Summary: "Mereka terlalu hening… seperti danau musim panas yang tenang dan kemudian memakan korbannya perlahan…? Seperti angin musim semi… yang menyeret korbannya dalam harumnya angin itu…. seperti dinginnya tragedi musim dingin, di mana air mata, darah dan kehidupan membeku…? Atau, layaknya tarian dedaunan maple yang mencabik korbannya tanpa ampun…" /HunHan /DLDR! /Warning Inside!
.
.
.
Disclaimer: Cast own themselves. I'm own this fiction.
Pair: HunHan hint!ChanLu
Co-cast: Do Kyungsoo & Lupin (OC)
Genre: Tragedy, Mystery, Crime, Suspense, Supernatural, & Angst
Warning: Shonen-ai. Yaoi (maybe? But, not in this chap ;p). Alternate Universe. Chara-death. Gender-switch (for some casts). OC. OOC (maybe?). Miss-Typo. Lil bit of Harsh-Language. ;P
Length: Multi-Chapter
.
.
.
Baskerville Old Face
[Chapter 1]
"Four Seasons Requiem of Baskerville's"
.
.
.
—.—
.
.
.
CRASH!
Cairan berwarna merah segar mengalir. Kepala pria dewasa itu terlepas dari tubuhnya. Menggelinding di lantai memasuki kamar Luhan. Jeritan kematian terdengar. Tapi, Luhan sama sekali tidak bereaksi. Hanya menangis di atas ranjangnya dalam diam. Memandangi sosok di hadapannya dengan takut. Namun, sama sekali dia tidak bergerak. Dia ingin lari sejauh mungkin tapi tubuhnya mati kaku. Mencengkram erat seprai di bawahnya adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan. Sosok pemuda kecil dengan surai kelabu mengayunkan langkahnya mendekat pada Luhan. Masih dengan wajah datar yang terdapat bekas noda darah. Juga pedang hitam legam yang kini berwarna merah.
Luhan kecil menelah ludahnya susah payah. Ketika anak kecil itu mengacungkan pedangnya tepat di depan mata Luhan. Cengkraman Luhan pada kain putih di bawahnya semakin erat. Terlihat tangannya mulai memerah karena terlalu keras mencengkram kain tersebut. Menahan nafasnya susah payah. Menunggu apapun yang akan terjadi padanya. Dan mendelik tak percaya ketika pemuda kecil itu mulai mengambil ancang-ancang seperti ingin memenggal kepalanya.
KREK!
Rambut panjang sebahu Luhan terpotong. Helaian pirang itu berserakkan di ranjang Luhan. Masih tidak mempercayai bahwa lehernya masih menyatu dengan kepalanya. Sampai pemuda bersurai kelabu di hadapan Luhan membuyarkan semua pikirannya.
"Kau hebat…" pemuda kecil itu menampilkan sebuah seringain yang seharusnya tidak Luhan kagumi. Namun, Luhan tidak bisa berbohong. Pemuda di hadapannya ini ternyata memiliki wajah sangat tampan di usianya yang masih dini.
"…kau membuatku tidak bisa melukaimu dengan mudah. Kau mempunyai aura yang sangat ringan dan tenang." Lanjut pemuda itu, menyentuh pipi kanan Luhan dengan tangannya yang bebas. Mengernyit, merasakan cairang dingin yang mengenai wajahnya. Darah di tangan sosok itu menodai wajah Luhan. Satu, yang kini Luhan sadari. Pemuda kecil ini membunuh tanpa menggunakan matanya. Kedua bola mata terlihat sangat putih dan tidak ada pantulan Luhan di sana. Kosong. Dia buta.
"Bersembunyilah!"
"Eh?"
Luhan tidak bisa menangkap maksud pemuda kecil di hadapannya ini. Bukankah, seharusnya pemuda ini membunuhnya? Ah, bukan berarti Luhan mau mati di tangan sosok yang bahkan terlihat lebih muda darinya ini. Hanya saja, bukankah aneh ketika seorang bocah yang bahkan sudah membunuh para penjaga asramanya ini tiba-tiba menyuruhnya untuk bersembunyi.
