Warning : OoCness, Non-Uchiha Massacre. Slight SasuHina. Don't like, don't read!

Happy reading!


Kisah Kita

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Bab 1

--00--

Gadis itu memandang pemuda di depannya dengan mata nanar. Apa yang baru saja didengarnya seakan membuat udara di sekelilingnya menyusut. Dadanya terasa sesak. Sakit.

"Kenapa?" dia bertanya lirih, sekuat tenaga menahan jatuhnya air mata.

Pemuda itu memandangnya sekilas, sebelum berbalik memunggunginya. Kedua tangannya terbenam di saku celananya. "Kurasa ini tidak bisa diteruskan lagi," ucapnya datar.

"Kenapa?" gadis itu menuntut. "Kalau ada masalah, kita bisa membicarakannya, kan?"

Sang pemuda menggeleng. "Tidak ada yang perlu dibicarakan. Sebaiknya kita berjalan masing-masing mulai sekarang," katanya seraya berjalan pergi.

"Kamu... bosan padaku?" gadis itu berbisik dengan suara tercekat. Sebutir air matanya telah jatuh. "Atau ada orang lain?"

Pemuda itu menghentikan langkahnya, menoleh, memandang sang gadis lewat atas bahunya yang bidang. Senyum dingin tersungging di wajahnya. "Mungkin..."

Kemudian sekonyong-konyong dari kejauhan muncul sosok gadis lain. Sosok itu menggelayut manja pada sang pemuda, melingkarkan lengannya yang langsing ke pinggang pemuda itu seraya melempar senyum mengejek pada gadis pertama. Sementara sang pemuda merengkuh bahunya, menariknya lebih dekat.

Tertawa-tawa, keduanya menjauh pergi.

--00--

Haruno Sakura tersentak bangun, terengah-engah seakan baru saja berlari puluhan kilo. Peluh mengucur deras dari pelipisnya. Diangkatnya sebelah tangannya ke dahi. Kepalanya terasa berputar.

Mimpi itu lagi...

Gadis itu memandang berkeliling dengan bingung. Rupanya dia tertidur di sofa di ruang kerja Hokage. Ruangan itu kosong. Mungkin Tsunade-shishou sedang berada di ruang penerimaan misi.

Gadis berambut merah muda itu menoleh ketika pintu berderit terbuka.

"Sudah bangun, Sakura?" seorang wanita berambut hitam pendek bertanya seraya menutup pintu di belakangnya. Sebelah tangannya membawa nampan berisi cangkir yang masih mengepul.

"Shizune-senpai," balas Sakura sambil menegakkan diri saat seniornya itu berjalan ke arahnya.

Shizune meletakkan nampannya di meja dan duduk di samping Sakura, menatap juniornya itu dengan tatapan khawatir. "Seharusnya kau tidak perlu memaksakan diri begitu, Sakura."

Sakura memaksakan senyum, menggeleng perlahan. "Aku baik-baik saja, Senpai..." ucapnya meyakinkan.

"Apanya yang baik-baik saja! Ini sudah keempatkalinya kau pingsan saat bekerja, Sakura!" tukas Shizune tidak sabar seraya mengambil cangkir yang dibawanya tadi dan menyorongkannya pada Sakura. "Sekarang kau minum ini untuk memulihkan tenagamu."

Sakura tidak membantah, mengambil cangkir itu dari tangan Shizune dan menghirupnya sedikit. Ia tersedak. Rasanya memuakkan.

"Habiskan!" perintah Shizune.

Gadis berambut pink itu terpaksa menurut, menenggak isi cangkir itu sampai tandas.

"Kau ini benar-benar..." Shizune menggeleng-gelengkan kepalanya sedih setelah Sakura meletakkan cangkir yang sudah kosong ke atas meja. "Kalau kau begini terus, kau bisa mencelakai dirimu sendiri, tahu?"

Sakura hanya tersenyum lemah, tapi tidak menanggapi.

Shizune menghela napas. "Ya, sudah. Sebaiknya sekarang kau pulang dan tidur."

Sakura baru hendak memprotes ketika Shizune berkata tegas. "Tidak, Sakura! Tsunade-sama bilang kau harus beristirahat. Dia melarangmu bekerja di Rumah Sakit selama satu minggu ini, dan tidak ada misi!"

"Tapi..."

