Sebastian x Fem Ciel

Rated T

I don't own kuroshitsuji

Happy reading

.

.

Cinta

Hanya satu kata memang, tapi memiliki arti yang luas.

Awalnya aku tidak mengenal apa itu cinta, terutama setelah kedua orangtuaku meninggal. Semenjak mereka meninggal, aku tinggal bersama bibiku hingga sekarang. Dan disitulah, awal aku bertemu dengannya.

-Flashback-

Kedua mata ku terbuka saat kurasakan seberkas cahaya menerpa wajahku. Aku sedikit mengernyit karena tidak terbiasa dengan cahaya yang begitu terang.

Saat kesadaranku mulai pulih, ruangan serba putih ini menyambutku lagi. Mungkin sudah seminggu lamanya aku dirawat dirumah sakit semenjak kebakaran yang merengut kedua orangtuaku. Semenjak itu pula, aku jadi jarang berbicara.

"Selamat pagi, Ciel" sapa bibi yang sudah ada disini. Aku menaikkan sebelah alisku, saat melihat pria tua yang datang menjenguk bersama bibi Ann. Disamping pria tua itu aku juga melihat seorang anak laki-laki berambut raven, yang mungkin lebih tua dariku 5 tahun.

"Perkenalkan, ini Tanaka. Dia adalah teman ayahmu dulu" dapat kulihat pria tua itu duduk disebelah kasurku, di ikuti anak laki-laki berusia 15 tahun itu yang berdiri dibelakangnya.

"Kau benar-benar mirip dengan Vinc" katanya seraya mengusap rambutku.

"..." Aku hanya diam, merasakan tangan hangat pria tua itu. Usapannya, mengingatkan ku pada ayah.

Tanpa kusadari, setetes air mata menggantung di pelupuk mataku. Aku masih dapat ingat wajah ayah dan ibu sebelum akhirnya mereka hangus terbakar oleh api tersebut.

Aku menangis saat mengingatnya lagi. Rasa sesak di dadaku terasa sakit, seperti ada sesuatu yang menembus dadaku.

"Ciel, kau tidak apa-apa?" tanya bibi Ann yang panik melihatku menangis.

"Mungkin dia masih sedih karena kehilangan mereka berdua" kata Tanaka kepada bibiku.

"Berhentilah menangis..." tanpa kusadari, anak laki-laki itu mengusap rambut kelabuku. Aku terkejut, mendongak kearahnya. "Aku tau itu memang menyedihkan, tapi kau harus menerimanya cepat atau lambat" lanjutnya tersenyum padaku.

Tidak hanya aku, tapi sepertinya Bibi dan orang yang bernama Tanaka itu ikut terkejut mendengar perkataan anak laki-laki itu.

"Namaku Sebastian, dan mulai sekarang jangan bersedih lagi" ia menjulurkan tangan kepadaku. Mataku membulat.

Dengan ragu-ragu, aku membalas jabat tangannya.

.

.

-still flashback-

keesokan harinya, aku terbangun dan tidak menemukan sosok bibiku. Yang kulihat hanyalah anak laki-laki kemarin yang kuketahui bernama Sebastian.

Seakan menyadari wajah bertanyaku, ia memulai pembicaraan "Bibimu dan ayahku sedang pergi" katanya. "Aku disini untuk menjagamu" lanjutnya.

"..." aku masih tetap diam.

"Kudengar,..." aku menoleh kearahnya. "Kau dulu suka bermain piano?" tanyanya dengan nada ragu.

"..."

"Ehm, kalau kau tidak mau menjawab juga tidak apa-apa" katanya salah tingkah melihatku yang tidak menjawab pertanyaannya.

"Dulu..." dapat kulihat ia terkejut melihatku berbicara. Ya, aku memang jarang bicara sih. Terutama dengan orang asing.

"Benarkah? Kalau begitu, jika kau sudah pulang dari sini, bagaimana jika kita bermain piano bersama?" ajak Sebastian dengan nada antusias.

"..."

Dia masih tersenyum. "Itu kuanggap sebagai jawaban 'ya'"

Tidak lama setelah itu, aku diperbolehkan untuk pulang. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, aku dapat berbicara walaupun intensitasnya kecil.

Aku kembali kerumah bibiku. Rasanya sudah lama aku tidak kesini. Terakhir kali aku disini, aku datang bersama ibuku.

"Ah kita sampai" kata bibiku sambil membawa barang-barangku yang ada dirumah sakit. "oh iya Ciel, nanti Sebastian akan kesini. Katanya dia ingin bermain piano denganmu" kata bibiku.

"oh" hanya itu jawabanku, tapi dapat kurasakan bibiku begitu senang melihatku dapat berbicara kembali.

