Disclaimer: JK Rowling

-oOo-

Seorang pemuda pirang dan berkulit pucat berjalan dengan langkah terburu-buru, suara sepatunya menggema di sepanjang koridor kosong. Gesturnya tidak sabar, telapak tangannya basah oleh keringat. Berkali-kali ia menoleh ke belakang dengan paranoid, memastikan tak ada apa pun yang membuntutinya. Langkahnya menjadi nyaris berlari ketika ia berbelok memasuki sebuah ruangan bertuliskan KEPALA SEKOLAH.

"Berita buruk."

Seorang lelaki berambut hitam berminyak yang duduk di belakang meja, mendongak kaku. "Katakan."

"Freeze terlibat masalah."

"Freeze? Apakah yang kau maksud—"

"Ya, dia."

Si pria rambut hitam menegakkan diri di kursi berpunggung tingginya. Punggungnya agak bungkuk, walaupun usianya baru mencapai kepala empat. Wajahnya serius dan tertarik, seolah dia tidak pernah tersenyum. Ia menatap si pemuda pirang dengan mata hitamnya, menilai. Ekspresinya kaku dengan sudut-sudut mulut yang tegang.

"Bagaimana bisa?"

Si pemuda pirang langsung berkeringat dingin. "Ia tidak menghubungiku sesuai janjinya. Dan ini sudah lewat tengah malam. Freeze tidak pernah begini, ia selalu menepati janjinya. Aku hampir seratus persen yakin benar pekerjaannya terhambat. Entah karena ia tidak bisa masuk atau tidak bisa keluar—"

"Kau terlalu cemas. Walaupun masih muda, Freeze bukan agen kemarin sore."

"Aku tahu, aku tahu. Aku hanya takut misinya gagal. Maksudku, kalau Freeze saja tidak berhasil, bagaimana kita bisa mengatasi penjahat-penjahat ini."

"Aku sendiri tidak setuju menyebut mereka penjahat, mereka terlalu licik."

Pemuda pirang itu makin ketar-ketir di atas sepatunya yang telah disikat dengan cermat. "Nah, kau tahu itu. Mungkin Freeze berhasil masuk ke perangkap mereka atau—"

"Diam. Aku tidak bisa berpikir kalau terus-menerus mendengar suara napasmu yang keras."

Mendengar itu, si pemuda pirang bungkam. Jantungnya bertalu-talu akibat luapan rasa panik dan cemas."Benar, maafkan aku."

Pria berambut hitam itu berdiri dan menatap simbol sekolahnya yang tergantung di dinding di belakangnya. Jemarinya yang panjang ditautkan. Dahinya berkerut dalam, berpikir keras. Pemuda ini membuat masalah yang kelihatannya sepele menjadi menyeramkan. Ia tidak bisa berpikir jernih.

"Baiklah. Pertama, kita tidak bisa langsung mencarinya karena ini belum lewat 24 jam semenjak Freeze tidak ada. Kita tidak bisa menyusulnya begitu saja, siapa tahu kita malah mengacaukan rencananya."

"Jangan—"

"Tidak, dengarkan aku. Kita harus memberikan kesempatan pada Freeze. Kau mengenalnya hampir sama dengan aku mengenalnya. Ia bisa menyelamatkan dirinya sendiri, paling tidak. Kita tunggu sampai besok malam. Kalau ia tidak menghubungimu, atau siapapun, dalam jangka waktu itu, kau boleh menyusulnya dan melihat keadaan."

"Kau gila. Freeze bisa saja sudah menjadi abu besok malam."

"Kau mendengarku."

Tatapan yang diberikan pria berambut hitam tadi sungguh tajam dan mengancam. Mengintimidasi semua sel tubuh si pemuda pirang. Namun, si pemuda pirang tetap bergeming, walaupun ia tahu ia telah kalah.

"Aku tidak setuju dengan rencanamu, tapi aku tidak punya ide lain."

Pria berambut hitam itu mengangguk, paham. "Tapi aku tak akan membiarkanmu pergi sendiri."

Pemuda pirang terkesiap, kaget dan tidak mengerti. "Apa maksudmu kau tidak membiarkanku pergi sendiri?"

"Maksudku seperti itu. Ada salah seorang siswaku yang begitu cemerlang sejak lama, nyaris membuatku jengkel. Aku ingin mengetes kemampuannya."

"Kau mengijinkanku pergi dengan salah seorang muridmu? Kau bercanda, Bapak Kepala Sekolah?" cemooh pemuda itu.

"Jangan menyebutkan jabatan itu dengan nada menghina."

"Bagaimana tidak bila kau memberiku partner seorang anak bawang!"

"Kau boleh menyebutnya apa pun sesukamu, tapi aku berani menjamin, kemampuannya tidak terkalahkan."

Pemuda pirang menendang lemari arsip di ruangan itu. "Tetap saja kau tidak bisa melakukannya! Pekerjaanku akan terhambat, bisa-bisa aku malah tidak bisa menyelamatkan Freeze."

"Bocah ini bisa membantumu, aku bersumpah. Ia sudah akan lulus tahun ini, bekerja sama denganmu bisa menjadi kesempatan yang bagus baginya untuk belajar," jawab pria berambut hitam tenang, tidak terganggu dengan tendangan si pemuda.

"Bagaimana bila aku menolak?"

Lagi-lagi si pria berambut hitam hanya menatap. "Kau menolak? Kupikir kau mau menyelamatkan Freeze?"

Pemuda pirang itu menggertakkan gigi, kesal. "Apakah kau berusaha menahanku dari menyelamatkan Freeze? Karena kalau benar begitu, usahamu tak akan berhasil."

"Tidak, tentu saja tidak. Tak ada agen waras yang mau memusnahkan Freeze. Dan apakah ini berarti kau bersedia kupasangkan dengan salah satu siswaku ini?"

Jeda lama.

"Aku tidak punya pilihan lain kan?"

"Kau mengambil pilihan yang tepat."

Pemuda pirang itu menggerutu panjang-lebar, rupanya ia masih tidak puas dengan keputusan pria di depannya. Berkali-kali ia memandang kursi di depan meja kerja kepala sekolah. Sebenarnya ia lelah, ingin rasanya duduk dan merebahkan diri sebentar, tapi ia mengurungkannya. Harga dirinya bisa terinjak lebih dalam lagi jika ia berani melakukannya.

"Kau boleh duduk, kalau mau. Sepertinya kau agak kelelahan. Biasanya kursi itu untuk murid-murid bermasalah yang harus kutangani, tapi tidak masalah jika kau memerlukannya."

Si pemuda pirang mendengus keras. "Aku tidak butuh."

Pria itu mengangkat bahu dan kembali menduduki kursi berpunggung tinggi di belakang meja kerjanya. "Omong-omong, kuharap kau bisa bekerja sama dengan gadis ini. Ia cerdik, tentu saja, tapi agak—"

"Tunggu, sebentar." Pemuda pirang itu menumpukan kedua tangannya di ujung meja, menatap galak pria berambut hitam di depannya. "Bukan hanya kau menyuruhku menemani seorang anak bawang melakukan tugas praktek, tapi dia juga seorang perempuan?"

