Wajahmu juga ikut memerah, menahan malu atas tindakan sembronomu barusan.

Bus mendadak mengerem. Sebenarnya hanya berhenti seperti biasa. Tapi bagimu ini sangat mendadak. Karena secara bersamaan, anak perempuan di hadapanmu yang sudah tak berpegangan lagi, jatuh ke arahmu.

Beruntung daya tangkapmu sangat kuat. Kamu menangkap tubuhnya dengan gesture yang SANGAT baik. Hingga posisi kalian terlihat seolah kamu mendekap anak perempuan tersebut.

"Ehm. Anak zaman sekarang. Kecil-kecil udah berani pacaran di bus umum," celetuk pria, alias preman 'kenalan'mu, sengaja dengan nada dibuat-buat, bermaksud menggodamu yang dapat kesempatan untuk memeluk anak perempuan tersebut.

Tubuhmu awalnya beku, terkejut dengan bunyi degup jantungmu yang mendadak semakin keras. Kamu langsung melepaskan pelukanmu setelah mendengar celetukan si preman. Anak perempuan tersebut juga menjauh. Tak beda jauh darimu. Wajah anak perempuan itu juga memerah.

Butuh sepersekian detik bagimu, untuk bisa menormalkan keadaanmu kembali. Kamu lalu berdehem. "Kau tak apa-apa? M-maaf, yang tadi aku tidak sengaja, beneran deh."

"Tak apa," anak perempuan itu menunduk. "T-terima kasih," dan dia segera pergi meninggalkanmu. Seperti yang baru saja dia katakan beberapa menit tadi, di halte inilah dia turun.

Kamu masih terpaku. Sebelum akhirnya kamu menghela nafas panjang dan mengelus dadamu. Menenangkan dirimu yang barusan merasa hampir terkena gagal jantung.

"Hei!" panggil preman yang masih duduk di kursi penumpang, tepat di sampingmu berdiri. "Jangan lupa. Berikan juga bagianku," bisiknya seraya menyeringai.

Kamu tersentak. Hendak bertanya, namun matamu yang tidak sengaja memandang benda persegi di genggamanmu, langsung memberi efek kejut yang dahsyat, sehingga otakmu baru menyadari suatu hal yang hampir tertinggal.

Yaitu: tanpa sadar, saat kamu menangkapnya atau lebih tepatnya memeluk anak perempuan tadi. Saraf tanganmu bergerak sendiri, seolah sudah hafal dimana letak benda favoritmu yang selalu kau incar itu, dan mengambil benda tersebut. Intinya. Kamu sudah mencopet dompet anak perempuan tadi.

"Oh tidak!" entah kenapa kamu merasa menyesal telah berhasil mencopet, untuk pertama kalinya dalam hidupmu. Eh? Benar 'kan Naruto?

.

C O P E T

.

Kamu membuka dompet lavender yang 'tanpa sadar' kau copet tadi sore. Tujuh lembar uang di dalamnya sudah ludes kamu ambil. Kini yang tersisa hanya selembar foto anak perempuan itu, dan beberapa kartu di dalamnya.

Ada satu kartu yang menarik perhatianmu, kartu identitas siswa. Dari benda tipis itu kamu bisa mengetahui, dimana ia bersekolah? sebagai siswa kelas dua smp, dimana juga alamat rumahnya? Termasuk siapa nama anak perempuan itu, Hyuuga Hinata.

Kamu penasaran. Entah kenapa, rasa ingin bertemu dengannya lagi muncul dalam benakmu. Akhirnya, kamu memutuskan ingin menemuinya.

Esok harinya. Setelah kamu selesai dari 'pekerjaanmu' sehari-harimu, kamu tidak langsung pulang ke bawah jembatan. Kamu malah berbelok arah, menuju ke sekolah Akayama, tempat Hinata menuntut ilmu.

Kamu menunggu dari kejauhan. Tak lama, kamu melihat gerbang sekolah itu terbuka. Beberapa anak berseragam, berhamburan keluar melalui gerbang sekolah tersebut.

Kamu mengintai dengan lekat setiap anak perempuan yang keluar dari gerbang sekolah. Mata birumu yang sudah terlatih melihat dengan jelas dari jarak jauh, sangat membantumu untuk menemukan sosok anak perempuan yang kau temui kemarin.

