x
Love Sick
Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Pairing: Hyuuga Hinata – Uchiha Sasuke
Chapter: Two-shot
Warning: AU, typo, OOC, crackpair, dll
x
x
Happy reading ^^
.
.
Uchiha Sasuke : 24 tahun
Hyuuga Hinata : 19 tahun
.
.
Biiipp biiiiipp biiiipp
Bunyi alarm yang semakin nyaring itu memaksa seorang gadis berambut indigo untuk bangun dari tidurnya yang lelap. Gadis itu masih dalam posisi berbaring di bawah selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Kehangatan yang ia rasakan membuatnya enggan untuk bangun.
Biiipp biiiiipp biiiipp
"Uhn~…"
Mendengar kalau alarmnya masih juga berisik, gadis itu membuka matanya dan menoleh untuk mematikan jam wekernya yang terletak di atas nakas. Tangannya berusaha menggapai-gapai jam weker berwarna ungu cerah tersebut. Saat mata lavender-nya tertuju pada angka yang ditunjuk oleh jarum jam, gerakannya langsung terhenti.
Kedua manik keunguannya langsung terbuka lebar.
"Oh, tidak… aku akan telat!" Tanpa membuang waktu, gadis berambut panjang tersebut langsung bangkit berdiri dari tempat tidur dan melesat ke kamar mandi. Semalaman mengerjakan tugas membuat gadis itu terlambat tidur dan akhirnya bangun kesiangan. Untungnya ia tidak lupa menyetel alarm.
Setelah ritual membersihkan diri yang bisa terbilang cepat untuk gadis seusianya, ia langsung memakai pakaian dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Sepuluh menit kemudian gadis manis tersebut telah siap.
Nama lengkapnya adalah Hyuuga Hinata. Gadis berusia 19 tahun itu sedang kuliah di jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Konoha—sebuah universitas elit di kota Konoha. Karena kediaman Hyuuga berada di sisi selatan kota Konoha sedangkan Universitas Konoha berada di sisi utara, mau tidak mau Hinata harus hidup sendiri. Gadis itu pun memilih apartemen yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampusnya, sehingga ia tidak akan kerepotan kalau harus bolak-balik ke kampus.
Setelah memastikan apartemennya terkunci, Hinata segera bergegas untuk pergi.
Dukk!
"Kyaa—"
Keadaan yang terburu-buru membuat putri sulung keluarga Hyuuga tersebut menabrak sebuah pot berukuran cukup besar yang terletak tepat di depan apartemennya.
"Uhn… sakit~..." Hinata berjongkok untuk mengusap-usap bagian depan kakinya yang memerah dan terasa sakit. Gadis tersebut menatap pot yang tadi ditabraknya dengan pandangan heran bercampur kesal.
Kenapa bisa ada pot besar begitu di sini?
Klek
Pintu apartemen yang berada tepat di depan ruangan Hinata terbuka, membuat gadis itu menengadah untuk melihat siapa orang yang menempati ruangan tersebut. Kemarin sore ibu pemilik apartemen memang mengatakan kalau ia akan mendapat tetangga baru.
Dari balik pintu berwarna coklat-krem itu muncul sesosok laki-laki berbadan tinggi dan tegap. Rambutnya berwarna raven, dan mataya berwarna onyx. Laki-laki itu terlihat lebih dewasa dari Hinata, mungkin sekitar duapuluh tahunan. Tanpa sadar Hinata tercengang melihat laki-laki yang tiba-tiba muncul itu.
Laki-laki tersebut juga mengamati Hinata dengan intens. Pandangannya terarah pada tangan Hinata yang sedang memegangi kakinya, kemudian beralih ke pot yang ada di depan gadis mungil tersebut.
"Kau menabrak pot itu?"
Pertanyaan yang terlontar itu membuat Hinata menyadari kebodohannya yang malah terpesona dengan laki-laki tak dikenal. Padahal ia biasanya tidak terlalu tertarik dengan hal-hal seperti ini. Hinata mengangguk dengan canggung.
"Makanya, kalau jalan lihat-lihat."
Dan setelah mengatakan itu, laki-laki berambut raven tersebut langsung mengangkat pot yang tadi ditabrak Hinata dan masuk ke apartemennya sendiri.
