Title : Something Curious
Author : dns
Chapter 1
Rate : T
Genre : Friendship, Angst, Hurt/Comfort
Warning : OOC, Typos
The New Neighbor
Summary :
"Aigoo, turun dari planet mana dirinya itu? Tidak sopan,"/"Apa?! Mengamuk? Bahkan, saat statusnya masih siswa baru?"/"Kalau begitu sudah jelas."/"Permainan apa yang hanya berkumpul di sudut ruangan begitu?"/"Permisi-permisi... kami ingin lihat apa yang kalian lakukan."
.
.
.
Chanyeol melangkah santai menaiki undakan tangga bangunan flat tempat ia tinggal. Senyum samar terus terlukis di bibir selagi ponselnya masih menempel di telinga. Sesekali ia mengangguk dan mengucapkan "ya" dengan nada berayun, menanggapi wejangan sang ibu untuk dirinya yang sudah dua hari belakangan ini ditinggal untuk urusan pekerjaan.
"Jujur pada Eomma, dalam dua hari ini sudah berapa kali kaumakan ramyun?"
"Aku belum makan ramyun, Eomma."
"Belum? Berarti akan? Jangan terlalu banyak makan ramyun dan makanan instan lainnya, Chan."
"Aku bahkan belum memakannya dalam dua hari ini, Eomma."
"Walaupun kau lelah sekolah, tapi sempatkanlah untuk memasak."
"Ya, Eomma. Aku mengerti."
"Jaga kesehatanmu, Chan. Jaga diri baik-baik."
"Aku selalu menjaga diri dengan baik. Eomma tidak perlu khawatir. Anak tunggalmu ini akan tetap sehat dan baik-baik saja."
"Eomma percaya padamu, sayang."
"Chan, maaf, Eomma tidak jadi pulang besok. Masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan di sini."
"Aku mengerti. Eomma tenang saja."
"Eomma, teleponnya kumatikan dulu. Aku sudah sampai kamar. Istirahatlah lebih awal. Aku menyayangimu."
"Eomma lebih menyayangimu."
Klik
Sambungan benar-benar terputus. Kini langkah pendek namja berseragam sekolah menegah atas itu beriringan dengan senandungnya yang melantunkan Garosugil At Dawn. Di sisi lain, melewati deretan pintu kamar para tetangganya adalah hal yang harus selalu ia lakukan karena kamarnya berada di ujung lorong. Namun, semua geraknya terhenti tepat di pintu kamar yang temboknya berbatasan langsung dengan kamar miliknya.
"Eh, apa kamar ini sudah ditempati kembali?" Chanyeol bertanya sendiri. Ia memandangi pintu bercat cokelat yang tampak kembar dengan empat deret pintu lainnya, termasuk pintu kamarnya. Alis hitamnya bertaut, menyadari ada hawa berbeda yang terasa dari ruangan yang telah sebulan belakangan ini kosong.
Chanyeol masih bergeming, tapi lebih tepatnya ia sedang menajamkan pendengaran. Memastikan bahwa suara-suara samar yang ia dengar saat ini benar berasal dari kamar flat sederhana di hadapannya. Tanpa sadar, semakin ia menajamkan indra pendengarannya, semakin mendekat pula tubuhnya pada pintu. Mungkin hanya sisa sejengkal lagi agar telinganya benar-benar menempel pada pintu itu hingga akhirnya...
Klek
Chanyeol nyaris terlonjak, menyaksikan objek yang sejak tadi menjadi tempatnya menitikkan fokus bergerak terbuka. Pintu itu hanya terbuka beberapa jengkal saja namun cukup menampilkan sosok pemuda dengan raut tak kalah terkejut dengan Chanyeol.
"A-annyeonghaseyo." Refleks Chanyeol melangkah mundur. Panas terasa merambat di kulit wajahnya karena malu. Sungguh ia tak mau meninggalkan kesan sebagai penguntit bagi tetangga barunya, apalagi dipertemuan pertama mereka. Ck, memalukan.
"Annyeonghaseyo."
Chanyeol mengerjap, mendengar suara dengan nada paling datar yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Mata mereka saling bertemu, tapi Chanyeol tak betah berlama-lama menatap tetangga barunya itu. Hawa dingin seakan langsung menusuk mata dan tubuhnya.
