Author's Note: Kami tidak percaya bahwa kami (akhirnya) bisa menghasilkan sebuah fiksi yang 'serius'. :LOL: Ini adalah fiksi multichap pertama kami. So, enjoy!
Genre: Detective/Action/Roman/Humor
Disclaimer: Death Note is not ours, obviously.

Timeline: Mello dan Matt berusia sekitar 20 tahun. AU.

Dragon Rhapsody and Claire Lawliet, proudly, present: the wildnest and romantic detective story, ever!

From Paris, with Wildness

Chapter One: Paris and The Wild Woman


Keliaran adalah sebuah seni, setidaknya bagi orang-orang yang mengaku bahwa ia cerdas.

[ Avenue Des Champs-Elysees, Paris. Pukul 01.30 ]

Seseorang bertubuh ramping tengah berdiri di tepi jalan. Rambut pirangnya yang membingkai wajahnya tidak terlihat serasi dengan ekspresinya. Sebab ekspresi itu sangat mirip seperti seorang psychopath yang tengah menunggu mangsanya datang. Sungguh sangat tidak serasi dengan rambutnya yang menawan. Percayalah padaku.

Dia melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul satu lewat tiga puluh menit. Sambil berdecak kesal, ia menatap langit seraya bersumpah di dalam hatinya bahwa ia akan membunuh seseorang yang telah membuatnya menunggu selama tiga puluh menit. Untuk kesekian kalinya, ia mengambil telepon seluler dari saku celana panjangnya dan berusaha-lagi-menghubungi seseorang.

Tak lama terdengar nada membosankan dari sebuah operator. Lagi.

"Merde!" umpatnya.

Baik, mari kita tinggalkan dulu orang temperamental ini untuk sesaat. Dan sekarang, mari kita beralih pasa seorang pemuda yang berjarak sekitar sepuluh meter dari punggung si temperamental. Ia tengah berjalan sangat santai dan sibuk melayangkan pandangannya ke sepanjang jalan yang terkenal fantastis itu. Ya, tidak dipungkiri lagi, ia memang melihat lebih banyak ke arah gadis-gadis yang bertebaran di sepanjang jalan itu.

My...

Kembali ke scene. Pemuda santai itu bertubuh tinggi, dan segala yang berhubungan dengannya sangat mewakilkan kota ini. Gairah dan cinta. Well, bisa dibilang begitu, jika kita tidak ingin menyebutkannya dengan istilah yang lebih kasar.

Rupanya pemuda ini berjalan ke arah seseorang yang tengah berada di ujung kemarahannya. Dan kemarahan itu mungkin sebentar lagi akan meledak.

Pemuda santai itu tiba-tiba tersenyum senang saat matanya menangkap tubuh seseorang di kejauhan. Sebatang rokok menggantung di mulutnya yang kini mulai mengikik geli.

"Damn him, si tua bangka itu benar-benar tahu seleraku..." bisiknya pada dirinya sendiri seraya menatap seseorang berambut pirang dengan tatapan rakus.

Tidak lama ia pun sampai di punggung si pirang dan sebelum melakukan sesuatu yang telah ia rencanakan sedari tadi, ia mengeluarkan sebuah ekspresi yang tidak tertebak.

Sepasang tangan berbalut gloves tiba-tiba menutup pandangan si pirang.

Si pirang terkejut. Namun, ia memilih untuk berdiam diri sejenak.

"Hey, sweetie..." sebuah suara yang asing terdengar berbisik pelan di telinga kanannya, disusul sebuah beban yang menggelayut di atas pundaknya. Pemuda itu telah mengistirahatkan dagunya di leher si pirang.

Si pirang tersentak dan jemari tangannya yang telah terlatih, otomatis menarik sesuatu dari saku dalam jas gelapnya.

Si pirang menekankan ujung pelatuk revolver silvernya pada sisi wajah si pemuda di belakangnya.

"Whoa... whoa... easy girl..." kata si pemuda dengan nada dibuat-buat seraya melepaskan tubuhnya dari si pirang.