Blam.
Pintu apartemen itu kembali menutup.
Mulut Hinata menganga tak percaya. Ia menabrak pot karena laki-laki itu meletakkan potnya sembarangan dan malah menyalahkan Hinata? Bagaimana mungkin ada orang yang benar-benar tidak punya perasaan seperti tetangga barunya itu? Hinata menggerutu dalam hati.
Hinata membuang napas. Jangan berpikir kalau seorang Hyuuga Hinata yang terkenal lembut itu tidak bisa merasa kesal. Pipinya menggembung. Ia berusaha memelototkan mata besarnya—yang rupanya gagal— ke pintu bernomor 212 yang baru saja tertutup itu.
Menyebalkan!
x
Love Sick
x
-Konoha University-
Hari sudah mulai sore. Kegiatan kampus untuk hari ini berakhir dan Hinata segera keluar dari kelas terakhirnya untuk pulang. Gadis itu berjalan dengan tertatih-tatih karena sakit di kakinya tak kunjung sembuh, malah semakin sakit. Padahal setelah insiden tadi pagi kakinya tidak terlalu terasa sakit.
"Hinata, sebaiknya kau periksa ke dokter, deh," saran Ino, sahabatnya. Ino tidak tega melihat teman dekatnya itu berjalan sambil kesakitan. Apalagi Hinata tidak punya kendaraan sehingga gadis itu harus jalan kaki.
Hinata menggeleng pelan. "Tidak apa, Ino-chan. Nanti juga sembuh."
Ino berdecak. Ia tahu kalau Hinata adalah tipe orang yang tidak terlalu memedulikan kesehatan dirinya sendiri dan lebih mementingkan urusan kuliah. "Tapi kalau kakimu kenapa-napa gimana? Ujian akhir semester sebentar lagi, lho. Kalau menganggu gimana? Kau juga ceroboh, sih."
Hinata menghentikan langkahnya. Gadis itu berpikir sejenak. Apa yang dikatakan Ino memang benar. Ia memang kurang hati-hati alias ceroboh. Tapi kalau tetangga barunya tidak menaruh pot sembarangan kan tidak akan seperti ini.
"Umm…" Hinata masih berpikir.
"Kau periksa di rumah sakit kampus kita saja, Hina-chan. Katanya, dokter di sana ganteng-ganteng dan kemampuannya tidak diragukan lagi," kata Ino penuh semangat.
Hinata mengernyitkan dahinya. Rasa-rasanya teman kuliahnya yang lain juga sering membicarakan kalau mahasiswa Fakultas Kedokteran itu tampan-tampan dan pintar. Terus kenapa?
"Aww—"
Pekikan tiba-tiba itu membuat Ino cemas. Ia memegang bahu Hinata yang sedang meringis kesakitan.
"Pokoknya kau harus ke rumah sakit! Ayo kuantar."
Hinata tidak membantah lagi. Mungkin ia memang harus menuruti saran Ino, pikirnya. "Baiklah, Ino."
x
Love Sick
x
-Konoha Health Center-
Ino mengantarkan sahabatnya sampai di depan gerbang rumah sakit. Hinata tidak ingin merepotkan Ino lebih dari ini, jadi ia meminta temannya tersebut untuk pulang. Ino berkeras ingin mengantar Hinata, namun tiba-tiba ibunya menelpon—menyuruhnya agar segera pulang. Padahal selain untuk menemani Hinata, ia juga ingin membuktikan kata orang-orang kalau dokter di sini tampan-tampan.
Hinata segera turun dari mobi Ino sebelum gadis itu protes lebih banyak lagi. Ino pun menjalankan mobilnya karena tidak punya pilihan lain. Setelah melambaikan tangan dan melihat sampai mobil Ino tidak lagi tampak, barulah Hinata melanjutkan langkahnya.
Bangunan bertuliskan Konoha University Health Center itu berdiri dengan kokoh dan elegan. Seperti rumah sakit pada umumnya, Konoha University Health Center juga memiliki halaman yang cukup luas dengan dilengkapi oleh taman kecil. Bangunan tingkat tiga itu bercat putih. Beberapa pohon cukup rindang tertanam di kiri kanan halaman.