"Mereka akan datang ke sini dalam hitungan menit." Luhan tahu siapa yang dimaksud bocah ini. Siapa lagi kalau bukan teman-teman bocah kecil ini. Kawanan mafia berjubah merah. Terdengar dari luar kamar Luhan. Kawanan itu beraksi. Jeritan-jeritan tak berdaya teman-teman dan guru-gurunya terdengar. Bau anyir itu bahkan tercium jelas oleh Luhan. Membuatnya ingin muntah. Dan perlahan,
"Bersembunyi, atau…"
"Akh!"
Pemuda kecil itu menusukkan pedangnya pada telapak tangan Luhan. Bukan, luka yang cukup dalam. Tapi, cukup untuk membuat bocah kecil seperti Luhan menjerit sakit.
"…tidak akan kubiarkan mereka, membunuhmu. Karena, yang boleh melakukannya hanyalah aku."
Pemuda kecil itu makin memperdalam tusukkan pada tangan Luhan. Luhan menjerit sejadi-jadinya. Itu sakit sekali. Sakit. Sakit. Air mata kembali membasahi wajah Luhan. Sedikit terpikir olehnya hal ini sejak ia melihat semua aksi bocah kecil ini di kamarnya. Bagaimana bisa seorang anak berusia 10 tahun melakukan hal ini semua? Bukannya benci dan menganggap kotor anak ini. Luhan justru merasa iba padanya. Betapa anak ini sudah diperalat dan dijerumuskan ke dalam kubangan air berlumur dosa oleh para anggota-anggota mafia itu. Mereka, bahkan menggunakan anak kecil untuk mempermudah jalan mereka dalam menghapuskan agama di dunia ini. Dan, menjatuhkan semua umat manusia ke jurang neraka.
TAP! TAP! TAP!
Sebuah suara tapak kaki menghentikan aksi pemuda kecil ini melukai Luhan. Seringaian di wajahnya lenyap seketika. Wajah itu kembali datar. Dan, Luhan tidak menyukainya.
"Sehun!"
Sayup-sayup langkah kaki dan suara wanita itu makin mendekat. Bersamaan dengan suara-suara sirine mobil polisi dan pemadam kebakaran yang makin mendekat. Mendesih sebal. Pemuda kecil ini kembali mengenakan kerudung jubah merahnya. Tersenyum mengerikan pada Luhan. Tangan-tangan kecil itu kembali mengayunkan pedangnya.
DUK!
Sebuah pukulan keras mengenai pelipis Luhan. Nyeri. Darah segar mengalir dengan deras dari sana. Pelakunya adalah pemuda kecil ini. Menggunakan gagang pedangnya untuk memukul kepala Luhan kecil. Luhan merasakan sakit luar biasa yang menghantam kepalanya. Seolah rasa sakit ini ingin meremukan seluruh jaringan dalam otaknya. Padangannya mulai mengabur. Dirinya kembali terjatuh ke atas ranjangnya. Matanya masih memperhatikan dengan jelas sosok bocah itu tersenyum padanya dan mengucapkan; 'Sampai jumpa' padanya. Kemudian, seorang wanita dewasa berjubah merah datang menghampiri sosok kecil ini.
"Sehun! Anak itu…" Wanita itu terlihat sangat cantik. Dengan surai brunette panjangnya yang menjuntai indah menuju gravitasi. Bibir merahnya yang terpoles dengan lipstick merah darah bergerak mengucapkan nama bocah kecil bersurai kelabu di hadapannya ini. Sehun, itukah namanya? Nama yang— ukh! Kepala Luhan mencapai batasnya. Pandangan Luhan benar-benar mulai menghitam sekarang. Namun, sayup-sayup Luhan masih dapat mendengar pemuda kecil bernama Sehun itu mengatakan sesuatu pada wanita cantik di depannya.
