Disclaimers:
Naruto © Masashi Kishimoto
Ego © Jinsei Megami
Warning: AU, OOC, Typo(s)
Read first, baru boleh nilai suka apa nggak... ^^
Enjoy read, Minna~
.
Jinsei Megami Proudly Present
EGO
[chapter 1: beginning with the end]
.
.
.
.
*TOK!*
*TOK!*
*TOK!*
Palu pun diketuk tiga kali di atas alas kayu. Menutup sidang yang dipimpin oleh seorang hakim tua penuh uban berwajah mesum. Saat ketukan ketiga, saat itu pula selesai sudah tiga tahun usia pernikahan Naruto dan Hinata. Tak ada yang tersisa.
Garis wajah tegang terlukis di paras sang duda muda. Dengan gerakan yang kaku, ia tolehkan kepalanya ke kiri. Di mana jandanya bersimpuh dengan anggun di kursi bak seorang maharani. Hinata memang seorang permaisuri. Dan kini sang permaisuri bukan lagi miliknya. Hinata kembali menjadi Hyuuga.
Ditatapnya wanita cantik itu dengan intens. Sebut dia egois karena ingin ia temukan raut kesedihan di sana. Semata agar ia tak merasakan hal itu seorang diri. Namun usahanya sia-sia. Hinata hanya memancarkan wajah datar tanpa ekspresi. Matanya pun masih terpaku ke depan, di mana hakim Jiraiya mulai meninggalkan ruang sidang.
Mungkin ia takkan beranjak dari kursinya jika saja ia tak melihat Hinata bangkit dari posisinya. Ia pun ikut berdiri. Menunggu Hinata menoleh padanya. Berharap Hinata menghadiahinya sesuatu, walau hanya sekadar senyuman pun tak apa. Itu lebih dari cukup untuknya. Cukup sebagai penutup.
Hinata memang menoleh padanya. Hanya sekilas sebelum wanita itu melewatinya dalam diam. Diikuti oleh pengacaranya, ia menghilang di balik pintu ruang sidang.
Naruto mematung dan masih memandangi pintu kayu itu. Jangankan sebuah senyuman, pandangan hangat khas Hinata pun absen dari amethys-nya. Harapannya musnah.
Tapi apa yang mau ia harapkan, memang? Palu hakim telah diketuk. Surat cerai pun sudah dilegalkan. Apa lagi? Hh! Bukankah kaulah penyebab karamnya bahtera rumah tangga kalian, Naruto?
Jika ada yang harus disalahkan, orang itu adalah kau, Naruto. Bukan Hinata.
Sebuah tepukan di bahunya membuyarkan lamunannya. Naruto tersentak. Dia baru menyadari kini hanya tinggal dirinya sendiri dan Sasuke –pengacara sekaligus sahabatnya –di ruangan itu. Sasuke mengajaknya ke luar ruang sidang. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan di dalam sini.
"Mau kuantar pulang?" tawar Sasuke saat mereka hampir sampai di tempat parkir gedung pengadilan. Naruto tahu, Sasuke hanya berbasa-basi. Bukankah si bungsu Uchiha itu sudah tahu dari awal bahwa Naruto berangkat sendiri tadi?
"Aku bawa mobil," jawaban Naruto yang sudah diketahui Sasuke pun terlontar.
"Oke. Kalau begitu, aku duluan," ucap Sasuke lagi. Kemudian dia mendahului Naruto ke mobil SUV hitamnya dan memacunya keluar pelataran, dengan menekan klakson menyapa Naruto saat melewatinya. Naruto membalasnya dengan mengangkat tangan.
Dia berjalan ke arah mobil sport-nya diparkir. Sesuatu membuatnya melirik ke satu tempat di lahan parkir itu –tempat tadi mobil Hinata diparkir –, sebelum ia masuk ke mobil jingganya sendiri, dan mendapati boneka kepala Hello Kitty milik Hinata masih ada di atas kursi di samping kursi kemudi. Di sampingnya.
Terbayang banyak kejadian dulu antara dia dan Hinata, kala Hinata masih menyandang nama Namikaze. Terutama segala yang pernah terjadi di antara mereka di dalam mobil sport itu.
Ingatannya berputar di kejadian satu setengah tahun yang lalu. Saat Naruto baru saja membeli mobil ini.
.
*TOK-TOK-TOK*
Hinata mengetuk kaca pintu di kirinya, membuat Naruto menoleh. Diturunkannya kaca itu dan istrinya langsung memberondongnya dengan pertanyaan, "Mobil siapa ini?"
"Mobilku."
