Disclaimer: Masashi Kishimoto
Special fic for Mitsuhiko Zahra birthday (yang telat banget. gomen orz)
Warning: AU, OOC, gore.
Pair: Lihat sendiri aja deh, gak seru kalo dikasih tahu :p *ditendang*
Presenting :
Shira nai wa rojikku
.
Authors :
Momochi Mimi'san and Tsukimori Raisa
.
.
Sai dan Konan. Mereka tumbuh dewasa bersama dalam balutan kasih yang sempurna. Hubungan persahabatan tidak jelas yang mungkin lebih cocok dibilang cinta.
Kebersamaan mereka tak terpisahkan. Walaupun belasan tahun mereka lalui, pemuda bernama Sai itu tetap menepati janjinya untuk tidak meniggalkan gadis yang sekarang sudah matang itu. Umur 25 adalah umur yang cukup untuk melakukan pernikahan. Orang tuapun sudah merestui. Namun apa daya bila ekonomi sulit. Jangankan untuk pesta pernikahan, untuk makan saja terkadang mereka saling berbagi.
Kehidupan mereka tidaklah makmur, tapi mereka bahagia.
Sai bekerja sebagai seorang kuli angkut di sebuah toko telur dengan gaji yang pas-pasan. Sementara itu Konan sendiri hanya seorang pelayan di sebuah kedai ramen. Orangtua mereka berdua bekerja sebagai tukang ngerumpi. Bercanda kok, orangtua mereka bekerja sebagai tukang gorengan dan penjual kue kecil yang setiap hari menyetorkan dagangannya ke kantin sekolahan.
Sai tak pernah mengingkari janjinya. Sampai suatu malam tiba.
"Aduh, tadi kau bilang apa? Aku tidak mendengarnya dengan jelas," ujar Konan sambil mengorek-ngorek telinganya yang penuh kotoran dengan kuku kelingkingnya yang tajam.
"Kau mau menikah denganku kan?" Sai mengulang pertanyaannya. Konan terdiam seketika. Lampu kuning berpendar di atasnya, menerangi dua insan yang sedang berbincang-bincang di atas kursi bobrok. "Kau ingat janjimu dulu kan? Ingkar janji itu dosa loh."
"Hehe," sekarang Konan menggaruk bagian belakang kepalanya, "itu kan janji anak kecil."
"Bagaimanapun juga, janji tetaplah janji," tegas Sai.
"Ya aku sih mau saja. Tapi.."
"Tapi apa? Masalah biaya pernikahan?" tebak Sai.
Konan mengangguk. "Lagipula kan kita belum punya rumah sendiri."
Sai terdiam sebentar, memikirkan sesuatu yang sedari tadi ingin diucapkan. Tapi ia ragu.
"Sai?" panggil Konan.
Pemuda berkulit pucat itu menoleh. "Konan… Temanku bilang, di Konoha sedang ada proyek pembangunan yang lumayan besar," ujar Sai ragu sambil membuang mukanya ke arah tanaman yang bergoyang di dekat pagar.
Konan menautkan alisnya. "Lalu apa hubungannya Konoha denganmu?"
"Mereka membutuhkan pekerja bangunan," balas Sai sambil memeluk lengannya yang tak tertutup pakaian saat angin berhembus kembali.
"Maksudmu," Konan memajukan duduknya, "kau ingin bekerja disana, begitu?"
Sai mengangguk.
"Tapi kau kan sudah janji tidak akan meninggalkanku? Ingkar janji itu dosa loh Sai?"
"Proyek itu mungkin selesai dalam dua tahun. Gajinya mungkin lumayan," kata Sai diiringi hembusan angin kencang di luar sana.
"Lalu bagaimana dengan janjimu?"
"Ayolah Konan, dua tahun dan aku akan kembali. Janji," ujar Sai sambil menyodorkan kelingkingnya.
Hujan turun.
Konan menghela nafasnya lalu berujar, "Baiklah, janji ya?" Gadis itu menautkan kelingkingnya, mengulang ritual yang terjadi sekitar 18 tahun silam.
Sai mengangguk semangat. "Janji!"
"Jadi, kapan kau pergi?" tanya Konan seraya melepaskan kaitan kelingkingnya.
"Mungkin besok," ujar pemuda itu santai.
"HAH? BESOK?" tanya Konan kaget. Matanya terbuka lebar saking kagetnya.
"I-iya, kenapa memang?"
"Sudah berapa lama kau tahu tentang pekerjaan ini?"
"Seminggu yang lalu," jawab Sai enteng.
"Dan kau baru menceritakannya sekarang?" seru Konan.
"G-gomen. Aku ragu kau akan mengijinkan aku pergi," sesal Sai.
Konan mengibaskan tangannya. "Sudahlah."
Hening.
Suara petir menggelegar nyaring.
"Konan, aku pulang dulu ya. Harus menyiapkan untuk besok," ujar Sai seraya berdiri, diiringi bunyi 'kriet' dari kursi yang didudukinya.
Konan juga bangkit berdiri. "Baiklah, hati-hati ya," ujarnya sambil menyodorkan payung biru muda yang tersandar di kursinya.
"Terima kasih," balas Sai sambil meraih payungnya.