Setelah itu bibi membimbingku menuju kesebuah ruangan bernuansa biru muda. Didalam ruangan itu terdapat sebuah kasur berukuran king size berwarna biru muda, dengan perabotan dari kayu yang di cat putih.

"Mulai hari ini ruangan ini akan menjadi kamarmu" katanya padaku.

.

.

Saat ini aku berada diruang tamu, memandangi tuts-tuts piano. Aku merabanya, rasanya sudah lama aku tidak bermain piano.

"Ciel, Sebastian sudah datang" aku menoleh kearah pintu, dan mendapati Sebastian berdiri disana. Ia menatapku dan tersenyum padaku.

"Selamat sore Bibi, hai Ciel" ia menyapaku.

"Hn"

Aku lalu kembali menoleh kearah tuts tuts piano.

"Kalian berdua bermainlah dulu, bibi akan memasak makan malam" kata bibi Ann, lalu ia berjalan menuju ke dapur.

"Baik" jawab Sebastian sebelum bibi menuju ke dapur.

"Boleh aku duduk bersamamu?" tanya Sebastian.

"ya" jawabku singkat. Setelah mendengar persetujuan dariku, Sebastian akhirnya duduk diseelahku. Dapat kurasakan tuts-tuts piano berbunyi dengan indahnya. Aku melihatnya bermain dengan lincahnya. Membuat sebuah rangkaian nada yang indah.

"Indah" gumamku pelan.

Mendengar gumamanku, jari jari Sebastian yang awalnya lincah memainkan tuts piano, tiba-tiba berhenti. Aku menoleh, "kenapa?" tanyaku pelan.

Ia tersenyum, "tidak, hanya saja aku senang kau suka lagu yang kubuat" aku mengangkat sebelah alisku mendengar perkataannya. "Ini lagu yang kubuat setelah ibuku meninggal. Waktu itu kupikir akulah anak termalang karena kehilangan seorang ibu, tapi ternyata aku salah. Kau bahkan lebih tegar dariku, dan semenjak ayahku menceritakan tentang kau, aku sudah mengagumi mu" katanya membuatku sedikit terkejut. Aku bahkan baru mengetahui bahwa ibu Sebastian telah meninggal.

"..."

"Jadi Ciel, mulai hari ini kita adalah sahabat" dia memberikan jari kelingkingnya padaku.

"janji" gumamku disertai senyum setipis benang laba-laba.

.

.

-end of flashback-

Semenjak hari itu hingga saat ini, aku dan Sebastian bersahabat. Lambat laun, aku menyadari perasaan yang akhir-akhir ini kurasakan. Bahwa aku menyukai Sebastian bukan sebagai seorang sahabat maupun seorang kakak, tapi sebagai seorang laki-laki dan perenpuan.

"Hi Ciel" panggilnya saat melihatku yang sudah menunggunya disebuah cafe yang sering kami kunjungi. "Kau sudah menunggu lama?" ia menarik kursi yang berada didepanku.

"Menurutmu?" tanyaku sinis.

"Ah, kalau begitu maafkan aku. Tadi dijalan macet, kau tau sendiri kan?" ia tersenyum. Senyum yang begitu mempesona dimataku, membuat jantungku berdebar kencang.

"kenapa kau tiba-tiba mengajak ku kesini?" tanyaku to the point.

"heh, kau ini sama sekali tidak berubah" ia mengacak rambutku. Aku berdecak kesal, "Kau menyebalkan" kataku membuang muka. Aku berusaha menyembunyikan semburat merah yang ada di wajahku.

"Hei, kau demam?" tanya Sebastian yang berusaha menahan tawanya.

"Teserah kau saja!" aku berdecak kesal.

"Hahaha, aku hanya bercanda. Jangan ngambek begitu dong"

Aku menghela nafas, "tumben kau mengajak ketemuan. Bukankah kau sibuk dengan kuliahmu?" tanyaku.

"umm... ya begitulah. Tapi aku ingin membicarakanmu sesuatu padaku" katanya. Samar-samar dapat kulihat semburat merah muda pada wajah pucatnya.

"Sebenarnya aku..."

"Aku menyukai seseorang..."

Deg!

'Mungkinkah Sebastian menyukai orang lain?'

"Ia adalah Hannah"

Rasanya air mataku ingin meleleh. Rasa sesak menyeruak dadaku.

Rasanya dadaku terasa semakin sakit melihat bagaimana wajah Sebastian saat menceritakan tentang wanita itu. Ia tampak begitu senang. Aku bahkan tak pernah melihat senyum Sebastian yang begitu berbinar-binar.

"Begitukah?" aku berusaha tersenyum didepannya, tapi sebenarnya hatiku menangis.

