-00-
The Last Train
BTS Fanfiction
Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit
Minyoon. Misteri!
-00-
Andai saja ia dibangunkan oleh Taehyung lebih awal, ia mungkin tidak perlu pulang selarut ini. Jimin terus melirik jam tangan analognya sekali-kali, sambil menggumamkan sumpah serapah pada kawannya itu. Jika sampai di stasiun keretanya sudah lewat, matilah Kim Taehyung esok hari, umpat Jimin dalam hati. Sebetulnya Taehyung tak sepenuhnya salah, Jimin pun juga salah karena malah tidur setelah mengerjakan tugas kelompoknya. Oh, dan lagi, lelaki yang acuh tak acuh pada segalanya seperti Taehyung mana tahu kalau kereta menuju rumah Jimin hanya ada sampai jam 11 malam?
Jimin mempercepat langkahnya. Meski jarak rumah Taehyung sampai stasiun terbilang cukup dekat, hanya saja jika dikejar waktu rasanya tak sampai-sampai juga Jimin ke tempat itu. Ia berjalan kaki tergesa, mungkin lebih cepat dari atlit jalan cepat yang ikut lomba. Mengabaikan udara malam yang semakin dingin, dan suasana yang semakin sepi, Jimin terus berjalan.
Keluar dari daerah perumahan, sampailah ia pada blok pertokoan dan itu tandanya sedikit lagi ia sampai di stasiun. Lagi ia melirik jam tangannya. Hampir jam 11. Lima belas menit lagi. Gawat. Ia harus secepatnya tiba di stasiun.
Ketika melihat stasiun yang sudah semakin dekat, Jimin sedikit berlari. Rambutnya yang dicat platina tersibak menentang angin. Ia sampai di gerbang stasiun dengan napasnya yang terengah. Melelahkan sekali harus berjalan cepat untuk mengejar waktu. Ia segera menempelkan kartu e-ticketnya pada scanner, kemudian melewati portal besi yang otomatis akan kembali menutup. Stasiun kala itu sudah sangat sepi. Hanya ada segelintir orang yang menunggu keretanya tiba. Daerah tempat tinggal Taehyung cukup kecil dan stasiunnya pun sama kecilnya. Hanya stasiun untuk transit. Lagipula keadaan daerahnya yang tak seramai tengah kota membuat stasiun ini hanya padat di jam-jam kerja.
Ini mungkin terakhir kali Jimin melirik jam tangannya. Pukul 22.55. Satu kereta yang stand by di peron 2 meyakinkan Jimin bahwa itulah kereta menuju rumahnya. Melihat layar petunjuk pulalah yang membuat Jimin bernapas lega karena ia tak ketinggalan kereta. Lima menit lagi kereta itu akan berangkat. Jimin cepat-cepat masuk.
Ia duduk dengan menghempaskan diri pada jok hijau kereta yang ia naiki. Dibuanglah napasnya panjang tanda ia lelah. AC dalam gerbong berhembus dingin, sedikit banyak menghilangkan rasa panasnya akibat berjalan cepat. Ia menyandarkan kepala pada kaca jendela kereta. Tangan kanannya ia gunakan untuk menyisir rambutnya ke belakang, sembari memejamkan mata dan mengambil napas banyak-banyak untuk dihembuskannya panjang kemudian. Mungkin ia memang boleh mengutuk Taehyung, tapi ia juga harus bersyukur karena masih mendapat kereta terakhirnya.
Jimin mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ketika tombol powernya ia tekan, ponsel itu sama sekali tak menyala. Oh, mungkin baterainya habis. Setelah mendecak satu kali, ia masukkan lagi ponsel dengan chasing hitam yang sudah tergores-gores itu ke dalam saku celananya. Ia lalu menyandarkan kepalanya lagi ke jendela, melirik ke kanannya. Sepi. Gerbong sebelah tak terlihat karena kaca di pintu pernghubungnya hitam dan gelap. Melirik ke kiri, Jimin mendapati seseorang tengah duduk jauh di pojok sana, dekat dengan pintu penghubung dengan gerbong lainnya.