Konan membukakan pintu pagarnya. Kemudian Sai membuka payungnya seraya berjalan keluar.
"Hati-hati Sai, jalanan licin."
"Iya."
"Hati-hati, banyak motor."
"Iya."
"Hati-hati, banyak batu."
"Iya. Kau terlalu khawatir," kata Sai. Tangannya yang bebas membelai rambut Konan.
Dua tahun itu bukan waktu yang sebentar, Sai. Ingin sekali Konan mengucapkan kata itu, tapi entah kenapa untaian kata itu tak pernah keluar dari mulutnya. Yang ia lakukan hanya menggenggam tangan Sai yang sekarang menyentuh pipinya dengan tangannya yang gemetaran. Jangan pergi, Sai.
"Baiklah, aku pulang dulu," ujar Sai seraya mengecup kening Konan lembut. Kemudian meninggalkan Konan yang menatapnya sendu dan berjalan gontai ke rumahnya yang berada tepat di sebelah rumah Konan. Air mata Knan menggenang di pelupuknya.
Dua tahun itu lama, Sai.
.
"Sai, kau pasti kembali kan?" tanya Konan dengan pandangan cemasnya. Sai hanya tersenyum di bawah langit pagi yag mendung tanpa matahari itu.
"Tenang saja, aku akan menjaganya, un!" seru seorang pemuda berambut blonde panjang yang notabenenya adalah teman seperjuangan Sai yang akan pergi kersamanya ke Konoha. Kalau dilihat sekilas, ia terlihat seperti anak perempuan.
"Jaga Sai ya, Deidara," kata Konan pada pemuda yang bernama Deidara itu.
Sai memegang bahu Konan. "Tenang saja. Jaga terlalu khawatir seperti itu," ujar Sai sambil menyunggingkan senyumnya.
"Bagaimana bisa aku tidak khawatir? Kan baru kali ini kau pergi jauh. Dua tahun.."
"Ya, tenang saja. Aku pasti akan menghubungimu terus."
Gadis di depannya langsung menubruk Sai dengan air mata mengalir yang sejak tadi tertahan. "Sai, aku akan meridukanmu," isaknya. Ia merasa nyaman saat kehangatan tubuh Sai menjalari tubuhnya ketika ia mendekap tubuh itu erat.
"Aku juga." Sai balas mendekap tubuh gadis itu.
Dua tahun itu lama, Sai.
"Yare-yare. Anak muda jaman sekarang, un," gumam Deidara sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Cukup lama mereka berpelukan. Sampai-sampai Deidara yang bosan menunggu masuk ke dalam rumah Sai dan numpang tidur-tiduran sebentar karena masih mengantuk.
"Sudah ya," kata Sai yag melepaskan pelukannya, menatap Konan dalam-dalam dengan senyumnya yang manis. Kemudian mengecup keningnya lembut.
"Hati-hati, Sai," ujar Konan, masih dengan tatapan cemasnya.
"Hei, sedih-sedihannya sudah, un?" tanya Deidara yang tiba-tiba keluar dengan mata sayu.
"Sudah, ayo pergi."
"Sai," ujar Ibu Sai yang keluar dari rumahnya, "ini ibu buatkan roti goreng untuk di perjalanan. Dimakan ya." Wanita paruh baya itu menyodorkan kotak makanan transparan ke arah Sai yang langsung diterima Sai dengan senang hati. "Ibu buatkan lebih utuk nak Deidara juga."
"Yay! Ibu baik deh, un!" pekik Deidara yang langsung memeluk Ibu Sai seenak jidatnya.
"Terima kasih ya bu," kata Sai sambil memasukan kotak makannya ke dalam tas besarnya.
"Jaga dirimu baik-baik ya, nak. Hati-hati."
"Sai.."
"Sayonara (un)," ucap mereka berdua yang kemudian pergi meninggalkan Amegakure. Meninggalkan Konan yang masih tak rela akan kepergian Sai.
Dua tahun itu lama, Sai.
.
.
"Konan! Konan! Ada kiriman untukmu, nak!" teriak ibu Konan yang baru saja kembali dari gosip-gosip bersama tetangganya. Konan yang merasa dipanggil langsung keluar dari kamarnya.
"Dari siapa bu?" tanyanya saat menemukan ibunya yang berlari tergopoh menuju kamarnya.
"Entah, mungkin dari nak Sai. Sudah sebulan kan sejak kepergiannya?" Ibu Konan menyerahkan bungkusan kotak yang berlapis kertas berwarna coklat itu kepada Konan. Ia menyibakkan rambut panjangnya yang kemerahan, terutama poninya yang mengganggu pemandangan.
"Sai?" Jantung Konan berdetak lebih kencang. Sudah sebulan Sai pergi dan tak memberinya kabar sekalipun,. Membuatnya khawatir sampai-sampai, setiap pagi ia tak nafsu makan karena memikirkan Sai. Setiap siang, ia tak nafsu makan karena memikirkan Sai juga. Dan malam hari, ia tak bisa tidur karena kelaparan. "Terima kasih ya, bu."
