"Tsk, dari awal aku tau jika memang si brengsek itu Abnormal."

Kebencian Mikasa semakin bertambah kala matanya mendapati saudara tirinya dibully habis-habisan oleh seniornya. Levi Ackerman. Senior sekaligus kakak tirinya—orang yang paling ia benci karena menyebabkan ibunya meninggal.


.

.

.


Disclaimer is Hajime Isayama

Pairing is LeviMika slight ErenMika

Genre is Family and Drama

Rate T


.

.

.


Tangan itu terayun. Mengelus surai kecoklatan milik saudaranya. Pemuda yang tengah tertidur dengan sesekali ringisan yang keluar dari bibirnya yang tipis. Wajahnya yang tampan terlihat kebiruan pada sudut bibir dan matanya. Pipinya dihiasi lebam yang tidak bisa dibilang biasa saja. Tidak dapat dikatakan bahwa semuanya terasa biasa. Nyeri yang dirasakan oleh pemuda yang tengah berbaring di ranjang kamarnya itu.

Gadis berambut hitam yang sedari tadi menemani sang pemuda hanya diam. Melihat kearah saudaranya seraya mengelus surai lembut nan halus itu. Menyedihkan jika ia bilang kalau Eren yang sekarang dilihatnya seperti ini. Tidak pernah ia percayai kata sahabatnya jika ia tidak melihatnya secara langsung. Dengan kedua matanya sendiri.

Ia yang baru saja pindah dari Jerman ke Jepang dan bersekolah di sekolah sama seperti saudaranya. Niatnya ia akan memberi kejutan dengan kepulangan nya, namun ternyata sepertinya ia yang diberi kejutan. Kenyataan nya bahwa ia melihat lelaki yang tengah berbaring itu tengah dibully oleh sekumpulan pria dengan lebel senior.

Tangan nya mengepal.

Eren Yeager. Pemuda yang memang sudah menemaninya sejak ia masih kecil. Sejak perceraian dari kedua orang tuanya yang membuatnya harus tinggal selama beberapa tahun bersama keluarga Yeager sebelum pergi ke Jerman untuk tinggal bersama nenek dan kakeknya disana. Ibunya meninggal tiga bulan setelah perceraian tersebut. Membuat tekanan mental pada gadis itu diusianya yang masih sangat muda.

Ayahnya pindah. Dengan keluarga barunya yang menyebabkan penyakit ibunya kambuh pada saat itu. Menyedihkan ketika kau harus berulang kali memohon pada ayahmu untuk kembali pada ibumu yang tengah sekarat namun diacuhkan begitu saja. Membuat luka pedih di hatimu tertanam. Anak lelaki yang waktu itu duduk di sebelah wanita yang dipanggil oleh ayahmu sebagai istri baru itu hanya menatapmu dengan prihatin, namun kau tidak merasa menyukainya.

Kenangan lama yang terkubur oleh waktu yang selama ini berputar. Mikasa kembali menguak memori itu. Ia ingat dengan senior yang memukul saudaranya itu. Lelaki pendek dengan poni terbelah dua di depan, raut dingin tanpa ekspresi dan tampang congak yang membuatnya benar-benar ingin menghajar lelaki itu jika saja sahabatnya—Armin tidak menghalanginya.

Helaan nafas kembali terdengar. Punggungnya menyender pada belakang kursi. Kedua matanya tertutup rapat. Hatinya saat ini memburu. Antara kesal, benci dan juga putus asa. Kenapa disaat ia ingin memulai kehidupan awalnya yang ia kira akan indah, memori itu kembali muncul bersamaan dengan pengelihatan nya yang menangkap refleksi pemuda itu?

Lelaki yang datang ke rumah keluarganya dengan memeluk ayahnya seraya berteriak keras dengan menyebutkan kata Ayah. Berjalan dengan wanita dewasa yang mengaku sebagai selingkuhan Ayahnya dan membuat Ibunya langsung terkena serangan jantung. Tidak ada rasa kasihan saat itu yang dia lihat dari raut Ayahnya. Semuanya masih sama. Congak dan dingin yang dilihatnya, membuatnya merasa menjadi anak yang tidak berguna.

Memori getir yang kembali ia ingat secara luas. Menyedihkan sekaligus menyakitkan. Penyampaian terakhir dari ibunya yang mengatakan kalau ia sangat cantik adalah hal terindah yang menghangatkan sekaligus membuat hatinya dingin. Karena setelah itu, ibunya menutup matanya. Meninggalkan nya jauh. Sangat jauh.

"Mikasa."