Satu alis terangkat. "Ada masalah kalau dia wanita?"

"Tentu saja ada! Maksudku, dia belum lulus akademi dan seorang perempuan, bagaimana—"

Ujung-ujung bibir si pria berambut hitam menegang. "Kau salah satu agen terbaik kami. Masalah gender seharusnya menjadi masalah terkahir yang harus kau hadapi dalam menjalani sebuah misi."

"Aku bersikap profesional!"

"Aku tidak bilang kau tidak profesional. Aku hanya mengatakan seharusnya kau tidak terlibat dalam diskriminasi wanita. Itu menyedihkan dan tidak berpendidikan."

"Aku tidak bermaksud—"

"Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi. Entah kau ambil keputusanku ini, atau tidak, itu urusanmu."

"Kau tidak ingin menyelamatkan Freeze?"

"Aku percaya sepenuhnya pada Freeze. Aku yakin, walaupun kau tidak membantunya, ia bisa mengeluarkan diri dari apa pun yang dihadapinya."

Pemuda itu mendesah, keras. "Kau membuatku pening."

"Kuambil itu sebagai pujian. Orang biasanya mengatakan aku adalah penyebab kegagalan mereka."

"Aku tidak heran."

Tak ada tanggapan dari pria berambut hitam.

"Baiklah. Aku akan tetap menyusul Freeze besok jika tak ada kabar apa pun dari dia. Aku juga akan membawa serta siswa seniormu yang katamu cemerlang itu. Walaupun jika ternyata dia tidak bisa membantu, kuharap setidaknya dia tidak menyusahkanku."

"Dan fakta bahwa dia seorang wanita?"

"Aku tidak akan terlalu memikirkannya."

Pria itu mengangguk. "Pilihan yang bijak."

-oOo-

Pria itu baru keluar dari sebuah apartemen kumuh di pinggir kota, berpayung hitam di bawah derasnya hujan. Dia baru saja selesai bertemu dengan calon guru yang melamar. Kelihatannya positif. Bukannya dia kekurangan tenaga profesional dan ahli, tetapi pilihannya memang sangat sempurna.

Telpon genggam bututnya bergetar dari saku mantelnya. Begitu melihat layar, seringai kecil—yang agak tak wajar muncul di wajah seorang kepala sekolah—terpeta di wajahnya. Ia menekan tombol jawab dan langsung disambut derum mobil di latar percakapan.

"Freeze tidak mengabariku sama sekali. Ini kelewatan. Aku sedang menuju sekolahmu, mencari siapa pun orang yang hendak kau pasangkan denganku."

Pria itu segera berteduh di halte, menunggu bis yang menjadi tujuannya. Bagi orang luar, dia tampak seperti pria tua yang terlalu banyak pekerjaan.

"Aku tidak di sekolah. Kau juga sebaiknya tidak ke sekolah."

Terdengar dengusan di ujung sana. "Lalu apa yang harus kulakukan sekarang, Pak Tua? Di mana kau?"

"Aku berada di sekitar perbatasan Kent, tapi kau tak perlu ke sana. Orang yang akan kau temui sudah menunggumu di London."

"Kukira kau bisa lebih spesifik? London tidak sekecil lapangan football-mu, Kepala Sekolah."

"Lapangan football-ku tidak kecil. Itu salah satu lapangan football paling sempurna yang bisa kau harapkan di seluruh Inggris—"

"Bla bla bla. Dengar, aku tidak mendengarkanmu."

"Kau mau perjalananmu menyelamatkan Freeze terhambat?"

Diam sejenak. "Katakan saja aku harus ke mana dan siapa yang harus kujumpai."

Bis datang. Pria berambut hitam itu menutup payungnya dan masuk. Ia segera memilih tempat duduk di sebelah seorang kakek yang kelihatannya hampir tuli.

"Hyde Park. Wanita berambut coklat. Aku sudah menyuruhnya menunggumu di sana. Seharusnya tak ada kesulitan."

"Kau—kau sudah menyuruh perempuan itu menungguku? Kau sudah merencanakan ini?"

"Kurang lebih. Aku tahu Freeze tak akan menghubungimu."

"Ugh. Aku tak akan berdebat denganmu di telepon. Kau membuang-buang waktuku."

Pria itu terkekeh halus. "Sebenarnya tidak kalau kau menuruti perkataanku dari awal, bocah."

"Aku bukan bocah, Snape!" bentak pemuda di ujung telepon.

"Tentu saja kau masih tergolong bocah," balas Snape tidak peduli. "Kau bahkan baru boleh minum alkohol tahun depan."

"Freeze tidak beda jauh denganku," gertak pemuda itu. "Dia bahkan hanya beda satu tahun denganku, demi Tuhan!"

Snape bergeming sedikit mendengar itu. Kenyataan bahwa Freeze masih sangat muda kadang luput dari perhatiannya. Dan ketika siapa pun mengatakan itu, Snape tidak tahu apakah dia harus merasa ketakutan atau senang. Kecermatan dan kehebatan Freeze sudah kondang hingga keluar negeri bahkan ketika ia masih sekolah. Snape tahu, dengan kehebatan seperti itu, Freeze bisa melakukan apa saja yang ia mau selain menumpas penjahat kelas kakap. Selama ini Snape hanya bisa berharap bahwa hati Freeze masihlah polos dan tidak ada kejahatan di sana—walaupun dari awal tidak ada tanda-tanda Freeze punya hati yang hangat.

"Freeze sudah dilatih sejak sesaat setelah dia bisa berjalan, berbeda dengan kau, Draco," jawab Snape datar.

Draco tidak menyahut. Diam-diam Snape curiga dia telah menekan tombol diam yang tepat.

"Aku tidak yakin akan sampai di Hyde Park sebelum matahari tenggelem," ujar Draco setelah jeda lama beberapa saat.

"Oh, kau bisa. Aku percaya pada kemampuanmu menyetir."

Draco mendengus. "Kupikir kau tidak setuju dengan caraku menyetir."

"Percaya dan setuju adalah hal yang berbeda. Harus kuakui aku agak ngeri ketika memikirkamu menyetir di jalan-jalan London yang ramai, tapi aku yakin kau bisa mengatasinya."

"Nah, aku tak bisa melakukan itu jika harus sambil berbicara denganmu."

"Maka matikan teleponnya."

"Yeah," Draco terdiam sebentar. "Omong-omong, siapa nama gadis berambut cokelat tadi?"

Senyum aneh merekah di bibir Snape. Entah bagaimana, Snape punya perasaan misi penyelamatan ini akan menjadi sangat menarik. "Granger. Hermione Granger."

"Hermione Granger. Hah, namanya tidak bisa lebih aneh lagi," gerutu Draco sebelum memutuskan hubungan.