Si ibu malah sudah kembali keluar, menghampiri teman-teman sepergosipannya diluar. Konan bisa mendengar teman-teman ibunya bertanya-tanya, "Bu Tayu, itu dari Sai? Sai yang itu? Wah, isinya apa tuh? Eh, si Sai kapan pulangnya?"
Konan masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya. Ia duduk di atas ranjangnya yang hampir bobrok sampai berbunyi 'kriet' ketika menopang berat badannya. Tangannya mengelus permukaan kotak itu, kemudian merobeknya perlahan.
Sebuah kardus putih bergambar handphone membuat mata Konan berbinar-binar. Ya, itu handphone! Buru-buru Konan membuka kardusnya dan menemukan sepucuk kertas dengan tulisan tangan Sai yang sudah sangat ia kenal.
Konan, ini kubelikan handphone untukmu, dari gaji pertamaku loh :)
Kalau kau sudah terima handphone ini, kau tekan tombol merah yang di sebelah kanan untuk menyalakan handphonenya. Disitu ada buku panduannya untuk kau pelajari. Dan ini nomor teleponku: 08098765432. Nanti telepon aku ya ^^
Robe, Sai
P.S: Gajiku lumayan besar, disini juga banyak teman yang baik. Jangan khawatir ya :D
"Robe? Apa maksudnya?" Konan menatap heran kata Robe itu, bingung apa yang dimaksudkan Sai. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. "Jangan-jangan maksudnya itu L-O-" wajah Konan bersemu setelah sadar akan bahasa inggris Sai yang buruk.
.
.
Sai menyeka bulir keringatnya dengan handuk kecil yang tergantung di lehernya. Kaki-kakinya yang letih melangkah menjauhi proyek yang sedang dibangun itu, menuju ke arah kontrakannya yang terletak tak jauh dari situ. Pembuatan gedung pub yang dikolaborasikan dengan hotel bertingkat 9 itu baru jadi 3% dari 100%.
Dua tahun itu rasanya masih lama. Sekarang saja baru sebulan. Belum lagi kalau nanti waktu yang dibutuhkan ternyata lebih dari dua tahun. Ditambah dengan jumlah pekerja yang minim itu, walaupun setiap harinya bertambah. Tapi sampai sekarang masih hanya berjumah sekitar 50 orang.
Sai mendongakkan kepalanya ke atas, menghentikan langkah kakinya sebentar untuk menatap langit biru yang cerah pada hari itu. Ya, langit biru yang cerah dengan angin yang kadang membelai tubuh pemuda itu dengan lembut. Konoha memang selalu cerah dan cerah di setiap harinya. Berbeda dengan Amegakure, kota ini jarang tersiram. Sai merindukan kampung halamannya. Biasanya, di sore hari seperti ini ia baru pulang dari tempat kerjanya dan sedang menunggu Konan pulang dari tempat kerjanya. Lalu mereka pulang dengan hujan yang mengguyur tubuh mereka.
Sai merindukan saat-saat itu...
"Sai!" Seorang pemuda berambut putih menepuk pundak Sai, membuat Sai tersentak dari lamunannya. "Kau jadi sering melamun begini, ada apa sih?"
Sai menoleh menatap rekan barunya itu. "Ah, tidak. Aku hanya merindukan Amegakure," katanya smbil tersenyum.
"Ah, aku juga merindukan Kirigakure," ujar si pemuda, merangkul Sai dan mengajaknya berjalan lebih cepat untuk menuju kontrakan mereka.
"Yang lain juga pasti merindukan kampung halaman mereka masing-masing, ya kan, Suigetsu?" Sai berjalan mencoba menyeimbangkan langkanya dengan langkah Suigetsu yang cepat.
"Ya. Dua tahun itu lama ya. Sekarang saja masih sebulan. Aku lelah~" Sai hanya membalas perkataan rekannya itu dengan tersenyum. Kemudian meneruskan langkahnya ke kontrakan.
Rumah mereka sudah ramai, kawannya yang lain sudah pulang.
"Hai Sai, Suigetsu, lama sekali kau?" sapa seorang pria berjambang dengan sebatang rokok menggantung di mulutnya.
"Nih, si Sai melamun dulu," ujar Suigetsu asal.
"Tsk, merepotkan sekali," ujar seorang pemuda berambut nanas yang sedang menggotong sebuah sofa coklat yang tampaknya sudah tua.
"Hn," balas seorang pemuda lainnya cuek yang sedang membantu menggotong sofa.
"Shikamaru, Sasuke, darimana itu, un?" tanya si pemuda blonde, Deidara.
"Bos Jiraiya, katanya buat nonton bola. Merepotkan sekali benda ini," ujar si pemuda nanas yang bernama Shikamaru.
"Hei Shikamaru, sudah berapa kali kauh mengucapkan mendokusei hari ini?" tanya Suigetsu iseng.
"Entah," jawab Shikamaru malas. Mereka semua tinggal dalam satu kontrakan yang sama agar biaya mengontrak lebih murah. Sebenarnya rumah itu milik Asuma, ayah dari Shikamaru yang juga bekerja dalam satu proyek yang sama. Sementara Sasuke adalah seorang perantau dari Otogakure, Suigetsu dari Kirigakure, dan Deidara dari Iwagakure yang tadinya merantau ke Amegakure dan menjadi teman Sai. Asuma merasa bersyukur, karena kehadiran pemuda-pemuda itu meringankan beban kontrakannya.