Dokter di rumah sakit milik Universitas Konoha tersebut memang hampir semuanya adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Konoha. Begitu pula dengan perawat dan beberapa teknisi rumah sakit, hampir semuanya lulusan Universitas Konoha.
Setelah puas meneliti bangunan di hadapannya, Hinata berjalan pelan memasuki gedung rumah sakit. Halaman yang luas membuatnya sedikit kesusahan untuk mencapai pintu masuk dalam kondisi kaki yang sakit untuk berjalan.
"Akh!"
Rasa sakit itu tiba-tiba menyerang lagi, membuat Hinata tak sanggup untuk tidak menjerit kecil. Gadis itu terduduk sambil memegangi kakinya. Wajahnya terlihat semakin pucat karena menahan sakit.
"Nona, anda kenapa?"
Bersamaan dengan terdengarnya suara maskulin itu, seorang laki-laki berpakaian putih datang menghampiri Hinata. Ia segera mendongak. Mata lavender-nya bertemu dengan sepasang mata sapphire.
Seorang dokter tampan menatapnya dengan pandangan khawatir. Mata biru laut dokter muda yang tampak hangat dan ramah itu malah membuat Hinata tersipu dan lupa untuk menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya.
"Nona, anda kenapa?" ulang dokter berambut pirang tersebut, membuyarkan lamunan Hinata.
"Uh—um … k-kakiku s-sakit …" jawabnya terbata-bata. Gagapnya masih sering muncul jika berhadapan dengan orang asing.
"Ah! Sayangnya aku dokter THT." Dokter tersebut memasang ekspresi menyesal. "Hm… lebih baik kau diperiksa oleh dokter bedah. Kau tau dimana ruangannya?"
Hinata menggeleng pelan. Ia sedikit merasa kecewa karena dokter di hadapannya tersebut ternyata tidak bisa mengobatinya.
"Kalau begitu, ayo kuantar." Dokter ber-nametag Namikaze Naruto itu pun langsung memegang lengan Hinata dan membantunya berdiri. Hinata sendiri hanya bisa menunduk untuk menutupi rona merah yang menghiasi pipinya.
"Bisa jalan sendiri? Atau perlu kugendong?"
Hinata menggelengkan kepalanya cepat-cepat. "A-aku bisa jalan sendiri, D-Dokter."
Dokter Namikaze Naruto hanya membalas dengan cengiran lebar. Dokter muda tersebut lalu membimbing Hinata menuju ke ruangan dokter tulang yang ia bilang adalah sahabat baiknya. Dalam hati, Hinata berharap dokter bedah itu juga seramah dokter Namikaze.
x
Love Sick
x
"Nanti kalau namamu dipanggil, langsung masuk saja. Aku pergi dulu, Nona Hyuuga."
Hinata mengangguk, lalu sedikit membungkuk. "T-terima kasih, Dokter Namikaze." Naruto membalas dengan senyum dan lambaian tangan, kemudian beranjak pergi.
Hinata mengedarkan pandangannya di sekitar ruang tunggu. Ruangan bercat putih dengan beberapa tempat duduk itu tampak lengang. Hanya ada dua orang di ruangan tersebut.
Hinata menarik napas dalam-dalam. Ia tidak pernah suka berlama-lama di rumah sakit. Tempat orang-orang sakit ini selalu penuh dengan kesedihan, dan Hinata tidak menyukai itu.
Beberapa saat kemudian akhirnya giliran Hinata tiba.
"Nona Hyuuga Hinata, silahkan."
Mendengar namanya dipanggil, gadis berambut indigo tersebut segera bangkit dan memasuki ruang periksa seperti yang dikatakan dokter Namikaze.
Memasuki ruangan, Hinata disambut oleh seorang pemuda yang memperkenalkan dirinya sebagai Sai, asisten dokter bedah. Laki-laki tersebut juga tak kalah tampan dari dokter Namikaze. Kulitnya putih, hidungnya mancung, rambut dan matanya berwarna hitam. Sepertinya Hinata harus mengakui kalau mahasiswa dari Fakultas Kedokteran memang tampan-tampan.