"Kenapa nggak bilang padaku kalau kau mau beli mobil?"
"Kenapa aku harus bilang padamu?"
"Tentu saja karena aku istrimu, Tuan Uzumaki! Sekarang buka pintunya dan biarkan aku masuk!" Naruto menghela napas dan membukakan pintu untuk Hinata dari dalam. Dan Hinata pun masuk. Pandangan matanya mengelilingi interior mobil baru Naruto. "Kita nggak butuh mobil sport untuk sekarang ini, kan. Jadi kenapa kau membelinya? Mobil SUV-mu saja baru berusia setahun. Ini hanya pemborosan saja, kau tahu?"
"Dulu kau nggak secerewet ini, Hinata. Aku membelinya karena aku ingin. Aku sudah sangat sibuk dengan pekerjaanku. Aku hanya ingin ngebut dan melepas penat."
"Bagaimana bisa ngebut membantumu melepaskan penat?"
Mata Naruto berkilat jahil dan bibir kirinya tertarik sampai ke pipi. "Bisa. Coba saja."
.
Dan Naruto ingat setelah ia bicara, ia langsung membawa Hinata mengebut. Hinata terus berteriak ketakutan saat itu. Naruto mendengus. Senyumnya terbentuk sejenak untuk kemudian hilang. Lalu dijatuhkan kepalanya di atas stir mobil.
*TOK-TOK-TOK*
Didengarnya ketukan dari kaca di sisi kirinya. Kepalanya langsung ia tegakkan dan menoleh dengan cepat hingga nyaris terkilir. "Hina –"
Seruannya terputus saat melihat pelaku pengetukkan kaca mobilnya. Jiraiya. Dia mendengus menyayangkan betapa miris keadaannya sekarang. Berani-beraninya ia berharap Hinata muncul di depannya. Naruto, kau menyedihkan.
Jiraiya terlihat menggerakkan mulutnya, mungkin sedang bicara. Namun Naruto tak bisa mendengarnya jelas, hanya samar-samar. Maka pria pirang itu menurunkan jendela di kirinya. Jiraiya menggerakkan mulutnya lagi. Kali ini suaranya tertangkap jelas oleh gendang telinga Naruto. "Buka pintunya dan biarkan aku masuk!"
Kalimat yang mirip seperti yang pernah diucapkan Hinata. Ingin sekali ia membayangkan Hinata yang berucap. Tapi mengingat kalimat barusan berasal dari mulut Jiraiya, hal itu benar-benar sulit dilakukan. Lagipula Naruto sedang tidak bersemangat berdebat dengan walinya itu. Maka Naruto menurutinya saja. Membukakan pintu dari dalam untuk Jiraiya.
Jiraiya masuk dan duduk di samping Naruto.
"Kenapa kau belum pulang?" tanya Jiraiya sambil mengambil sesuatu dari saku jas abu-abunya. Kotak rokok dan korek api.
"Aku baru mau pulang kalau saja kau nggak datang dan memaksa masuk."
"Tapi yang kulihat kau seperti mau menginap di sini. Bagaimana kalau kutraktir kau kopi?" Tawaran Jiraiya dibalas Naruto dengan penolakan. Dia belum makan sejak pagi. Kopi bukan pilihan untuk mengisi lambungnya yang kosong. Walau dia yakin mendapat kolik abdomen tidak lebih sakit daripada apa yang dideritanya.
"Rokok saja," kata Naruto begitu dilihatnya Jiraiya membuka jendela dan menyalakan rokoknya.
"Nggak. Nggak boleh ada nikotin dalam tubuhmu. Ini lebih parah dari kafein. Kau harus ingat apa kata dr. Shinnou. Rokok dapat membunuhmu!"
Naruto tak menggubris sama sekali peringatan Jiraiya. Ia langsung menyambar rokok di tangan hakim senior itu berikut korek apinya, tanpa mampu Jiraiya cegah. "Aku dapat mengingat dengan jelas apa kata dokter tua cerewet itu, Jii-san. Lagipula bukan hanya aku yang akan terbunuh dengan rokok. Kau juga. Setiap orang yang merokok akan mati perlahan karena benda ini."
Dan Naruto menekan tombol yang membuat atap mobilnya melipat ke belakang. Ia pun menghisap rokoknya sendiri.
Jiraiya menggelengkan kepalanya melihat anak dari mendiang mantan muridnya itu. Jiraiya menghisap rokoknya dan menghembuskannya ke udara. Dia bicara, "Sebagai walimu, aku menyayangimu, Nak. Aku nggak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Dua tahun yang lalu aku yang mendampingimu di altar, dan hari ini aku juga yang menjadi saksi perceraian kalian. Bahkan aku yang mengetuk palu pemisah kalian. Ah, aku membenci hidupku."