"Dia akan mati, tenang saja. Toh, api mulai merambat kemari, 'kan? Kalaupun dia hidup aku tidak yakin kalau dia tidak akan gila. Ayo, pergi polisi sudah mulai datang." Wanita cantik itu mengangguk mengerti dan menggendong sosok kecil Sehun dipunggungnya dan keduanya menghilang secara misterius dalam kegelapan malam. Benarkah sosok itu menginginkan dirinya mati? Benarkah dirinya akan mati?
Dan selanjutnya yang Luhan dengar hanyalah suara siram air, derap langkah berpuluh-puluh orang. Dan seorang pria berkumis yang berteriak pada temannya untuk membawa tubuh kecil Luhan.
.
.
.
—.—
.
.
.
12 tahun kemudian.
.
.
.
Luhan membuka matanya ketika seberkas cahaya menerobos dari jendela kamarnya yang telah terbuka. Berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih berterbangan entah ke mana. Terdiam sejenak memandangi langit-langit kamarnya. Mimpi itu… lagi? Sial, dirinya yakin setelah hari ini tidak akan berjalan dengan lancar. Mengusap wajahnya kasar berusaha melupakan mimpi yang masih membayang-bayanginya. Luhan mendudukkan dirinya di atas ranjangnya yang terasa sangat nyaman. Ah~ Luhan ingin kembali tidur lagi saja! Baru saja niatan itu terlintas di kepalanya suara seorang wanita mengiterupsi semuanya.
"Apa yang kau lakukan di sana, bocah? Tidak sadar kalau hampir telat, hah?" Luhan mengerjapkan mata sekal, dua kali. Masih belum tersadarkan sampai ke kedipan keempat. Dan kedipan kelima. Pemuda manis ini langsung melompat dari ranjangnya. Berdiri tegap, memberi hormat dan kemudian membungkuk dalam-dalam pada wanita berseragam kepolisian di depannya ini.
"Hormat! Kapten!" Ucap Luhan akhirnya penuh kesungguh-sungguhan. Namun, hanya dibalas dengan pandangan datar khas seorang atasan pada bawahannya.
"Hormat. Sudah, turunkan tanganmu!" perintah wanita cantik pemilik surai legam yang teikat rapi di belakang lehernya. Luhan menurut dan menurunkan tangannya. Sedikit salah tingkah dirinya karena, yah… Ini pertama kalinya ada wanita masuk ke kamarnya. Jangan menatap Luhan seperti itu, ah! Luhan bukan seorang mong yang bahkan tidak pernah mengencani wanita sekalipun. Tentu, kekasih Luhan sangat banyak mulai dari yang muda sampai yang tua, Luhan pernah mencoba semuanya. Tapi, Luhan juga tidak seberengsek itu untuk membawa wanita yang setiap harinya berganti ke dalam kamar apartment-nya.
"Ngomong-ngomong, Kapten—"
"Kyungsoo saja!"
"Um, baiklah! Kyungsoo-noon—"
"Nim!"
"A-ah, baiklah! Kyungsoo-nim."
"Kenapa Anda berada di sini dan bagaimana bisa… Anda masuk..?"
"Kau lupa misi kita yang baru dijelaskan si 'kulit hitam' itu kemarin malam? Minum vitamin banyak-banyak, nak. Daya ingatmu payah! Dan. Jangan sebut aku Kapten! Kalau kunci serep kamar anak buahnya saja aku tidak punya."
Krik. Luhan mati kutu di tempat. Tidak menduga kalau ternyata bukan sosok Panglima Jendral-nya—yang disebut 'kulit hitam' oleh Kaptennya ini—saja yang bermulut sampah. Tapi, wanita cantik ini juga tidak kalah kasarnya. Ukh, apakah semua anggota Kepolisian Seoul seperti ini semua? Bermulut manis di depan masyarakat tapi berbicara kasar pada satu sama lain.