Kini mereka berhadapan dan pemuda santai itu segera menurunkan ujung revolver yang ditodongkan ke arahnya itu dengan perlahan.

"Damn, I just love wild women." kata si pemuda santai itu.

"Women?" si pirang berjengit saat mendengar kata itu. Ekspresinya seperti saat mendengar sebuah kata yang menjijikan. Lengannya kembali diarahkan ke arah si pemuda di depannya itu dengan kasar. "You love wild women, don't you? So, eat this!" desis si pirang.

"Rose in Heaven."

Si pirang terpaku. Ia menatap si pemuda di depannya dan berkedip seperti orang tolol. Kemudian tanpa diinginkannya revolvernya terjatuh dari genggaman tangannya.

"Jika kau mau membunuhku, kita bisa melakukannya di tempat lain... ingat, kita di tempat terbuka... Agent..." bisik si pemuda.

Si pirang semakin terpaku.

Pemuda itu tidak menunggu hingga ekspresi si pirang kembali normal. Ia membungkuk dan meraih revolver si pirang dan menyerahkan benda berbahaya itu padanya.

Si pirang masih memelototi si pemuda dengan ekspresi yang konyol sebelum melemparkan sebuah tatapan yang melelahkan.

"Oh, crap... ingatkan aku untuk membunuh si tua bangka itu..." kata si pirang frustasi.

"Baik, Agen London07, Ma'am." kata si pemuda sigap seraya tersenyum mengejek.

"Great.. ini benar-benar mimpi buruk..."

"Well, setidaknya ini adalah kenyataan Ma'am..."

"Oh, diam kau..."

"Paris09... aku Agen Paris09... Ma'am..."

"Baik, Agen Paris09..." kata si pirang dengan nada bosan.

"Well, omong-omong, kita punya kesamaan..."

"Ya? Dan itu adalah?" tanya si pirang malas.

"Kita sama-sama menyebutkan dia si 'tua bangka'."

Sesaat hening.

Kemudian sebuah tawa meledak.

"Well, benar kan? Dia memang sudah tua bangka..." si pirang tergelak. Pemuda di depannya itu tersenyum menatap tawa si pirang.

"Ya... dia memang tua bangka jahanam... selalu tahu apa yang kuinginkan..."

"He?" si pirang berhenti tertawa dan kembali bersikap waspada.

"Ar, tidak." kata si pemuda sambil tersenyum.

"Baik, sudah cukup main-mainnya... sekarang langsung ke bisnis... sebaiknya kita langsung saja ke hotel..."

"Waw, London... kau ternyata suka yang 'to the point' ya? Aku tidak menyangka kau sudah berpikir sejauh itu..." kata si pemuda dengan nada terkejut yang dibuat-buat.

Si pirang sempat terdiam seraya mencerna perkataan Agen juniornya barusan.

"Bu-bukan itu maksudku, idiot!" London menghardiknya. Tanpa disadarinya, wajahnya merona merah.

"Hooo... kau bergairah... ini Paris sayang... Paris..."

Si pirang memelototi si pemuda dengan tatapan 'grim reaper'. Kemudian sebuah pukulan yang sangat kencang pun mendarat di wajah pemuda tersebut.

"Awasi mulutmu... and let's get the f*ck out!" si pirang berlalu mendahului.

"Oh...I just love wild women." bisik si pemuda dengan tersenyum.


Kedua Agen kita memasuki hotel mereka. Setelah berurusan dengan si resepsionis di lobi utama, mereka segera menuju kamar.

Setelah mengecek seluruh kamar dengan detil, mereka pun mengistirahatkan diri di sofa.

"Paris, apa yang kau bawa?" tanya Agen London.

"Bawa diri dihitung?" yang ditanya menjawab.

Sang Agen senior memelototi rekannya.

"Alright... alright..." gumam sang rekan. Ia mengeluarkan sebuah berkas dari dalam tasnya dan memberikannya pada Agen London.

