"Well begitulah. Akhirnya aku harus pindah kuliah ke Tokyo. Kali ini bukan untuk jalan-jalan liburan musim panas tapi untuk hidup disana–di Tokyo!"

Seorang perempuan berlarian di lorong terminal dua Los Angeles International Airport. Dengan membawa sling bag Kate Spade merah maroon dan map tipis dengan kertas tak beraturan di dalamnya. Kaki jenjangnya yang dilapisi adidas superstar dengan lincah bergerak menuju pesawat Northwest Airlines yang sudah tiba. Baka! Memalukan sekali sampai tidak dengar kalau pesawatmu sudah datang! Shit!

"Nanti aku ceritakan–yang pasti aku akan berkuliah di Universitas Tokyo mulai bulan depan. Iya, iya–tenang saja aku pasti akan memberitahumu nanti. Aku naik pesawat dulu. See you, bye Ino."

"Cepatlah Sakura, kita bisa ketinggalan pesawat!"

"Iya iya aku juga sedang berlari ini!"

.

.

.

Irresistible

by Lyonia Avilura and Venusa Rays

Romance/Drama

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: Alternate Timeline, maybe out of character

.

.

.

Flashback

"Sorry darling, but you have to go to Tokyo with your brother."

"WHAT?"

"WHAT?"

"What?"

Sepasang remaja laki-laki dan perempuan saling menatap tidak percaya sambi melongo heran. "Mom, are you okay?" Perempuan dengan postur tinggi kurus itu mengerutkan dahinya, "Maksudku, kenapa? Kenapa aku harus ke Jepang? I wanna go to Harvard, Mom, you know it well!"

Emily Woods, wanita 40 tahun dengan rambut ikal kecoklatan sebahu, mata biru muda, dan perawakan 25 tahun. Sudah 19 tahun belakangan berganti nama menjadi Emily Haruno setelah menikah dengan Kizashi Haruno dan hidupnya diwarnai dua anaknya yang menggemaskan. Sama seperti saat ini ketika kedua anaknya sedang rewel. "Cherry sayang, sudah terlalu lama kau terus saja mengelak tidak mau ke Jepang. Padahal kau tahu sendiri kau lahir di Jepang."

"So what? I was born in Japan, but my heart, life, and everything…. I love LA, Mom. Please I just wanna stay here."

"Your dad want you two to go to Japan just for studying, setelah itu kalian bisa pergi kemanapun kalian suka." Emily yang duduk di tengah kedua anaknya tampak lebih menonjol ke arah putrinya yang merengek. Tangan kanannya meraih rambut anaknya yang "Lagipula sudah saatnya kau mengenal tanah kelahiran kalian juga, Sakura."

Sakura Haruno tetap tidak bisa menerima alasan tidak logis Ibunya yang kali ini sudah kelewat batas. "Mom, I'm eighteen and I have my own right to choose every decision in my life. I am Sakura Haruno, I know the meaning of my name, and we always speak Japanese in this house. I can learn Japan from here, you can't do this to me! I don't wanna go there. I have my life in here–my dreams, friends, Harvard, Mom and Dad. I am begging you." Suaranya yang sedikit berteriak pertanda bahwa Sakura tidak lagi main-main untuk memohon sesuatu pada Ibunya. Emily tahu betul anaknya paling benci memohon. "Dan aku yakin Sasori pun tidak mau pergi ke Jepang, Mom!"

"Oh ya? Kata siapa kakakmu tidak mau pergi kesana?" Emily mengerling jahil pada anak lelakinya yang asyik dengan ponselnya. "Sasori sayang, will you go there, won't you?"

Sasori Haruno hanya diam sejak pertama kali topik "pindah ke Jepang" mulai jadi hitz di rumah ini. Menurutnya di LA, Tokyo atau dimanapun itu tak masalah untuknya. Yang penting dia bisa melukis dengan tenang. Dan tidak harus repot-repot mencari uang, juga memasak, juga mengurus rumah, juga mencuci baju. "No problem, Mom."

Sakura dibuat shock lagi hari ini. Mantra apa yang dirapalkan Ibunya pada Sasori hingga dia menuruti permintaan Ibunya yang aneh. Sakura hanya bisa menghela napas panjang.