"Silahkan berbaring di sini, Nona Hyuuga." Laki-laki dengan senyum ramah itu mempersilahkan Hinata untuk berbaring di bawah peralatan tes Rontgen. Karena Hinata memakai rok sepanjang lutut, ia tidak perlu berganti pakaian. Hinata pun menjalani pemeriksaan.
Pemeriksaan berjalan dalam waktu yang cukup singkat. Masih dengan senyum yang melekat di wajah rupawannya, asisten dokter tersebut mempersilahkan Hinata untuk bangun.
"Hasilnya akan dibacakan oleh dokter Uchiha. Silahkan menuju ke ruangan di ujung sana." Sai menunjuk ruangan di balik sekat kaca tak jauh dari tempat tes Rontgen.
"Arigatou…" Hinata mengangguk pelan dan berjalan menuju ruangan tersebut.
Hinata berusaha mengintip sang dokter yang berada di dalam ruangan tersebut, tapi sayang sekat kaca buram menghalanginya. Hinata tidak mau dianggap gadis tidak sopan, jadi ia mengetuk pintu terlebih dulu. "Permisi," ucapnya.
"Masuk," balas seseorang dari dalam ruangan.
Kening Hinata berkerut. Ia merasa pernah mendengar suara ini, tapi tidak ingat dimana dan kapan. Tidak mau ambil pusing dengan hal yang tidak penting, Hinata segera memasuki ruangan bertulis 'Dokter Bedah' tersebut.
Hal yang pertama Hinata lihat adalah seorang dokter laki-laki sedang duduk memunggunginya. Dokter itu tampaknya sedang meneliti hasil pemeriksaannya. Hinata lalu duduk di kursi yang tersedia, menunggu sang dokter untuk memberi penjelasan. Sambil memainkan kedua telunjuknya, Hinata menunduk, memandangi roknya yang bermotif bunga-bunga kecil.
Kursi putar itu mengeluarkan decitan dan Hinata bisa merasakan kalau sang dokter kini telah berbalik. Namun sifatnya yang pemalu membuat gadis tersebut memilih untuk tetap menunduk.
Hinata juga bisa mendengar dokter bedah tersebut berdeham sebelum mengeluarkan suaranya. "Nona Hyuuga Hinata. Hasil pemeriksaannya—"
Perkataan dokter tersebut tiba-tiba terhenti begitu saja. Hinata yang masih menunduk tidak tahu kalau sang dokter ternyata kehilangan kata-kata setelah melihatnya.
Beberapa detik berlalu. Tak kunjung mendengar kelanjutan ucapan sang dokter, Hinata pun mendongak.
Yang pertama kali ia lihat adalah sepasang mata onyx yang juga sedang menatapnya. Sorot mata hitam itu tampak tajam dan dingin. Setelah itu Hinata bisa melihat wajah tampan sang dokter bedah. Wajahnya sangat tampan, mirip sekali dengan seseorang yang Hinata temui tadi pagi.
Ah… benar juga, mirip dengan tetangga baruku.
Dua pasang iris yang berwarna kontras itu masih terus saling menatap. Hinata tidak menyadari kalau kedua mata kelam itu membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan.
"Eeeehhh?"
Mata lavender-nya langsung membulat begitu tersadar. Bibirnya yang tadi terkatup rapat kini membuka. Bukan mirip, tapi orang di hadapannya itu memang tetangga barunya. "D-Dokter kan… y-yang tadi pagi?" tanyanya dengan terbata-bata.
Menggelikan. Ini sangat menggelikan. Benar-benar seperti di opera-opera sabun yang sering mama tonton, pikir Hinata dalam hati. Siapa yang akan menyangka kalau tetangga barunya—yang menurutnya— adalah orang yang menyebabkan kakinya sakit ternyata seorang dokter yang akan mengobatinya.
Hinata bukan satu-satunya yang terkejut. Sang dokter yang bernama lengkap Uchiha Sasuke itu juga sedikit kaget, namun tidak terlalu ditunjukkannya.
Dokter tampan itu berdeham lagi untuk menguasai dirinya. Wajah stoic-nya ia pasang kembali, untuk menjaga wibawa. Seorang Uchiha harus selalu terlihat berwibawa, itu yang dipegangnya.