Beberapa detik lewat begitu saja dengan posisi mereka yang tak bergeser sedikit pun. Chanyeol menanti-menanti sosok di depannya ini mengucapkan sesuatu. Lebih baik jika sesuai harapannya, tetangga namja-nya itu bertanya apa yang dirinya lakukan di depan pintu tadi, lalu dengan senang hati Chanyeol akan menjawab dengan sangkalan kilat guna memusnahkan anggapan penguntit yang mungkin terlintas di otak seseorang yang belum ia ketahui namanya ini.
"Namaku Chanyeol. Seo Chanyeol." Merasa tak akan ada kata apalagi kalimat yang keluar dari orang yang masih memerhatikannya ini, Chanyeol memilih memperkenalkan dirinya. Sekarang yang ia harapkan adalah jawaban berupa nama. Namun, lagi-lagi semuanya jauh dari harapannya.
Namja itu berlalu begitu saja meninggalkan Chanyeol yang hanya bisa melebarkan mulutnya. Seolah itu semua tak penting. Seolah antara dirinya dan Chanyeol tidak akan saling membutuhkan selama mereka menjadi tetangga. Seolah tak akan terjadi apa pun di antara mereka.
"Aigoo, turun dari planet mana dirinya itu? Tidak sopan," gerutu Chanyeol masih dengan meratapi kepergian tetangga barunya yang kian menghilang di belokan tangga.
.
.
.
I jus borrow the name of casts.
But, Something Curious idea and plot is totaly mine
.
.
.
Bel istirahat benar-benar menjadi penyelamat Chanyeol dari soal matematika. Entah kenapa, tapi ia selalu merasa nyawanya terancam saat berhadapan dengan angka serta rumus. Kepalanya serasa ditanam bom waktu yang siap meledak saat soal-soal itu berhasil mengalahkannya. Isi perutnya seperti bergejolak minta keluar dan matanya tak kuat lama-lama berhadapan dengan hal-hal yang entah kenapa bisa ditemukan oleh Diophantus, Ecluides, dan teman-teman genius mereka yang lain.
Pada akhirnya, ia selalu merasa butuh energi pengganti yang lebih banyak untuk memulihkan tenaga yang terkuras lantaran gejala-gejala menyakitkan itu. Tepat ketika Park Seonsaeng keluar kelas, Chanyeol sudah siap untuk menarik tangan Kai, hendak membawa kawan paling karibnya itu ke kantin. Namun, hingga suapan kelima makan siangnya pun Chanyeol tetap sendiri lantaran Kai belum kunjung kembali dari toliet.
"Sungguh kita punya hoobae yang ajaib."
Chanyeol sontak menoleh, mendapati Kai yang sudah duduk di sebelahnya dengan napas agak terengah.
"Ada apa?"
"Ada seorang hoobae yang mengamuk di kelas. Kudengar dia siswa baru."
"Apa?! Mengamuk? Bahkan, saat statusnya masih siswa baru?" Seakan berita tersebut benar-benar membuatnya takjub, Chanyeol sampai rela melupakan makanannya dan lebih memerhatikan Kai.
"Yak! Apa maksudmu bicara begitu? Berarti kalau dia sudah menjadi sunbae dia boleh mengamuk, begitu?"
Chanyeol menggeleng menyalahkan. Saat-saat seperti inilah yang membuat ia berpikir, kenapa bisa dirinya berteman dengan Kai yang menurutnya sering kali meleset memahami ucapannya.
"Eh, tapi itu dia ajaibnya, menurutku. Kautahu dia mengamuk karena apa?" lanjut Kai dengan diakhiri pertanyaan.
"Aku akan tahu setelah kau memberi tahu."
Kai melirik sebal pada Chanyeol sebelum menjawab. "Ia mengamuk hanya karena tangannya dipegang."
"Ish, kalau seperti itu ceritanya berarti kau yang ajaib. Orang aneh begitu kausebut ajaib."
Kali ini bukan hanya lirikan sebal, tapi tatapan membunuh tak tanggung-tanggung Kai alamatkan pada Chanyeol. "Terserah katamu, tapi memang begitu yang kudengar. Namanya Sehun, pindahan dari Jeonju."