"Nah kakakmu sudah siap. Bagaimana denganmu, Sayang?" Emily yakin bahwa dia sanggup membuat kedua anaknya melayang ke Jepang. Meskipun untuk Sakura, dia perlu lebih mengeluarkan tenaga.

Sasori bukan orang yang bisa diharapkan. Kelakuannya yang aneh, melukis di kamarnya sepanjang hari pada hari pertama lalu keluar kamar di hari berikutnya dengan ekspresi datar tanpa beban padahal hilang seharian. Setau Sakura, Sasori adalah orang yang bebas, namun untuk satu hal ini dia tidak paham mengapa Sasori iya-iya saja mengikuti perintah Ibunya.

"Aku akan tetap di LA. Aku akan ke Harvard seperti blueprint hidupku, dan aku akan menjadi dokter disini." Sakura meneguhkan keputusannya sekali lagi.

"Tapi Ayah dan Ibu tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun untuk kuliahmu di Harvard. Ibu juga akan menghentikan uang bulananmu. Bagaimana?"

WHAT? "Aku bisa cari kerja disini. Aku tidak akan merepotkan Mommy, tenang saja." Sakura tidak ada pilihan lain. Omongannya barusan tidak serius tentu saja.

"Kau tidak pernah bekerja sebelumnya. Lagipula pekerjaan apa yang bisa dilakukan lulusan SMA sepertimu. Apapun pekerjaan itu, Ibu rasa tidak akan cukup untuk biaya pendidikan dokter di Harvard, Sweetie. Japan will be the great things in your blueprint."

Sakura mulai merasa sesak. Ini tidak adil. Tiba-tiba semuanya menjadi tidak adil. Tapi ia tidak ada pilihan lain. "Kau tahu aku tidak pernah bisa menang darimu, Mom. Kau selalu mendapat yang kau mau." Sakura beranjak pergi ke kamarnya, "Thanks a lot!"

Emily Wood tersenyum lebar. Ia puas dengan kemampuannya bernegosiasi yang sangat ahli. Sasori masih tidak beranjak dari game di ponselnya dan masih di sebelahnya, duduk dengan tenang. Anaknya yang satu ini manis sekali. "Oiya Sasori sayang, Mom and Dad sudah menyiapkan sebuah apartemen –well tidak sebesar rumah ini memang, namun cukup besar untuk kalian berdua."

Sasori mengangguk singkat. Matanya masih terfokus pada game di tangannya. "Yes Sir!"

"Ujian masuk Universitas Tokyo minggu depan–kalian bisa mengerjakannya online. Uang kuliah dan kebutuhan kuliah sudah siap, uang bulanan sama dengan SMA–nilainya lumayan besar dalam yen. Uang untuk kebutuhan makan sehari-hari dan mengurus apartemen juga sudah siap. No maid! Kalian harus memasak dan mengurus rumah bergantian. Anak kembar Ibu yang manis pasti bisa melakukannya." Emily Woods sangat detail menyampaikan satu per satu seperti sudah menyiapkannnya sejak lama. Senyum yang sedari tadi dipamerkan terlihat jelas bahwa dia sedang bahagia. "Goodnight dear."

Emily Woods meninggalkan Sasori dengan kecupan manis di dahi putih anaknya, tanpa pernah melihat ekspresi Sasori yang hanya bisa mematung.

"What? No maid?"

Flashback end

.

.

.

"SAKURAAAA!"

"INOOOO!"

"Sakura sayang! Apa kabar?" Belum sempat Sakura mencari dimana keberadaan Ino, tubuh Ino sudah memeluknya di depan pintu café. Sudah lama Sakura tak bertemu dengan teman masa kecilnya ini.

"Wow kau memanggilku 'sayang'?" Sakura tersenyum jahil sembari balas memeluk sahabatnya. Sakura mendekati telinga Ino dan membisikkan sesuatu pelan, "Hey hey, kau tidak malu apa berlari dan peluk-peluk aku di depan café seperti ini?"

Ino terdiam dan mencerna ucapan Sakura. "Ah! Okay, kita duduk saja. Aku sudah memesankanmu macchiato freddo kesukaanmu." Ino hari ini tampak cantik. Rambut pirangnya yang lurus sekarang dibuat sedikit bergelombang. Mata hijaunya tampak semakin bersinar dengan auranya yang dewasa.