"Target kita bernama Misa Amane. 20 tahun. Gadis Asia-Eropa yang glamor." jelas Agen London.

Agen Paris melemparkan sebuah berkas foto ke atas meja kaca.

Foto itu menunjukkan seorang gadis muda yang sangat cantik dengan rambut pirang panjangnya. Ekspresinya sangat ceria dan bergairah.

"Amane diketahui tinggal di London sejak keluarganya pindah dari Asia tujuh tahun yang lalu. Ibunya telah meninggal dua tahun yang lalu, dan ia dimakamkan di sini, Paris... dasar orang kaya... " London memutar bola matanya dan melanjutkan, "Ia punya hubungan yang baik dengan kurator Louvre, suka diving, ski, menghabiskan kekayaan keluarganya dan bersenang-senang dengan wine."

"Rupanya lawan yang tangguh... dia sedikit mengingatkanku padamu, Agen London..."

Agen London kembali memelototi sang rekan dengan jengkel.

Agen Paris mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum.

"Amane dicurigai memimpin sejumlah organisasi rahasia yang berorientasi pada kriminalitas..." lanjut Agen London.

"Oh man... mereka mengatakan mencuri lukisan itu kriminalitas?"

"Ya, jangankan lukisan, bila kau berani mencuri penaku, aku jamin kau akan berakhir dengan kepala retak..."

"Yang benar saja..."

"Dan tidak bernyawa..."

"Lanjutkan saja..."

"Organisasi ini telah lama eksis. Inggris dan Amerika telah membentuk tim untuk melindungi milik berharga mereka masing-masing..."

"Ya, dan sangat ketat kudengar..."

"Amane dikabarkan seorang yang sangat menyukai seni. Ia adalah seorang bangsawan... bahkan kabarnya kekuasaan si gadis kecil ini sangatlah luas..."

"Pengaruh keluarga?"

"Mungkin... tapi kudengar ia memiliki kekuasaan yang melebihi ayahnya sendiri..."

"Karena...?"

Agen London menatap rekannya tajam.

"Dia tunangan Duke Campbell, idiot. Kupikir kau sudah tahu mengenai target kita..."

"Ya, yang kutahu dia cantik..."

Sebuah tatapan 'WTH' meluncur ke arah Agen Paris.

"Baik, target's intoduction finished... sekarang dengarkan aku..."

"Aku mendengarmu sejak tadi... Miss London..." gumam Paris pelan.

"Apa?"

"Ar? Tidak... silakan lanjutkan... partner..."

"Amane berada di Paris besok. Bersama tunangannya, Duke Campbell... orientasi, tentu saja terhadap beberapa benda seni di beberapa museum... akhir dari liburannya akan dihabiskan dengan menjelajahi Louvre... mungkin ia memang mengincar tempat itu sejak awal... yang lain hanya pengalihan... kebetulan akan ada yang berkunjung ke sana... Monet..."

Paris mendengar setiap kalimat yang mengalir dari mulut seniornya itu, tapi ia sama sekali tidak memperhatikan. Rupanya ia tidak begitu tertarik mendengar tentang benda-benda seni yang membosankan. Lagipula mengapa ada orang-orang yang ingin berusaha mencuri sebuah lukisan? Demi Tuhan.

Benar-benar tidak masuk di akal, pikir Paris. Ia lebih tertarik dengan hal lain dibanding dengan topik membosankan seperti itu. Tatapannya tiba-tiba mengarah pada sebuah titik di bawah wajah rekannya yang tengah berbicara itu.

Dan tiba-tiba juga sebuah kata meluncur keluar dari mulutnya.

"Rata..."

London menghentikan kata-katanya. Ia spontan menatap Paris yang tengah terlihat seperti setengah melamun. Tatapannya tertuju pada dada London. Intens.

"Apa?" London bertanya, berusaha menekan kejengkelannya yang mendesak keluar.

"Ha? Oh... er, tidak, er, maksudku aku yakin semuanya akan lurus-lurus saja..." Paris berkata. Sejurus kemudian tatapannya berubah haluan. Ia melirik selangkangan London dan seketika menjilat bibirnya.