"Ya Tuhan… kau bahkan tahu hingga selengkap itu." Ekspresi Chanyeol bercampur antara takjub dan ingin tertawa. Sahabatnya itu kenapa suka sekali menggali informasi yang tak penting bagi mereka. Konyolnya, kenapa juga Chanyeol langsung menanggapinya. "Hei, Kai, kau memang informan yang baik. Mungkin para ajumma yang senang membicarakan orang pun bisa kalah denganmu."
"Kau ini mengejek atau memuji?"
"Tergantung kau memaknainya."
"Lakukanlah kedua hal itu dengan cara terpisah agar aku tahu apa harus merasa senang atau semakin kesal terhadapmu." Kai mendengus. Tangannya sudah bergerak hendak mengambil sepotong daging dari wadah makan Chanyeol. Tapi sayangnya, tangan sahabatnya itu lebih dulu menyentil lengannya.
"Ambil makananmu sendiri, Kai. Aku perlu lebih banyak energi setelah nyaris mati karena matematika."
"Aku juga butuh energi pengganti setelah berlari dari kelas hoobae itu hingga ke sini."
"Jadi, kau tidak membantu para hoobae menangani siswa baru yang mengamuk itu? Kau tidak membantu mereka melapor pada soensaeng?" tanya Chanyeol setelah menelan daging yang sempat menjadi incaran Kai.
Kai memiringkan kepalanya. Tampang bocahnya tiba-tiba saja muncul. "Hmm.. tidak. Aku kan, langsung ke sini, memberi kabar padamu."
"Aigoo, malangnya para hoobae di sini memiliki sunbae sepertimu. Sungguh, Kai, apa yang kausampaikan ini juga sebenarnya tidak penting untuk kita berdua."
Seketika mata Kai yang tidak terlalu besar sedikit melebar. Geraknya begitu cepat untuk menyentil dahi bersih Chanyeol, membuat namja yang sudah ia temani dari lima tahun lalu itu meringis. "Memangnya kalau kau menjadi aku tadi, kau akan membantu para hoobae melapor pada seonsaeng?"
"Ehehee.." Meski hanya cengiran lebar yang Chanyeol tunjukkan, tapi Kai paham betul apa itu artinya.
Khusus bagi Kai, saat-saat seperti inilah yang membuat ia bertanya-tanya, kenapa bisa ia begitu awet berteman dengan Chanyeol. Saat temannya itu selalu menyalahkan sikapnya padahal sikap Chanyeol sendiri pun sama dengannya.
"Kai, sekarang gantian, aku yang mau ke toilet," ucap Donghae saat semua makanannya sudah pindah ke perutnya.
"Kau tidak menemaniku makan? Aku baru mau mengambil makan siangku."
"Kaubutuh aku untuk menyuapimu?"
Kai mendelik. Hari ini Chanyeol dua kali lipat lebih menyebalkan daripada hari-hari sebelumnya. "Junjunglah tinggi kesetiakawananmu, Chan."
"Itu berarti kau ingin melihatku buang air kecil di sini." Chanyeol terkikik, lantas bangkit dari kursinya.
"Aishh, pergilah!" usir Kai dengan emosi nyaris menyentuh puncak. Ingin rasanya ia memukul pantat Chanyeol yang sudah ikut melenggang pergi menjauhi meja mereka.
Beberapa langkah diambil, Chanyeol kembali berbalik. Ia melihat Kai sambil menyeringai. "FYI, setelah dari toilet aku langsung ke kelas."
"Pergilah sesukamu, Chan!"
.
.
.
Langkah-langkah santai menemani Chanyeol melewati koridor terbuka yang mengelilingi lapangan outdoor sekolahnya. Keramaian di sekitarnya tetap sama seperti jam istirahat biasanya hingga tiba-tiba Chanyeol merasa betis kanannya dihantam sesuatu. Menimbulkan suara "bugh" dan disusul ringisan sekelompok siswa di lapangan.
"Sunbae, maafkan aku... maaf." Saat Chanyeol berbalik seorang siswa laki-laki yang tampak lebih muda darinya sudah menyambutnya dengan permohonan maaf.
"Tidak apa-apa, sungguh," balas Chanyeol sambil menahan tubuh seorang yang ternyata adik kelasnya agar tidak kembali membungkukkan tubuhnya. Chanyeol sendiri tidak tahu kenapa bocah itu bisa langsung mengenalinya sebagai senior, tapi biarkanlah Chanyeol menganggap mungkin wajahnya cukup berwibawa sebagai murid tingkat akhir sekolah menengah atas itu.