"Kau masih ingat kesukaanku? Ah kau memang sahabatku, thanks dear." Sakura meraih kopi kesukaannya dengan terburu-buru, menyeruputnya seakan belum minum selama beberapa hari.

"Jadi ada cerita apa saja yang belum aku tahu?" Ino menyela Sakura yang sedang bahagia meminum kopinya. "Ya Tuhan, rambutmu kenapa jadi pink begini?" Ino berteriak tiba-tiba, membuat Sakura langsung berhenti meminum kopinya.

"Bosan dengan warna rambutku," jawab Sakura singkat.

"Karena kau tidak mau orang tahu kalau kau dan Sasori itu kembar 'kan?"

"Tentu saja!" Sakura menjawab cepat dengan pandangannya yang masih fokus pada kopinya. "WHAT? Aku bilang apa tadi?"

Suara tawa Ino terdengar sangat keras di telinga Sakura. "Kau jangan pernah berbohong di hadapanku, Sakura. Sepertinya aku tahu rencanamu…" kemudian Ino melanjutkan tertawanya lagi.

Shit! Sakura merutuki dirinya sendiri yang sepertinya terlalu kentara di depan Ino Yamanaka. "Baguslah aku tak perlu cerita panjang-panjang padamu kalau begitu," ucap Sakura jutek.

"Hey hey hey kenapa jadi marah begini?" Ino menghela napas melihat kelakuan manja Sakura, "Aku mengenalmu sejak kau lahir–sembilan belas tahun bukan? Tentu aku bisa membaca maksudmu."

"I think it's so much better if I live with you, Ino. Kenapa aku tidak berpikir tentang ini sebelumnya."

"Dengan keluargaku? Tentu saja akan menyenangkan! Kebetulan ada dua kamar kosong–untukmu dan Sasori," jawab Ino antusias.

Sakura memutar bola matanya. "Maksudku hanya aku. Tanpa. Sasori." Sakura mendesah pelan, "Selama di Tokyo aku harus tinggal berdua dengan Sasori, mengurus apartemen, kuliah di tempat yang sama, bayangkan aku benar-benar hidup berdua dengan Sasori! Ibuku pasti sudah tidak waras." Sakura mengakhiri ucapannya dengan dramatis.

"Jadi kalian sudah diterima di Universitas Tokyo? Wow kalian kembar yang jenius ya!"

Sakura memutar bola matanya sekali lagi. "Lalu apa bedanya denganmu? Bukannya kita sejurusan ya?"

Perempuan di hadapannya meringis kecil. "Maksudku, siapa yang tidak akan terbengong-bengong. Kau kuliah kedokteran dan Sasori di jurusan seni di Universitas Tokyo. AH kalian di kelas internasional–tentu tidak sama denganku!" Sebelum pindah ke LA saat umur lima tahun, Sakura dan Sasori menonjol bahkan di playgroup. "Lalu bagaimana kabar kakakmu Sasori Haruno yang tampan itu?"

Ini yang Sakura benci dari Ino. Dia selalu menyebut Sasori tampan, cute, cool, dan sebutan menjijikkan lainnya. Sakura menyipit seram, "Bukannya kau sudah punya Sai Shimura yang kau ceritakan kapan hari?" tanya Sakura pedas.

"Kau ini serius sekali. Hey–kau masih ingat dengan ceritaku tentang si Sai itu?" Ino menyeruput cappucinonya dengan gugup. "Tapi Sasori memang begitu adanya, dear. Kau mestinya bangga memiliki kakak sepertinya–ah, kembaran!"

"Aku ingat betapa Sai Shimura membuat Ino Yamanaka tidak bisa tidur dan tidak makan. Aku tidak akan lupa paman Inoichi menghubungiku agar menyeramahimu tentang laki-laki." Sakura mengerling jahil pada Ino yang hanya bisa meringis, "Kau sangat menyukainya ya?"

"Bagaimana ya.. yah kau tahu sendiri tanpa aku memberitahunya padamu 'kan?" Raut wajah Ino berubah serius.

Akhirnya kau bisa mencintai satu orang, Ino. "Hubungan kalian sedang tidak baik ya?"

"Bagaimana ya, aku bingung harus cerita darimana. Sudahlah tak perlu dibahas." Ino meminum cappucinonya sekali lagi.