Sai merasakan getaran pada kantung celananya, handphonenya bergetar. Ia merogoh kantung celananya dan mengambil handphone abalnya, nama 'Konan' tertera di layar handphonenya. Wajah Sai berubah cerah, akhirnya Konan meneleponnya juga. Buru-buru ia mengangkat handphonenya dan menjauh dari teman-temannya.
"Hallo? Konan?"
"Sai! Ya ampun, akhirnya. Butuh satu hari untuk membaca buku petunjuknya sampai selesai!" ujar Konan bersemangat.
"Kau baca sampai selesai?" Sai terdengar kaget.
"Iya," jawab Konan polos, "Katamu, pelajari dari buku itu kan?"
"Yaa, tapi tak perlu dipelajari sampai habis, Konan.." Sekarang, perasaan rindu rumahnya terlepaskan begitu saja ketika ia mendengar suara Konan. Suara yang sudah lama tak ia dengar.
"Hehe, maklum, namanya juga beru pernah pegang handphone," ujar Konan malu-malu.
"Konan, aku rindu sekali padamu," ujar Sai to the point.
"A-aku juga," balas Konan gugup. Rasanya, Sai ingin sekali berada di sebelah Konan sekarang dan memeluknya. Tapi, itu tak mungkin sekarang. Mereka berbicara lama di telepon, membicarakan hal-hal tidak penting yang bikin author keki ingin segera men-skip bagian ini. Akhirnya Sai menyudahi telepon tersebut, dikarenakan teman-temannya yang sudah mempelototinya dengan tatapan lebih-lama-lagi-ku-cincang-kau.
"Eh Konan, sudah dulu ya, aku ada urusan. Nanti kita telpon-telponan lagi.." ucap Sai, dengan nada yang sangat terpaksa.
"Ah? Baiklah. Jaa ne~" balas Konan kecewa. Dan sambunganpun terputus.
"Hei Sai, lama sekali kau. Lebih baik kau membantu Asuma-san memasak makan malam, daripada membuang pulsamu begitu. Ayo masuk, sudah gelap dan banyak nyamuk tahu," oceh Suigetsu yang kepalanya menyembul dari pintu yang ingin ditutup setelah yang lainnya masuk.
"Eh? Ya, maaf," ucap Sai pelan, tersenyum, kemudian masuk ke dalam kontrakan kecil yang ramai itu. Meninggalkan langit malam yang cerah dan berbintang.
.
o.o
.
Konan sadar kalau ia tak perlu bekerja keras seperti biasanya lagi. Tampaknya, pekerjaan yang ditekuni Sai memang menguntungkan. Bisa dilihat dari Sai yang kini mengirimkan sedikit gajinya yang cukup untuk membiayai separuh biaya hidup Konan dalam sebulan. Semuanya berjalan dengan baik, walaupun rasa rindu Konan tak pernah terlampiaskan secara langsung pada kekasihnya yang sedang merantau itu. Tapi, setidaknya, mereka terus berhubungan dan mengetahui kabar masing-masing lewat telepon sampai hari ini.
Hari ini, kira-kira hari yang ke 647 sejak Sai meninggalkan Konohagakure. Ya, sudah lebih dari satu setengah tahun berjalan dan semua berjalan baik-baik saja sampai hari ini tiba. Hari dimana Konan termenung di atas bukit hijau yang rimbun. Rumputnya yang basah menebarkan bau hujan yang tampaknya belum lama reda. Langit tampak berwarna putih bercampur biru terang. Langit yang jarang seperti itu di sore hari di Amegakure.
Amegakure. Desa yang selalu diguyur hujan itu tampaknya sudah mulai merindukan langit yang cerah dan hari tanpa hujan. Seperti Konan yang mulai merindukan Sai yang tak kunjung meneleponnya dan memberinya kabar. Konan sudah mencoba menghubunginya, tapi yang ia dapat hanyalah jawaban dari seorang wanita menyebalkan yang ia kira adalah selingkuhan Sai. Wanita itu selalu mengatakan, "Maaf, nomor yang anda masukkan, salah."
Padahal, jelas-jelas Konan yakin kalau yang ia hubungi itu adalah nomor Sai. Tetapi wanita itu terus saja mengatakan kalimat begitu. Seharusnya, sejak 2 jam yang lalu, Sai sudah meneleponnya. Tapi, entah mengapa rasanya hari ini berbeda. Apa Sai sedang lembur? Ataukah sedang tak ada pulsa? Yang pasti, Sai tak pernah begini sebelumnya.
Sekarang, yang Konan lakukan hanyalah duduk merenung di atas bukit, menduduki tanah yang sama dengan tanah yang Sai injak. Menatap langit biru terang, langit yang sama dengan langit yang Sai tatap. Berharap Sai segera menghubunginya untuk melenyapkan segala kecemasan yang mulai menggerogoti perasaannya. Perasaan khawatir sekaligus kesal yang teraduk menjadi satu dan kini seakan memenuhi pikirannya.