Shizune meletakkan tangannya di atas tangan Sakura. Matanya melembut. "Dengar. Masih banyak hal lain yang bisa kau lakukan untuk melupakan Uchiha Sasuke, Sakura. Tapi bukan dengan membuat dirimu sendiri mati kelelahan."

Sakura memaksakan diri tertawa.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Haruno Sakura menaruh hati pada Uchiha Sasuke, bahkan ketika mereka masih sama-sama di akademi. Tidak ada yang membuat Sakura lebih berbahagia selain ketika pemuda impiannya itu akhirnya mengajaknya berkencan. Tapi rupanya impiannya itu tidak bertahan lama karena beberapa minggu kemudian Sasuke mencampakkannya demi gadis lain.

Itu sudah terjadi hampir sebulan yang lalu, tapi Sakura belum bisa melupakannya. Sakura sudah mencintai Sasuke hampir selama separuh hidupnya. Tidak mudah untuk melupakannya begitu saja. Mengambil misi sulit dan bekerja sepanjang waktu adalah salah satu upayanya untuk mengalihkan pikirannya dari Sasuke. Meskipun tidak selalu berhasil.

"Hai..." katanya pada akhirnya. "Arigatou, Senpai. Aku pulang dulu." Kemudian gadis itu beranjak.

--00--

Dia dikenal sebagai sang penakluk wanita. Hanya dengan kerlingan mata onyx-nya yang tajam itu, niscaya wanita manapun akan luluh. Belum lagi wajahnya yang luar biasa tampan itu, mungkin paling tampan yang bisa ditemukan di Konoha (kalau kau tidak menghitung kakak laki-lakinya yang juga tidak kalah tampan dan tidak kalah populer, tentu saja). Berasal dari klan terpandang dan memiliki bakat sebagai shinobi yang berkemampuan mumpuni, siapa yang tidak akan terpesona olehnya? Tidak terlalu berlebihan kalau menyebutkan bahwa separuh populasi wanita di Konoha akan rela mengantre hanya untuk sekedar minum teh bersamanya.

Ya, Uchiha Sasuke sangat sadar akan bakatnya yang satu itu. Baginya, berganti teman wanita sama mudahnya dengan melancarkan Katon no Jutsu, jurus dasar klan Uchiha. Tetapi, dari sekian banyak hubungan yang telah dijalaninya, tidak ada satupun yang melibatkan perasaan. Dia bahkan tidak merasakan apapun saat mencampakkan mereka. Sama sekali tidak.

Bagi Sasuke, hanya satu wanita dalam hidupnya selain ibundanya sendiri, yang benar-benar memiliki hatinya. Wanita yang selama ini Sasuke tidak berani untuk mempermainkannya sebagaimana dia mempermainkan hati gadis-gadis lain yang tidak waspada. Sahabat masa kecil dan mungkin satu-satunya wanita yang tidak terpikat dengan pesonanya yang memabukkan. Wanita muda berambut hitam kebiruan yang kini duduk di sampingnya, menatapnya dengan tatapan mencela. Mata lavendernya menyipit dan kedua tangannya terlipat di depan dada.

"Kudengar dari Neji nii-san kau berpisah dengan Sakura?" katanya. Suaranya tidak lembut seperti biasanya, melainkan ketus, pertanda kalau suasana hatinya sedang tidak baik.

Sasuke mendengus seraya menyandarkan punggungnya di pilar kayu jati di pelataran kediaman Hyuuga, jemarinya yang panjang memainkan cangkir teh hijau yang masih mengepul. "Sudah hampir sebulan, Hinata-chan..." sahutnya.

"Tapi kan tetap saja..." Hinata memprotes. "Kukira kebiasaan burukmu bergonta-ganti teman wanita yang kelewat sering itu akan berhenti saat kau dan Sakura-chan bersama," katanya. Gadis mungil itu cemberut. "Sakura itu teman baikku. Dia baik, cantik, pintar... Apa lagi coba yang kurang? Dan kulihat kalian sangat cocok, ditambah lagi kalian berada dalam satu tim genin. Dia sudah menyukaimu lama sekali, sejak kita masih di akademi, kau tahu kan?"

"Ya ya..." jawab pemuda itu malas sambil menyesap teh hijaunya.

"Dan kata Ino, dia belum pernah tersenyum lagi sejak kalian... Akh! Kau menyebalkan, Sasuke-kun!" omel Hinata.