-oOo-

Hermione Granger tidak bisa menyangkal kalau saat ini adalah saat paling tidak menyenangkan buatnya. Dia sangat cemas, nyaris putus asa dan kepanasan. Perutnya melilit, seperti kebiasaan. Berkali-kali ia berbicara pada dirinya sendiri, berusaha keras membuat dirinya tetap tenang. Berdiri di tengah-tengah Hyde Park sendirian adalah hal terakhir yang mengganggu pikirannya. Tangannya mencengkram payung lebih erat saat hujan makin deras. Seharusnya dia jengkel karena tiba-tiba saja Kepala Sekolahnya memintanya datang ke Hyde Park dan menunggu sampai seorang pria pirang menghampirinya, tetapi dia malah merasa gugup setengah mati.

Hermione tahu, sesuatu yang penting akan terjadi. Namun itu tidak mengubah kenyataan bahwa apa pun ini mulai membuatnya habis sabar.

Sudah hampir satu jam dia menunggu. Kakinya mulai kebas, pikirannya kacau balau dan ia berkeringat sedikit. Hermione berpikir mungkin ia akan menysuri taman sekali, hanya untuk mengecek apakah ada pria pirang yang juga dalam kondisi yang sama, hanya saja berdiri kebasahan di bawah pepohonan. Namun perintah Snape jelas, berdiri di tengah Hyde Park dan jangan ke mana-mana. Hermione ingin sekali menurut, tapi rasanya ia tak sanggup berdiri lebih lama lagi. Baterai telpon genggamnya habis dan Hermione tidak punya cukup banyak kata untuk mengutukinya.

Tiba-tiba, bahunya ditepuk dari belakang. Hermione melonjak kaget sehingga payungnya tergelincir dari sela-sela kepalan tangannya. Untunglah payung itu sempat ditangkapnya sebelum Hermione benar-benar basah. Ia berbalik dan menemukan pemuda pirang dengan ekspresi mencemooh.

Oh, pasti orang ini yang membuatnya menunggu selama lebih dari waktu yang seharusnya.

"Kau Hermione Granger?" tanya pemuda pirang itu tanpa basa-basi.

Hermione mengangguk. Mulutnya terasa kering.

Pemuda itu menatapnya sekilas dengan tatapan menilai, kemudian mengedik. "Ikut aku."

Ia sudah berbalik sebelum Hermione sempat mengatakan apa. Pemuda itu tidak memakai payung—hujan membuat pakaiannya basah dan rambutnya menempel di kepala. Dia kelihatannya sama sekali tidak peduli dengan hujan. Langkahnya cepat dan terburu-buru. Hermione segera berlari menyusul, memayungi pemuda itu sebisa mungkin.

Pemuda itu menoleh padanya dan mengangkat satu alis. "Apa yang kau lakukan?"

"Menghindarkanmu dari flu, sepertinya," jawab Hermione rikuh, namun masih sarkastik.

Pemuda pirang itu mengangkat bahu. "Terserahlah."

Mereka berjalan dalam diam. Hermione merasa seperti sedang mengasuh anak lelaki arogan yang lebih tinggi darinya. Ia tetap berusaha memayungi mereka berdua, tapi pemuda itu sama sekali tidak memperhatikan. Ia berjalan ke sebuah sedan hitam yang diparkirkan di pinggir taman. Hermione tidak yakin apakah itu boleh dilakukan, tetapi sepertinya pemuda ini tahu apa yang dia lakukan, jadi Hermione memilih tidak mengatakan apa pun. Toh ia melakukan sesuai kata Snape—dan Hermione percaya pada Snape.

Hermione masuk ke kursi penumpang di depan, membiarkan pemuda tadi kebasahan lagi ketika memutar sisi mobil untuk duduk di kursi pengemudi. Biarlah, pikir Hermione. Toh dia yang sengaja berbasah-basahan. Mengapa aku harus bersusah-susah untuk orang tidak tahu terima kasih seperti dia?

Pemuda tadi segera menyalakan mesin mobil dan melajukannya bahkan sebelum Hermione memperbaiki posisi duduknya. Kaget, buru-buru Hermione meletakkan payung lipatnya di dekat kakinya, duduk lebih nyaman dan memasang sabuk pengaman. Pemuda ini menyetir dengan brutal di tengah hujan deras. Wiper-nya baru dinyalakan setelah tiga puluh detik perjalanan, membuat Hermione bertanya-tanya apa rencana yang telah dibuat Snape untuknya—dan apakah itu termasuk dalam kebut-kebutan di jalanan yang ramai dan licin dengan pandangan kabur.

"Jadi," Hermione berdeham, berusaha kelihatan kasual walau pun dia ngeri dengan cara menyetir pemuda ini. "Apa yang—maksudku, siapa kau?"

Kalau pemuda itu mendengar perkataan Hermione, dia tidak menunjukkannya sama sekali. Hermione menelan rasa jengkelnya kuat-kuat, siap mengulang pertanyaan dengan kesopanan yang lebih sedikit ketika pemuda itu menjawab.

"Namaku Draco Malfoy," jawabnya datar dan jengkel, matanya terpaku pada jalanan. "Dan malam ini kau berada dalam pengawasanku."

Hermione tidak tahu apa maksudnya 'pengawasan', tapi dia berpikir itu tidaklah terlalu penting. Bagaimana pun, sudah empat tahun Hermione bersekolah di Hogwarts Akademi, sekolah kepolisian khusus yang mendidik orang-orang pecandu adrenalin dan petualangan. Mungkin inilah salah satu hasilnya yang baru lulus satu atau dua tahun lalu. Dia tidak keliatan tua, bagaimana pun. Tapi dia kelihatan sombong dan sangat pucat. Bagaimana bisa seorang polisi khusus yang tidak pernah bekerja di balik meja mempunyai kulit yang sepucat itu?

Penyakitan juga rupanya, pikir Hermione mengejek.

"Baiklah, er, Mr Malfoy," Hermione langsung menyesali kata-katanya. "Jadi—uhm, apa yang akan kita lakukan?"

"Aku akan menyelamatkan temanku," ujar Malfoy, menyingkap rambutnya yang basah sambil membanting setir dengan ketepatan yang mengagumkan. "Kau akan menjaga mobilku."

Hermione yakin, apa pun yang Snape rencanakan untuknya dan Malfoy, bukanlah karena mobil ini butuh pengawasan.

"Lalu apa yang kau lakukan untuk menyelamatkan temanmu?"

"Nah, Granger, kurasa itu bukanlah urusanmu."

Nadanya tidak ramah. Hermione menggertak. "Itu menjadi urusanku kalau aku harus di sini menjaga mobilmu."

"Tidak ada yang membutuhkanmu sebenarnya," seloroh pemuda itu kejam.

"Oh ya? Kurasa Snape akan senang mendengar kau mengabaikanku dan mungkin akan membuat kita berdua terbunuh."

Malfoy memandangnya dengan mata menyipit berbahaya. Tapi yang Hermione takutkan adalah kakinya yang masih menekan pedal gas dalam-dalam. Dan sepertinya ia menyadari ini karena ia tidak melirik jalan sedikit pun ketika bicara pelan-pelan dengan nada dalam.

"Kau hanya pengganggu, gadis kecil."