Gadis itu terus menerus melirik handphonenya, jaga-jaga kalau nanti Sai meneleponnya kembali, atau mengirimkan sms padanya. Tapi hal itu tak pernah terjadi. ! hari terlewati tanpa Sai.
Kesokan harinya sama. Malah lebih parah, terik matahari seakan lebih menyengat. Konan mulai gelisah dengan hilangnya Sai. Tapi ia mencoba meredam semua pikiran buruknya pada Sai dengan kepercayaan terhadap pemuda itu yang ia miliki. Kepercayaannya yang begitu kuat pada janji Sai. Sai yang berjanji akan kembali setelah dua tahun. Dua tahun itu lama, tapi tampaknya kalau dilihat dari waktu yang sekarang, dua tahun yang akan berlalu itu sebentar lagi, bukan?
Tapi, kenapa? Kenapa, disaat waktu yang tinggal sedekat ini, ia malah menghilang begitu? Ohh, apa ini berarti Sai akan mengingkari janjinya?
Konan akhirnya memutuskan untuk mengiriminya surat singkat untuk kekasihnya itu..
Sai.. Aku, tak tahu apa yang membuatmu begini. Tapi jujur, walau baru dua hari, aku sangat cemas padamu.
Ada apa denganmu Sai? Apa aku punya salah padamu? Atau apa?
Kalau kau punya masalah, ceritakanlah padaku.
Kumohon, balaslah surat ini. Aku tak mau kau mengingkari janjimu untuk kembali setelah 2 tahun itu.
Salam,
Konan.
Konan mengirim surat itu dengan menulis alamat kontrakan yang pernah diberikan Sai padanya. Konan menunggu, 1 hari, 2 hari, 3 hari. Ia bingung, balasan tak kunjung datang. Apa karena suratnya tak tersampaikan? Atau Sai yang memang tak mau membalasnya? Tapi, di hari ke 4, surat itu kembali pada dirinya sendiri. Sekarang Konan benar-benar cemas. Saipun bahkan tak mengiriminya uang lagi di akhir bulan. Entah ini sudah hari yang ke berapa, yang jelas, Konan mulai putus asa dan ingin melupakan pria itu dalam hidup dan pikirannya.
Tapi, bagaimana bisa ia melupakan pria yang sejak kecil sudah bersamanya? Selama kurang lebih dua puluh tahun, tinggal berdekatan dengannya, dan hampir menikah. Konan tak bisa melupakannya. Ia terus mengirimi Sai surat, tapi surat-surat itu terus kembali pada dirinya sendiri. Padahal ia yakin kalau ia sudah menulis alamat dengan benar.
Sampai akhirnya tinggal sebulan lagi untuk mencapai dua tahun itu, Sai tak kunjung memberi kabar pada Konan. Kesulitan ekonomipun mulai datang. Konan akhirnya memutuskan untuk kembali mencari pekerjaan. Dan kebetulan, di desa kecil itu, baru dibangun sebuah cafe kecil. Bar yang dibangun untuk pengunjung-pengunjung kaya yang berduit. Stoll Cafe.
Konan berjalan menyusuri desa yang sudah beberapa hari ini tak diguyur hujan sama sekali. Mungkin pengaruh dari pemanasan global yang menyebabkan hujan enggan turun dari langit. Mungkin nama desa ini sebentar lagi akan diganti. Di sebelah Konan, seorang gadis berambut pirang panjang menggandeng lengannya. Dia Shion, tetangga Konan yang tinggal di sebelah rumah Sai. Gadis yang umurnya tak lebih tua darinya itu yang mengajak Konan pergi malam ini. Sebelumnya, Konan mendatangi rumahnya untuk sekedar basa-basi lalu menanyakan pekerjaan. Dan kebetulan, malam itu Shion ingin pergi ke tempat kerjanya yang baru, Stoll bar.
Mereka menuruni bukit hampa yang kering, kemudian berjalan terus menyusuri desa. Berjalan dalam kesunyian yang menusuk. Tanpa saling bicara satu sama lain. Sampai akhirnya mereka sampai ke pusat desa. Bagian desa yang paling ramai. Dimana berjejer toko-toko pakaian dan kedai-kedai kecil. Tempat yang agak ramai pengunjung, orang-orang berlalu lalang dibawah langit kuning kemerahan.
Shion membuka pintu bar itu dan terdengar bunyi lonceng yang tergantung di atas pintu. Cafe itu tampaknya belum mendapat pengunjung, wajar saja, cafe itu memang baru buka di malam hari. Tampak seorang kakek tua dengan kepala yang tertutup oleh rambut putihnya sedang mengelap sebuah meja di tengah ruangan. Meja kayu bundar berwarna coklat tua, dengan satu kaki yang bercabang menjadi empat kaki dengan ukiran lembut di setiap kakinya.
Lampu-lampu kekuningan menggantung di langit-langit, memancarkan cahayanya yang kontras bila disandingkan dengan dinding berwarna merah muda kecoklatan dalam ruangan itu. Di sisi kanan, seorang pria berambut merah sebahu dengan poni menutpi separuh wajahnya sedang erdiri di balik meja bar, mengelap gelas-gelas yang sudah bersih, supaya tampak lebih mengilap lagi. Ia memakai jas hitam dengan dasi kupu-kupu merah bertengger di lehernya. Di bagian depan, ada sebuah undakan kecil yang membentuk panggung kecil, dengan sebuah mikrophone di atasnya. Di sampingnya, ada sebuah piano hitam dan sebuah kursi kecil di baliknya.