Suara itu membuatnya tersentak. Membuka matanya secara refleks dengan panggilan yang menurutnya cukup mengejutkan itu. Di depan nya Eren Yeager menatapnya dengan pandangan bingung. Alis mengernyit dengan sesekali rintihan kesakitan yang bersuara. Mikasa hanya menghela nafasnya. Melelahkan untuk tubuh dan pikiran nya saat ini.

"Hai, Eren. Bagaimana kondisimu sekarang?" Mikasa menarik sudut bibirnya dengan terpaksa. Enggan melihat raut khawatir yang pemuda itu pancarkan. Jengah yang ia rasakan membuatnya ingin segera membaringkan tubuhnya di atas ranjang saat ini. Beruntung ibu tirinya tidak berada di rumah, jadi dengan leluasa tanpa harus menjelaskan tentang kondisi Eren sekarang.

Eren mengangguk. Tidak menjawabnya dan hanya dengan kosakata tubuh. Dia memegang lukanya. Ada ringisan yang kembali keluar dari bibirnya. Mikasa menggigit bibir bawahnya. Eren tidak baik-baik saja, dan pelajaran yang harus diterima oleh Levi besok harus lebih menyakitkan dan menyedihkan dari ini.

Tapi... bisakah ia membalasnya?


.

.

.


Gadis itu melangkah. Sendiri di koridor sekolah yang sudah sepi. Jam masuk sudah berdentang selama beberapa jam tadi. Pelajaran kosong yang membuatnya jengah membuatnya lebih baik keluar dibandingkan harus mengobrol tidak tentu arah bersama teman-teman barunya. Meskipun duduk sebangku dengan gadis yang tidak banyak bicara, nyatanya ia tetap merasa terganggu. Kebisingan dari yang lain membuatnya tetap merasa bosan.

Kakinya terus melangkah. Mengindahkan godaan yang dilancarkan oleh murid dari kelas yang dilewatinya, ia tetap berjalan. Melangkah dengan wajah yang menatap kearah depan. Datar dan dingin. Tanpa ekspresi yang diturunkan oleh sang ayah padanya. Menyebabkan nya membenci dirinya sendiri yang tidak lebih baik.

Kakinya menaik pada tangga. Tidak terlalu pendek dan tidak terlalu tinggi. Tangga menuju atap yang akan digunakan nya untuk bolos kali ini. Meski ia masih anak baru kemarin, namun mau diapakan lagi, toh guru juga tidak ada.

Kriet

Kakinya melangkah masuk. Sinar matahari yang tidak terlalu terik membuatnya merasa teduh. Kepalanya terangkat. Melangkah kearah atas dimana ia ingin bersantai sejenak.

"Aku kira hanya aku yang berada disini."

Suara itu cukup membuatnya terkejut. Tubuhnya berbalik. Wajahnya masih tetap datar. Tanpa ekspresi dan dingin. Hatinya merasakan kebencian luar biasa pada lelaki di depan nya. Satu darah dengan ayahnya tidak membuatnya baik dan ramah begitu saja. Kebencian nya yang beralasan dengan bukti yang kuat membuat tanaman dengan nama dendam itu tumbuh subur di hatinya.

Pemuda itu melangkah. Dengan santai dan kaku. Kedua tangan nya masuk ke dalam saku celana yang dipakainya. Sikap congak yang terpasang di wajahnya saat ini membuat gadis itu mendengus. Tidak heran jika lelaki itu seperti ini. Bibit dari si tua bangka itu pasti sudah menyatu dalam gen lelaki itu.

"Aku tidak perduli." Mikasa menjawab dengan dingin. Tidak ada santun seperti wanita kebanyakan. Perasaan benci yang benar-benar terlihat dari aura gadis itu membuat suasana menjadi cangung seketika. Death glare saling memanah. Ketegangan yang tida berarti menyelimuti suasana dan sekeliling mereka.

Levi menarik sudut bibirnya. Tipis. Begitu tipis sampai tidak terlihat jika saja Mikasa mengalihkan pandangan nya.

"Masih benci terhadapku Imouto?"

Pertanyaan yang keluar dari bibir tipis Levi membuat Mikasa menggemeletukan giginya. Tangan nya terkepal erat. Bersiap memukul lelaki Ackerman itu jika saja ia tidak ingat dengan status sosialnya yang mungkin saja dapat dibalikkan dengan mudah oleh lelaki itu mengingat seberapa banyak uang yang dimilikinya.

Mikasa mendengus. Raut wajahnya tetap dingin. Tidak ada kehangatan yang terpancar dari matanya sedikitpun. Levi tau. Masa lalu yang dilakukan nya sudah benar-benar sangat fatal.


.

.

.