"Yare yare, Hinata. Bukannya menanyakan kabarku setelah pulang dari misi panjang, kau malah memarahiku," Sasuke meletakkan cangkir tehnya dan mengambil setusuk dango, memasukkannya ke dalam mulut.

Hinata memelototi sahabat masa kecilnya itu. "Salahmu sendiri. Aku marah padamu karena kau menyakiti sahabatku!" tukasnya marah.

"Oh, Hinata..." keluh Sasuke, pura-pura sakit hati, "Maafkan aku..."

"Kau harusnya meminta maaf pada Sakura, bukan padaku, Sasuke-kun!"

Sasuke mendengus tertawa.

"Dan siapa itu yang kulihat saat pulang misi tadi?" tanya Hinata kemudian.

"Siapa?" Sasuke mengangkat sebelah alisnya.

Hinata memutar matanya. "Gadis yang kulihat sedang bersamamu di warung dango?"

"Kenapa? Cemburu?" Sasuke menyeringai tipis.

Hinata melompat bangun. "Demi Kami-sama, Sasuke-kun! Kalau kau begini terus, aku berani bertaruh kau tidak akan mendapatkan istri."

"Dan mati perjaka?"

"Dan mati perjaka," ulang Hinata setuju. "Jadi siapa? Pacar barumu lagi?"

Tapi sebelum Sasuke sempat menjawab, Neji muncul. "Hinata-sama, Kiba dan Shino sudah menunggumu di depan," beritahunya pada Hinata.

Hinata menoleh padanya dan mengangguk. "Arigatou, Nii-san." Dan setelah melempar tatapan kesal terakhir pada Sasuke, dia pergi.

Neji duduk di tempat yang tadinya diduduki Hinata. "Aku tidak heran dia marah lagi," katanya datar, kemudian menoleh untuk menatap Sasuke yang masih memandang ke tempat punggung Hinata barusan menghilang. Neji menghela napas, menggelengkan kepala.

"Dia selalu marah setiap ini terjadi, ne?" Sasuke masih belum mengalihkan pandangannya. "Dan dia tambah cantik kalau sedang marah." Sasuke menoleh ketika mendengar Neji tertawa mengejek, dia mengernyit. "Apa?"

"Aku akan lebih hati-hati kalau aku jadi kau," katanya.

Sasuke mengangkat alisnya. "Memangnya kenapa?"

"Dia bisa membencimu lama-lama. Kalau kau tidak mengubah kebiasaan jelekmu mempermainkan hati wanita, maksudku," jelas Neji.

Pemuda berambut hitam kebiruan itu tertawa mencemooh. "Aku sudah mengenal Hinata sejak dia masih pakai popok, Neji-san. Dia tidak akan membenciku."

Neji mengangkat bahu. "Aku mau mengingatkanmu sekali lagi, Sasuke-san. Jangan sampai kau menyesal nantinya. Kalau kau benar-benar menyukainya..."

"Oh, baik sekali calon kakak iparku ini," sela Sasuke bosan. "Aku menunggu saat yang tepat, Neji-san. Dan kalau saat itu sudah tiba, aku jamin dia akan jadi wanita paling bahagia di dunia."

Neji mendengus. "Jangan terlalu yakin dulu!"

"Tentu saja aku yakin. Uchiha Sasuke selalu berhasil membuat hati wanita berbunga-bunga, ne?" sombong Sasuke.

Pemimpin Bunke klan Hyuuga itu mengernyit. "Jangan samakan Hinata-sama dengan gadis-gadis lain, Uchiha!" dia mendadak marah. "Kalau sampai aku menemukanmu mempermainkan adikku, aku jamin saat itu aku akan membuatmu menyesal telah dilahirkan."

"Aku takut nih," kata Sasuke sambil tertawa mencemooh, kemudian ekspresinya mendadak serius, "Kau tahu aku tidak akan pernah mempermainkan Hinata-chan."

"Sebaiknya begitu," sahut Neji seraya mengambil dango terakhir di piring dan memasukkannya ke mulut. Dia mengambil waktu mengunyah dangonya sebelum melanjutkan. "Hati wanita itu bukan mainan, Sasuke. Kau tidak bisa memainkannya sesuka hatimu."

"Kau kedengarannya seperti Itachi," kata Sasuke. "Kakak tersayangku itu juga sering gembar-gembor soal itu. Kukira dia hanya iri."