"Dengar, Paris... kau telah sukses merubah moodku. Pertama kau telah membuang tiga puluh menitku yang sangat berharga... dan sekarang... harusnya kau tahu pekerjaanmu, aku benar-benar harus membunuh si tua bangka itu karena memberiku partner sepertimu..." kata London frustasi.

"Oh, benarkah? Aku dengar banyak agen yang mati karena stress... santai saja kawan..."

"Jaga mulutmu, Agent..."

"Oh, ayolah, mengapa kau begitu serius?"

"Karena kita selalu berada pada jalur hidup dan mati, brengsek... sekarang diam, dengarkan aku dan kita akan memulai misi kita, mengerti, junior?" London menekankan kata terakhirnya.

Paris bergeming.

"Baik. Ayo kita laksanakan, Partner."


"Citrus Etoile... yang terbaik di kota ini..." London berkata.

Mereka telah menghabiskan berjam-jam membicarakan misi dan segalanya yang berhubungan dengan pekerjaan. Keamanan, lisensi dan juga legalisme. Setelah semua itu, mereka tetap membutuhkan makan. Paris merengek meminta hidangan mandarin, tapi London dengan tegas menyeretnya ke restoran di dekat hotel mereka.

"Kau tidak akan menyesal..." lanjut London.

"Aku akan menyesal..." gumam Paris sambil mengikuti rekannya dari belakang.

Mereka menempati sebuah meja. Tak lama seorang pelayan menghampiri mereka.

"Risotto dan Le Vin." Paris berkata tanpa melihat menunya. Ia mengeluarkan sebuah DS dan mulai memainkan benda itu.

London memutar bola matanya. Berusaha tidak mempedulikan rekannya, ia membuka menu dan menyusuri daftarnya.

"Basil salmon terrine dan espresso."

Pesanan dicatat, dikonfirmasi dan pelayan itu menghilang ke dalam.

Sesaat suasana di antara mereka hening.

London masih menatap Paris yang terdiam sambil memainkan benda di tangannya.

Tak lama London mendesah.

"Kau benar-benar bisa membuatku jengkel..."

Paris mendongak sekilas.

"He? Aku? Terima kasih."

Kemudian ia kembali tenggelam dalam permainannya.

"Singkirkan benda keparat itu dan dengarkan aku!"

London menyondongkan tubuhnya ke arah Paris di seberangnya, bermaksud meraih DS yang berada di tangan juniornya itu. Namun, tiba-tiba ia menghentikan gerakannya.

Seseorang tiba-tiba muncul tepat di belakang punggung London dan hanya London yang tahu apa yang disodorkan ke punggungnya. Walau ia dibalut sebuah jaket tebal ia tetap bisa merasakan dinginnya ujung sebuah senjata yang mengancamnya.

"Don't move, or you will die...woman..." sebuah ancaman.

Paris menyadari situasi itu, namun tetap meneruskan bermain dengan benda di tangannya.

"Jika dalam lima detik kau tidak menyingkir, ucapkan selamat tinggal pada ibumu..." London berbisik pada orang di belakang punggungnya.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Empat detik.

Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat telak di dagu pria di belakang London. Mematahkan rahangnya. Sebuah raungan marah bercampur kesakitan terlempar dari mulut si pria. London berbalik dengan cekatan, meraih lengan si pria, membengkokannya dengan satu tarikan, menghantam diafragmanya, meraih tenggorokannya, memutarnya dan kemudian mematahkan lehernya.

"Tidak ada yang menyebutku 'woman'. Lagipula, jika pun itu benar, kau telah kalah oleh seorang perempuan..." London mendesis.

Terdengar jeritan.

Seketika banyak pria berjubah serupa menyeruak keluar dari berbagai arah dalam restoran tersebut. Memberikan teror pada seluruh orang di dalamnya.

Seluruh pelanggan berlarian panik dan berusaha mencapai pintu keluar.