Ia hidup normal. Sama seperti kebanyakan orang. Ia memiliki Ayah, ia juga memiliki ibu. Ibunya setia menemaninya. Memberinya bekal ketika ia pergi ke sekolah, mencium dahinya sebelum ia menginjakkan kaki ke sekolah dan menepuk kepalanya ketika ia pulang dari sekolah. Hari-hari yang ia lalui. Indah dan nyaman. Membuatnya dapat tersenyum riang setiap hari.

Ayah? Ayahnya tidak pulang setiap hari. Ibunya hanya bilang kalau Ayahnya memiliki banyak tugas penting ditempat kerjanya sehingga membuatnya lembur. Berminggu-minggu, datang seminggu sekali. Atau sebulan sekali. Ia mengerti ayahnya memiliki banyak kesibukan, namun waktu yang ia inginkan untuk bersama dengan sang Ayah terhambat begitu saja.

Pertanyaan yang ia anjurkan kepada sang Ibu dimana Ayahnya ternyata berdampak fatal. Ia tidak mengerti dengan Ibunya yang tiba-tiba menangis saat itu, sebelum Ibunya menyuruhnya untuk mengemasi pakaian. Ia tidak tau. Ia benar-benar tidak tau. Ia hanya anak lelaki yang berumur 7 tahun saat Ibunya membawa dirinya ke rumah besar yang dikatakan bahwa itu rumah Ayahnya.

Ia benar-benar tidak tau.

Kenyataan yang saat itu menghujamnya benar-benar menyakitkan. Membuatnya terdiam ketika anak perempuan itu meronta kepada sang Ayah. Menangis dengan menyebut nama Mama berkali-kali. Dia hanya duduk diam di samping ibunya dan melihat pengusiran menyakitkan itu di depan matanya.

Ia belum mengerti apapun saat itu. Tidak ada yang mengerti. Ibunya tidak memberitahu apapun. Kenyataan yang ia terima dengan ayahnya yang semakin memperdulikan nya membuat ia senang.

Sebelum hal menyakitkan itu di dengarnya.

Kebencian gadis bernama Mikasa itu padanya.

Saat itu ia tengah berjalan di koridor rumah sakit. Menemui paman nya yang terkena typhus. Berjalan di koridor lenggang saat itu membuatnya bersenandung lirih. Ia ceria saat itu. Benar-benar ceria. Tidak ada yang ia pikirkan, semuanya berlalu begitu saja. Otaknya terlalu polos untuk mencerna apa yang terjadi saat itu.

Ketika isakan demi isakan terdengar dari kamar rawat tersebut. Dirinya ketika melihat gadis itu menangis seraya menggenggam jemari Ibunya. Keningnya berkerut. Ia tidak mengerti dengan posisi gadis itu sekarang. Ia tidak tau apa yang dirasakan oleh gadis itu. Jika saja ia bisa masuk ke dalam. Ia akan dengan senang hati mendengarkan curhatan gadis itu.

"Tidak Ma... aku tidak akan memaafkan nya. Kalau bisa aku akan membiarkan si tua bangka Erwin itu berlutut di kakiku dan meminta maaf bersama putranya Levi."

Lirihan kecil yang dapat didengar oleh telinga rancunya saat itu. Membuatnya merasa terkurung dalam sebuah sangkar emas, namun gelap gulita. Ia tau. Sampai pada saat itu ia tau apa yang membuat gadis itu menangis terisak serta dendam pada keluarganya.

Ibunya merebut Ayah.


.

.

.


Levi menghembuskan asap rokoknya di dekat gadis itu, membuat Mikasa dengan kasar menjauh dari Levi. Mata berwarna kelabu itu memperhatikan punggung mungil Mikasa yang berjalan dengan langkah tegap. Ia tau. Ia tau beban yang gadis itu bawa di punggungnya. Bagaimana beratnya gadis itu melangkah. Bagaimana mental gadis itu tertekan dengan masa kecilnya yang tidak seindah remaja yang lain.

Levi kembali menghisap rokok itu dalam-dalam. Menghembuskan nya sebelum menjatuhkan rokok itu dan menginjaknya sehingga rokoknya padam. Kakinya melangkah mendekati Mikasa yang berdiri di belakang pagar pembatas atap sekolah. Kedua tangan nya masuk ke dalam saku celana. Tatapan nya datar dan dingin seperti biasa. Tidak ada yang berubah.

Kecuali hatinya.

Tangan nya menggenggam erat pagar besi itu. Matanya menatap kearah depan. Distrik Shigashina yang luas dengan pemukiman yang padat penduduk membuat kota itu terlihat rapat. Suasana indah nan sejuk yang di dapatkan nya ketika melihat itu seolah benar-benar teduh.