Di sudut kanan ruangan, ada sebuah pintu coklat dengan papan kecil bertuliskan "Dilarang masuk bagi yang tidak berkepentingan" tergantung disana. Sedangkan di sudut kiri, sebuah pintu coklat lain digantungi papan kecil bertuliskan "Toilet".
Shion menarik tangan Konan, menyusuri cafe itu. Suara sepatu keduanya bergemeletuk lembut di atas lantai batu hitam dengan corak pusaran-pusaran lembut yang agak kabur dan tak terfokus. Shion memimpin langkah mereka berdua ke arah pintu yang ada di sudut kanan.
"Shion, kau yakin?" tanya Konan ragu.
"Tentu saja. Sudah, kau tenang saja," jawab Shion. Pintu itu sedikit berderit ketika dibuka. Mata Konan rasanya sakit ketika masuk ke ruangan yang terang benderang itu setelah sebelumnya merasakan suasana nyaman di ruangan sebelumnya. Ruangan itu begitu terang dengan lampunya yang putih, dindingnya bercat kuning polos cerah.
Konan mengerjapkan matanya, menyesuaikan pandangan di sekelilingnya. Seorang pria berambut oranye dengan banyak tindikan di wajahnya sedang duduk santai di belakang mejanya sembari menyalakan pemantik api kuno, menyulutkan api itu ke cerutunya, menghisapnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Asapnya yang pekat langsung memenuhi ruangan begitu saja. Kemudian ia memasukkan jarinya ke dalam lubang hidungnya, mengupil. Tampaknya pria itu belum begitu menyadari kedatangan kedua gadis itu.
"Se-selamat malam, Yahiko-san," sapa Shion kaku dan ragu.
Pria itu menolehkan kepalanya, menatap kedua gadis yang berdiri di ambang pintu. "Eh? Ya, ya, selamat malam. Tapi, jangan panggil begitu ah," katanya, mengibaskan tangannya, "Panggil saja Pein."
"Baik, Pein-san. Aku bawa orang baru, dia mau melamar kerja juga," ujar Konan, membuka pintu lebih lebar dan memperlihatkan Konan.
"Oh? Kalian masuk saja, pamali berdiri di depan pintu begitu," ujar Pein, menegakkan posisi duduknya. Kedua gadis itu masuk dengan malu-malu dan gugup, kemudian duduk di kursi lipat merah di depan meja Pein, berhadapan dengan pria itu.
"Jadi," Pein menghisap kembali cerutunya, kemudian menghembuskannya ke belakang, takut mengenai wajah kedua gadis itu, "sudah punya pengalaman bekerja?"
Konan mengangguk pelan.
"Shion, maaf tapi, kau sudah boleh berganti pakaian," ujar Pein, Shion hanya mengangguk kemudian masuk ke ruangan lain melalui pintu yang ada di sebelah Pein.
"Bawa ijazah?" tanya Pein. Konan hanya menggeleng.
"Lalu apa yang kau bawa, cantik?" Pein tersenyum.
"Ti-tidak bawa apa-apa," jawab Konan takut.
Pein menggeleng. "Ya ampun. Baiklah, pernah bekerja dimana saja? Tamat sekolah sampai mana?"
"Pelayan di kedai ramen. Lalu, err, sudah, hanya itu.. Tamat SMA saja."
"Oh, pelayan? Bisa menyanyi?" tanya Pein, menaikkan sebelah alisnya. Konan menggeleng. "Kalau begitu, kau jadi pelayan saja, seperti Shion, bagaimana?"
Sekarang Konan mengangguk.
"Kau, jarang sekali bicara ya?"
"Aa- maaf."
"Kenapa minta maaf?" Pein melebarkan senyumnya.
"Ti-tidak apa-apa."
"Ya sudah, kau boleh ganti pakaian. Nanti ada kepala pelayan yang akan membimbingmu," ujar Pein, tanpa sadar wajahnya sudah maju beberapa cm dari jarak semula.
Konan mengucapkan "Terima kasih" kemudian pergi menyusul Shion. Suasana hatinya tegang. Ruangan itu adalah sebuah dapur yang lumayan besar. Konan diajarkan tata cara sebagai pelayan disana oleh seorang kepala koki. Dan Konan bersyukur karena kepala koki itu tidak galak.
Pekerjaan Konan disana berjalan baik-baik saja. Sampai suatu hari ia melihat kalender dan menyadari kalau sudah 2 tahun Sai pergi merantau ke Konoha. Hari itu Konan mendapat tugas piket (?) untuk membersihkan dapur bersama beberapa kawan lainnya. Semua orang kini sudah meninggalkan dapur luas itu, tinggal dirinya yang masih sibuk mengelap meja dapur dengan tatapan kosong. Padahal meja itu sudah sangat licin.