Naruto tak membalas apapun pada ucapan Jiraiya. Dia hanya menyandarkan kepala dan punggungnya di kursi kemudinya. Kembali menghisap rokoknya, sementara pandangannya melayang menatap jingganya langit senja.
"Tapi yang paling kubenci adalah melihat kau dan Hinata berpisah. Betapa bencinya aku melihatmu yang putus asa begini. Aku benci dengan tindakanmu ini."
"Hinata berhak bahagia, Jii-san. Dia nggak akan bisa mendapatkan kebahagiaan jika terus bersamaku." Naruto mematikan rokoknya dengan menekan puntung rokok itu ke atas asbak di dashboard-nya. Ia menegakkan duduknya. "Jadi maukah Jii-san keluar? Aku mau pulang."
Jiraiya menghela napas dan terpaksa keluar karena sudah diusir oleh sang pemilik mobil. Tanpa ada respect terhadap orang tua, Naruto langsung melajukan mobilnya tanpa permisi pada pria berusia enampuluhan tahun itu.
.
.
.
.
Ia tahu sejak awal bahwa perceraian adalah hal yang salah. Yang dapat menyakiti satu atau banyak pihak sekaligus, secara sadar atau tidak, secara langsung atau tidak. Karena itu, Tuhan pun membenci perceraian. Namun ia sama sekali tak menyangka rasanya akan sesakit ini. Sungguh perih hatinya, seperti luka yang disayat-sayat dan ditumpahi air garam.
Salahnya sendiri yang menyia-nyiakan wanita sehebat Hinata.
Tangan kanannya meremas kain kemeja di depan dadanya, menahan sesak dari rasa sesalnya.
Ya.
Ia sesungguhnya masih sangat mencintainya.
Naruto masih mencintai Hinata.
.
.
.
.
Naruto melempar kunci mobilnya sembarangan. Dia tahu besok dia pasti akan kelabakan mencarinya. Tapi ia tak peduli. Ia langsung beranjak ke kamar mandi. Mengguyur tubuh polosnya di bawah shower.
Tetesan air yang jatuh di kepalanya mampu membuatnya sedikit lebih rileks. Walau sama sekali tak bisa menghapus rasa sakit hatinya. Sakit hati yang ia torehkan sendiri.
Ia tak berniat menyudahi acara mandinya jika saja gendang telinganya tidak menangkap suara sialan itu. Suara alarm dari handphone-nya. Sambil menggerutu, disambarnya handuk putih dengan tangannya yang keriput karena terlalu lama terpapar air. Ia melilitkan handuk putih itu di sekeliling pinggangnya.
Ia keluar dan mendapati kamarnya gelap gulita. Hanya suara teriakan alarm yang mengisi keheningan. Ia mengelilingi tempat tidurnya demi sampai di sisi lain tempat tidur itu. ia melirik kasur dengan sprai putih itu. Ia mendengus. Sampai kurang dari dua bulan yang lalu, kasur itu tak pernah kosong jika ia selesai dari rutinitas mandinya. Pakaian ganti yang bersih pasti telah tersedia di sana.
Hinata adalah istri yang perhatian.
Dan ia tak memilikinya lagi. Dengan sok pahlawan ia memutuskan menyelamatkan gadis itu dari dirinya sendiri. Dengan cara membuangnya.
Sial!
Ia mematikan alarm yang memekakkan telinga itu. Alarm itu bukan untuk membangunkan tidur, namun untuk mengingatkannya atas rutinitas barunya selama beberapa bulan terakhir.
Naruto menarik laci meja nakas. Menggesernya hingga terbuka. Beberapa tabung plastik transparan berisi kapsul dan tablet beragam warna ada di dalamnya, menunggu Naruto. Naruto mengeluarkan beberapa dari dalam wadahnya dan mendorong mereka masuk dengan segelas air melewati tenggorokannya.
Saat ia berniat menutup laci nakas, matanya terpaku pada sebuah benda berbentuk persegi yang juga ada di sana. Ia tahu benda apa itu, tentu saja. Ia yang meletakkannya di sana dari tempat asalnya di atas meja. Benda itu sebuah bingkai foto. Seharusnya ia tak tertarik lagi untuk melihatnya. Seharusnya ia menyingkirkannya saja.
Ia mengambilnya. Menatap fotonya bersama Hinata. Ia tersenyum miris.