Neji mendengus tertawa, "Iri? Yang benar saja, Sasuke-san. Apa yang harus Itachi-san irikan pada adiknya yang brengsek ini, eh? Ke-playboy-annya atau apa? Menurutku dia JAUH lebih baik darimu."

Sasuke tampak tidak senang. Satu hal yang paling dibencinya di dunia selain makanan manis (dango dan kue-kue buatan Hinata tidak masuk hitungan) adalah dibanding-bandingkan dengan Itachi, kakak sematawayangnya.

Itachi adalah seorang shinobi jenius, Sasuke mengakui itu. Dia sangat hebat, shinobi yang benar-benar keren. Sosok idola bagi Sasuke ketika kecil dulu selain ayahnya. Tapi sekarang, jangan ditanya, Uchiha Itachi adalah rival terberatnya. Kepopulerannya tidak berkurang bahkan ketika dia absen sementara dari dunia perninjaan. Sebenarnya yang iri adalah Sasuke.

"Diamlah, Hyuuga!" bentaknya kesal.

"Yah, Itachi-san memang ditakdirkan lebih hebat darimu, mau bagaimana lagi?"

Sasuke memutar bola matanya. "Takdir? Dirimu sekali..." Dia beranjak dari duduknya, kemudian mengeluarkan kunai dari kantung kunainya. "Bagaimana kalau kita sparring? Kali ini aku pasti menembus Kaiten-mu. Akan kubuktikan aku lebih hebat dari Nii-san."

"Jangan bermimpi," cemooh Neji sambil berdiri, mengeluarkan kunainya juga dan menyusul Sasuke berjalan menuju lapangan tempat klan Hyuuga biasa berlatih. "Sekarang masih siang, Uchiha."

"Cerewet!" Sharingannya aktif.

"Byakugan!"

TRING!

--00--

Sudah dua hari sejak Godaime Hokage 'merumahkan' Sakura. Kondisinya tubuhnya sudah jauh membaik, tapi tidak begitu dengan psikisnya. Kunoichi berambut merah muda itu terus saja dihantui mimpi buruk. Gadis itu kerap terbangun di tengah tidurnya dengan wajah dibasahi air mata. Hal yang wajar terjadi, karena tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mengalihkan pikirannya dari pemuda yang telah menghancurkan hatinya.

Meski begitu, dia sangat bersyukur karena memiliki teman-teman yang sangat menyayanginya. Ino, Naruto dan yang lain tidak putus mendukung dan menghiburnya. Bahkan tim-nya, minus Sasuke, hampir setiap hari menyambanginya kalau sedang tidak ada misi. Seperti yang Naruto dan Sai lakukan sekarang ini, padahal kedua pemuda itu baru saja selesai menjalani misi.

"Sasuke tidak seharusnya melakukan ini padamu, Sakura-chan," kata Naruto prihatin. Calon Rokudaime Hokage itu masih tidak percaya ketika Sasuke tiba-tiba saja mencampakkan Sakura dan mengencani gadis lain. Dan penyesalan mendadak memenuhi hatinya ketika dia menyaksikan Sakura begitu hancur karena ini. Dia mengenal Sasuke, seharusnya dia bisa mencegahnya. "Aku kira Sasuke benar-benar mencintaimu."

"Aku kira juga begitu, Naruto..." lirih Sakura sambil menyeka air mata yang jatuh di wajahnya. "Tapi semuanya sudah terjadi. Aku memang bodoh."

"Kau sama sekali tidak bodoh, Sakura-chan," bantah Naruto, dengan lembut merengkuh bahu sahabatnya, membiarkan gadis itu merebahkan kepala di bahu bidangnya. "Si teme-lah yang bodoh."

"Ya. Dia bodoh. Pria brengsek yang kerjanya mempermainkan wanita," timpal Sai dengan senyumnya yang biasa dari dekat rak buku di sisi jendela. "Orang seperti itu tidak patut dipedulikan."

Sakura mendengus tertawa. "Apa katanya kalau dia mendengar teman-teman setimnya membicarakannya seperti itu?"

"Barangkali dia akan marah. Tapi seperti kata Sai, siapa yang peduli?" kata Naruto dingin. "Aku lebih marah padanya karena menyakitimu." Diam sejenak sebelum Naruto melanjutkan, "Aku, Sai, Kakashi-sensei, Yamato-taichou dan yang lain... tidak akan membiarkanmu terluka lagi, Sakura-chan. Kau masih punya kami, jadi kau tenang saja. Oke?"