"Aku bukan gadis kecil!" jerit Hermione, berputar menghadap Malfoy dengan berani. "Dan aku tidak akan menuruti perintahmu."

"Kalau begitu kau mungkin akan mati," seringai kejam membelah wajahnya.

"Dan kau yang akan disalahkan."

Skak mat.

Malfoy sepertinya menyadari hal ini karena tiba-tiba saja ia kelihatan sama jengkelnya dengan Hermione. Jakunnya bergerak ketika ia menelan semua makian yang telah bersiap di ujung lidahnya. Malfoy meraih ke kantongnya dan mengeluarkan telpon genggam yang agak basah. Ditekannya sebuah tombol, sebuah tombol lagi, sebuah tombol lagi dan langsung membentak ketika telpon diangkat pada deringan pertama.

"Persetan dengan ini, Snape!"

Hermione meringis ketika suara tenang Snape di ujung telpon terdengar dari handphone Malfoy yang di-loudspeaker.

"Ada masalah, Draco?"

"Kau bercanda! Apa yang kau rencanakan, eh? Aku tidak mau mengajak gadis ini ke tempat Freeze! Dia bisa menyusahkan kami berdua. Aku tidak peduli apa katamu, aku tidak akan membawa gadis ini denganku!"

Freeze. Mendengar kata itu, seluruh tubuh Hermione langsung menegang. Apa yang akan Malfoy lakukan malam ini berkaitan dengan Freeze. Freeze yang itu.

Uh-oh, Hermione harus ikut dengan pria menyebalkan ini.

"Whoa, whoa, tenangkan dirimu sebentar, Draco," jawab Snape. Hermione pikir Snape terdengar hampir senang. "Kau melakukannya dengan cara yang salah."

"Salah?" dengking Malfoy emosi, melajukan mobilnya menjauhi London dengan kecepatan yang mengerikan. "Dia bahkan—"

"—tidak diberi kesempatan," sela Hermione keras, mengabaikan tatapan membunuh Malfoy. "Malfoy tidak memberi saya kesempatan untuk melakukan apa pun, Mr Snape."

Suara Snapa terdengar kaget. "Miss Granger? Kau kah itu? Draco membuatmu mendengar percakapan ini? Sungguh kurang ajar anak itu."

"Aku sedang menyetir, Pak Tua."

Hermione mengerling membalas tatapan Malfoy. "Aku baru saja bertanya apa yang akan kami lakukan, tapi ia tidak menjawabku dengan ramah."

"Gadis jalang," umpat Malfoy keji.

Hermione mendelik, tidak terima. "Bedebah kau!"

"Anak-anak," potong Snape buru-buru, merasakan perseturuan yang mengguncang dari entah di mana. "Kalau kalian bersikap seolah akan menggorok leher satu sama lain, tak ada yang bisa kulakukan selain menghentikan misi ini."

"Kau tak bisa menghentikanku, Snape," gertak Malfoy. "Aku akan melakukan apa pun—garisbawahi itu—apa pun, untuk menyelamatkan Freeze."

"Aku tahu kau tetap akan nekat melakukannya, tapi aku bisa mencabut ijin kerjamu, Draco. Dan percayalah, ijin kerjamu tidak sebanding dengan kau menyelamatkan Freeze yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri tanpa bantuanmu."

Malfoy mengumpat keras-keras.

"Ah, Miss Granger, kau masih di sana?"

Hermione nyengir. "Ya, Mr Snape. Aku masih mendengarkan."

"Aku percaya Draco menyuruhmu menjaga mobilnya sementara dia beraksi sendirian," ujar Snape yakin, membuat Hermione sedikit terperangah. "Tapi jangan lakukan itu. Ikuti saja apa kata hatimu."

Hermione memberi Malfoy sebuah senyuman menang dan mengejek. "Tentu saja, Mr Snape. Terima kasih."

"Tidak masalah. Ketahuilah bahwa Draco tidak akan membiarkanmu mati. Dia terlalu mencintai pekerjaannya."

"Persetan, Snape!"

Snape terkekeh. "Nah, semoga beruntung untuk kalian berdua." Kemudian ia mematikan telepon.

-oOo-

Perjalanan tidaklah menyenangkan. Bukan hanya karena tekanan aura membunuh yang timbul dari masing-masing individu, melainkan juga karena cara menyetir Malfoy yang kebablasan. Hermione ingin sekali mencengkram joknya kuat-kuat, untuk sekedar meredakan rasa takut, namun ia menolak harga dirinya diinjak Malfoy. Sudah dua belas kali Malfoy menerobos lampu merah, tujuh kali menyerempet pembatas jalan dan dua puluh tujuh kali diklakson kendaraan lain.

Hermione tahu mereka harus buru-buru, namun ini benar-benar kelewatan.

"Tidak bisakah kau pelankan kecepatanmu sedikit?" gertak Hermione dengan tangan mengepal.

Malfoy menyeringai dan menoleh. "Kenapa? Gadis kecil takut akan mati tertabrak?"

"Kalau pun kita mati, itu karena kita yang menabrak, bodoh," balas Hermione. "Tidak ada yang menabrak mobil yang kecepatannya 200 km per jam."

Malfoy mengangkat bahu tidak peduli. "Apa bedanya?"

"Pokoknya kurangi kecepatanmu!"

"Eh, aku tidak ingat kau bisa memberiku perintah."

"Ini bukan perintah, ini nasihat. Kau sebenarnya sudah tahu ini."

"Aku tahu, tapi aku memutuskan untuk tidak peduli."

"Apakah semua agen Snape arogan seperti kau?"

"Mereka bilang arogan adalah daya tarikku yang paling kuat."

"Siapa mereka itu? Sekumpulan nenek di bar?"

Malfoy terkekeh dalam, nadanya gelap. "Kalau kau berkata begitu."

Hermione menggertakkan gigi dan memutuskan dia harus terus bicara untuk mengalihkan perhatiannya dari laju mobil yang seakan ingin menyamai kecepatan cahaya.

"Ke mana kita akan pergi?"

Malfoy tidak langsung menjawab. "Wiltshire."

"Wiltshire?" Hermione mendelik tidak percaya. "Kau bercanda? Dalam keadaan badai seperti ini? Wiltshire? Perjalanan memakan waktu dua jam ke sana, Malfoy, belum lagi kau mungkin masih mencari alamatnya dan matahari sudah tenggelam sekarang!"

Malfoy langsung menggertak. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau pikir apa yang kulakukan sejak tadi, berkhayal sedang dalam balap mobil?"

Hermione menghela napas panjang melalui sela-sela giginya yang terkatup rapat, menenangkan diri. Malfoy jelas bukan remaja yang supel dan menyenangkan—kalau ia masih bisa disebut remaja. Lagi pula, perjalanan ngebut ini membuatnya agak mual dan pusing. Hermione bukanlah orang yang gampang mabuk, namun kepalanya berdenyut-denyut menyaksikan pophonan yang berkelebat cepat di samping.

"Lalu apa yang akan kita lakukan di sana?"