Paris sama sekali tidak melepaskan pandangannya pada DS di depannya.

"Oh, shit! Aku kehilangan satu nyawa!" serunya.

"Cih! Setidaknya mereka menungguku menikmati makan malamku yang damai terlebih dahulu..." London mengumpat kesal.

London menatap beberapa pelayan berseragam serta koki restoran tiba-tiba mendekati mereka, bersatu dengan kawanan yang mengepung mereka. Pelayan dan koki-koki itu mengeluarkan sebuah senjata dari dalam saku pakaian mereka.

"Wow... bekerja bersama teman-teman memang menyenangkan ya?"

"Sudah kukatakan lebih baik kita makan masakan Chinese saja..." Paris bergumam masih sibuk dengan DS-nya.

London meliriknya dan memutar bola matanya. "Kali ini aku setuju."

Salah satu pria yang mengepungnya menghampiri London dan membidikan senjata padanya.

London menangkis lengannya dengan sigap, membelokkan arah tembakannya yang hampir saja menghancurkan tubuhnya dan kemudian memutar lengannya keras-keras. Terdengar bunyi sesuatu retak.

"...seharusnya kita makan di restoran Chinese saja tadi..." London melanjutkan sambil terengah.

Paris tertawa geli dan menurunkan DS-nya. Ia perlahan mendongak dan menatap sekawanan pria yang tengah menodongkan senjata ke arahnya.

"Hhh... baru saja duduk, aku sudah harus sibuk lagi... ini salahmu, London... kau harus membayarnya..."

"Ingatkan aku, partner..."

"Aku akan mengingatkanmu untuk mengingatkanku." Paris tertawa. Ia melirik rekannya yang tengah melemparkan sebuah senyum. Senyum yang bergairah. "Tapi, sebelumnya... mari kita bermain-main dulu!" katanya seraya meletakkan DS-nya di atas meja di hadapannya.

Paris melakukan gerakan menunduk dengan cepat, ia mengecoh lawannya. Suara senjata yang dilepaskan menggema dalam restoran. Paris menyeret kakinya di lantai dan menyengkat pria di hadapannya.

Ia tidak menunggu hingga pria itu terjatuh. Paris mengangkat kaki kirinya dan langsung menghatam perut pria tersebut dengan keras, membuat tubuhnya membentur langit-langit restoran dan kembali jatuh mengikuti gravitasi.

Dua pria menerjang Paris. Menggunakan sebuah tiang penyangga, paris melakukan salto pada dindingnya dan menendang kedua pria tersebut hingga terpental.

Seorang pria tiba-tiba menendang meja tempat DS Paris tergeletak dan mendorongnya ke arah Paris. Paris mendesis marah. Ia menahan meja itu dan melompat dengan cekatan ke seberangnya dengan bertolak pada kedua lengannya di atas meja. Paris menghantam lengan musuhnya, mememukul jatuh senjata di tangannya dan menendangnya menjauh.

"Kau tahu, tidak ada yang berani menyentuh DS-ku! Sekarang kau akan kuberikan pelajaran dalam menghormati privasi milik orang lain!"

Paris menangkap lengan si pria, mematahkannya dalam sekejap, memukul wajahnya dan kemudian menghantam tengkuknya.

Pria itu seketika roboh.

"Pelajaran selesai, asshole!" Paris berkata, mendengus penuh kepuasan.

Sedangkan di kubu London, ia sedang mengarahkan pistol ke dua orang pria di hadapannya. Kedua orang tersebut terdiam, tidak berani melangkah sedikitpun.

"Only a coward would bring gun to a fist fight." Gumam satu dari mereka.

"And only a moron would use fist on a gun fight." Mello tersenyum licik dan menyimpan pistolnya kembali ke saku celana. Ia berlari kedepan, menerjang dua orang musuh yang tak berkutik itu. Ia berhasil mematahkan tangan dan rahang mereka.

"Tanpa senjata pun aku masih lebih unggul." umpat London.

