[Brigade de Cuisine (French: kitchen brigade) is a system of hierarchy found in restaurants and hotels employing extensive staff, commonly referred as 'kitchen staff' in English speaking countries (—The concept was developed by Georges Auguste Escoffier)]


...


Le Connaître, hanya beberapa blok berjalan kaki dari Museum Louvre, tepat di sisi kanan aliran sungai Seine, adalah sebuah landmark sentral wisata kuliner Paris. Menyaingi kemahsyuran lengkung Triomphe dan menara Eiffel itu sendiri, restoran khusus masakan Perancis ini menawarkan kepuasan yang dicari para penikmat hidangan dengan cita rasa tinggi, seni memasak nan mumpuni, juga elegansi.

Le Connaître adalah simbol kesempurnaan, eksklusif di antara eksklusif, peraih Bintang Michelin sejak tahun pertama pendiriannya lima tahun silam.

Dan poros dari segala kemahsyuran itu adalah mereka yang disebut Brigade de Cuisine oleh masyarakat kuliner internasional, para koki yang menghidupkan dapur Le Connaître dari petang hingga malam, terbaik dari yang terbaik.


Lonceng dibunyikan, dan Chef de Cuisine (Chef Kepala) mengambil secarik kertas di atas tatakan perak yang disodorkan pelayan lewat loket kecil di bagian depan dapur. Mata biru abu-abu seawas elang miliknya memindai deretan kata yang tertera di atas kertas menu dalam satu kali sapuan mata, kemudian berbalik, menepukkan kedua telapak tangannya sekali.

"Gelombang kedua," ia berkata dengan suara rendahnya yang dalam, dan seluruh personel di dapur—lelaki dan perempuan—menghentikan kegiatan mereka sejenak. Chef de Cuisine memperhatikan raut wajah mereka satu-persatu, kemudian berdeham. "Kali ini besar, jadi dengarkan baik-baik, aku tidak akan mengulang."

Terdengar siulan dan gumaman antusias, beberapa yang sedang memotong daging mengangkat pisau besar mereka ke udara.

"Tch, hal seperti ini malah membuat kalian semakin bersemangat, eh?" Sang kepala chef mengangkat sebelah alisnya. "Maka tidak ada pengampunan, memasaklah seperti besok kalian akan mati. Garde Manger(supervisor pantri)!" ia melirik barisan chef di pantri sebelah kirinya. "Lima menu hors d'oeuvre (makanan pembuka), lima porsi escargot à la Bourguignonne, sembilan porsi tartare de filet de boeuf, tiga porsi pissaladières, empat porsi chèvre dengan rempah, minyak zaitun, dan parutan kulit lemon, dan terakhir, dua porsi canapès udang dan rempah—Erd! Pastikan kulit siputnya tidak pecah."

Pria tinggi besar dengan rambut pirang dikuncir ekor kuda memberi hormat dari ujung pantri. "Oui, Chef!"

"Entremetier (persiapan entree—hidangan pembangkit selera)! Auruo, kau dan asistenmu mendapat tiga menu, tujuh porsi soupe au pistou, enam porsi bouillabaisse dengan kerang hijau Nice, dan lima porsi ratatouille dengan lada hitam."

"Yes, Chef!" pria dengan rambut keriting sewarna tembaga merespon sembari menyiapakan berbagai sayuran.

"Plats Principaux (Hidangan Utama), tujuh menu, Gunther dan aku sendiri yang akan mengerjakannya, dan aku butuh tenaga magang untuk menguliti udang—Eren!" Chef de Cuisine memanggil pemuda yang tengah sibuk mengiris lobak, ia mengalihkan mata kehijauannya ke pantri utama tempat di mana kepala chef berdiri saat ini. Wajahnya berseri. "Kemari, Nak. Kuliti satu baskom udang untukku dan akan kuberi kau B+."

"Yes, Chef!" Pemuda itu mengangguk antusias sembari mengelapkan tangan ke apron hitam yang ia pakai dan berlari menghampiri pantri Chef de Cuisine.

Dan terakhir, ia mengalihkan perhatiannya ke pantri di seberang ruangan, tepat berhadap-hadapan dengan pantrinya, namun terpisah oleh sekat kaca. "Pâtissier (koki pastri), enam menu makanan penutup. Tiga porsi crème brûlée lemon, enam porsi éclair dengan krim custard dan fla pistachio, empat porsi mousse persik dan mint dalam gelas, tiga porsi tarte tatin dengan apel dan karamel sebagai isian painya, tujuh porsi clafoutis—pastikan cherry hitamnya segar, dan dua porsi parfait pelangi dengan biskuit. Butuh tambahan gula bubuk, Petra?"

Koki pastri di balik sekat menggeleng, kemudian tersenyum, sebelum mengangkat sebelah tangannya ke samping mulut dan berkata lantang, "Tidak perlu, Chef Rivaille. Aku punya timbunan satu ton penuh di sini." Ia tertawa ketika Chef de Cuisine mengangkat sebelah alis kepadanya. "Bercanda, hanya ada satu sak kecil, tetapi itu cukup untuk hari ini," katanya kemudian, sambil tersenyum lebar.

Chef de Cuisine memutar bola mata, sebelum berbalik menghadapi pan dan panggangan di hadapannya. "Gadis aneh," gerutunya pelan, kemudian mengerutkan dahi ketika ia menarik pisau filet dari tempatnya.

Perapian dinyalakan serempak.

Dan kegaduhan rutin di dapur Le Connaître dimulai kembali.


Disclaimer: I don't own Attack on Titan/進撃の巨人Isayama Hajime does. No bennefits or some comercial advantages had been taken, no Trademark Infringement is intended. Cover's fanart isn't mine. All credits dedicated to the respected artist.

Notes: OOCness, swearing


Chapitre 1: Bon Appétit!