"Aku terlalu kencang menendang bolanya. Sekali lagi maaf, Sunbae. Apa kakimu baik-baik saja?"
"Ya, kakiku tidak apa-apa. Kembalilah bermain dan lebih hati-hatilah."
"Terima kasih, Sunbae."
Chanyeol belum berajak. Ia menunggu juniornya mengambil bola yang menggelinding beberapa langkah dari kakinya. Hingga akhirnya bola matanya berputar, menemukan sosok yang tengah duduk di kursi taman, dan akhirnya mengunci seluruh perhatiannya karena ia merasa tak asing dengan sosok itu.
"Dia... bukankah dia..." gumam Chanyeol masih tak lepas dari objek yang dilihatnya tanpa sengaja.
"Sunbae, aku permisi."
"Hei, tungguh sebentar," cegah Chanyeol yang langsung membuat juniornya bergeming.
"Apa kau mengenal siswa yang duduk di sana?" Spontan junior itu mengikuti ke mana pandangan Chanyeol mengarah.
"Tentu saja kenal. Dia siswa baru di kelasku."
"Siapa namanya?"
"Sehun. Song Sehun." Alis Chanyeol langsung keriting. Ia teringat sebuah nama serupa yang disebutkan oleh Kai. Alih-alih mengucapkan terima kasih karena tanyanya sudah dijawab, ia justru hendak melontarkan pertanyaan lain.
"Song Sehun itu pindahan dari mana?"
"Seingatku dari Jeonju."
Bingo! Orang itu memang yang dibicarakan oleh Kai tadi. Sekaligus orang yang ia temui kemarin sore. Tetangga barunya.
"Apa kau mengenal Sehun, Sunbae?"
Chanyeol langsung menggeleng. "Tidak. Aku tidak mengenalnya. Memang kalau aku mengenalnya, lalu kenapa?"
"Kupikir Sunbae mengenalnya. Sehun itu aneh sekali, kalau Sunbae mau tahu."
"Hmm... aneh? Aneh bagaimana?" Sengaja Chanyeol berlagak tidak tahu apa-apa. Alasannya? Ia sendiri juga tidak tahu pasti, sejujurnya.
"Dia tidak mau disentuh siapa pun. Coba perhatikan dia, Sunbae!" Chanyeol sedikit merasa kikuk, tapi akhirnya ia mengikuti juga perintah juniornya. Lebih intens ia memerhatikan Sehun yang duduk beberapa meter darinya. Bahkan, melihat Sehun yang sendirian di antara kelompok-kelompok siswa yang memenuhi setiap sudut sekolah pun sudah membuatnya terlihat aneh, kenapa diperparah dengan ia yang mengamuk?
"Padahal, ia terlihat baik-baik saja. Kulitnya sangat bersih dan wajahnya juga cukup tampan. Banyak siswa perempuan yang langsung tertarik padanya, tapi saat ada yang mengajaknya ke kantin bersama, ia menolak. Saat ada yang memaksa dan menarik tangannya, ia langsung marah. Ia menggebrak meja sekali, lalu mengatakan dengan wajah marah agar kita jangan menyentuhnya, dan setelah itu pergi begitu saja."
Penuh sabar Chanyeol endengar cerita tersebut, tapi beberapa saat kemudian tawanya meledak sehingga mengundang kerutan di kening junior yang tidak memperkenalkan namanya itu.
"Kenapa Sunbae tertawa?"
"Aku geli melihatmu memuji fisiknya. Apa kau menyukainya? Semacam love at first sight, begitu?"
Wajah junior itu mendadak merah. Ia tak menyangka seniornya bisa berpikiran begitu. "Bu-buk-kan begitu, Sunbae. Aku hanya menilai sesuai yang kulihat. Sama sekali bukan seperti yang Sunbae pikirkan. Tolong Sunbae jangan berpikiran macam-macam."
"Ah ya... ya... aku hanya menjailimu. Kau cukup oke, kok. Tidak usah frustasi tidak akan mendapatkan gadis manis." Chanyeol meredakan tawanya. Ia menepuk-nepuk pundak junior yang tinggi tubuhnya tidak melebihi dirinya itu, sementara sang junior hanya bisa menunduk menahan malu.
.