Ia memikirkan Sai, memikirkan keberadaannya, keadaannya, kondisinya. Konan ingin bertemu dengannya. Ingin memeluknya erat dan tak melepasnya lagi. Ia tak mau kehilangan pemuda itu lagi.
Suara pintu dibuka membuyarkan lamunannya. Ia menatap ke arah datangnya suara dan melihat sosok seorang pemuda masuk. Langkah kakinya menggema di atas lantai keramik abu-abu yang baru di pel itu. Pemuda itu memandang berkeliling ke segala arah, menatap perabotan-perabotan yang sudah tergantung rapi.
Tangan Konan terus mengelap meja, sementara matanya menatap pemuda yang kini tengah berjalan tanpa menyadari kehadirannya. Ceroboh, tangan Konan tanpa sengaja menyenggol sebuah piring hingga piring itu terjatuh ke lantai dan pecah.
Kepala oranye pemuda itu menangkap sosok Konan yang kini tengah merunduk, memunguti pecahan piring itu. Pemuda itu berlari kecil mendekati Konan. "Konan? Kenapa? Kau belum pulang?" tanyanya lembut.
Konan mengangkat kepalanya menatap pemuda itu kemudian kembali menyibukkan diri membersihkan pecahannya. "Go-gomennasai, Pein-sama," gumamnya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
"Ya ampun, Konan. Sudah sudah, biar aku yang bereskan. Nanti tanganmu berdarah."
Benar saja, salah satu pecahan piring menggores jari manisnya, dan darah merah segar mulai keluar dari dalamnya. Konan hendak mengelap jari manisnya ke celemek yang di pakainya ketika Pein dengan sigap menggamit tangannya.
"Jangan," katanya, mengangkat lengan Konan mendekati wajahnya yang berpierching. Ia menjulurkan lidahnya, menyentuhkan lidahnya ke jari manis Konan yang masih mengeluarkan sedikit demi sedikit darahnya.
Konan hanya meringis kecil sambil menggumamkan "Gomennasai" beberapa kali ketika Pein menyesap darahnya dengan penuh khidmat.
"Ah, darahnya sudah berhenti," kata Pein akhinya. "Kenapa kau belum pulang?"
"A-ano," jawab Konan gugup, memandang ke sekeliling ruangan, rupanya ia baru menyadari kalau ruangan kosong.
"Kau tampak sedang ada masalah ya?" tanya Pein lembut, selembut kasih ibu(?).
"Eto.."
"Curhat saja kalau mau," kata Pein, tersenyum. "Tampaknya masalahmu berat sekali. Ceritakan saja, mungkin bisa menghilangkan sedikit bebanmu."
Konan diam saja. Bulir air mata mulai menggenangi pelupuk matanya yang sedikit bengkak. Lidahnya kelu, tak tahu apa yang ingin ia ucapkan. Tapi akhirnya ia berdusta, "Aku… tidak apa-apa."
"Konan," ujar Pein lembut, mengangkat dagu Konan, menatap matanya. "Matamu tidak berkata kalau kau baik-baik saja."
Air mata di pelupuk mata Konan menebal. Dan sedetik kemudian, bulir jernih itu turun ke pipinya. Konan langsung membuang mukanya, mengelap pipinya dengan lengan bajunya.
"Kau menangis," kata Pein, berusaha menghapus air mata Konan.
"Aku tidak menangis," sahut Konan dingin.
"Ayolah. Kalau kau begini terus, pekerjaanmu juga pasti terhambat kan?" Pein mencoba membujuk, kembali meraih dagu Konan agar matanya bisa menatap langsung ke dalam bola mata biru Konan. "Anggap saja aku ini teman baikmu. Keluarkan saja semua isi hati yang membuatmu penat." Ia berbicara dengan penuh perhatian pada Konan.
Konan ragu, tapi akhirnya bibirnya mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tak ingin dikeluarkannya. "Ini tentang pacarku.."
Pein diam, membiarkan Konan melanjutkan curhatannya. Konan akhirnya menceritakan semua yang dialaminya. Mengatakan kalau pacarnya merantau ke Konoha untuk menjadi pekerja bangunan dan berjanji akan kembali selama dua tahun, dan hari ini seharusnya menjadi kepulangan pemuda yang telah menambat hatinya. Konan juga menceritakan semua yang terjadi selama beberapa bulan terakhir, tentang pacarnya yang tak kunjung memberi kabar. Konan menceritakan semuanya,―satu-satunya yang tak ia sebutkan hanyalah nama sang pacar, Sai―dengan air mata terus membasahi pipinya yang pucat. Sementara itu Pein mencoba menenangkannya, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Seakan jabatan bos milik Pein telah sirna, Konan membeberkan semuanya tanpa beban. Membagi bebannya pada pemuda di depannya.
"Dan ia tak akan kembali. Ia hilang." Konan mengakhiri ceritanya dengan isakan kecil penuh kesenduan.
"Ya, kau benar," kata Pein setelah keheningan menyambut beberapa saat. "Dia tak akan kembali."
Sontak, Konan mengangkat kepalanya, menatap Pein dengan ekspresi kaget, memandang matanya yang tanpa cela. "A-apa maksudmu?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Aku tahu tentang proyek itu," jawab Pein, menunduk seakan ikut merasakan kesedihan. "Dia sudah, er-"
"Sudah apa?" desak Konan penasaran.