"Kita? Sudah kubilang kau—"

Malfoy menginjak rem dalam-dalam ketika segerombolan turis yang sibuk memotret dalam kegelapan malam menyebrang, membuat Hermione terhempas keras di kursi. Dadanya sakit tertahan oleh sabuk pengaman. Untunglah Hermione sudah memakai sabuk pengaman, kalau tidak, entah apa yang terjadi. Mungkin Hermione akan tewas dengan otak berceceran terkena dasbor. Tapi kalau itu bisa membuat Malfoy kehilangan pekerjaannya, rasanya Hermione tidak terlalu keberatan.

"Kau bisa dengan mudah membunuh seseorang!" pekiknya agak panik.

Malfoy mengabaikan protes panik Hermione sama sekali. Ia kembali menyetir, tidak berusaha memelankan laju kendaraannya. Ekspresinya serius dan kasar. Penuh emosi dan konsentrasi. Ia tampak sangat berbahaya. Seolah tujuan Malfoy adalah membunuh sebanyak mungkin orang dalam perjalanan menjemput Freeze.

"Kau terlalu banyak bicara."

"Kau keterlaluan!"

"Aku tidak punya waktu, Granger. Aku sedang berusaha menyelamatkan temanku yang terjebak di suatu rumah tidak kukenal di Wiltshire. Jam berapa sekarang?"

Hermione melihat arlojinya. "Jam sembilan kurang."

"Tengah malam," gumam Malfoy pada dirinya sendiri. "Sebelum tengah malam aku harus sudah mengeluarkan Freeze. Kalau tidak—"

"—nah, kalau kau menabrak dan kita tewas, kau tidak bisa menyelamatkan Freeze-mu itu."

Malfoy menoleh, mendelik dan membentak. "Tutup mulut, gadis kecil!"

"AKU BUKAN GADIS KECIL!" teriak Hermione di depan wajah Malfoy.

"Terserahlah. Berapa umurmu? 13 tahun?" ejek Malfoy.

"Aku 18, idiot!"

"Cukup dekat."

"Pelankan laju kendaraanmu!"

"DIAM!" gelegar Malfoy, semakin bernafsu melajukan kecepatannya yang sudah gila-gilaan.

Hermione panik. Perasaannya tidak enak ketika merasakan perutnya berjumpalitan. Belum pernah dia berada dalam mobil yang melaju dengan kecepatan begitu cepat. Hermione tahu yang seharusnya dirasakannya adalah adrenalin, namun bukan adrenalin yang berdenyut di kepalanya, melainkan rasa mual. Badai sudah berkurang di daerah sini, namun hujan masih turun sedikit. Matanya melebar ketika Malfoy membelok dengan kasar, lagi-lagi menerobos lampu merah.

"Hentikan kendaraanmu," gumam Hermione dari sela-sela giginya, mencengkram jaketnya erta-erat di bagian perut.

Malfoy menggertak tidak setuju, wajahnya merah karena marah. "Sudah kubilang aku tidak—"

"Hentikan atau aku akan muntah di jok mobilmu!"

Malfoy meneriakkan beragam sumpah serapah ketika ia membelok dengan kasar, keluar dari jalur aspal dan masuk ke area peopohonan. Serta merta di menginjak rem kuat-kuat sekaligus membelokkan mobilnya dengan tajam, membuat mobil langsung berhenti dalam posisi miring tepat di sebelah pohon besar berdahan rendah. Mesin mobil langsung mati begitu saja. Hermione segera membuka pintu mobil, mengeluarkan kepalanya dan muntah-muntah.

"Oh, demi malaikat yang paling agung," teriak Malfoy penuh emosi, menutup telinganya mendengar suara muntahan Hermione. "Siapa pun, hentikan gadis iblis ini!"

Hermione masih sibuk muntah-muntah di atas salah satu tanaman berumput, namun dalam hatinya ia tertawa puas dan mengejek-ejek Malfoy. Tahu rasa kau, Malfoy. Salah sendiri dari tadi tidak sopan dan seenaknya sendiri. Sekarang kau malah jadi terhambat. Hah, dengarkan betapa parah muntahanku Malfoy. Semua makan siangku keluar dari lambungku.

Setelah selesai, Hermione tidak langsung menegakkan diri. Mulutnya pahit, ia harus sikat gigi atau paling tidak berkumur. Ia bergumam pada Malfoy, masih dengan kepala menunduk keluar.

"Hei, kau," suaranya serak tapi puas. "Aku minta minum."

"Kau baru saja muntah!" pekik Malfoy. "Kau pikir aku akan memberikan airku kepadamu?"

"Ya, Malfoy. Atau kita tidak akan berangkat."

Malfoy mengalah walaupun diiringi dengan beragam kutukan lain. Ia meraih ke dasbor di depan Hermione, mengeluarkan sebotol air mineral dan memberikannya dengan jijik kepada Hermione.

"Ini minummu, tolol," Malfoy mendorong botol itu ke tangan Hermione yang terulur aneh.

"Trims," kekeh Hermione. Segera ia mengusap mulutnya dengan air itu, meneguknya banyak-banyak, berkumur dan mengeluarkannya lagi. Diulangi lagi proses yang sama sampai Hermione merasa mulutnya sudah bersih dan enak, sebelum ia duduk tegak dan menyeringai puas pada Malfoy.

"Kukembalikan," ujar Hermione sambil memberikan botol air mineral itu kepada Malfoy lagi.

Malfoy berjengit jijik. "Tidak akan kusentuh benda itu lagi. Buang atau bagaimana, terserah. Jangan masuk ke mobilku."

Hermione mengusap mulutnya dan membuang botol itu dengan asal keluar, lalu ia menutup pintu mobil. Memang ada sedikit rasa bersalah dalam hatinya—bagaimana pun, Malfoy harus segera menyelamatkan temannya yang mungkin sedang dalam masalah sekarang—namun ia memutuskan bahwa ia tidak terlalu peduli. Toh perjalanan mereka baru setengah jam dan ini sudah setengah lebih perjalanan. Malfoy saja yang paranoid.

Lagipula, menurut kabar burung tentang Freeze yang Hermione dengar, pemuda hebat itu sanggup menyelamatkan dirinya dari apa saja.

Malfoy segera menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya menuju jalanan beraspal lagi. Ia tampak marah dan jengkel sekali. Walaupun sekarang mobil sudah tidak melaju sekencang tadi, tetap saja kecepatan Malfoy tidak bisa disebut pelan. Hermione tahu kebencian Malfoy hanya untuknya seutuhnya dan ini tidak menghindarkannya dari bertanya-tanya—

Sepenting apakah Freeze untuk Malfoy?

-oOo-

Setelah perjalanan selama tiga puluh menit yang menggerogoti kesabaran Draco sampai habis, mereka sampai di rumah besar bergaya Victoria bercat putih yang tampak asing dan tak terawat. Draco memarkirkan mobilnya di belakang semak-semak, tersembunyi dari kegelapan malam. Tangannya mencengkram kemudi ketika ia mengamati rumah itu. Draco sendiri tidak yakin apakah benar ini tempatnya—bagaimana pun, ia hanya mengikuti insting dan naluri. Tapi siapa pun tidak bisa menyangkal kalau rumah ini menyeramkan. Rumah besar yang tersembunyi di atas bukit tidak pernah menjadi sarang hantu untuk Draco dan kawan-kawan seprofesinya, namun rumah itu selalu menjadi sarang para penjahat.