.
.
"Aishh, apa-apaan Kai itu! Apanya yang mengamuk? Jelas-jelas Sehun itu hanya menggebrak meja satu kali. Sama sekali jauh dari mengamuk," gerutu Chanyeol sambil melempar tasnya ke tempat tidur. Setelah itu ia pun ikut melempar tubuhnya ke tempat yang sama.
Seharian ini, tepatnya setelah mendengar cerita singkat tentang Sehun di sekolah, pikirannya jadi tak bisa lepas dari bocah itu. Dirinya pun juga tak lepas keheranan kenapa ia bisa begitu sibuk memikirkan orang yang tidak—atau mungkin belum—dikenal betul itu.
"Kenapa Kai suka sekali membesar-besarkan berita?" Chanyeol meringis mengingat sahabatnya. Di pikirannya, mengamuk sama dengan marah besar. Lebih dari sekadar menggebrak meja dan pasang wajah marah, lalu kemudian pergi. Bayangan mengamuk yang ada di kepalanya adalah membanting atau melempar barang, merusak sesuatu, dan menyerang sampai membabi buta.
Berpikir untuk melepas penat atas segala yang memenuhi otaknya, Chanyeol melepas satu kancing atas kemejanya hingga semakin mengekspos lekuk lehernya menuju pundak yang nyaris sempurna. Ia bangkit untuk menuju dapur dan mengambil minum namun baru tegak sempurna ia berdiri, bunyi rendah yang berulang berhasil ditangkap telinganya.
"Eh, kenapa kamar sebelah ini berisik sekali?" keluh Chanyeol masih dengan posisi memunggungi tempat tidurnya. Ia coba mengabaikan, tapi bunyi yang seperti bersumber dari benda yang diketukan itu malah semakin mengusiknya.
Buru-buru Chanyeol kembali naik ke kasur kecilnya yang ditempatkan merapat pada dinding. Ia menyimpan suaranya beberapa saat selagi telinganya sibuk mengenali bunyi apa itu.
"Apa Sehun dan keluarganya itu masih membereskan perabot rumah mereka?" tebak Chanyeol di antara suara aneh yang terdengar dalam kurun waktu teratur itu.
Satu menit, dua menit, Chanyeol masih bersikap tak acuh. Akan tetapi, hingga ia selesai membersihkan diri, bunyi "tuk… tuk... tuk..." itu malah semakin mengganggunya. Ia berniat keluar menyambangi kamar tetangga barunya. Pikirnya, ini bisa sekalian untuk menerapkan sikap ramah-tamah yang diajarkan ibunya pada orang baru. Siapa tahu juga yang menyambutnya nanti adalah Sehun, sekalian ia bisa memperbaiki pertemuan pertama mereka. Ingat! Chanyeol masih bersikeras ingin meluruskan pada Sehun ia bukan penguntit.
.
.
.
Kini Chanyeol pun sudah berdiri di depan pintu kamar sewa keluarga Song. Kamar yang ternyata salah satu penghuninya bernama Sehun. Hanya saja, berbanding terbalik dengan sikap yakin saat keluar kamar tadi, kini ia justru berdiri canggung. Padahal yang dihadapinya barulah pintunya saja, belum penghuninya langsung.
Entah kenapa, saat mengingat betapa datar dan lempengnya nada suara dan ekspresi Sehun serta aura dingin yang dihasilkan namja itu, membuat Chanyeol agak ciut. Ia berpikir ulang apa benar-benar akan mengetuk pintu di depannya ini atau tidak. Namun, ternyata Tuhan merasa Chanyeol terlalu lama berdiskusi dengan dirinya sendiri. Bahkan, untuk hal sepele seperti ini. Jadi, Ia memutuskan hal tak terduga bagi Chanyeol untuk terjadi.
Klek
Chanyeol terkesiap. Ia langsung mengumpat dalam hati saat menyadari hal sama seperti kemarin sore kembali terjadi, tapi ia juga menyadari kali ini kenyataan lebih buruk baginya. Sosok pria berumur yang dari tampangnya sudah pantas memiliki anak itu balas menatap Chanyeol dengan bingung.
"Annyeonghaseyo." Merasa tak ingin memperburuk citra, Chanyeol segera memberi salam. Salam yang diucapkan dengan gerak bibir yang begitu cepat.