"Jangan berdiri di sana saja, Prajurit! Basuh wajahmu, gosok gigimu, pakai bajumu, telan sarapan dan jangan lupa minum susu serta vitaminmu dalam 5 menit. Kalau kau gagal push-up sebanyak 50 kali! Mengerti, prajurit?"
"Mengerti, Kapten!"
.
.
.
Kamis pagi yang berat untuk seorang Xi Luhan. Karena gagal melakukan perintah Kaptennya. Dirinya terpaksa melakukan push-up 50 kali. Dan, sekarang dirinya tengah terduduk di salah satu bangku cafeteria di kantor Kepolisiannya memegangi iga perutnya yang terasa sakit. Karena sungguh. Luhan sama sekali tidak mengunyah nasinya tadi, menelannya utuh-utuh dan bagusnya lagi kemarin malam ia tidak makan secuil makananpun dan itu semuanya hanya membuat maag-nya kambuh. Juga, tanpa memberi belas kasihan padanya. Kaptennya yang cantik itu langsung mengajaknya menuju tempat misi. Hanya, misi sederhana sebenarnya. Menunggui para pebisnis bertransaksi dengan presiden mereka. Yang tidak memakan waktu lama. Tapi, cukup untuk memeras seluruh tenaga Luhan yang mati-matian menahan perih lambungnya. Ternyata, menjadi polisi—terutama berada di Group yang dipercaya Negara—bukanlah hal yang mudah, ya~
"Ukh!"
"Hai, deer~" Dan tiba-tiba saja sebuah tepukan keras mampir di punggung kecilnya—untuk ukuran lelaki punggung Luhan memang terlalu kecil—membuatnya balik menampar pelipis pemuda jangkung itu dengan sebuah sendok.
"Sudah kubilang! Jangan berlebihan, Park Chanyeol!" gertaknya mengundang pandangan skeptis beberapa polisi di sana. Memandangnya seolah mengatakan sesuatu seperti; "Kau juga tidak kalah berlebihannya, tahu." Secara tersirat.
"Auw… aku 'kan hanya panggil deer, bukan dear lagi. Kok, masih salah juga sih?" pemuda jangkung itu mengaduh sedikit terlmabat. Merengut sok imut—yang membuat Luhan ingin menghantamnya lagi dengan piring kali ini—dan menggosok-gosok pelipisnya yang berdenyut hebat. Hah~ Akan ada benjolan baru lagi di sana. Batin Chanyeol miris. Melupakan rasa sakit yang masih meletup-letup di kepalanya. Chanyeol kembali bersikap seolah baru saja tidak terjadi apa-apa. Melompat penuh semangat ke samping Luhan terduduk dan menanyakan kabar pemuda bersurai fuschia itu.
"Seperti biasa, tidak berjalan dengan baik!" Pertama karena siksaan manis dari kaptennya yang super cantik. Serta, sebuah mimpi lama yang kembali membayanginya.
"Lho, kenapa? Terjadi sesuatu? Kkam-jjong itu melakukan sesuatu padanya?" tanya Chanyeol alih-alih terkejut justru terdengar antusias mendengarkan apapun itu yang hendak keluar dari mulut Luhan. Dan
"Kali ini tunangannya." Jawab Luhan menempelkan dagunya pada meja cafeteria. Memberikan sebuah reaksi yang luar biasa dramatis. Chanyeol menggeleng-gelengkan kepalanya ikut prihatin kemudian kembali bertanya dengan penuh semangat—lagi.
"Memangnya apa yang Kapten lakukan padamu?"
Luhan menatapnya tak percaya seolah mengatakan; "Kau sungguh memperlakukan mereka secara berbeda, ya? Memanggil panglima-mu 'kkam-jjong' sementara memanggil tunangannya yang cantik itu 'Kapten'. Baik, kau sungguh playboy, Tuan!" secara tersirat padanya. Namun, emang dasarnya Chanyeol yang tidak peka. Jadi, dia hanya mengkedip-kedipkan matanya. Melihat Luhan tidak berniat memberikannya jawaban. Chanyeol memutar otaknya keras untuk mencari topik pembicaraan lainnya.