Draco melepas sabuk pengamannya dan berputar ke kursi belakang, meraih sekotak koper yang berat luar biasa. Ia membukanya, mengeluarkan sebuah pistol, menyelipkannya di pinggangnya dan mengambil sebuah lagi. Seperti kebiasaan, Draco mengecek isinya, menarik resleting jaket hitamnnya yang telah mengering dan bersiap keluar dari mobil untuk mengintai.

"Oi, bagaimana denganku?"

Draco menggertakkan gigi, meredam makian yang digumamkannya dalam hati. Ia sudah lupa sama sekali dengan gadis berambut lebat pembawa sial di sebelahnya. Granger sama sekali tidak bicara setelah dia muntah-muntah di perkebunan seseorang tadi. Ia bahkan tidak berkomentar ketika Draco nyaris menabrak sapi. Dan Granger memilih waktu yang tidak tepat untuk bicara sekarang.

"Bukankah sudah kubilang kau menjaga mobilku?"

"Kau dengar kata Snape," seringai gadis itu. "Aku tidak akan melakukan itu. Jadi entah kau membiarkanku berkeliaran di sini dan mengikutimu dan memperbesar kemungkinan kita ketahuan—atau kau memberiku senjata dan membawaku masuk ke dalam."

Di Hogwarts Akademi, Draco tidak pernah diajarkan untuk membeda-bedakan jenis kelamin musuh. Entah dia pria bertato atau gadis berdada besar, kalau ia musuh dan harus dimusnahkan, maka Draco harus memusnahkannya. Draco berpikir apakah Granger bisa dimusnahkan secara legal, namun ia tahu bahwa Granger—dan Draco—di sini dalam perintah Snape. Ijin kerjanya membayang di mata ketika ia mengusap wajahnya.

"Baiklah, baiklah," gerutunya. "Kau bisa menggunakan senjata api?"

Granger mengangguk.

Draco meraih ke dalam kotaknya lagi dan mengeluarkan sebilah pisau panjang yang tajam dan berkilat di bawah sinar lampu jalan. "Kau bawa ini."

"Pisau?" tanya Granger tak percaya, menatap Draco tak percaya. "Bukankah kubilang aku bisa menggunakan senjata api?"

"Ya, tapi kuasumsikan ini misi pertamamu," jawab Draco, matanya menatap berbahaya. "Dan satu hal yang diajarkan Freeze padaku, jagan biarkan seseorang yang baru pertama kali menjalankan misi penyelamatan memegang senjata api."

"Tapi aku bisa menggunakannya!" pekik Granger.

"Aku tidak akan pura-pura aku percaya padamu. Toh pisau ini lebih bermanfaat buatmu ketimbang pistol. Kau perempuan, penjahat tidak akan menembakmu, dia akan menyerangmu dari dekat."

Granger mendelik. "Aku sudah terlatih, Malfoy."

"Tidak bagiku," balas Draco dingin, dengan kasar mendorong bagian gagang pisau itu ke perut Granger. "Kau ambil ini atau aku terpaksa menguncimu di mobil."

"Setan biadab kau," maki Granger, merebut pisau itu dari tangan Draco.

Draco menyeringai keji, namun tidak mengatakan apa-apa. Ia segera keluar dari mobil, diikuti dengan Granger yang menggenggam pisau itu dengan kekuatan yang menyeramkan. Mau tak mau Draco berpikir, dari tadi ia tidak melihat sisi cemerlang Granger yang dibanggakan Snape.

"Kau tahu, Malfoy," bisik Granger di sebelahnya. "Aku bisa menusukkan pisau ini di punggungmu dan kau mungkin tak akan tahu."

Draco memikirkan resiko itu sebentar, kemudian mengangkat bahu. "Kita berada di sini karena Snape mengijinkan, Granger. Kurasa kau tak ingin mengecewakan dia."

Granger mendengus dan menggumamkan sesuatu yang tidak sopan di sela-sela napasnya. Granger setuju dengan Draco. Dia tahu, bagaimana pun, semua ini berkat Snape. Draco sendiri tidak terlalu senang ada Granger di sampingnya—Granger juga bisa dikatakan sama dengannya.

Mereka sampai di pintu depan yang luar biasa besar. Draco menyiapkan senjatanya dan membuka pintu itu sedikit. Pintu itu membuka dengan mudah, tanpa suara dan halus gerakkannya. Draco mengendap masuk, berhati-hati dengan apa pun yang dilihat dan didengarnya. Granger mengikuti di belakang, walaupun dia kelihatan santai seolah sedang memasuki rumah yang hendak dibelinya.

Rumah itu kosong dan gelap. Tak ada tanda-tanda telah dihuni selama beberapa dekade. Udaranya dingin mencekam, baunya pengap. Bau itu membuat Draco mengeryitkan hidung. Draco terus berjalan, tidak berani memanggil nama Freeze bahkan sepelan apa pun. Ia terus berjalan, berbelok ke sebuah ruangan mengikuti instingnya. Draco selalu bisa merasakan kehadiran Freeze, bagaimana bisa itu terjadi ia pun tidak tahu. Draco terus berjalan mengendap, suara sepatunya tidak terdengar sedikit pun. Granger jalan pelan-pelan di belakangnya, mengamati sekitarnya dengan tertarik dan menutup hidung. Senjatanya dipegang santai di tangan.

Draco mengerling jengkel pada Granger dan mengingat bahwa dia harus protes pada Snape nanti.

Tiba-tiba terdengar suara gerungan pelan. Draco langsung menegakkan diri, Granger langsung berdiri rapat di sampingnya.

"Kau dengar itu?" bisik Ganger, matanya melebar waspada.

Draco ingin berteriak dan mendorong Granger jauh-jauh darinya, namun ia menahan keinginan itu kuat-kuat. Ia bisa merasakan jantung Granger yang berdegup di balik bahunya dan ini membuatnya terganggu. Draco mengusir perasaan itu dan terus berjalan berhati-hati. Rumah ini sepi dan makin ke dalam, tercium bau amis yang luar biasa.

Mereka tiba di depan ruangan besar rumah itu—yang mungkin didesain sebagai ruang duduk dulunya. Gerungan tadi makin keras, membuat Draco yakin kalau siapa pun orang itu ada di dalam. Draco tidak yakin apakah itu Freeze atau bukan, ia tidak mau mengambil resiko tertangkap dan terbunuh. Pikirannya jernih, adrenalin mengalir deras ke seluruh pembuluh darahnya. Napas Granger yang hangat menerpa lehernya, membuat Draco berbalik dan mendelik memperingatkan.

"Jangan bernapas terlalu keras di leherku," desisnya hati-hati, bibirnya dekat dengan telinga Granger.