Ia memandang orang itu dalam diamnya. Menelisik tanpa sadar. Memerhatikan laki-laki itu dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sepatunya pantofel hitam. Celananya senada. Ia hanya mengenakan kemeja putih polos tanpa jaket, mantel atau apapun yang melindunginya dari udara dingin malam. Rambutnya hitam legam, nampak berkilau tersorot lampu gerbong yang wattnya besar. Kemudian wajahnya, dari sudut pandang Jimin, hanya terlhat pipi putih yang gembil. Jaraknya dan laki-laki itu cukup jauh hingga Jimin tak bisa melihat dengan jelas. Ia rabun. Butuh alat bantu untuk melihat objek dari kejauhan.
"Hei kau yang di sana, ada apa lihat-lihat?"
Mungkin Jimin terlalu larut dalam awangnya hingga ia tak menyadari bahwa orang itu telah sadar sedang dipandangi. Jimin segera membetulkan posisi duduknya menjadi tegak. Ia panik, tentu. Kedapatan memandangi seseorang yang tak dikenal bisa terhitung sebagai perbuatan yang tidak sopan. Untunglah dia tidak mengkhayalkan hal-hal aneh hingga perbuatan tak sopan itu naik kelas menjadi perbuatan tidak senonoh. Jimin berdehem dan membungkukkan badannya sekilas sebelum kembali merubah posisinya menjadi sedikit condong ke kanan, membelakangi laki-laki bersuara berat yang nada bicaranya ketus itu.
Sial, Jimin malu sekali.
Gradak! Dirasakannya gerbong itu berguncang sedikit. Ah, kereta akan mulai melaju. Pintu gerbong tertutup otomatis. Jimin memandang koridor stasiun yang kosong sebelum pintu itu benar-benar menutup. Kemudian kereta itu pergi meninggalkan stasiun.
Jimin yang merasa tak perlu lagi memunggungi laki-laki itu kemudian merubah posisi duduknya untuk kesekian kali. Sekarang ia betul-betul duduk lurus menghadap pintu gerbong yang dari kacanya hanya terlihat garis-garis, menandakan kereta itu berlari dengan cepat di atas relnya.
Entah mengapa, matanya ingin melirik dia yang di sana. Entah mengapa, telinganya ingin mendengar suara berat bergumam itu lagi. Entah mengapa, kepalanya ingin mengingat bagaimana rupa laki-laki berkulit putih yang sudah memarahinya tadi.
Lagi, dalam diam, pandangnya tertangkap oleh laki-laki itu. Tapi kali ini tak ada kata apapun yang diucapkannya. Mereka saling menatap, mengabaikan deru AC dan guncangan gerbong. Jimin mendapati seraut wajah itu dengan garis rahang yang membentuk wajahnya menjadi bulat. Pipinya berisi. Bibir sewarna cherrynya tertekuk ke bawah. Mata sayunya menyembunyikan kelereng hitam jernih yang berkilat memantulkan cahaya. Laki-laki itu menatap Jimin bahkan hampir tanpa ekspresi. Namun bagi Jimin dia menarik. Sungguh. Katakanlah dia manis. Sangat. Laki-laki itu terlihat seperti wanita setelah diselidik.
"Kau turun di stasiun mana?"
Akhirnya Jimin memberanikan diri membuka suara. Memulai percakapan yang harapnya dibalas oleh laki-laki manis –ralat, cantik itu.
Pertanyaannya tak dijawab. Tapi mata itu masih menatapnya.
"Non?" panggilnya amplifikatif. Ia ingin jawaban.
"Lancang, aku ini laki-laki. Jangan panggil aku nona." protes laki-laki itu dengan wajah yang sedikit berekspresi. Ia tak suka ditanya. Jimin terkekeh pelan.
Benar. Dia menarik.
Jimin merasa harus berkenalan dengannya.