Chanyeol menahan napas beberapa saat. Ia sudah siap kalau balasan yang ia terima sama datarnya seperti yang diberi Sehun kemarin. Yah, pepatah "buah jatuh tak jauh dari pohonnya" masih berlalu, kan? Kalau Sehun saja begitu, keluarganya tidak jauh-jauh, kan?
"Annyeonghaseyo..." Seketika Chanyeol menegakkan tubuhnya. Bingkai matanya tampak lebih jelas. Ia hampir tak percaya dengan suara lembut yang baru saja ia dengar.
"Maaf, apa kau berdiri di situ karena ingin mengunjungi tempatku?" tanya pria tak dikenal itu.
"Ah, iya. Aku ingin menyapa tetangga baruku." Chanyeol diam sejenak. Menanti reaksi lawan bicaranya. "Selamat datang, Paman..." tambahnya dengan senyum kikuk.
"Terima kasih atas niat baikmu, Nak. Siapa namamu?"
"Namaku Chanyeol. Seo Chanyeol."
"Aku Song Hwan." Pria yang diyakini Chanyeol sebagai ayah Sehun memberi sedikit jeda. Ia tersenyum hangat, menyebabkan dua lesung di pipinya tercetak jelas.
"Sekali lagi terima kasih, tapi maaf aku tidak bisa mengajakmu masuk. Aku harus pergi bekerja. Di rumahku juga tidak ada orang. Jadi, tidak bisa menemani."
"Apa Sehun belum pulang sekolah?" tanya Chanyeol spontan dan langsung mengundang raut terkejut Tuan Song.
"Kau mengenal Sehun anakku?"
"Sebenernya baru sekadar tahu. Itu pun tidak sengaja. Ia hoobae-ku di sekolah." Entah kenapa, tapi Chanyeol merasa Tuan Song begitu kaget mendengar ia mengetahui anaknya. Chanyeol juga yakin ia melihat keramahan Tuan Song berubah sedikit tegang. "Tapi sepertinya Sehun belum tahu," imbuh Chanyeol pada akhirnya.
"Oh, begitu ya?" Paman Song terlihat rileks kembali. "Sehun memang belum pulang sekolah. Tadi pagi aku menyuruhnya mampir ke supermarket membeli bahan makanan. Mungkin ia masih di jalan, tapi nanti aku akan memberitahunya tentangmu. Maklum, istriku sudah meninggal. Jadi, aku dan Sehun harus ekstra berbagi tugas mengurus rumah."
Chanyeol tercenung. "Eomma-nya Sehun sudah meninggal?"
"Maaf, Chanyeol, tapi sudah waktunya aku pergi bekerja." Suara Tuan Song kembali mengangkat perhatian Chanyeol.
"Ah, iya. Kalau begitu aku permisi, Paman."
Chanyeol berjalan kembali menuju kamarnya setelah membungkuk dalam pada Tuan Song. Namun sayangnya, Chanyeol tidak melihat bahwa Tuan Song bukannya pergi menuju tangga untuk meninggalkan flat, tapi justru kembali masuk ke kamarnya.
.
.
.
"Apa?! Jadi orang yang kubilang ajaib tapi kaubilang aneh itu tetangga barumu?"
"Dia punya nama, Kai. Namanya Sehun."
"Kenapa kau tidak bilang padaku sebelumnya?"
"Aku juga baru tahu dan baru benar-benar memastikan. Aish, suaramu akan membuatku tuli." Kai merengut, tapi tidak terlihat ingin membalas mengatai Chanyeol.
Beberapa saat setelah itu mereka terdiam. Melewati koridor menuju gerbang sekolah dengan pikiran masing-masing. Chanyeol baru saja memberi tahu Kai kalau murid baru bernama Sehun yang kemarin mereka bicarakan adalah tetangga barunya. Ia sengaja memilih waktu setelah jam pulang sekolah untuk bercerita. Prediksinya tadi, Kai akan bertanya banyak setelah mendengar apa yang dikatakannya. And see! Kai tidak juga mengerem mulutnya apalagi setela Chanyeol melengkapi ceritanya dengan bagaimana awal pertemuannya dengan anak itu, sekaligus pertemuannya dengan ayah Sehun.
"Tapi, kau yakin Eomma-nya Sehun sudah meninggal?" tanya Kai kemudian.