Granger menegang sesaat, kemudian matanya melebar ngeri. Draco sempat berpikir apakah ia terlalu mempesona Granger atau bagaimana—yah, Draco memang agak kelewat sombong untuk kebaikkannya sendiri—namun ia sadar kalau Granger bahkan tidak mendengar kata-katanya karena napasnya makin keras dan cepat.

"Darah," bisik Granger.

Draco langsung mengikuti arah pandang Granger dan menemukan maksudnya. Darah merah yang menggenang, tebal dan terinjak sepatunya. Draco mengendap-endap dan mengikuti arah darah itu. Jantungnya berlomba-lomba dengan jantung Granger di belakangnya. Pikirannya mulai kacau dan ia mulai merasakan rasa panik di dadanya. Tolong, jangan Freeze. Siapa saja, jangan Freeze—

Rasa lega menguasainya ketika wajah yang ia lihat bukanlah wajah Freeze. Darah itu milik seorang lelaki berkumis tebal yang mendapatkan luka parah di kepala. Pria itu kelihatannya sudah mati, matanya lebar menatap kekosongan. Draco melangkahi mayat orang itu dengan hati-hati, masuk lebih dalam ke ruangan gelap itu menuju suara gerungan tadi. Semakin dalam, mata Draco lebih bisa beradaptasi. Lebih banyak mayat di lantai berkarpet, semua dengan luka temabakan atau tusukan yang fatal. Bau amis yang tadi diciumnya adalah darah semua orang ini. Draco bertanya-tanya pakah Freeze yang membunuh semua orang ini—dan di manakan Freeze sekarang.

Matanya yang tajam menangkap gerakan terikat di tengah ruangan.

Draco mengangkat pistolnya, siap menembak sambil berjalan semakin dekat—berusaha melihat wajahnya. Orang itu mengeluarkan suara gerungan pelan lagi dan berkelit di kursinya. Ternyata orang itu terikat. Bulan menyinari wajahnya melalui jendela besar di dinding dan Draco mengerjap ketika lelaki itu mendongak. Wajahnya bersimbah darah dan babak belur, tapi Draco masih mengenali matanya yang hitam dan dalam, menatap Draco dengan pandangan mengerikan yang lebih menakutkan dari rumah ini sendiri.

Di belakangnya, Granger memekik tertahan.

-oOo-

Hermione sudah menyadari bahwa itu orang yang dicari Malfoy sebelum Malfoy mengatakannya.

"Freeze."

Well, Hermione tidak menyangka ternyata perjumpaan pertamanya dengan Freeze begini menegangkan. Hermione bahkan nyaris pipis di celananya ketika melihat wajah Freeze yang bersimbah darah. Freeze tampak seperti mayat hidup. Duduk di tengah ruangan, terikat dan dikelilingi oleh orang-orang yang baru saja mati. Sebenarnya Hermione sedikit berharap menemukan Freeze dalam kondisi freezing—misalnya seperti membeku setelah berenang di danau saat badai tadi. Namun Freeze yang seperti ini jelas lebih menakutkan.

"Draco," suara serak Freeze membuat bulu roma di leher Hermione berdiri semua. "Kau mengajak seseorang."

"Yeah," Malfoy menghela napas, berjalan mendekati Freeze. "Ini Hermione Granger. Siswa senior favorit Snape."

"Hermione Granger," desah Freeze, seolah sedang merasakan nama Hermione dengan mulut penuh darah. "Gadis yang berani, kukira, mengingat kau kesukaan Snape."

Hermione berjalan mendekat, tersenyum canggung walaupun ia berusaha tidak bergidik. "Hai."

Semakin dekat, Hermione makin bisa melihat wajah Freeze. Seluruhnya berlumur darah, terutama di mulut dan pipinya. Matanya biru sebelah, tapi tatapannya masih mengintimidasi dan menakutkan. Mulut Freeze yang robek membentuk sebuah seringai menyeramkan—yang menurut Hermione tidaklah semengerikan ini kalau dia tidak seperti baru saja menelan darah. Kemejanya robek di bagian depan, jinsnya robek di bagian lutut dan sepatunya terlihat seperti baru saja terbenam dalam genangan darah.

"Apa yang terjadi, Freeze?" tanya Malfoy waswas. "Kenapa kau dalam keadaan terikat seperti ini?"

"Yeah, keadaan ini memang agak memalukan," Freeze menyetujui ketika Malfoy memotong talinya dengan pisau Hermione. "Aku berhasil mengalahkan semua idiot ini—sebelum Grindelwald datang dan menghabisiku habis-habisan. Kurasa aku sempat pingsan dan terbangun dalam keadaan seperti ini."

Wajah Malfoy tegang. "Jadi di mana Grindelwald sekarang?"

"Kabur," ujar Freeze dengan gigi menggertak. Ia mengerang ketika Draco menarik talinya dengan paksa, mengiris luka dangkal di dadanya. Hermione menyaksikan dengan ngeri ketika ia melihat luka lain—warnaya biru dan sangat jelek—tepat di atas ulu hati Freeze.

"Demi celana Snape, Freeze," Malfoy meringis. "Grinelwald benar-benar menghabisimu."

"Aku tahu. Grindelwald benar-benar berbahaya," gertak Freeze sambil berdiri.

Freeze merobek lepas kemejanya yang sudah tidak berbentuk dan mengusapnya pelan-pelan di wajahnya. Hermione menyaksikan dengan ngeri ketika menyadari betapa dalam luka Freeze. Parah juga kelihatannya. Sudut mulutnya robek sampai sekitar pipi kanan. Matanya bengkak dan biru, sementara beberapa tempat lain memar. Teringat tadi sudah muntah dan merepotkan Malfoy, Hermione memutuskan bahwa ia harus melakukan sesuatu kalau tidak mau muntah lagi.

Hermione mendekati Freeze. "Sini. Biarkan aku yang—yang membersihkan wajahmu."

Freeze mendongak menatap Hermione dengan mata hitamnya. Tatapannya membuat Hermione sedikit canggung, tapi ia tidak melakukan apa-apa. Freeze menyerahkan pakaiannya pada Hermione dengan perlahan-lahan, matanya masih terpancang pada Hermione.

"Aku akan—kau tahu di mana kamar mandi?"

Freeze menggeleng pelan. Malfoy yang menjawabnya.

"Di sebelah sana, Granger. Sekalian nyalakan lampu, aku tidak suka suasana gelap seperti ini. Buat dirimu berguna," seloroh Malfoy pongah.

Hermione langsung menghadapnya dan memberinya gerakan tangan yang kurang ajar sebelum berjalan menuju arah yang ditunjuk Malfoy. Freeze terkekeh dalam samar-samar.

Malfoy menggerung di belakang Hermione. "Kubunuh kau, Granger!"

"Snape akan menggorokmu!"

Freeze diam saja ketika Hermione bekerja. Kadang dia meringis, kadang mengerang, namun ia tidak mengatakan apa-apa kalau tidak ditanya Malfoy. Kemeja Freeze yang berwarna abu-abu dengan cepat berubah menjadi merah saking banyaknya darah di wajah Freeze. Hermione dalam hati bertanya-tanya bagaimana seseorang bisa kehilangan begitu banyak darah tanpa merasa pusing atau limbung. Hermione mungkin memang bukan ahlinya dalam merawat orang, tapi ia tahu kalau kehilangan darah bisa menjadi sangat tidak menyenangkan.