"London! Tiga lagi disini!" suara Paris menyeberang.

terdengar pecahan sebuah vas. Dentuman yang memekkakkan menghantam dinding di seberang. London menatap pria yang hampir saja melukiskan sebuah torehan abadi di sisi wajahnya.

London mendelik marah. Ia berkelit dengan cekatan seraya memperdaya gerakannya di depan lawannya. Pria tersebut masih memiliki keseimbangan. Secepat mungkin, ia mengayunkan tangannya ke arah London namun, London telah sigap. Ia meraih satu kursi kayu di tempat itu dan memblok serangan lawan. Kursi kayu hancur sudah. Begitupun dengan telapak tangan sang lawan. Untuk sentuhan terakhir, agen berambut pirang itu merentangkan kakinya ke atas, menghantam dagu pria di hadapannya, membuatnya meringis kesakitan dan terjatuh menghatam meja makan.

"Cih! Tempat ini sudah mirip seperti neraka."

London menoleh dan terperangah.


London menoleh dan terperangah.

Sebuah senjata diarahkan tepat lurus pada dahinya. Ia menatap mata si penyerangnya.

"Well, ucapkan selamat tinggal, sayang..."

London seketika merasakan wajahnya memucat.

Segalanya terlihat seperti sebuah slow motion.

Pria di depannya tersenyum licik.

Sebuah gerakan jemari yang menarik pelatuk...

London perlahan-lahan mengubah ekspresinya. Senyuman yang mengerikan kini terpampang di wajahnya.

Pria di depannya terlihat bingung.

Sebuah letupan.

London dan pria itu berhadapan dalam jarak sekitar dua meter. Tangan kanan si pria yang menggenggam senjata diarahkan tepat ke dahi London. Mereka terdiam sejenak. Saling menukarkan senyum keganjilan.

Kemudian sebuah erangan kesakitan meluncur turun dari bibir si pria. Senyuman London kini telah menyerupai dewa maut.

Pria itu pun perlahan terjatuh ke belakang dalam gerakan yang sangat pelan. Dan disanalah ia berada.

Paris dengan tangan kanannya yang terangkat-menggenggam revolver berwarna merah darah-berada tepat di belakang si pria yang kini telah terjatuh berdebam di lantai. Ia baru saja menyelamatkan nyawa rekannya.

"Well, selamat tinggal..." kata London pada si pria di depannya yang tengah meregang nyawa.

"Disini clear, London..." ucap Paris seraya meraih DS-nya yang tergeletak di atas meja. Kemudian ia duduk di kursinya dan kembali tenggelam dalam DS-nya.

London tidak merasa mempercayai penglihatannya. Namun sesaat kemudian ia tertawa kecil.

London menghampiri Paris dan duduk di hadapannya.

"Baik, partner... mari kita cari restoran Chinese... anggap saja sebagai ucapan terima kasihku..."

Paris melirik London.

"He? Siapa yang bilang aku meminta balasan dengan hidangan Chinese?" ia menyeringai usil.

"Daripada sebuah bogem mentah pada wajahmu?" ancam London.

Paris tertawa.

"Ayo kita pergi dari sini... sebentar lagi polisi datang... kita tidak mau membuat si tua bangka itu kesulitan kan?"

"Ha! Baiklah... setidaknya aku ingin makan sekarang... aku lapar..."

"Bawa pantatmu kemari, pemalas!" London beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar.

"Hei, tunggu aku..." seru Paris dengan nada usil, mengarahkan bokongnya ke London.

"Mati saja sana..."

"Damn! I just love wild women..." Paris mennyeringai dan bergegas menyusul London.

To Be Continued


Author's Note: Well, akhirnya chapter satu selesai. Terima kasih bagi yang telah bersedia membaca fiksi kami ini. Kami membuat dua buah cover untuk fiksi ini. Masing-masing fanart dikerjakan oleh kami berdua. Berhubung satu dan lain hal, fanart covernya baru rampung satu buah, yaitu yang dibuat oleh Dragon Rhapsody.

Glossary
1. Merde : Shit
2. Le Vin : Wine