"Ayah sakit." Suara datar tanpa intonasi milik Levi berkumandang di telinganya.

Masih tidak perduli, Mikasa tetap menatap kearah depan dengan pandangan kosong. Memikirkan kembali ibunya yang selalu menemaninya kini hanyut dalam tanah. Jasad cantiknya yang dulu ia sukai kini mungkin hanya tersisa tulang berulang yang tidak dapat dibanggakan. Mikasa benci itu. Mengingat kembali ayahnya adalah sesuatu yang tidak ingin ia alami lagi.

Menggali memori lamanya memang menyakitkan. Mengingat masa-masa menyedihkan antara Ibu dan Ayahnya sebelum kejadian dimana wanita itu datang dengan anak kecil di sampingnya. Hatinya mendadak merasa sakit. Seolah ada godam besar yang tidak kasat mata memukul nuraninya. Mengingatkan padanya bagaimana kejamnya dunia kepada orang tua yang benar-benar sangat ia cintai. Sang Ibu yang kini telah wafat.

Kedua matanya memejam. Enggan menjawab ucapan lelaki yang berada di sampingnya itu. Lebih meresapi rasa sakit yang kini menusuknya.

"Mama mencarimu sejak dia tau bahwa ibumu meninggal."

Lagi.

Ucapan Levi kembali ia acuhkan. Seberapa kata yang pemuda itu layangkan padanya. Ia lebih memilih diam dengan kebisuan yang ada. Menjawabnya hanya akan membuka luka baru yang belum tentu bisa sembuh dengan waktu yang berjalan. Luka hatinya yang lalu juga belum sepenuhnya sembuh. Ia tidak ingin menaburi garam di atas luka itu lagi.

"Cih, entah bagaimana kali ini aku ingin memukul wanita."

Mikasa tersenyum tipis. Merasakan angin segar yang membelai rambutnya. Membawa helaian berwarna hitam itu ikut terbang bersama dengan angin yang menyejukkan hatinya.

Kedua matanya terbuka. Sinar di matanya kini telah sepenuhnya menghilang. Mikasa Ackerman telah lama merubah namanya menjadi Mikasa Yeager. Tanpa embel-embel Ackerman yang mengakhiri namanya.

"Kau tau, sebenarnya aku ingin memukulmu. Satu pukulan saja untuk membalaskan bullyan Eren padamu." Mikasa berkata dengan membalikkan tubuhnya. Menghadap Levi yang ikut membalik. Raut wajahnya serius, tanpa senyuman dan tanpa cahaya yang menyertai keduanya. Begitu kelam dan menyedihkan.

Levi mendengus. Sirat matanya meremehkan.

"Aku tidak perduli."

Mikasa memutar bola matanya malas. Bukan urusan nya juga kalau pemuda itu perduli atau tidak. Ia tidak akan masalah.

"Ayah sakit dan dia ingin kau menemaninya. Aku yakin kau tidak akan tega dengan itu, Mikasa." Levi menarik sudut bibirnya. Seolah kemenangan dengan raut acuh Mikasa yang sebenarnya menyimpan duka. Ia tidak perduli. Ia tidak perduli kepada hati Mikasa ataupun perasaan nya, yang ia perdulikan hanya gadis itu yang datang ke rumah sakit dan menemui sang Ayah.

Mikasa mendengus. Kesal dengan pria di sampingnya yang menurutnya benar-benar brengsek kali ini. Ayah? bahkan masih menggunakan konsep ayah padanya setelah apa yang pria tua itu lakukan terhadap dirinya dan sang ibu.

"Tsk, aku tidak perduli walaupun dia mati sekalipun." Mikasa mendecih.

Levi menarik sudut bibirnya. Peragai egoisme yang dipakai oleh lelaki itu juga melekat pada diri gadis ini. Ia menutup mata. Memikirkan kembali apa yang dikatakan oleh ibu dan ayahnya. Pikiran nya melayang. Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang Ayah dan Ibu mencari gadis yang berada di sampingnya ini? kenapa tidak kemarin-kemarin?

Levi mendengus. Ia bosan kali ini.

"Terserah kau perduli atau tidak. Itu urusanmu." Levi berbalik. Melangkah dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku. Melangkah menuju pintu keluar. Meninggalkan Mikasa sendirian.

Gadis berambut hitam itu menghela nafas. Kedua matanya tertutup rapat.

"Ma... bukankah aku bilang untuk membalas perlakuan Ayah? Apakah kali ini aku salah, Ma?"


.

.

.

.

.

To Be Continue