"Ada perkembangan kabar tentang aktivitas Baskerville?" Baru saja Chanyeol membuka mulutnya hendak melontar sebuah pertanyaan yang sudah dilupakannya karena Luhan menyela secara tiba-tiba dengan wajah seriusnya. Melihat ekspresi yang terpahat di wajah Luhan. Membuat Chanyeol ikut mengeraskan ekspresinya—sedikit.
"Tidak ada. Semua kasus pembunuhan akhir-akhir ini pun tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa merekalah pelakunya. Selama 3 tahun ini mereka sama sekali tidak memunculkan wajah mereka. Tapi, bukankah itu bagus? Toh, 5 tahun lalu mereka sudah dinyatakan lenyap, 'kan?" Jawab Chanyeol menggenggam erat segelas jus jeruk yang ia pesan sejak tadi. Entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu bereaksi seperti ketika mendengar kawanan mafia beraliran hitam itu. Mereka terlalu mengerikan. Mereka seperti bukan manusia biasa. Seperti hantu yang datang secara tiba-tiba di manapun dan kapapun. Seperti penyihir kuat yang sulit dimusnahkan dengan peluru timah ataupun pedang perak. Mereka bukan vampire. Mereka lebih kuat. Namun, mereka tidak abadi seperti vampire. Ah, entahlah! Memikirkan hal itu semua membuat kepala Chanyeol yang memiliki kapasitas IQ rata-rata berdenyut sakit. Itu semua terlalu rumit dan berat untuk dirinya dan otaknya.
"Mereka terlalu hening… seperti danau musim panas yang tenang dan kemudian memakan korbannya perlahan…? Seperti angin musim semi… yang menyeret korbannya dalam harumnya angin itu…. seperti dinginnya tragedi musim dingin, di mana air mata, darah dan kehidupan membeku…? Atau, layaknya tarian dedaunan maple yang mencabik korbannya tanpa ampun…" Luhan masih menempelkan dagunya di meja kayu itu. Chanyeol sedikit menoleh tidak percaya pada Luhan. Itu sebuah puisi yang mengerikan…
"Aku hanya sedikit menyadur dari koran berita mengenai kasus-kasus mereka."
"Oh…hm, kau berbakat juga menjadi narrator atau sejenisnya." Komentar Chanyeol tertawa kaku.
Luhan hanya mengangkat bahunya acuh.
"Heran deh, kenapa mereka sangat menginginkan Kiamat? Kenapa harus mereka membenci Tuhan? Kenapa mereka sangat ingin membuka pintu neraka sebelum waktunya?"
TAP! TAP! TAP!
"Luhan-ssi…" terlihat seorang resepsionis cantik berlarian dengan gagang telepon yang Luhan dan Chanyeol yakini sudah tidak lagi tersambung melihat jarak tempat resepsionis dan cafeteria terlalu jauh untuk dijangkau sambungan telepon Bluetooth itu. Wajah cantik ber-make up itu menampilkan wajah yang sangat tidak enak dipandang. Luhan mengernyit tidak suka. Ada sesuatu yang tengah terjadi…
"Adik Anda—"
.
.
.
Sesosok gadis cantik bersurai pirang panjang tak henti-hetinya menangis di dada Luhan. Mengelukan gumaman tak jelas. Sementara Luhan hanya tersenyum berusaha menenangkannya. Sesekali memberikan reasuransi penenang dengan mengusap punggung gadis remaja itu. Chanyeol yang berdiri di samping polisi manis itu memandanginya heran. Sekitar 2 jam yang lalu seorang petugas resepsionis menerima telepon dari adik Luhan yang mengatakan kalau orang tua mereka meninggal karena sebuah kecelakaan. Luhan yang mendengar kabar itu tidak mau berlama-lama duduk diam dan segera mengendarai mobilnya menuju rumah orang tuanya yang berada di pinggir kota Seoul. Setibanya di sana, Luhan telah mendapati bahwa rumah orang tuanya telah dipenuhi kumpulan manusia berpakaian hitam serta beberapa polisi distrik yang tengah menginterogasi adiknya. Dan tidak lama kemudian, mayat orang tuanya datang dan kembali dibawa oleh petugas kepolisian kemudian menunggu hasil penyelidikan baru abu orang tua mereka akan dikembalikan.