Petra Augusta Ral memulai harinya dengan mengutuk siapa pun itu yang membuat ponselnya berdering. Ia berusaha keras membuka kelopak matanya yang begitu lengket, dan kepalanya menolak untuk beranjak dari bantal busa hangat dan beraroma morning glory miliknya. Rasanya nyaman menyandarkan wadah otaknya di sana. Ia bersedia menukarkan apa pun untuk terus berlama-lama lengket dengan mimpi, dan membiarkan hari ini lewat begitu saja tanpa beranjak dari tempat tidurnya. Enggan, ia melirik jam digital di atas laci samping tempat tidur. Pukul sepuluh lewat sembilan, dan ia baru mulai tertidur pukul empat pagi.

Pantas saja aku masih merasa ngantuk, pikirnya. Baru enam jam ... seharusnya aku tidak menonton opera sabun tengah malam tadi.

Ia meraba bagian atas laci, menjatuhkan beberapa perangkat kosmetik ke lantai sebelum meraih telepon genggamnya yang bergetar. Identitas pemanggil berkerlap-kerlip di layar ponselnya, Petra mengerutkan dahi sebagai respon.

Ia mendekatkan ponselnya ke telinga. "Holla, Rene—"

"PETRA, MI QUERIDO (Petra, Sayangku)!" Suara di balik telepon melengking, Petra menjauhkan ponselnya dari telinga, menghalau denging. "Oh, betapa aku merindukanmu, Sepupu!"

Petra mengerjap, masih belum lepas dari rasa kagetnya. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, "Rene, aku rasa ini masih terlalu pagi untuk sambungan internasional—"

"—Kau terdengar tidak senang, apa itu tanggapanmu terhadap kerabat yang lama tidak kautemui? Begitu, Petra?"

Petra memutar bola mata. "Bukan begitu, ini masih terlalu pagi, Rene. Aku baru bisa terlelap saat fajar."

Jeda sejenak. "Kaunonton opera sabun Spanyol lagi, hingga pagi."

Petra terkikik. "Sí (ya), Opera Sabun Picisan Spanyol memang yang terbaik. Terpujilah TV kabel—"

"—Petra,"

"Hm?"

"Aku sedang berada di Paris ..."

"Oh, begi—APA?" Petra memekik, kemudian, secara praktik, melompat dari tempat tidurnya sendiri. "Rene, kau ... di Paris? Saat ini? De verdad (benarkah)?"

"Verdaderamente (benar sekali)," balasnya riang. "Aku sedang berdiri di depan pintu apartemenmu, Petra sayang."

Mata Petra membulat.

"Jadi tolong bukakan pintumu, por favor (tolong)?" Petra mengerutkan dahi ketika suara itu kini merendah menjadi rengekan, kemudian isakan. "Petra, aku ingin mati."

Wanita berambut pirang strawberi sebahu itu menghambur keluar dari kamar tidurnya.


"Mengapa lelaki begitu kejam? Kautahu jawabannya, Petra?"

Petra mengangkat sebelah alis begitu ia menata sepasang cangkir di atas meja makannya, bingung sekaligus terkejut mendengar pertanyaan yang baru saja ia dengar. "Entahlah, aku bukan lelaki, Rene."

"Mereka begitu tidak berperasaan, kautahu? Mereka dingin seperti kerak es di dalam kulkas, mereka memperlakukan kita seolah kita wanita adalah spons, bisa menyerap dan diremas kapan saja."

Petra sedikit berjengit pada kata 'diremas'.

Ia mengisi masing-masing cangkir dengan espresso yang Petra panaskan secara dadakan beberapa saat sebelumnya, kemudian meletakkan teko transparannya ke sisi lain meja. Petra kini mendudukkan dirinya di kursi tanpa punggung, berseberangan dengan perempuan berambut hitam yang dikuncir ekor kuda di hadapannya. Ia terlihat kacau, dengan wajah pucat, mata sembab dan merah karena terlalu lama menangis (sepertinya), belum lagi pipinya yang terlihat lebih cekung semenjak terakhir kali Petra melihatnya musim panas lalu di Barcelona.

"Ini." Petra mendorong satu cangkir espresso ke arah sepupunya yang kini sesuram mendung. "Minumlah, kau akan merasa lebih baik."

"Gracias (terima kasih)." Rene menarik napas lewat mulut.

Petra berdeham. "Jadi, kau dan Gerger putus?"

Rene melenguh hebat, yang tidak diantisipasi Petra sebelumnya. Gadis pirang itu mendorong tubuhnya ke belakang refleks.

"Ya, kami putus, Petra." Rene menggerakan telunjuk dan jari tengahnya dengan gerakan menggunting di udara. "Selamanya, Siempre ..." Dan air matanya tumpah kembali.

Petra menghela napas panjang. Tidak lagi. Ini bukan kali pertama sepupunya menghubunginya dan merecokinya dengan kisah melodramatis tentang ia dan Gerger-nya yang sudah putus. Rasanya sudah jutaan kali ia mendengar hal semacam ini dari mulut Rene, dan hari berikutnya ia membuat Petra merasa dibodohi dengan fakta bahwa mereka lengket kembali seperti beruang dan madu. Hell, Petra mengumpat dalam hati. Aku tidak punyawaktu untuk ini.

"Apa kau yakin?" Petra mengerutkan dahi. "Maksudku, ini bukan acara putus-nyambung kalian yang biasanya, 'kan?"

Rene meraih dadanya, mendorong tubuhnya ke belakang dengan ekspresi terluka. "Kaupikir kami sedang main-main, Petra? Teganya—"

"—Bien," Petra memotong, menghindari drama. "Dan karena itu kaukabur kemari? Ke Paris?"

Rene mengangguk.

Petra menggeram. "Rene, berhentilah bersifat kekanak-kanakan, por el amor de Dios (demi Tuhan)." Petra menutupi dahinya dengan telapak tangan, mendadak pening. "Bagaimana dengan butik yang kaujalankan di Barcelona?"