Senyummu mengembang. Dengan mengumpulkan segenap rasa percaya dirimu. Kamu memantapkan hatimu untuk berjalan mendekatinya.

Dengan PeDe-nya, kamu berseru memanggil namanya. Serentak ia menoleh (siswa lain juga, karena suaramu terlampau kencang), dan dia terkejut melihat kedatanganmu.

"Siang Hinata!" kamu menyapa, tak lupa kamu tampakkan cengiranmu.

"Ka. .kau?" ia menunjukmu dengan gugup. "…yang. . . kemarin itu 'kan? Di dalam bus?"

Kamu mengangguk semangat.

"Da. .dari mana kamu tahu namaku?" tanyanya dengan heran.

Kamu langsung mengambil dompet lavender miliknya dari balik jaket orangemu. "Dari dompetmu. Nih. Sekalian aku ingin mengembalikannya padamu," kamu menyodorkan dompet itu padanya.

Dia mengerjap bingung, sebelum akhirnya matanya berbinar dan menerima dompetnya kembali. "Terima kasih."

"Sama-sama," kamu nyengir. Dan dia membalasmu dengan senyum malu-malu, plus dengan pipinya yang merona.

Suara klanson mobil, menarik perhatian kalian. Penjemput Hinata telah datang.

"Aku pulang duluan yah. Sekali lagi, terima kasih… er…"

"Naruto. Panggil aku Naruto."

"Ah. Iya. N-naruto…. –kun."

Sejak saat itu. Kamu mulai bisa berteman dengannya. Setiap siang, kau sempatkan dirimu untuk menemuinya di gerbang sekolah Akayama.

.

C O P E T

.

"Kau mengembalikan dompetku, tapi kenapa isinya hampir kosong. Fotoku pun juga tak ada. Kau mengambilnya yah?"

"Iya."

"Kembalikan."

"Tidak mau."

Kamu tertawa, melihat betapa lucunya wajah Hinata saat merajuk.

.

.

.

"Hari ini kakakmu tidak menjemputmu pulang sekolah lagi?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Aku menolaknya."

"Kenapa?"

"Karena. . . err. . . lebih menyenangkan kalau. . . a-aku bisa naik bus denganmu."

"O-oh…."

Kali ini kamu tak bisa tertawa melihat wajah Hinata memerah, karena kamu juga merona.

.

.

.

"Aku masih heran padamu, Hinata?"

"Heran apanya?"

"Kenapa kau masih mau berteman denganku? Padahal 'kan kau sudah tahu kalau aku. . . err. . ."

"Copet?"

"I-iya."

"Mu. . .mungkin karena aku. . ."

"Ya?"

"Aku mau beli es krim dulu."

"Aku juga mau beli ah….. Tunggu dulu.. . . Hei! Jangan mengalihkan pembicaraan, Hinata."

Dia hanya terkikik geli melihat wajahmu yang cemberut.

.

.

.

"Aku ingin ikut ke tempatmu Naruto-kun."

"Kau yakin?"

"Hu uh."

"Tempatku itu kumuh lho."

"Tak apa. Soalnya aku penasaran dengan teman-temanmu yang sering kau ceritakan itu."

"Ya sudah kalau kau memaksa. Tapi jangan salahkan aku kalau kau pulang dengan tas kosong."

Kau nyengir jahil melihat wajah Hinata memucat.

.

.

.

"Hari ini ayah datang untuk menjemputku pulang sekolah."

"Oh, sayang sekali. Jadi hari ini kita tidak bisa jalan bareng lagi."

"Bu. . .bukan hanya untuk hari ini Naruto-kun."

"Maksudmu?"

"A-ayahku sudah tahu, kalau selama ini a-aku berteman denganmu."

"Lantas?"

"D-dia juga sudah tahu, kalau kau. . . . pencopet. . ."

"….. sudah tahu….?"

"I-iya…..Ayahku melarangku untuk–"

". . ."

"M-maaf. . . Maaf Naruto-kun. . ."

Tubuhmu membeku. Butuh beberapa detik untuk menyadarimu. Saat melihat Hinata menunduk di hadapanmu, saat matanya tak berani menatapmu, saat bahunya gemetar di tempat, saat bunyi klanson terdengar, saat pria paruh baya menarik lengan Hinata menjauh darimu, saat Hinata berbalik memberikan tatapan terakhirnya padamu, dan saat kau melihat matanya yang sudah berlinangkan air mata. Kamu sadar, waktu perpisahan akhirnya tiba. . .