"Sudah, semuanya akan baik-baik saja, Lupin!" Luhan tidak menitikkan setitik pun sejak mereka tiba dan melihat proses otopsi orang tuanya. Bahkan, ketika menguburkan abu mereka Luhan tidak sehisteris Lupin. Mungkin, karena Lupin perempuan dan dia lebih muda dari Luhan, makanya gadis cantik itu masih belum bisa mengontrol luapan emosinya. Juga, mungkin karena Luhan tidak ingin makin membebani adiknya dengan menangis dia berusaha tegar. Namun, yang barusan dia katakan. Chanyeol bahkan tidak percaya kalau yang mengatakan hal tersebut adalah temannya selama ini. Chanyeol mulai berpikir kalau sebenarnya IQ Luhan lah yang lebih rendah darinya. Bagaimana bisa seorang jenius mengatakan hal semacam itu yang kenyataannya terlihat sangat jelas bahwa semuanya tidak baik-baik saja. Orang tuanya divonis sebagai korban pembunuhan. Itu kecelakaan yang direncanakan. Dan dia masih sanggup..? Oh! Apapun Chanyeol ingin menghancurkan kepala pemuda ini.
"Ayah dan Ibu mati, kak! Mereka mati!" Lupin menjerit. Menarik-narik jas hitam kakaknya tidak menerima ucapan kakaknya yang mengatakan semuanya baik-baik saja. Luhan tersenyum manis pada adiknya.
"Lupin… maaf, ya. Tapi, kau pasti merasa lelah. Jadi, kau bisa tidur malam ini." Mata Chanyeol melebar tak percaya ketika Luhan mengeluarkan sebuah suntikan dari dalam lipatan lengan kemejanya. Dan yang mengejutkannya lagi dia menyuntikkan sebuah obat tidur pada adiknya sendiri. Dia gila! Jerit Chanyeol dalam hati.
"Apa yang kau lakukan?" Dirinya mencengkram kuat tangan Luhan yang masih memeluk adiknya yang kini telah jatuh tertidur di dada pemuda itu.
"Dia butuh tidur, aku melakukan ini demi kebaikannya. Aku akan mengirimnya ke Beijing besok—"
PLAK!
Chanyeol tidak mempercayai hal yang baru saja dia lakukan. Dia menampar Luhan. Luhan tersenyum dan merebahkan tubuh adiknya ke atas sofa di dekat mereka.
"Kau! Apa yang sebenarnya ada di kepalamu?" bentak Chanyeol.
"Kau tidak mengerti apa-apa. Mereka kembali! Ingat apa yang ditemukan pihak kepolisian di tubuh ayahku? Serbuk emas… dan ingat serpihan kain merah di mobil orang tuaku? Itu jubah mereka! Mereka datang!" Luhan mencengkram lengannya sendiri dengan kuat. Memeluk tubuhnya sendiri dalam ngeri. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan.
"Apa yang sebenarnya kau bicara, 'kan? Baskerville sudah dikonfimasi menghilang 5 tahun yang lalu. Serbuk emas dan kain merah apa yang kau bicarakan Luhan? Baskerville tidak menggunakan serbuk emas dalam racun mereka. Melainkan, perak. Dan kain merah apa? Jubah Baskerville sejak 1000 tahun yang lalu pun berwarna hitam, Lu. Serbuk emas itu dari perhiasaan ibumu yang beliau pakai serta kain merah itu gaun yang kau jadikan hadiah untuk beliau, 'kan?" sanggah Chanyeol. Sebenarnya berniat baik untuk menenangkan Luhan namun yang ada semuanya makin parah.