"Kau tau, dia itu begitu ramah. Dia bahkan pernah memasak untuk ku" Sebastian melanjutkan ceritanya dengan nada senang.

Aku bahkan tidak bisa memasak.

"Dia juga pernah bermalam di apartemenku. Saat itu hujan, jadi ia tidak bisa pulang" lanjutnya.

Memang aku pernah menginap di apartemen Sebastian, tapi suasananya berbeda. Saat itu Sebastian menganggapku sebagai adiknya, sementara perasaannya dengan Hannah adalah perasaan seorang pria kepada seorang wanita.

Aku hanya bisa tersenyum mendengarkan Sebastian yang bercerita tentang moment nya saat bersama dengan wanita itu.

"Bagaimana kalau kau kuajak ketemuan dengannya?" ajak Sebastian.

"Ehm, aku..."

"Ayolah Ciel, aku ingin mengenalkanmu dengan nya" Rengek Sebastian.

"Tapi..." aku ingin menolaknya, bukan karena aku memiliki urusan. Tapi karena aku yakin aku tidak akan mampu tersenyum terus melihat betapa cocoknya mereka.

"Sebagai hadiahnya, aku akan membuat kue coklat untukmu. Bukankah kau suka kue coklat?" Aku melirik kearah Sebastian. Sebenarnya aku sangat suka kue yang dibuat Sebastian. "Jadi, apa kau masih ingin menolaknya?" tanya Sebastian dengan tersenyum simpul padaku.

"Kau harus janji" kataku membuang muka darinya.

.

.

.

Seperti yang Sebastian katakan beberapa hari yang lalu, saat ini aku tengah menunggunya di tempat yang sama saat kami bertemu beberapa hari yang lalu. Dimeja yang sama, aku menunggu Sebastian. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia akan mengajak Hannah. Mengingat tentang bagaimana Sebastian mencintai Hannah, membuat dadaku terasa sakit.

Tanpa sadar, seorang wanita berambut keperakan memanggilku. "Apa kau Ciel?" tanya wanita berparas cantik dengan kulit sedikit tan.

Aku terkejut melihatnya, "i-iya, memangnya kenapa?" tanyaku.

"Oh perenalkan, aku Hannah teman kampus Sebastian" ia memperkenalkan dirinya. "boleh aku duduk disini?" tanya Hannah tersenyum ramah padaku.

Melihat senyumannya, aku jadi tau mengapa Sebastian menyukai gadis ini. Aku merasa...

Iri

"Hei Ciel" suara Hannah menyadarkanku dari lamunan ku.

"Oh maaf, aku melamun" kataku salah tingkah.

"Hahaha, santai saja" katanya padaku. Aku hanya tersenyum kecut. "Kau tau, Sebastian selalu bercerita tentang kau. Katanya, kau kehilangan orangtuamu saat kau masih 10 tahun, benarkah itu Ciel?" aku terkejut mengetahui Sebastian menceritakanku kepada Hannah.

"Ya, sejak itu aku tinggal bersama bibiku" aku tersenyum kecut.

"Ciel, aku turut prihatin. Maaf jika aku membuatmu harus mengingat hal itu lagi" Hannah memasang wajah prihatin.

"Itu tidak masalah, Sebastian yang menyuruhku untuk tegar" jawabku memasang senyum palsu pada Hannah.

"Ah, kalian benar-benar akrab. Aku jadi iri" kata Hannah membuatku tersedak saat aku menyesap milk tea pesananku.

"Pelan-pelan, Ciel" Hannah tersenyum lembut padaku. Melihatnya membuatku teringat akan Sebastian. "Kau manis ya" katanya sambil memperhatikanku.

"eh? benarkah? terimakasih" aku tersenyum padanya.

"Ah maaf, aku jadi membuat kalian menunggu" tiba-tiba Sebastian datang.

"Oh Sebastian, dasar kau tetap saja. Pasti alasan macet lagi" kata Hannah. Ia terlihat sebal pada Sebastian. "Ayolah, kau kan tau Hannah" goda Sebastian pada wanita bersurai perak itu. Terjadilah perang mulut diantara mereka, sementara mereka sama sekali tidak menyadari keberadaanku.

'Betapa mesranya mereka'

"Ehm sepertinya aku harus pulang. Aku lupa besok ada tugas sekolah. Sampai jumpa!" kataku langsung beranjak pergi meninggalkan mereka berdua saja. Ya, berdua. Sepertinya itu yang di inginkan Sebastian.

.

.

Selama perjalanan, aku tidak henti-hentinya menangis. Dadaku terasa sesak, seakan ada lubang besar yang menganga di dadaku.