"Appa-nya langsung yang mengatakannya. Kau masih meragukannya?"
Kai mengangguk-angguk beberapa kali. Tampangnya berubah serius, seakan kepintarannya tengah bertambah saat itu juga.
"Kalau begitu sudah jelas."
"Eh, apanya?"
"Mungkin Sehun menjadi seperti ini karena kepergian Eomma-nya."
"Lalu, apa aku juga terlihat bertingkah aneh seperti Sehun? Appa-ku juga sudah meninggal, Kai. Kaulupa?" Tatapan menyengat langsung diterima Kai dari sepasang mata Chanyeol.
"Kau berbeda dengan Sehun, Chan. Kau sudah aneh dari lahirnya."
"Yakk! Jangan bicara seolah kau sudah kenal aku dan Sehun sejak lahir." Kai yang masih terkikik-kikik segera bersiap menghindar saat melihat tangan Chanyeol sudah terangkat. Entah mau memukul, entah mau menyentil dahinya, atau apalah, yang penting ia menghindar.
Chanyeol langsung ambil ancang-ancang menerjang tubuh Kai yang berlari meninggalkannya. Lengan kanannya hampir berhasil mengapit leher Kai kalau saja namja yang tidak lebih tinggi darinya itu tidak berhenti mendadak. Membuat tubuh mereka bertumbukkan.
"Hari ini kau benar-benar menyebalkan, Kai," ungkap Chanyeol di sela ringisannya. Ia merasa hidungnya yang bertulang tinggi itu tepat menghatam tulang belakang Kai.
Beberapa detik Chanyeol sibuk dengan hidungnya namun akhirnya ia menyadari bahwa Kai masih beku di posisi yang sama
"Apa yang sebenarnya kaulihat, Kai?" Suara Chanyeol melunak. Sinar matanya mengikuti ke arah mana Kai melihat.
"Apa yang para hoobae itu lakukan?" Chanyeol tidak yakin apa Kai tengah bertanya padanya atau tidak karena suaranya yang begitu pelan lebih mirip gumaman. Tapi, toh akhirnya Chanyeol juga ikut bertanya-tanya dalam hati. Membuat ia berakhir seperti Kai yang meningkatkan perhatian pada salah satu kelas yang setingkat di bawahnya. Akhirnya, dua pasang mata itu sama-sama melihat sekumpulan siswa yang mungkin jumlahnya sama dengan seisi kelas itu memenuhi sudut kelas yang paling jauh dari pintu.
"Ayo lihat, Chan!"
"Mungkin mereka hanya sedang bermain, Kai." Tebakan Chanyeol bermaksud mencegah Kai.
"Permainan apa yang hanya berkumpul di sudut ruangan begitu?" Chanyeol pasrah, apalagi saat Kai sudah menarik tangannya. Bisa saja ia membebaskan diri, kalau saja keseimbangannya tidak goyah karena tarikan Kai yang begitu cepat dan tiba-tiba. Chanyeol hanya memalingkan muka selagi Kai terus membawanya memasuki kelas tersebut dan menerobos gerombolan siswa.
"Permisi-permisi... kami ingin lihat apa yang kalian lakukan." Beberapa siswa langsung menyingkir saat mengetahui yang tengah berbicara adalah senior mereka. Namun, beberapa ada yang tampak berpikir dulu baru kemudian memberi jalan dengan raut yang sulit diartikan.
Sementara itu Chanyeol merasa semakin malu. Ia terus menundukkan wajahnya seraya menyesali perbuatan kawan yang entah kenapa bisa begitu ia sayangi. Tidak bisakah Kai tidak sepolos itu? Menurutnya, sama sekali tak perlu mengatakan bahwa mereka ingin melihat apa yang para hoobae itu lakukan. Seolah mereka ingin tahu segalanya. Satu lagi! Apa pula kata "kami" itu? Semua ini keinginan Kai! Chanyeol menunduk. Ia-sangat-malu. Namun, tiba-tiba saja...
"HUWA!" teriak Kai yang nyaris membuat seisi kelas itu terlonjak dan sisanya langsung menatapnya dengan roman muka kaget luar biasa.
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
Aku hanya new comer yang sebelumnya kalau kasih review Ff lain dengan username HelloMonster.
It's okay if you're silent reader, but please don't do plagiarism for my story and other authors' story^^