"Er-" Pein mencari kata-kata yang tepat. "Ano, dia pergi.."
"Apa maksudmu dia pergi?" tanya Konan, mengernyitkan dahinya.
"Yah, pergi. Untuk selamanya. Kau tahu maksudku."
"Apa yang kau bicarakan?" Wajah Konan mulai memerah, marah mendengar apa yang diucapkan Pein.
"Dia meninggal," jawab Pein pendek.
"Apa maksudmu dia meninggal? Memangnya kau pikir kau mengenalnya hah?" Konan meninggikan suaranya. Mulai kesal.
"Aku tahu proyek yang kau maksud," ujar Pein pelan. "Aku juga punya pub di Konoha. Kalau tempat tinggal pacarmu yang kau maksud adalah kontrakan yang dekat sekali dengan proyek itu, berarti pacarmu itu sudah… meninggal."
"Kau pasti keliru!" bentak Konan, matanya melotot. "Dia tak mungkin meninggal! Aku tahu, dia pasti masih hidup! Aku yakin itu!"
"Konan," Pein memegang bahu Konan yang bergetar, berusaha menenangkannya, "kontrakan itu terbakar. Dan semua orang yang ada di dalamnya tak terselamatkan."
"Bohong!" bentak Konan, mulai berontak. "Kau pasti salah! Dia tak mungkin pergi secepat itu! Dia masih hidup!"
"Bagaimana kau bisa tahu kalau dia masih hidup?" seru Pein yang ikut meninggikan suaranya utuk mengatasi suara Konan.
"Aku bisa merasakannya! Aku merasa kalau.. dia masih hidup! Dan aku percaya kalau dia memang masih hidup!"
"Sudahlah Konan!" Pein memegangi tangan Konan yang sudah tak terkontrol. "Berita tentang kebakaran itu sudah tersiar luas di Konoha!"
"Tidak mungkin!" Kaki Konan mulai menendang-nendang saking kesalnya. "Itu tidak mungkin! Aku tak percaya!"
"Kau harus percaya!" bentak Pein tegas, mengeratkan cengkramannya pada pergelangan tangan Konan yang sekarang menjadi lemas. "Dia sudah pergi! Kau harus menerima itu, Konan!"
Konan terdiam. Matanya menusuk mata Pein, jauh ke dalamnya. Pundaknya turun. Diam tak bergeming, hanya dadanya yang naik turun saja yang bergerak. Deru napasnya yang kencang terdengar dalam keheningan yang menyakitkan. Air matanya mulai menggenang lagi dan langsung saja terjatuh membasahi pipinya.
Kepala Konan menggeleng pelan, sangat pelan sampai hampir tak terlihat. "Tidak mungkin," isaknya. Jelas saja ia tak bisa menerimanya. Kenapa Sai ―orang yang paling dicintainya―harus pergi disaat mereka akan menikah sebentar lagi? Harusnya Konan tak usah membiarkan laki-laki itu pergi. Harusnya Konan menahannya untuk tinggal. Kalau saja ia menahannya, Sai pasti tak akan pergi untuk selamanya seperti ini. Tak ada gunanya menyesal.
Tubuh Konan lemas, saking lemasnya sampai-sampai seperti mati rasa. Shock luar biasa. Tak tahu apa yang harus ia lakukan tanpa pemuda itu. Tapi tiba-tiba ia merasakan kehangatan menguasai tubuhnya yang selama ini tak merasakan kehangatan seperti yang diarasakannya sekarang. Kehangatan yang mirip dengan kehangatan yang diberikan pada Sai dua tahun silam. Dan ketika nyawanya kembali terkumpul, ia melihat sosok Pein sedang memeluknya erat. Membagi kehangatan tubuhnya pada Konan.
Konan tak menggubrisnya. Tak menolak, maupun merespon, hanya termangu tak berdaya. Kemudian dirasakannya kehangatan dari tubuhnya itu memudar, berpindah ke bibirnya. Menganggap kalau yang di hadapannya adalah Sai, ia merespon. Pikirannya menggila. Gerakan bibirnya membabibuta, dan itu membuat Pein menyeringai senang.
Konan merasa terbang, meninggalkan segala beban yang menghantui pikirannya selama ini. Malam itu, Konan merasa hidup tanpa beban bersama Sai. Bukan, bukan Sai, itu hanya anggapan Konan. Tapi kenyataannya, yang ada di hadapannya sekarang adalah Pein.
Malam itu, cuaca di luar sangat buruk dan kelam. Dan Konan sama sekali tak sadar saat ia melakukan perbuatan tercela yang pasti akan membuat Sai kecewa dan merasa dikhianati.
.
To Be Continued
.
Gomenne ngga bisa memberikan yang terbaik untuk saat ini.
Disamping alur kecepatan, tanda-tanda untuk rated M pun belum ada.
Tapi untuk jaga-jaga, saya tetep mencantumkan rated M.
Fic special untuk ulang tahun Mimizu yg telat entah berapa bulan (?)
untuk momo : LANJUTKANLAH, ini sudah awal yang baik
dan err, review?
.
.
tsuu.