"Tutup untuk waktu yang tidak ditentukan." Rene mengelap ingus dengan tisu yang ia ambil dari saku mantel bulu Pucci hitamnya.

Mata Petra menyipit berbahaya. "Maksudmu, kau akan tinggal di sini selama waktu yang tidak ditentukan juga?"

Rene mengangguk lagi.

"Ay," Petra meringis. "Tolong aku, Bapa ..."

Rene mengerucutkan bibir. "Ayolah, Petra ... biarkan aku tinggal bersamamu untuk sementara waktu. Aku janji aku tidak akan merepotkanmu. Lagipula aku ingin sekali berkeliling Paris, anggap saja kau sedang menampung keluarga yang ingin liburan."

Petra mengangkat tatapannya, kemudian mengutuk dalam hati mendapati dirinya luluh oleh tatapan memelas sepupunya.

"Baiklah." Petra membuang napas dalam jumlah besar, kesal. "Tapi apakah tío (paman) dan tía (bibi) tidak khawatir? Kepergianmu mencurigakan, kautahu."

"Tidak apa-apa," Rene mengibaskan sebelah lengannya riang. "Mereka hanya tahu kalau aku sedang liburan, bukan masalah besar."

"Dan Gerger?" tanya Petra lagi tanpa tedeng aling-aling, alhasil Rene terbatuk di tempat.

"Gerger? GERGER?!" Rene menggebrak meja makan, mata Petra melebar. "Siapa dia? Mengapa dia harus peduli? Biarkan saja ia bahagia bersama botol-botol minumannya, biarkan saja dia MATI! Aku tidak peduli lagi!"

"Rene, mejaku—"

"—Oh, tentu saja. Gerger lebih mencintai minuman-minumannya daripada aku." Rene terisak. "Selalu seperti itu, sejak awal, dan tidak akan pernah berubah. Padahal aku begitu mengkhawatirkan kesehatannya, aku tidak mau dia bernasib sama seperti Abuelo (Kakek), Petra. Tetapi—" Rene menyedot ingus kembali. "—Tetapi ia malah berkata bila aku bukan dokternya, bukan pula ibunya, katanya aku bukan siapa-siapa, aku tidak berhak melarangnya untuk minum atau melakukan apa pun yang ia suka. Katanya ia tidak menginginkanku." Jelasnya panjang lebar, sebelum tangisnya pecah kembali. "Apa yang harus kulakukan, Petra? Ini begitu menyakitkan."

Itu memang terdengar menyakitkan. "Itu kejam sekali," komentar Petra lirih. "Kutebak Gerger mengatakannya dalam keadaan mabuk?"

Rene mengangguk. "Tetapi tetap saja menyakitkan."

Petra bangkit dari kursinya, kemudian menghampiri Rene dan merangkul sepupunya di bahu. "Tidak apa-apa." Ia menepuk-nepuk punggung Rene pelan. "Semua akan baik-baik saja. Seperti kata Abuela (Nenek) Ral, perempuan di keluarga kita mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup di atas rata-rata. Kau juga akan baik-baik saja, Rene sayang. Percaya kepadaku."

Rene mengangguk di perut Petra. "Andai saja Abuela masih hidup, ia pasti sudah menendang pantat Gerger untukku."

"Aku akan menendangnya untukmu ketika pulang ke Barcelona musim panas nanti," Petra bergumam.

Rene terkekeh. "Jangan keras-keras, tubuh Gerger sangat lemah."

Petra memutar bola mata, kemudian melotot sambil berkacak pinggang. "Itulah mengapa kau selalu diinjak-injak oleh pacar-pacarmu, Rene sayang, kau terlalu gampang luluh. Wanita tidak boleh terlalu baik, kita harus menjunjung harga diri kita setinggi langit, jangan terlihat lemah. Lelaki akan senang bermain-main dengan perempuan semacam itu. Jadilah perempuan yang mandiri dan kuat, seperti kata Abuela Ral."

"Bien." Rene mengerucutkan bibirnya. "Lalu, bagaimana denganmu? Kudengar dari tío Ral kau akan segera bertunangan."

Pipi Petra bersemu merah. "Ah, iya ... musim panas nanti aku akan memperkenalkannya kepadamu, itu rencana awalnya. Tetapi karena kau di sini sekarang, kurasa aku tidak perlu menunggu musim panas datang."

Rene tersenyum lebar, kali ini ia yang terlebih dulu merangkul Petra ke dalam pelukan erat. "Oh, kau wanita yang sangat beruntung, aku turut bahagia."

"Huum," Petra bergumam tidak jelas, tenggorokkannya tercekat karena menahan tangis haru. "Kami saling mencintai, aku dan—"

Ponsel di saku celananya bergetar kembali.

"Ah, tunggu sebentar." Petra melepaskan diri dari dekapan Rene. "Sepertinya ada chat yang masuk." Rene memperhatikannya berkutat dengan tombol-tombol sebelum meliriknya dengan wajah cerah. "Ini dari dia!" katanya semringah.

"Oh!" Rene memekik antusias. "Apa katanya? Pasti ucapan cinta di pagi hari! Ah, Petra, kau membuatku iri!"

"Sebentar," Petra berkata, "Ah ini dia, sudah terbu—"

Petra mematung, tatapannya terpaku kepada layar ponselnya.

"Apa katanya, Petra?"

Tidak ada jawaban.

"Err, Petra? Kau tidak apa-apa?"

Masih tidak ada jawaban.


Rivaille Zakley menautkan alis ketika ikon multimedia attachment menyala di sudut kiri atas LCD ponselnya, dan ketika melihati isi kiriman di pesannya, ia memijat pelipis. Wanita tua itu, tidak ada kapok-kapoknya, gerutunya dalam hati.