"Kenapa begitu? Bukannya dia juga di jurusan seni yang sama dengan Sasori?" Ada yang tidak beres dengan hubungan keduanya. Dari sosial medianya Sai Shimura sepertinya orang baik. Kenapa Ino sampai seperti ini?

"Hmm iya sama-sama jurusan seni." Ino menjawab pendek.

"Baiklah, lain kali saja kita bahas. Jadi kapan kita mulai berkeliling Tokyo?"

Dan sebelum masuk kuliah, Ino dan Sakura bertekad untuk ber-girls-day-out sebanyak mungkin.

.

.

.

"Dari mana saja kau?"

"Jalan-jalan dengan Ino."

"Lain kali beritahu aku dulu."

"…"

"…"

Apa dia bilang? "Memangnya kau siapa?"

"Ini baru hari kedua kita tinggal di Tokyo, jangan buat berratus-ratus hari mendatang rusak karena sikapmu yang kekanak-kanakan."

"Jawaban apa yang kau inginkan? Oh ayolah 'kakakku sayang', jangan buat aku tertawa dengan dirimu yang dewasa seperti ini." Sakura memutar bola matanya.

"Aku tak pernah melarangmu dengan segala rencanamu di Tokyo. Aku tahu semuanya. Kau merubah warna rambutmu–agar tidak sama denganku 'kan? Kau merubah semua identitasmu agar tidak ada yang tahu kalau kau dan aku adalah saudara kembar, bukan begitu Sakura Woods?" Mata cokelat Sasori mendadak awas menelisik. Semua yang dilakukan Sakura sudah keterlaluan. Rencananya yang sangat detail pasti direncanakan sebelum tiba di Jepang.

"Iya semuanya benar. Apa kau keberatan? Bukankah selama ini kau hidup dengan cat air dan kertas-kertas di kamarmu?"

"Apa kau tidak memikirkan bagaimana jika Ayah dan Ibu tahu?"

"Mereka tidak akan tahu kalau kau tutup mulut."

Sasori tertawa sinis. "Jangan salahkan aku kalau kau akan semakin lama terpenjara denganku, adikku sayang." Sasori pergi ke kamarnya. Setelah seharian membersihkan apartemen dan barang-barang mereka yang sangat banyak, "Aku sudah membersihkan apartemen ini. Kamarmu di sebelah kiri. Aku yang dekat dengan pintu–kalau ada apa-apa biar aku bisa langsung dengar. Goodnight."

Setelah Sasori menutup pintunya, Sakura terduduk di sofa merah maroon yang masih terlihat baru. Sasori benar. Barangkali yang dilakukannya sudah keterlaluan. Tapi Sasori itu menyebalkan. Bertahun-tahun hidup dengan orang aneh seperti Sasori yang hidupnya selalu melukis dan memperhatikan orang-orang di sekitarnya lalu dilukisnya. Sasori itu aneh. Apalagi hidup sebagai kembaran Sasori. Yang Sakura tahu, kembar itu sama-sama laki-laki atau perempuan. Itu baru menyenangkan. Sedangkan Sakura dan Sasori? Benar yang dikatakan Ino tentang Sasori, dia cool, tampan, pintar, dewasa, dan yang terpenting dia selalu melindunginya. Tapi Sakura tetap tidak suka fakta bahwa Sasori adalah kembarannya.

"Menyebalkan."

Sakura tidak mau memikirkannya lebih lama. Seharian keluar dengan Ino membuat kakinya seperti patah. "Sepertinya hari ini libur belajar dulu, aku lelah sekali," gumam Sakura lalu menuju ke kamarnya.

.

.

.

Sakura, ingat jangan masuk ke kampus dulu sebelum aku datang. Ingat! Jangan masuk dulu!

Pesan singkat Ino yang totalnya bisa sampai lima belas kali di ponselnya–yang isinya kurang lebih sama– sejak pukul 00.00 tadi pagi membuatnya benar-benar lelah. Belum apa-apa Ino sudah sangat berisik.

Aku sudah di depan kampus. Kamu dimana?

Sent.