Meski baru tiga bulan kalian berteman. Tapi ikatan erat yang sudah terjalin diantara kalian, membuat hal ini sangat berat untuk diterima.

Tanpa sadar, air bening juga menetes dari sudut matamu. . . untuk pertama kalinya, kamu menyesal menjadi seorang pencopet. Naruto….

.

C O P E T

.

Kamu berlari, dengan mengeluarkan sekuat tenagamu. Tak peduli dengan beberapa orang yang kamu tabrak, tak peduli dengan air hujan yang terus menembus bajumu, membuat tubuhmu basah kuyup dan mulai menggigil. Yang kamu pedulikan hanya beberapa orang yang mengejar di belakangmu, mereka semakin waktu makin banyak karena sorakan 'copet' terus tertuju padamu.

Kamu panic, tak pernah sepanik ini, juga tak pernah bekerja seburuk ini. Entah kenapa, otakmu kali ini benar-benar buntu untuk mencari jalan keluar atau pun tempat persembunyian. Anehnya, dalam otakmu hanya terpikirkan satu orang. Hinata.

Kamu menyesal, sangat sangat menyesal. Dalam hati kau terus berdoa sambil menangis. Kenapa hidupmu seburuk ini? Tak bisakah Tuhan memberimu berkah? Dan tak bisakah kamu berteman dengan Hinata kembali?

'TIIIIT!'

"AWAAS!"

"KYAA!"

'BRUUK!'

Semuanya terjadi terlalu cepat bagimu. Saat mendadak suatu sinar menyorot matamu, saat tiba-tiba bunyi klanson memekakan telingamu, saat teriakan histeris orang-orang bersahutan, saat mendadak benda keras menubruk tubuhmu, membuat kau terlempar beberapa meter, rasa sakit luar biasa langsung menyerang seluruh tubuhmu.

Pandanganmu memudar. Beberapa orang berlari mendekatimu. Air hujan yang jatuh menerpa tubuh terlentangmu. Darah yang keluar dari kepalamu tercampur dengan air hujan, mengalir di atas trotoar. . . .

Saat kesadaranmu ada pada ujung batasmu. Kamu hanya menyebutkan satu nama. . .

"Hinata. . . ."

.

C O P E T

.

Sementara itu. . .

"Hinata, sampai kapan kamu akan menunggunya? Ini sudah hampir malam."

"Sebentar lagi niisan. Aku hanya ingin mengucapkan sesuatu padanya."

"Hn? lebih tepatnya salam perpisahan untuk teman barumu itu 'kan?"

"I-iya."

"Baiklah. Lima belas menit lagi. Kalau dia belum pulang juga ke tempat kumuh ini. Kita berangkat. Aku tidak ingin kita ketinggalan pesawat ke Konoha."

". . . . Naruto-kun. . . kau dimana? Sebentar lagi aku akan pindah ke negara Hii. . ."

.

C O P E T

.

Sudah tiga minggu kamu tak sadarkan diri. Tubuhmu terbaring lemah di atas ranjang. Dibantu dengan alat pernapasan yang menutupi mulut dan hidungmu. Wajahmu terlihat sangat tenang, dengan mata yang tertutup, tanpa ada tanda-tanda pergerakan dari dirimu. Kecuali bunyi deteksi jantung yang tertera di computer kecil di sisi ranjangmu.

Saat ini kamu masih terombang-ambing diantara dimensi hidup dan mati, alias koma dalam bahasa kedokteran.

Tanpa kau ketahui, seseorang pria paruh baya, yang hampir mirip denganmu. Berdiri di sisi ranjangmu. Menatapmu dengan pandangan sayu. Sebelah tangannya memegangi sebuah ponsel yang ia hadapkan pada telinganya. Dan dia berucap pada orang di ujung hubungan selulernya. . .

"Kushina. . . . akhirnya aku menemukannya. . ."

Dan saat kamu terbangun. Sebuah kejutan besar akan menantimu. . .

Hidupmu akan berubah mulai saat itu juga. . .

Naruto.

.

C O P E T

.

Bersambung...