Tepat ketika ia siap menekan tombol DELETE untuk menghapus potret digital seorang perempuan berambut pirang panjang dari ponselnya, benda segiempat itu berdering.

"Allo, Mère (Hallo, Ibu)," sapanya lelah, menyandarkan sikut di setir chevroleta hitam miliknya.

"Kau sudah melihatnya?" tanya suara feminim di balik sambungan telepon.

"Melihat apa?" timpalnya tanpa antusiasme, berpura-pura tidak tahu maksud ibunya.

"Foto gadis yang kukirim, jangan bilang kau langsung menghapusnya, Rivaille."

"Tidak," katanya. "Masih kusimpan, Bu."

"Benarkah? Jadi kau tertarik?"

"Sama sekali tidak," jawab Rivaille tandas. "Ia terlihat seperti tumpukan bedak berjalan, dan bodoh, dan terlihat seperti baru memakan bayi, bibirnya itu."

Ibunya mengeluh putus asa. "Kau sangat sulit, Rivaille. Dan keras kepala. Aku harus mencarikan wanita seperti apa lagi untukmu?"

Rivaille menghela napas. "Hentikan, Bu. Saat ini aku sama sekali tidak ingin memikirkan wanita."

Hening sejenak. Sebelum ibunya melanjutkan dengan suara bergetar. "Ja-jangan bilang kalau—"

"—Aku masih normal, Tch!" potongnya cepat-cepat. "Tentu saja aku masih suka wanita, jangan berpikiran macam-macam."

Terdengar hembusan napas lega. "Syukurlah. Tetapi Desember ini kau berusia tiga puluh. Sudah lebih dari cukup bagimu untuk berkeluarga. Dan ayah serta ibumu ini semakin renta, jangan biarkan kami mati sebelum sempat menimang cucu darimu."

Rivaille mengeluh pelan, memijat pelipisnya semakin kuat. "Oui," katanya akhirnya, mengalah. "Akan kucoba." Tambahnya, hanya untuk membuat ibunya berhenti menuntut.

Rivaille memarkir chevroleta-nya di parkiran khusus pekerja Le Connaître di samping gedung, kemudian masuk ke restoran lewat pintu belakang. Ia melepas mantel kulit hitamnya, menyampirkannya di bahu selama ia melangkahi lorong, menimbulkan suara 'tap' pelan setiap kali sepatu kulit mengkilatnya menyentuh lantai. Ia berpapasan dengan pekerja restoran lain, kebanyakan divisi dapur, menjawab sapaan mereka dengan anggukan singkat.

Ia sampai ke ruangan yang ia tuju, berniat membuka pintu sebelum sebuah suara tertangkap pendengarannya, menghentikannya.

"Mengapa lelaki begitu kejam? Kautahu jawabannya, Erd?"

Jemari Rivaille terhenti di tengah jalan begitu ia mendengar ratapan memilukan dari dalam ruang briefing khusus koki Le Connaître, hanya beberapa senti dari pegangan pintu. Sang Kepala Chef mengerutkan dahi dalam kebingungan yang bukan main-main ketika mendengar isakan setelahnya. Ada yang menangis di ruangan kekuasaannya. Seorang wanita.

Petra Ral. Koki pastri di tim memasaknya. Tentu saja. Siapa lagi. Ia mengenal suara feminim sedikit serak milik perempuan itu.

"Mereka begitu tidak berperasaan, kautahu? Mereka dingin seperti kerak es di dalam kulkas, mereka memperlakukan kami seolah kami wanita adalah spons, bisa menyerap dan diremas kapan saja."

Rivaille sedikit berjengit pada kata 'diremas'.

"Seharusnya kau sudah tahu kalau semua lelaki itu adalah serigala, Petra. Dan Moses pacarmu adalah jenis yang paling buruk." Suara Erd Gin, koki bagian hidangan pembuka, menggaung. "Kecuali aku, tentu saja. Selamanya aku hanya akan mencintai Minerva-ku yang cantik."

"Seharusnya kaupacari Auruo saja," kata suara lain, maskulin. Gunter Schulz, Rivaille mengidentifikasi. Asisten utamanya dalam menyiapkan hidangan utama. "Dia suka kepadamu sejak lama, kautahu?"

Rivaille mengerutkan dahi. Auruo Bossard? Sang koki hidangan pembangkit selera di timnya? Menyukai Petra Ral? Setahunya hubungan dua orang itu tidak lebih bagus daripada kucing dan anjing.

Kerutan di dahinya semakin dalam. Kenapa aku harus peduli? Pikirnya kaget, terkejut sendiri mendapati dirinya tertarik (kalau tidak mau dikatakan penasaran) terhadap topik yang tengah ia dengar saat ini. Ini sudah pukul setengah empat sore, sebentar lagi restoran buka, dan mereka masih bisa bersantai-santai sambil berbincang-bincang. Tidak bisa dibiarkan.

Ia memutar pegangan alumunium dan mendorong pintu itu hingga terbuka. Semua orang yang tengah memutari meja persegi di ruangan itu otomatis berdiri, secara serempak, dengan sikap tubuh sekaku balok kayu.

"Bonjour," sapanya datar, tetapi, tanpa sepengetahuannya, menimbulkan efek seperti bom pembeku bagi orang-orang yang ia ajak bicara.

"Bo-bonjour, Chef Rivaille!" balas mereka serempak, dengan nada suara bermacam-macam.

Rivaille menatap mereka satu per satu. Erd yang berambut pirang, Gunther yang berambut hitam (jujur saja, model rambutnya mengingatkkan Rivaille kepada umbi lapis), dan perempuan mungil (semungil dirinya) berambut pirang strawberi sebahu yang terlihat begitu kacau, wajahnya pucat dan ia tidak repot-repot menutupinya dengan make-up, matanya merah dan sembab, dan pupil cokelat madunya terlihat redup, tidak secerah biasanya. Ujung hidungnya merah seperti tengah terjangkit flu.