Luhan melebarkan matanya. Tidak! Itu semua salah! Luhan masih mengingat betul ada serbuk emas di pedang hitam bocah yang ia temui 12 tahun lalu. Dan dia juga ingat betul jubah yang digunakan sosok itu.
"Tidak…" gumam Luhan.
'…kau salah, Chanyeol. Aku lebih tahu mengenai mereka. Karena dia membuatku mengenal mereka. Dia akan kembali…'
'…menepati janjinya.'
"Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja."
Meski ada Chanyeol di sisinya untuk menenangkannya. Meski Chanyeol telah menenangkannya. Meski Chanyeol tengah memeluknya untuk memberitahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi, Luhan masih tidak yakin dengan itu semua. Dirinya justru lebih percaya pada opininya sendiri mengenai janji sosok itu.
'Dia…'
.
.
.
Di atas sebuah gedung tinggi. Di latar belakangi bulan purnama malam itu. Mereka berdiri. Menatap angkuh kota Seoul di bawah mereka. Menatap iba pada dunia kecil itu yang sebentar lagi akan mereka kirim ke Neraka. Jubah merah itu melambai diterpa angin. Seperti sebuah sayap. Sesosok pemuda bersurai pelangi di sana menyeringai dan menggenggam erat pedang raven miliknya.
"Aku kembali, Lu-Han!"
Angin malam berhembus kencang. Menerbangkan beberapa dedaunan di musim gugur itu.
"Sekarang!" pemimpin mereka berbicara melalui telecom.
Dan seperti angin mereka berpencar. Berlari bersama awan di malam hari demi lautan darah yang menanti.
Musik berdenting. Tirai opera dibuka. Tokoh, utamanya sudah datang. Akankah, sang actor akan memainkan tragedy mengerikan seperti 12 tahun silam? Atau hanya sebuah lelucon untuk menakuti anak Idiot di luar sana?
Duduk dan saksikan.
Empat musim lagu pengiring kematian mulai dimainkan oleh Baskerville.
.
.
.
—.—
.
.
.
[Chapter 1]
—END—
.
.
.
a/n : ….. /quiet/ ._. woosh~~~ /verysilent/
Terinspirasi dari cerita temen saya yang tinggal di USA sekitar tahun 80-an, yang katanya dulu pernah ada perkumpulan semacam ini. Perkumpulan yang menginginkan Kiamat datang lebih cepat! Tapi, gak tahu juga sih kebenarannya. /bego'/ Juga, jubah merah serta serbuk keemasan yang menjadi ciri2 khas Baskerville saya ambil dari Animanga favorit saya Pandora Hearts. Ada juga nggak yang suka ma tuh animanga? Mungkin kita bisa ramblingan sama2. /apasih/ Juga, semakin lancar ngetiknya pas dengerin lagu2nya Muse. Ayo, beri cinta lebih pada Muse~~ lol /krik/ /hening/ -_-'
Ok, ini aneh. Saya sangat gak begitu suka angst! Tapi, well… akhir2 ini mood saya kesitu terus. Dan saya taruh di M supaya aman (?). Takut2 kalo suatu hari nanti HunHan 'perang'. XDD /nista/
Dan, maaf belum bisa bales review OS HunHan yang kemaren. Sinyalnya di sini kaya' siput. /what/
Um, ok gak tahu mau bilang apa lagi selain… beritahu saya apa yang Anda pikirkan tentang fic ini? Tidak terbiasa? Yah, saya sendiri juga gak terbiasa nulis ginian. Okeh, komentar bertipe apapun itu akan Cole terima dengan senang hati~~~ XD
.
.
.
Review, please?
Voting, Keep or Delete?
(Saya membutuhkan banyak kritik dan saran untuk Multi-Chapter saya ini… Soalnya theme-story nya terlalu berat untuk otak saya dan Chanyeol /dijitakberjamaah/)