Seperti foto-foto lainnya yang ia sembunyikan alih-alih ia buang, Naruto pun tak kuasa menyingkirkan frame itu. Mereka —foto-foto itu— harta berharganya sekarang. Bukti sejarah hidupnya. Bahwa Naruto Uzumaki pernah memiliki seorang wanita sempurna bernama Hinata.
Dadanya terasa perih mengingat Hinata. Ia merindukannya.
Pandangan matanya menerawang melewati pintu kaca balkon yang membiaskan gelapnya langit malam.
Apakah Hinata juga merindukannya?
Naruto mendengus lagi. Pertanyaaan macam apa itu? Hinata tak mungkin merindukannya. Itu hal yang mustahil.
Iya kan, Hinata?
.
.
.
.
Hinata membanting pintu lemari pakaiannya dengan kesal.
Hinata membenci dirinya. Dia tak bisa begini terus. Dia tak boleh terus menerus memikirkan lelaki brengsek itu. Kini dirinya bebas. Ia pun takkan sakit hati lagi.
Bisa-bisanya Hinata membuka lemarinya sendiri hanya untuk mencari pakaian ganti untuk Naruto, hanya karena jam-jam seperti ini biasanya mantan suaminya itu pasti sedang membersihkan diri. Hinata tadi terkejut saat sadar bahwa itu bukan lemari pakaian mereka di apartemen. Hinata bahkan sudah resmi tak ada hubungan apapun lagi dengan pria itu. Lalu kenapa ia masih peduli?
Tidak. Hinata tidak peduli lagi. Sungguh.
Ini hanya kebiasaan yang sedang ia usahakan untuk ia ubah. Seperti menyiapkan baju ganti Naruto, memasak makanan kegemarannya, dan semacamnya. Kini Naruto sudah ada yang mengurus dan melayaninya. Wanita pirang murahan itu.
Ugh! Hinata menyentuh dadanya. Mengapa rasanya masih sakit? Bukankah ia kini membenci Naruto? Bukankah ia tak lagi mencintai Naruto?
'Benarkah?'
Sebuah suara dengan nada meremehkan muncul di kepalanya.
Tangannya mengepal.
"Benar." Hinata bicara pada dirinya sendiri. "Pria brengsek pengkhianat seperti dia nggak pantas dicintai."
Untuk itu, Hinata harus melupakan segala hal tentang Naruto. Dia tahu itu akan sangat sulit –mendekati gagal – bila ia masih berada di Konoha. Di mana setiap sudut kota ini terdapat kenangan dirinya bersama Naruto.
Hinata menyangga kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Bagaimana ini?
Tiba-tiba dia ingat seorang kenalan lama, seseorang yang berpotensi sebagai solusi masalahnya. Ia menyambar handphone-nya dan menghubungi temannya itu. Berharap ia tidak menelepon terlampau malam. Baru saja ia melakukan protes terhadap dirinya sendiri karena berlaku tak sopan menelepon seseorang malam-malam, sambungan teleponnya diangkat.
"Moshi-moshi, Hinata."
"Ah! Moshi-moshi, Terumi-san."
"Ada apa meneleponku malam-malam? Apakah ada sesuatu? Kau membuatku khawatir."
"Aku nggak apa-apa. Maaf mengganggumu." Hinata berdiri dari duduknya, berjalan ke arah jendela dan memandang langit malam. Tangannya meremas tirai jendela ketika berkata, "Hari ini aku telah resmi menjanda."
"Oh, ya Tuhan."
"Tapi bukan itu yang ingin kubicarakan. Terumi-san, aku ingin minta bantuanmu." Tangan Hinata melepas tirai jendelanya dan jatuh menggantung di sisi tubuhnya. "Bisakah jika aku..."
.
.
.
.
[to be continued]
[a/n]
Yo, readers!
Ada yang kangen ama Meg? Kayaknya nggak ada. *hahahahaha*
Ini multichapters. Kapok ama fic multichapters Meg yang lain yang belum lanjut? Sama. Meg juga. Seperti yang Meg ilang di fic Meg yang lain yang belum lama Meg publish, yang nyaris nggak ada yang ngelirik, Meg bilang –atau ngetik di situ— 'Meg keilangan feel-nya. Kayaknya buat numbuhin feel lagi, Meg harus bertapa dulu'.
Begitulah. Buat 'Ego', kayaknya nggak akan banyak chapter-nya. Mungkin empat atau lima chapters aja. Mudah-mudahan ini nggak stuck kayak sodara-sodaranya yang lain.
Nah, Meg penasaran. Ada nggak ya, yang baca ini? Hmm...