"Petra, kau sakit?" tanya Rivaille, menautkan alis.

Petra mengerutkan dahi, terlihat kesusahan untuk mendapatkan fokus. "Eh? Ah, tidak, Chef ... Je vais bien (aku baik-baik saja)," katanya, nampak tidak awas dengan kata-katanya sendiri.

"Kau yakin? Karena bagiku kau terlihat bermasalah," ujar Rivaille, sembari berjalan ke arah deretan loker di sisi ruangan. Ia mengeluarkan kunci dari dalam saku celana katun hitam yang ia pakai, kemudian membuka pintu loker dan mengambil lipatan seragam chef-nya. "Ada apa, Petra? Baru saja putus cinta?"

Rivaille berbalik, ia selesai mengambil atribut chef yang akan ia kenakan sebentar lagi.

Kerutan di dahinya semakin dalam setelahnya.

Rivaille tidak tahu apa yang tengah terjadi, atau bagian mana pada kata-katanya yang salah barusan. Yang jelas, gadis di hadapannya ini kini berurai air mata.

Apa yang

"Dia memutuskanku lewat pesan chat," Petra berbisik samar, air mata terus mengalir di pipinya. Satu hal yang membuatnya semakin aneh, ia menangis, tetapi tidak terisak. Hanya saja wajahnya bukan main suramnya. "Lewat chat ... brengsek."

Baru saja putus cinta ... Kalimat yang ia lontarkan barusan menggaung di kepalanya. Jadi benar, ya? Padahal aku hanya asal ucap. Rivaille terkesan kepada dirinya sendiri.

Ia melirik Erd dan Gunther yang sama salah tingkahnya saat ini. Erd menggaruk bagian belakang kepalanya, sementara ekspresi bingung Gunter begitu brilian hingga membuat Rivaille kehilangan kata-kata. Sepertinya tidak ada pria di timnya yang mahir menghibur seorang wanita yang tengah menangis.

"Err ... Petra, tidak apa-apa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," Erd berkata canggung. "Kaulihat? Kakakmu ini dulunya adalah seorang atlit bela diri. Jika kau mau, aku bisa menghajarnya untukmu. Gunter juga akan ikut."

Gunter mengangguk sengit.

"Tidak perlu, orang sepertinya tidak layak mendapat perhatian kalian," ujar Petra kosong. "Biarkan saja dia mati dengan sendirinya, aku tidak peduli lagi."

Well, Rivaille bisa membayangkan apa yang tengah gadis itu rasakan sekarang. Tetapi waktu terus berjalan dan hanya tinggal lima belas menit sebelum restoran mereka buka. Dan, jika melihat daftar tamu yang diberikan manajer restoran beberapa saat sebelumnya, mereka akan bermain keras dari awal.

Tidak ada waktu untuk bertingkah melodramatis.

"Dengar, Petra," ia memulai. "Aku tidak tahu persis apa masalahmu, tetapi kau sedang berada di tempat kerja sekarang. Sebagai seorang profesional, tentunya kautahu jika kau harus memisahkan urusan pribadi dengan pekerjaan, bukan? Kaulihat?" ia mengibaskan kertas daftar tamu yang ia rogoh dari balik jasnya. "Akan ada ratusan manusia yang perlu diberi makan setelah ini, dan mereka rela mengeluarkan banyak Euro hanya untuk mencicipi sorbet buatanmu. Mereka cerewet dan suka menuntut. Mereka, dan aku, tentu saja, tidak bisa mentolelir kecacatan dalam hidangan mereka. Kau harus menyajikan yang terbaik, mengerti? Simpan duka laramu untuk sementara. Kau bisa? Jika tidak, maka lebih baik kaupulang saja, aku tidak butuh orang yang tidak kompeten untuk memasak di dapurku."

Hening meledak setelahnya. Wajah Petra semakin pucat.

Apa aku kelewatan? Ia melirik Erd dan Gunther yang diamnya sudah menyaingi patung. Sepertinya begitu.

"Petra, aku tidak—"

"—Aku mengerti, Chef," Petra memotong, suaranya dingin. Matanya memancarkan sorot pemangsa. "Tenang saja, seperti katamu, aku seorang profesional." Ia mulai beranjak dari tempatnya berdiri, dengan gesit merapikan seragam dan atribut chef-nya sembari berjalan mendekati pintu, dengan kata lain, menghampirinya. "Mereka tidak memanggilku salah satu pâtissier terbaik di Perancis tanpa alasan. Akan kuhidangkan makanan penutup sesuai standar, mereka akan dingin dan manis, atau panas dan asam. Mereka akan sempurna, aku tidak akan membiarkan mereka terlalu manis atau pahit. Kujamin itu. Kau boleh memotong kedua tanganku jika aku membuat kesalahan."

Petra menghilang di balik pintu. Dan setelahnya, bunyi mengerikan serangkaian kutukan yang terdengar seperti 'tidak berperasaan', 'dingin' dan 'pendek' menggema di lorong di belakangnya.

Beberapa detik kemudian pintu terbuka kembali.

"Ada apa?" Pria berambut sewarna tembaga dengan penampilan yang terlihat lebih tua dari usianya masuk sambil melinting lengan kemeja putihnya, tepat setelah kepergian Petra. Ia telah berseragam lengkap. "Kenapa sepi sekali di sini? Dan lihat wajah kalian. Kalian seperti baru saja melihat hantu."

"HWAAAAAA!" Pemuda berambut cokelat gelap dan bermata hijau menghambur ke dalam ruangan dengan wajah pucat, kemeja dan dasi seragam sekolahnya berantakan. Ia terengah-engah. "Aku melihat hantu di lorong barusan, Monsieur Bossard. Ia mengerikan! Ia seperti siap memakanku hidup-hidup ketika aku menatapnya! Tetapi, jika diingat-ingat, ia sangat mirip dengan Mademoiselle Ral!"