Hari pertama masuk kuliah bukan hari yang istimewa bagi Sakura. Mahasiswa kedokteran Universitas Tokyo kelas internasional. Bahagia memang, namun akan lebih bahagia jika itu adalah Harvard. Tidak ada yang spesial hari ini; skinny jeans, sweater jumper putih yang menutupi lehernya dan blazer pink panjang. Sling bag kate spade favoritnya berisi satu bolpoin dan satu notes. Sisanya tissue, make up pouch seperlunya dan gadget pouch. Rambut pink nya diikat ekor kuda, menyisakan beberapa helai di samping, poninya yang biasanya penuh menutupi dahinya kini dibuat menyamping. Sedikit lipstick warna nude dan bedak tipis. Sakura tampak cantik hari ini.

"SAKURA!"

"Hey Ino!"

"Wow kau cantik sekali hari ini!"

"Kau bilang aku tak cantik pun, aku tak akan masuk duluan kok, Ino."

Ino tergelak. "Serius kau cantik hari ini," Ino yang masih terengah-engah merapikan jaketnya berbisik pelan, "Kau lebih mirip turis yang tersasar."

Sakura terkikik geli. "Aku tahu aku memang cantik, Ino. Kau tidak perlu melebih-lebihkan."

"Ngomong-ngomong kakakmu yang tampan dimana? Kenapa aku tak melihatnya?" Ino celingukan melihat sekitar. Ino tidak habis pikir tentang Sakura yang serius tidak menyukai Sasori.

"Aku berangkat duluan." Sakura menjawab singkat.

Ino shock mendengar jawaban Sakura. Tatapan Ino yang seakan masih membutuhkan jawaban sangat menggangggu Sakura.

"Tentu aku berangkat duluan. Ada seorang temanku yang sepertinya sangat nervous di hari pertamanya kuliah sehingga aku harus datang tepat waktu menemaninya agar tidak terlambat. Bahkan semalaman dia terus mengirimiku pesan singkat!" Sakura berkata mendramatisir.

Ino hampir terjungkal karena tertawa keras jika Sakura tidak memeganginya. "Oh Sakura sayang maafkan aku. Aku juga tidak tahu, tapi semalaman aku tidak bisa tidur–aku gugup sekali."

"Kenapa kau tidak berangkat dengan Sai saja sih?" Bibir Sakura mengerucut pura-pura sebal.

"Karena aku ingin berangkat denganmu. Kenapa? Kau keberatan ya?"

Mata emerald Sakura berbinar cerah pagi ini. "Katamu kau yang paling mengerti aku? Aku bercanda, Ino. Tentu aku juga senang bisa berangkat kuliah denganmu." Sakura menggamit lengan Ino.

"Tentu aku tahu! Ayo masuk!"

"Hey Sakura, kau pilih klub apa?"

Sakura berkeliling di antara stand-stand makanan. Tenggorokannya kering dan kakinya mulai lemas berkeliling kampus sejak tadi. Tiga hari hingga seminggu pertama kuliah memang masih acara pengenalan kampus. Huft tau begitu bolos saja belajar di rumah.

"Hey Sakura! Halooooo! Dengar aku tidak?"

Suara Ino yang menggelegar di kedua telinganya yang tertutup headset membuatnya tersadar bahwa mereka sedang saling bertelepon. "Sebentar Ino, aku mau beli minum dulu."

"Aku ingin jus jeruk satu ya…" Sakura menyerahkan dua logam 100 yen. "Arigatou."

Sakura merasa sedikit panas dengan sweater nya yang menutupi lehernya. Padahal di April begini Jepang sedang indah. "Ino? Kau masih disana?"

"I'm always waiting for you, dear."

"Aku belum menentukan memilih klub apa." Tangannya sibuk membaca brosur di tangannya. Sedari kecil Ayah dan Ibunya sudah membiasakan untuk berbahasa Jepang, juga dengan menulis huruf Jepang yang berbeda dengan huruf biasa, "Sepertinya aku ingin klub berkuda, atau panahan? Entahlah aku belum yakin."

"Hey cepat tentukan. Dikumpulkan paling lambat jam satu nanti!"

Ini yang Sakura tidak suka dari Ino. Selalu ingin kemana-mana bersamanya hingga klub saja harus sama. "Kau pilih saja dulu, nanti akan aku kumpulkan milikku. Kau ingin klub apa?"

"Tenang saja, aku tidak akan menempel padamu Sakura sayang. Aku akan ikut klub fotografi. Dan aku akan jadi modelnya."