"Naruto..." Sakura memejamkan matanya, menikmati kehangatan lengan Naruto yang melingkar di bahunya, membuatnya merasa aman. Dan dia sudah merasa jauh lebih baik sekarang. "Arigatou..."

Sakura membuka kembali matanya ketika Naruto melepaskan rangkulannya. "Kami harus ke tempat Tsunade no Baa-chan untuk melapor," katanya sambil beranjak, tersenyum pada Sakura, "Dia bisa ngamuk kalau kami sampai terlambat."

"Kalian bukannya melapor dulu baru kemari," kata Sakura agak mencela sambil berdiri.

"Apa boleh buat," ujar Sai sambil tersenyum, "Naruto terlalu mengkhawatirkanmu. Dia memaksa kemari dulu."

Sakura tersenyum. Luapan rasa terimakasih terhadap dua sahabatnya itu memenuhi hatinya saat gadis itu mengantar mereka ke pintu depan. Namun sebelum dia sempat mencapai pintu, seseorang mengetuk pintunya.

"Sebentar..." Sakura menyahut seraya meraih pegangan pintu depannya, menggesernya terbuka. Seorang gadis berambut pirang yang juga sahabatnya sejak kecil, Yamanaka Ino, berdiri di depan pintu. "Ino?"

"Sakura!" sapa Ino riang. Gadis itu tidak mengenakan pakaian ninja-nya, melainkan setelan sehari-hari berupa celana hitam selutut dan kaus berwarna ungu tua. Mata birunya melebar tatkala ia melihat ada orang lain di belakang Sakura. "Oh, ada tamu rupanya."

"Yo, Ino!" sapa Naruto dengan cengirannya yang biasa.

"Konichiwa, Nona cantik," sapa Sai sambil tersenyum, membuat wajah Ino merona merah.

"Konichiwa, Naruto, Sai-kun..." balas Ino.

Kedua pemuda itu melangkah keluar dari rumah Sakura (rumah yang ditinggalinya seorang diri sejak kedua orangtuanya meninggal beberapa tahun yang lalu). "Kami pergi dulu kalau begitu, Sakura-chan," kata Naruto.

"Ya," sahut Sakura. "Ja.."

"Ja.." lantas kedua pemuda itu melompat menghilang dari pandangan.

Sakura berpaling pada Ino, yang kini tengah menatapnya dengan tatapan khawatir. "Kau kelihatan kacau, Sakura," ujarnya dengan nada sedih. Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah sahabatnya, menyeka sisa air mata di wajah pucat itu dengan lembut. "Habis menangis, eh?"

"Memangnya apa yang bisa kulakukan?" tanya Sakura pedih.

Ino menghela napas berat. "Untuk Sasuke-kun? Kurasa tidak ada. Dia tidak layak mendapatkan air matamu," katanya seraya menggelengkan kepala dengan sedih. "Lupakan dia, Sakura. Buang bayangannya jauh-jauh."

"Aku sedang mencobanya," ujar Sakura pelan. "Tapi sepertinya belum begitu berhasil."

"Nanti juga berhasil," sahut Ino. Senyum cerah merekah di bibirnya. "Dari pada bermuram durja melulu, bagaimana kalau kita bersenang-senang? Ada onsen yang baru dibuka lho. Bagaimana kalau kita ke sana?"

"Sepertinya menyenangkan," sahut Sakura, memaksakan senyum.

"Pasti menyenangkan," kata Ino meyakinkan, "Ah, sayang sekali Hinata dan Tenten sedang pergi misi. Kalau tidak kita kan bisa pergi bersama-sama," ujarnya. "Kalau begitu, sebaiknya kau bersiap-siap, Sakura. Ayo!" Ino mendorong Sakura masuk ke dalam rumahnya untuk bersiap-siap. Setelah selesai, mereka pun meninggalkan rumah untuk menuju onsen yang dimaksud Ino.

Dan Sakura tidak bisa merasa lebih bersyukur lagi karena itu. Kehadiran sahabat-sahabatnya sungguh membuatnya merasa lebih baik. Rasanya, ia mulai bisa melupakan Sasuke.

Arigatou, minna...


TBC


Untuk para senpai yang baik, mind to review? XD