Auruo Bossard mendecih kesal. "Tidak ada hantu di dunia ini, Bocah. Kau terlalu banyak nonton film! Iya, 'kan, Erd, Gunter—eh, Chef? Kenapa kalian begitu pendiam hari ini?"

Tidak ada yang menjawab.

Auruo dan pemuda itu—Eren Jaeger, saling berpandangan.


Dan Petra memang profesional, Rivaille terkesan.

Ia bersandar ke pantrinya, menyilangkan lengan di dada sambil memperhatikan Petra dan asisten-asistennya menyiapkan kudapan-kudapan manis di pantri di balik sekat kaca, terlihat begitu fokus dengan strawberi dan garnish pita-pita cokelat yang ia tata di atas gelas mouse. Dan semua makanan penutup yang ia sajikan hari ini sempurna, seperti biasanya. Para pelanggan puas.

Petra Ral memang salah satu pâtissier terbaik di negeri ini. Itu bukan lelucon. Ia punya rekor gemilang dalam catatan karirnya, pernah bekerja di hotel dan restoran-restoran bintang lima berskala internasional sebelum ia bergabung dengan brigade memasak Le Connaître dua tahun silam. Five Star Chef, julukan itu telah ia dapatkan di usia yang masih begitu muda. Karena itulah ia berada di dalam tim memasaknya saat ini.

"Tetapi tidak seperti masakannya, penampakkannya terlihat menyedihkan."

Rivaille melirik perempuan berambut merah kecokelatan berkacamata yang duduk di pantrinya, terlihat rapi dengan kemeja serta blazer dan rok span selutut hitam.

"Tidak pernah ada hal yang terlewat olehmu, benar, bukan, Hanji?" Rivaille menimpali, mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi.

"Aku tahu dari asisten-asistennya," Hanji Zoe beralasan. "Berhenti membuatku terkesan seolah aku ini seorang penggosip, Rivaille."

Rivaille mendecih.

Petra kini terlihat mengantarkan tatakan perak berisi dua gelas mouse-nya kepada pelayan yang menanti di balik loket, terlihat berbicara sesuatu sebelum nyengir lebar dan memberi hormat dengan mengangkat tangan ke dahi, kemudian bersalaman dengan dua asistennya, keduanya perempuan.

"Dan itu adalah menu terakhir kita malam ini, setelah pelanggan terakhir pergi, kita bisa pulang," Hanji berkomentar.

Rivaille mengerutkan dahi ketika melihat Petra nyengir kembali karena sesuatu yang dikatakan asistennya. "Memaksakan diri tersenyum seperti itu, sangat tidak enak dilihat," ia tanpa sadar menggerutu.

Hanji memukul belakang kepala Rivaille main-main. "Jangan kasar begitu, senyuman Petra itu adalah yang terbaik, aku saja yang notabene perempuan selalu berdebar-bedar kalau melihat senyumannya. Gadis yang manis, Petra itu. Sesekali harus belajar cara tersenyum kepadanya."

"Aku bisa tersenyum," Rivaille protes, tanpa ia inginkan.

"Benarkah?" Hanji mengangkat alis. "Kalau begitu tersenyum sekarang."

Dahi Rivaille berkerut. "Kenapa aku harus tersenyum?"

"Barusan kau berkata jika kau, Rivaille Zakley si muka papan bisa tersenyum, jadi lakukan sekarang."

Rivaille mendecih lagi. "Bodoh," hanya itu yang ia katakan.

Hanji terlihat masih belum puas mengguyoni rekan kerjanya itu, tetapi bunyi ponsel dalam saku blazernya menghentikan dirirnya untuk berkata lebih jauh. Ia mengangkat telepon genggamnya ke telinga, berbicara dengan siapa pun itu sambil sesekali mengangguk. Tidak lama, ia kini menaruh ponselnya kembali.

"Dari Bos," katanya. "Ia bilang semua pekerja diharapkan tidak pulang dulu setelah restoran tutup."


Petra menatap pantulan dirinya di cermin toilet perempuan, kemudian menghembuskan napas super panjang.

"Sudah cukup, Petra," ia berkata kepada dirinya sendiri. "Abuela Ral pasti akan menendangmu kalau melihat keadaanmu sekarang ini. Lagi pula ini bukan pertama kalinya kau putus cinta, bukan? Kau sudah pernah mengalami yang lebih buruk." Ia menepuk kedua pipinya. "Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja."

Ia menyambar tas tangan miliknya yang ia taruh di atas wastafel, kemudian merapikan ujung rok sifon selutut berwarna krem dan mantel hitam yang ia kenakan. Ia telah mengganti seragamnya beberapa saat setelah jam tutup restoran.

Sekarang tinggal pulang dan tidur, dan besok aku akan mengajak Rene jalan-jalan. Semua akan berjalan seperti sebelumnya, walau pun tanpa Moses. Katanya dalam hati, menghibur dirinya sendiri.

Meski demikian, Petra tahu. Semuanya tidak akan berjalan dengan mudah.

Petra mematung begitu melihat semua pekerja Le Connaître berkumpul di aula pelanggan, berkelompok atau berpasangan menduduki deretan meja-meja kosong yang telah dibersihkan sebelumnya. Ia terkadang lupa betapa banyaknya pekerja yang menggantungkan kehidupannya di restoran ini, berhubung ia hanya berkutat di dapur dari sore hingga malam. Koki, pelayan, petugas kebersihan gedung dan dapur, beberapa murid magang, para staff, ia menghitung tidak kurang dari lima puluh orang.

Pertanyaannya, mengapa mereka masih berada di tempat ini setelah jam tutup?

"Ah, Petra!"