Ia pun bangkit dari duduknya kemudian berjalan dengan berpegangan pada handle gantung di atasnya untuk mencapai tempat laki-laki itu. Kekehnya lagi ketika ia mendudukkan diri tanpa permisi di samping orang yang melebarkan matanya terkejut. Mereka kini hanya berjarak sebatas beberapa jengkal saja.
"Mau apa kau?"
"Mau duduk saja di sini. Rasanya begitu sepi harus duduk di sana sendirian." ucap Jimin. Ia lagi-lagi sukses membuat si mata sayu itu berekspresi –walau ekspresinya menunjukkan kalau ia merasa risih.
"Terserah." dengus laki-laki itu. Jimin menoleh dan dan mengulas senyum di bibirnya. Jika Taehyung ada di sana, mungkin Jimin sudah dikatai tak tahu malu oleh kawannya itu.
"Kenapa kau tidak pakai jaket? Apa kau tidak kedinginan?"
"Tidak." jawabannya singkat saja.
"Yang benar?" Jimin menelisik kulit pucat yang seputih salju itu lekat-lekat. Memang kulitnya seperti itu mungkin, bukan karena dingin atau sakit. Lagipula gesturnya tak menunjukkan kalau ia kedinginan. Tangannya saling bertaut tak rapat di antara kedua kakinya. "Pulang kerja?"
Ada jeda sejenak sebelum jawaban itu terucap.
"Iya."
Jimin mengangguk. Melihat lagi pada pakaian laki-laki itu yang nampak necis. Mungkin laki-laki yang pulang kerja itu usianya beberapa tahun di atas Jimin.
"Boleh kupanggil hyung?"
"Aku bukan kakakmu." ia tidak mau.
"Kalau begitu apa aku boleh tahu siapa namamu?"
"Apa harus?"
"Aku tidak ingin pulang tanpa tahu nama dari orang yang telah bicara denganku di perjalanan. Jadi, siapa namamu? Aku Park Jimin." tegas Jimin di akhir kalimat. Ia menyebut namanya lebih dahulu supaya laki-laki itu juga membalas.
Jimin mendapat delikan ketus itu. Tapi kemudian ia merasa senang atas apa yang ia dengar.
"…Min Yoongi."
Namanya Yoongi. Min Yoongi.
Jimin yang telah puas atas jawaban itu lalu menyandarkan kepalanya ke puncak kursi, memerosotkan tubuh dan duduk dengan santainya. Laki-laki di sebelahnya yang bernama Yoongi itu masih duduk dalam posisi yang sama, hanya saja wajah itu mengarah padanya.
Mereka saling bertatap, lagi tanpa suara. Sepertinya Jimin memang benar-benar menikmati ditatap seperti itu. Kapan terakhir kali ia merasa nyaman disorot mata orang lain? Ia bahkan tak ingat lagi. Mata sayu itu bagai mengajaknya untuk berkeliling ke dimensi lain yang tersembunyi di balik kelamnya.
Jimin terus menelisik. Berkenala dalam indah wajah dingin itu.
"Kalau ngantuk, tidur."
Hingga telinganya sayup mendengar suara itu. Ia jatuh dalam tidurnya.
.
"In a few minutes we will arrive at X station, stay tune."
Jimin bangun dengan sentakan. Ia langsung mendongak melihat digital line map yang berada di bagian atas gerbong. Lampu merahnya berkedip-kedip di sebuah titik stasiun Oh, untunglah ia tak kebablasan tidur hingga melewatkan stasiun tempatnya turun. Tak lama terdengar bunyi kereta yang direm berhenti, pintu gerbong terbuka otomatis.
Jimin melirik ke sampingnya.
Laki-laki itu tak ada.
Ah, betul. Sebelum tiba di stasiun ini, kereta yang ia tumpangi melewati tiga stasiun lain. Mungkin saja laki-laki itu turun di salah satunya.
"Hah…"
Jimin menghela napas panjang. Sayang sekali. Mengapa ia harus ketiduran dan melewatkan kesempatan untuk bercakap lebih banyak dengan laki-laki itu?
-00-
TO BE CONTINUED