Melihatnya dengan Hannah, aku merasa bahwa aku hanya akan membuat mereka terganggu. Seandainya aku tidak mencintainya, pasti rasanya tidak akan sesakit ini.

Ini menyakitkan.

Aku tidak bisa terus tersenyum didepan mereka. Tapi jika aku menghindari Sebastian, apa aku bisa sehari saja tanpa melihat wajahnya? Apakah aku benar-benar bisa melupakannya? Apa aku bisa, berhenti untuk mencintainya?

Selama ini Sebastian lah yang mengubahku menjadi lebih baik. Jika tidak ada dia, apa aku masih bisa tersenyum saat ini?

Aku mencintainya.

Dan dia mencintai wanita lain

Itulah kenyataan yang begitu pahit. Aku akan selalu memandangnya dari sini, sedangkan ia memandang gadis lain.

Bisakah aku berharap? Bisakah aku berharap bahwa ia akan mencintaiku?

Aku tidak ingin egois, mengorbankan perasaan Sebastian. Seharusnya, jika aku mencintai Sebastian maka aku harus merelakannya bahagia bersama orang yang ia cintai.

"Aku tidak boleh egois" gumamku sambil mengusap air mata yang mengalir.

Aku terus berjalan, tanpa memperhatikan kesekelilingku. Aku bahkan tidak menyadari sebuah mobil melaju cepat kearahku.

Semua terjadi begitu cepat.

Aku tidak dapat merasakan apapun. Yang kurasakan seseorang memeluk ku hingga kami terjatuh hingga ke badan jalan.

"Hei, kau itu mau bunuh diri atau apa sih?"

suara itu...

Aku membuka mataku yang terpejam. Aku sangat terkejut saat kudapati, orang yang menyelamatkanku adalah Sebastian.

"S-sebastian?" aku tersentak saat menyadari posisi kami. Wajahnya begitu dekat denganku. Aku bahkan dapat merasakan deru nafasnya menyapu wajahku.

"Yang tadi itu hampir saja. Jika aku tidak menolongmu, bisa-bisa..." ia mengusap wajahku.

"Hentikan! Kau bodoh!" aku berusaha menepis tangannya. "Untuk apa kau kesini? Kau meninggalkannya?" tanyaku tanpa sadar isakanku terpecah. Gejolak perasaan yang kurasakan, tidak dapat terbendung lagi (Aduh bahasanya lebay bener).

"Kau tau, tadi kau membuatku dan Hannah khawatir" katanya menatap repay kedalam mataku dengan kedua iris crimsonnya.

"Aku bukan anak kecil yang harus kau hawatirkan!" aku berteriak disela tangisanku. "lepaskan aku!" aku berteriak sekali lagi.

"Kau ingin aku tidak menghawatirkanmu? Jika aku tidak segera menyusul mu tadi, kau bisa saja tertabrak tadi!" ia menatapku dalam.

"Kenapa kau khawatir?" tanyaku dengan suara parau karena tenggorokanku tercekat dengan yang baru saja terjadi.

"Karena kau tiba-tiba pergi begitu saja" Jawabnya. "Dengar Ciel, aku ingin bertanya padamu... aku ingin kau menjawabnya dengan jujur" ia menatapku dalam-dalam.

"Apa kau tidak suka jika aku berhubungan dengan Hannah?"

Deg!

'Iya! Aku sangat membencinya! karena aku mencintaimu, Sebastian!'

"Aku suka kau dengannya. Kau tau, Hannah itu sangat baik! Aku mendukung kalian berdua" jawabku dengan nada ceria yang dibuat-buat.

"Lalu kenapa kau tadi pergi begitu saja? Hannah sempat mencemaskanmu" aku tersenyum kecut mendengar Sebastian membahas Hannah lagi.

'Karena aku tidak suka kau dengannya'

"Aku hanya tidak ingin mengganggu kalian. Lagipula aku memang harus mengerjakan tugas" jawabku asal.

"Kau tidak bisa bohong, itu hari minggu, mana mungkin kau harus mengerjakan tugas hari ini juga?"

Aku menelan ludah. Bagaimana aku bisa sebodoh itu?

"Ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, Ciel?"

"Tidak! Aku mau pulang Sebastian! Kau itu menyebalkan!" aku berusaha melepas genggaman tangannya dariku. "Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi!" aku berteriak, lalu berlari meninggalkannya.

'Seandainya kau tau Sebastian, aku marah karena aku cemburu padamu'

.

.

TBC

Yossshhh! Akhirnya selesai juga!

Disini Sebastian 22 tahun, Ciel 17 tahun. Hannah disini seumuran dengan Sebas.

Sankyuu telah membaca fict ini.

Tunggu chpt selanjutnya

Jaa~

RnR