Ia melirik meja di tengah aula, Hanji Zoe sang manager restoran melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Ia duduk bersama koki-koki utama Le Connaître dan seorang pria tinggi besar berambut pirang yang dipotong rapi. Bosnya, sang Pemilik Le Connaître yang berkebangsaan Inggris, Erwin Smith.

"Ada apa?" tanyanta, ketika ia duduk di kursi yang ditawarkan Hanji, tepat di sebelah perempuan berkacamata itu, berhadap-hadapan dengan Rivaille. Petra menggigit bibir bawahnya, meredam kekesalan yang mendadak muncul ketika ia melihat sosok acuh tak acuhnya yang tengah menatap ke arah lain.

"Erwin punya pengumuman untuk kita," jawab Hanji, kemudian mengalihkan tatapannya ke arah bosnya. "Katakan sekarang, Erwin. Kita sudah lengkap."

"Baik," kata sang pria Arya bermata biru, senyuman terpatri di garis wajahnya yang tegas. Ia berdiri dari kursinya. "Bonsoir, everyone." Suara bariton dalamnya menggema di seisi aula. "Bagaimana keadaan kalian?" Ia tersenyum.

Terdengar jawaban "Baik," yang serempak dari seisi ruangan.

"Aku ingin menyampaikan satu hal—bukan hal buruk, Moblit. Jangan tegang begitu." Ia menatap pelayan pria berambut pirang ikal di meja seberang, yang ditatap menghembuskan napas lega. "Well, seperti yang kalian tahu, bulan ini adalah bulan spesial di setiap tahun bagi para pelaku kuliner di seluruh dunia, bulan penganugrahan Bintang Michelin. Setiap rumah makan dan hotel di dunia menanti-nanti bulan ini."

Seisi ruangan tiba-tiba dipenuhi dengan bisikan dan gumaman antusias, Petra sendiri tidak bisa mencegah jantungnya agar tidak berdetak terlalu kencang. Oh, ia sangat bersemangat, dan orang-orang di sekelilingnya nampaknya merasakan hal yang sama.

"Seperti yang kalian tahu," Erwin melanjutkan, "Bila Majalah itu baru akan terbit akhir bulan ini. Tetapi, semenjak aku berteman dekat dengan editornya, aku mendapat bocoran, dengan terlebih dahulu memberinya kupon makan malam gratis sebelumnya, sayang sekali."

Semua orang tertawa kecil.

"Intinya," Erwin menggantung ucapannya sejenak. "Kita mendapat satu bintang lagi, tahun ini."

Hening sesaat, sebelum semua orang tenggelam dalam teriakkan, pelukan, juga tawa bahagia. Petra sendiri kesusahan bernapas dalam pelukan a la piton Hanji Zoe, ia tertawa di dada perempuan yang lebih tua beberapa tahun darinya itu. Sementara di sisi seberang Erd dan Gunter memukul-mukul dada mereka layaknya gorilla. Dasar sekumpulan babon, cibir Petra dalam hati.

"Terima kasih kepada jantung dan inti nadi Le Connaître, para koki luar biasa yang menyajikan masakan yang luar biasa pula." Erwin menatap pria dan wanita di mejanya. "Rivaille Zakley, Erd Gin, Auruo Bossard, Gunter Schulz, dan Petra Ral, beri tepuk tangan untuk mereka, Ladies and Gentlemen."

Tepuk tangan membahana, disertai siulan dan ucapan selamat bersahutan. Semua anggota inti brigade memasak tersenyum dan tertawa (kecuali kepala chef mereka yang masih berwajah sedatar papan), Petra sendiri tidak bisa mencegah pipinya untuk merona begitu ada yang memuji dan mengeluk-elukkan namanya.

"Dan manajer kita yang kalem dan anggun." Semua orang memprotes perkataan selanjutnya dari Erwin, "Hanji Zoe, kami tidak akan mencapai hasil gemilang ini tanpa kemampuan mengorganisirmu yang melegenda."

"Well, kau tidak menyebut namaku di urutan pertama, aku marah, Erwin," ujar Hanji, dengan wajah yang lebih gelap daripada malam, kemudian nyengir. "Bercanda. Kemari, biar kuberi kau pelukan."

Erwin tertawa dalam rangkulan perempuan itu. "Jangan membunuhku, Hanji."

"Dan untuk kalian semua, tentu saja," lanjut Erwin, begitu ia bisa melepaskan tubuhnya dari Hanji. "Kalian yang telah bekerja keras demi menjaga kepuasan pelanggan, salute! Aku tidak akan pernah cukup berterimakasih kepada kalian. Jadi, mari berpesta malam ini, saudara-saudara."

Teriakan kali ini lebih hebat dari sebelumnya.

"Henning, bawakan botol champagne-nya! Mari minum hingga mabuk malam ini!" teriak Hanji. "Le Connaître, restoran bintang lima, teman-teman!"


Rivaille mulai merasa jengah ketika semua orang mulai berdansa. Demi Tuhan, ia tidak suka pesta, tidak suka berdansa, dan terlebih lagi, tidak suka saat Erwin mencegahnya untuk pulang terlebih dahulu malam itu. Ia bukan tipe makhluk sosial yang menyukai tipe kegiatan seperti ini, ia tidak menganggap dirinya makhluk sosial di tempat pertama, sesungguhnya.

Dan sepertinya, bukan hanya dirinya yang merasa demikian.

Petra Ral tetap di tempatnya, duduk di kursi di seberang Rivaille. Ia sudah menghabiskan satu gelas champagne, dan sekarang sedang menyesap isi gelas yang kedua. Ia tidak banyak bicara, sesekali Rivaille melihatnya melamun. Dan sekarang wajahnya sudah memerah, matanya mulai kehilangan fokus, walaupun ia masih menunjukkan kesadaran di baliknya.