Kemudian dia bertanya-tanya siapa nama asli Freeze.

Hermione sudah banyak mendengar tentang kecerdikan dan kehebatan Freeze dalam dunia kepolisian khusus. Guru-gurunya di Hogwarts Akademi banyak bercerita tentang kehebatan Freeze waktu masih sekolah. Freeze sendiri sudah dilatih sejak sebelum dia masuk Hogwarts Akademi oleh mentornya yang sekarang sudah tua, Albus Dumbledore. Dan darah pemberantas kejahatan sudah mengalir deras di tubuhnya. Namun tetap saja, rasanya tidak ada orang yang menyebutnya dengan nama aslinya. Semuanya menyebutnya Freeze, walau pun rasanya semuanya tahu nama asli Freeze.

Dan Hermione juga bertanya-tanya bagaimana bisa seorang dengan mata hitam bisa dijuluki Freeze. Bukankah seharusnya Freeze—beku—menggambarkan seseorang yang seperti es? Misalnya dengan mata biru cerah, rambut pirang, kulit pucat dan senyum dingin yang mematikan. Freeze yang ini hanya punya bagian senyum itu, sedangkan sisanya lebih mirip Malfoy.

Hermione mendengus jengkel tiap mengingat Malfoy.

"Draco," panggil Freeze dengan suara yang sudah lebih baik setelah sebagian darahnya hilang. "Aku curiga Grindelwald meninggalkan sesuatu untuk kita di atas lemari."

"Seperti apa misalnya?" sahut Malfoy, menatap bagian atas lemari yang tingginya kira-kira dua meter setengah.

"Aku tidak tahu," Freeze meringis ketika Hermione mengusap luka jelek di dadanya. "Lihatlah."

Malfoy mengambil kursi dan mulai memanjat lemari itu. Kursi itu pendek, sehingga Malfoy tidak bisa melihat apa yang ada di atas lemarinya. Tangannya bergerak di atas lemari, berusaha mencari tahu apa yang dimaksud Freeze. Tubuhnya tertarik semua. Ia berjinjit di satu kaki sementara tangannya terulur jauh-jauh, berusaha mencapai bagian belakang lemari. Hermione ingin tertawa melihat Malfoy. Baginya, Malfoy kelihatan seperti pemain sirkus yang salah gerakan.

"Aku tidak tahu, Freeze," gumam Malfoy kehabisan napas. "Tapi kurasa tidak ada yang—"

Sebuah kotak hitam jatuh dengan suara gedebuk di sebelah Hermione.

Sontak Hermione meraih kotak itu. Kotak itu berwarna hitam seutuhnya, tidak besar tapi lumayan berat. Hermione menemukan kaitannya, melepaskannya dengan hati-hati dan membuka tutup kotak itu. Di dalamnya ada sebuah tabung dengan panjang satu jengkal, bagian tengahnya dililit oleh bermacam-macam kabel berwarna merah. Perlahan Hermione menyentuh tabung itu dan merasakan dingin di jemarinya. Dibalikannya tabung itu. Bagian depan tabung itu ada sebuah persegi panjang kecil yang berhubungan dengan kabel-kabel tadi. Angka di persegi panjang itu menyala seperti lampu, berwarna merah, berkedip-kedip dan bertuliskan—

00:13

Hermione langsung menjatuhkan benda itu dan berdiri menjauh.

"Bom," gumamnya panik. Matanya nyalang ketika ia bertatapan dengan Malfoy yang bingung. "Itu bom, Malfoy!"

Malfoy langsung berlari ke arah Hermione dengan panik. Freeze langsung berdiri dengan sigap. Hermione menatap sekeliling, mencari jalan keluar. Dalam keadaan takut dan panik, Hermione berusaha mengingat seberapa jauh ia masuk ke dalam dengan Malfoy tadi lewat pintu depan. Jauh. Tidak akan terkejar—

"Keluar lewat jendela, Draco!" teriak Freeze.

"Tapi—"

"Sekarang!"

Malfoy menatap Freeze seolah dia gila sebelum berlari dan menabrak jendela besar keras-keras. Kaca langsung pecah di mana-mana. Freeze tidak menunggu Malfoy sampai di bawah dengan selamat, melainkan langsung menarik tangan Hermione, mengangkatnya di pinggang dan melemparkannya begitu saja keluar jendela yang kacanya telah pecah seolah dia hanya karung beras.

Hermione nyaris berpikir: Astaga, seringan itukah aku?

Mungkin suatu hari Hermione bisa menceritakan ini pada anak-anaknya di masa depan—"Aku dilempar dari jendela oleh pria yang baru saja dihajar habis-habisan oleh Grindelwad!"—namun untuk saat ini ia tidak bisa memikirkan apa-apa. Gerimis di luar menyerang wajahnya yang merah karena panik tadi. Untuk sepersekian detik Hermione merasa terbang, sebelum gravitasi melawannya dan ia jatuh dengan bunyi gedebuk di atas rumput basah. Hermione langsung merasakan sakit yang luar biasa dari lututnya, bergetar sampai ke kepalanya. Hermione meringis da berusaha bangun.

Freeze tiba-tiba mendarat dengan cekatan di sampingnya. Ia merenggut lengan Hermione dan menariknya dengan kasar menjauh dari rumah itu. Hermione berusaha tetap mengikuti langkahnya dengan tertatih-tatih. Begitu sampai di bawah pohon besar, Freeze mendorong Hermione di dekat akarnya, menindihnya dengan tubuhnya sendiri dan terdengar ledakan dengan suara paling besar yang pernah Hermione dengar.

Hermione tidak tahu mana yang lebih aneh: menemukan bom dan menyelamatkan semua orang atau Freeze menindihnya di bawah pohon tua.

Entah setelah berapa lama, Freeze berguling ke rumput yang basah di samping Hermione. Hermione mengambil napas panjang, melegakan paru-parunya. Mungkin Hermione memang ringan, tapi Freeze jelas tidak ringan. Rambut Hermione terkena sedikit darah dari wajah Freeze yang belum sepenuhnya bersih, lututnya kebas dan rasanya siap putus kapan saja.

Hermione menoleh dan menemukan Freeze berbaring di sebelahnya. Matanya terpejam menahan rasa sakit—yang Hermione asumsikan berasal dari luka buruk rupa di dadanya. Sementara itu, Malfoy tak jauh dari mereka, megap-megap mencari udara dengan tangan menutupi wajah—yang membuat Hermione heran.

Hermione memutuskan bahwa ia harus berterima kasih pada pria yang bertelanjang dada di sebelahnya. "Terima kasih, Freeze."

Freeze tidak mengatakan apa-apa.

-oOo-

Hm. Genre ini jelas beda dengan fic-fic saya yang sebelumnya. Beri tahu saya pendapat kalian aka review!

DarkBlueSong