Sakura lagi-lagi tergelak melihat ulah sahabatnya. "Great! Kau ingin jadi model atau ingin melihat Sasori?"

"Ha..ha..ha.. aku serius ingin belajar fotografi. Kenapa kau selalu berpikir buruk sih. Bagaimana sudah dapat teman baru? Tampan tidak?"

Tidak terasa jus jeruknya sudah habis. Sakura tidak menyangka jus jeruk Tokyo akan sesegar ini. "Belum. Sudah dulu ya, aku mau mengumpulkan dulu ke stand berkuda. Bye."

Balasan 'sampai jumpa' dari Ino mengakhiri perbincangan mereka. Sakura menghampiri stand berkuda dengan terburu-buru. Dia hanya ingin segera masuk ke kamarnya dan belajar atau entah tidur. Sepertinya dia masih jet lag. "Aku ingin mendaftar ke klub berkuda."

Sakura disambut perempuan dengan mata coklat lebar dan rambut coklat tua panjang dicepol dua. Cantik khas orang Jepang. Senyumnya yang ramah membuatnya merasa akan betah di klub ini. "Masukkan formulirnya disini," ucapnya dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

"Ini formulirnya." Sakura ikut tersenyum melihat keramahan perempuan di hadapannya. Mana mau Sakura tersenyum pada orang yang tidak dikenalnya, "Terima kasih."

"AH iya, apakah sebelumnya pernah berkuda?"

"Pernah, waktu umur sepuluh atau sebelas–aku tidak terlalu ingat. Terakhir saat sekolah menengah." Sakura mengingat-ingat. Ayahnya sering membawanya ke pacuan kuda. Lalu mengajarinya berkuda. Namun setelah Sakura beranjak remaja, ia sudah malas berkuda entah kenapa. "Memangnya kenapa? Apa mempengaruhi diterima di klub ini atau tidak?"

Perempuan di depannya itu tergelak ringan. "Tidak, tidak. Hanya ingin tahu yang sudah pernah berkuda atau belum. Karena yang tidak pernah mencobanya perlu beradaptasi lebih lama–agar mudah akan dikelompokkan."

Merepotkan sekali. Bukannya tidak penting sudah pernah atau belum. Tergantung couch yang mengajari bisa atau tidak. "Kalau begitu catat saja aku belum pernah berkuda." Sakura tersenyum singkat lalu pergi dengan ucapan terima kasih sekali lagi.

Sakura beranjak pergi keluar kampus dengan pesan singkat pada Ino sebelumnya.

Aku pulang dulu. Tadi aku sudah mendaftar klub berkuda. Bye.

Dari jarak lima ratus meter menuju ke stand berkuda ada seorang laki-laki yang matanya mengikuti arah gerakan Sakura. Setelah Sakura pergi, laki-laki itu mendekat. "Tenten!"

"Iya, ada apa Pak Ketua?" ujarnya lalu tergelak. Laki-laki di depannya ini paling tidak senang dipanggil macam-macam.

"Itu tadi siapa?" Mata obsidiannya terlihat serius.

"Mahasiswa baru."

"Pinky?"

"Yeah. The beautiful pinky. Kau tertarik padanya, Sasuke?"

Sasuke tidak menjawab pertanyaan Tenten. "Bisa lihat formulirnya?"

Tenten menyerahkan formulir Sakura pada Sasuke. "Ini. Jangan sampai hilang ya."

Formulir Klub

Sakura Woods.

Faculty of Medicine International Class Tokyo University.

Sasuke membaca satu per satu kata di kertas kecil itu. Ia menyunggingkan senyum kecil di ujung bibirnya. Hmm menarik.

.

.

.

to be continued


Author's Notes:

Anak kita akhirnya lahir! Ide yang kepikiran di basecamp V akhirnya publiiiiish~ Kepikiran Kamis, dan Sabtu jadi! Alhamdulillah. Fanfic ini sih anak kedua V (my first baby was my skripsi) semoga ceritanya menarik dan kalian suka. Agak lama ga bikin fanfict karena keseringen buka skripsi dan TA. Habis ini L sidang, doain ya.

Jangan lupa buat review ya. have a great day all~ ^^

Lyonia and Venusa.

Terima kasih sudah membaca :)