Baru minum dua gelas dan ia sudah mulai mabuk, komentar Rivaille dalam hati. Payah ...

"Hey," kata Rivaille, iseng mengetes kesadarannya. "Tidak suka pesta, juga?"

Awalnya tidak ada tanggapan dari gadis pirang itu, ia terus menunduk memandangi gelas champagne-nya, hingga akhirnya ia melirik arah kanan dan kirinya sebelum memandang Rivaille lurus-lurus. "Aku?" tanyanya, menunjuk hidungnya sendiri. "Kau sedang berbicara denganku, Chef?"

Rivaille mendecih. "Siapa lagi? Hanya ada kau di sini."

Petra cegukan. "Aneh sekali,"

Rivaille mengerutkan dahi. "Aneh?"

"Oui, kau bertingkah aneh, biasanya kau tidak pernah memulai pembicaraan dengan orang lain jika bukan diminta."

Kata-kata Petra benar, sesungguhnya.

"Aku hanya bosan," jawab Rivaille kemudian, mengambil gelasnya dan mulai menyesap cairan keemasan itu.

Kali ini giliran Petra yang mendecih. "Kau hanya bicara kepada manusia ketika kau sedang bosan, hebat."

Rivaille menyadarinya, gadis ini berbicara lebih berani dari biasanya. Efek alkohol?

"Maaf," bisik Rivaille setelah menaruh gelasnya kembali. "Untuk yang tadi. Karena telah menyinggungmu." Jujur saja, peristiwa tadi sore di ruang briefing mengganggunya hingga saat ini.

Petra kehilangan kata-kata, benar-benar terlihat terkejut atas kata-kata Rivaille barusan. "Ch-chef? Aku tidak salah dengar? Kau meminta maaf?"

Kerutan di dahinya semakin dalam. "Ada yang aneh dengan itu?"

Petra tertawa kecil. Dan dengan rona merah di pipinya, gadis itu terlihat manis. Pikir Rivaille. "Tidak, sama sekali tidak ada yang aneh, Chef. Tentu saja kau bisa minta maaf, bodohnya aku."

"Jadi selama dua tahun bekerja bersamaku kau menganggapku apa? Bajingan berdarah dingin yang bahkan meminta maaf pun tidak bisa?" Rivaille mendengus di gelasnya.

Petra mendadak tersedak, ia mengibas-ngibaskan lengannya dengan heboh. "Tentu saja tidak, kenapa berpikir seperti itu?" katanya cepat-cepat. Ia terlihat gugup, namun Rivaille tidak melihat kebohongan di sepasang mata cokelat madunya. "Well, kau memang agak susah didekati, Chef. Dan dingin, itu benar. Dan jujur saja, hanya itu yang bisa kujelaskan darimu. Sisi dirimu yang lain? Aku tidak tahu. Kau membangun dinding di dalam dirimu."

Rivaille menaikan sebelah alis. "Begitu?"

Petra mengangguk. "Aku cukup mahir membaca pribadi seseorang," ia tertawa kembali. "Jangan pikir aku sombong,"

Rivaille mendengus kembali. "Kau tidak sombong, hanya saja terlalu banyak bicara."

Petra mengembungkan pipinya.

Dinding, ya? Batinnya. Sejak kapan aku membangunnya?

Rivaille mengalihkan perhatiannya ke panorama yang terbingkai jendela kaca, sepotong gambaran Paris ketika malam. Beruntung sekali, menara Eiffel terlihat utuh di sana, dengan lampu-lampu yang membuatnya menyala, seperti menara api yang menantang langit gelap musim gugur di atasnya.

Ia menatap Petra kembali. "Jadi, kau memaafkanku?"

Petra terdiam sejenak, sebelum tersenyum, senyuman paling cerah yang pernah Rivaille lihat selama hidupnya. "Tentu saja," katanya.


À suivre (to be continued)


A/N: Clarione's here *-*/

Jangan dulu bunuh saya karena bikin MC baru di saat MC yang lain juga perlu dilanjutin ;;A;; Ini fic impian saya, sebenarnya. Dari dulu saya pengen bikin fic MC buat Rivetra, tapi baru kesampaian sekarang. Kenapa AU? Karena sebahagia-bahagianya saya bikin mereka di setting canon, ga akan ngerubah kenyataan kalo Petra udah... you know what I mean :')

Dan soal karakterisasi, saya tahu semuanya OOC. Tetapi mengingat ini AU, dan ga ada titan dan konflik-konflik pelik yang membangun karakter mereka di canon, saya lebih suka manggilnya pemaknaan karakter, sih. Tapi gatau juga berhasil apa enggak, hoho... semoga ga ada yang keberatan, ya?

Fic ini ga akan panjang-panjang, kok. Saya bikin konfliknya ringan, dengan slight pair yang porsinya Insyaallah seimbang. Akan ada EruHan (pasti *-*) dan EreMika. Chapter ini belum keliatan, ya?

Dan soal istilah dan bahasa asing yang dipakai, saya hanya tahu sebatas apa yang dikatakan kamus xD jadi kalo misalnya ada kesalahan, akan sangat membantu kalau Minna-san mengoreksi supaya saya lebih tahu.

Saya ga tau ini feelnya (feel apa?) kerasa apa nggak, saya belum pernah bikin romance yang kentel, sebelumnya. Haha... /menggelinding.

Yosh, udah dulu, udah kebanyakan curhat. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Au revoir, adios!

Lembang, 09/12/13.

Clarione


Footnote:

Bintang Michelin: anugrah dari majalah kuliner internasional (Majalah Michelin) yang diberikan kepada restoran/hotel yang memenuhi standar penganugrahan. Pemberian satu bintang akan menaikkan kepopuleran satu restoran/hotel secara signifikan, dan penghapusan satu bintang bisa mengakibatkan tempat usaha tersebut gulung tikar.