"Tulang kakimu sedikit retak. Mungkin penyembuhannya memakan waktu sekitar tiga minggu." Ia akhirnya membacakan hasil pemeriksaan Hinata, tanpa menatap si pasien. Selang beberapa saat sampai dokter itu kembali menatap Hinata. "Jangan bilang kalau ini karena tadi pagi," katanya datar.
Hinata menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. "Benar," ucapnya lirih. Mendengar helaan napas dari dokter tulang tersebut membuat Hinata makin tidak berani mengangkat wajahnya.
Uchiha Sasuke memang pria yang tidak banyak bicara hingga terkesan dingin, tapi ia bukannya tidak punya hati. Di hatinya terbersit perasaan bersalah karena tak sengaja membuat tetangga barunya terluka.
Kelelahan setelah pindah apartemen membuatnya lupa memasukkan pot tanaman yang dibawakan oleh mamanya. Gadis bermata lavender itu menurutnya memang ceroboh, tapi Sasuke merasa tetap perlu bertanggung jawab. Bagaimanapun insiden itu terjadi juga gara-gara ia menaruh pot sembarangan.
"Aku akan bertanggung jawab. Semua biaya pengobatan akan kutanggung," lanjut Sasuke.
"Eh?" Hinata mendadak meragukan pendengarannya. Apa benar tetangganya yang galak itu baru saja bilang akan menanggung semua biaya pengobatannya?
Dokter Sasuke terlihat menulis sesuatu di kertas resep. "Kakimu menjadi makin bermasalah karena terlalu banyak untuk jalan kaki. Memangnya kau ke kampus jalan kaki?"
"I-iya …"
"Kuliah dimana?" Pandangan si dokter bedah masih tertuju di kertas yang ditulisnya.
"F-fakultas Ekonomi dan Bisnis … jurusan Manajemen Ekonomi," sahutnya masih dengan logat yang gagap.
Hinata memainkan jari-jarinya untuk mengurangi gugup, namun sepertinya kurang berhasil. Aneh. Kegugupan yang ia rasakan saat ini benar-benar berbeda dari biasanya. Kalau biasanya hanya gugup karena malu, sekarang Hinata merasakan gugupnya karena sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang dan perutnya serasa dimasuki kupu-kupu.
Dokter Sasuke mengangkat wajahnya setelah mendengar jawaban si gadis. "Aa … fakultas yang berisi anak-anak borju itu? Kenapa kau tidak bawa mobil seperti yang lain? Kudengar bahkan hanya ada parkiran mobil di sana."
Hinata mengerucutkan bibirnya mendengar perkataan sang dokter tampan yang seperti sindiran itu. Well, tentang fakultasnya yang terkenal dengan anak-anak orang kaya, memang begitu kenyataannya. Tapi apa semua orang kaya harus menunjukkan kalau dia berasal dari keluarga kaya? Apa anak orang kaya harus selalu bawa mobil ke kampus? Apa salah kalau Hinata memilih gaya hidup yang sederhana? Makin lama, dokter di hadapannya itu makin menyebalkan.
"A-aku orang miskin, kok," jawab Hinata bohong.
Uchiha Sasuke menaikkan sebelah alisnya. Ia mulai meneliti Hinata. Penampilan pasiennya tersebut memang tergolong simple untuk ukuran gadis kuliahan, tapi sama sekali tidak menunjukkan kalau perkataan gadis itu benar. Lagipula, apartemen yang mereka tinggali termasuk kelas menengah dengan biaya sewa yang tidak bisa dibilang murah.
Unik sekali. Mungkin berurusan dengan Hyuuga Hinata tidak terlalu buruk, pikirnya.
"Shift-ku sebentar lagi selesai. Kau tunggu di luar," kata dokter Sasuke lagi dengan santai.
"Hah?" Sekali lagi Hinata dibuat terkejut oleh sang dokter. Tunggu di luar? Maksudnya apa?
Sasuke tidak menjawab. Ia hanya mengisyaratkan agar Hinata segera menuruti perintahnya.
Sambil menghela napas karena bingung dan kesal dengan sikap tak terduga dokter bermata onyx tersebut, Hinata akhirnya keluar dari ruangan.
Tanpa diketahui, muncul sebuah seringai tipis menghiasi wajah dokter muda tampan tersebut.
x
Love Sick
x
Sekitar limabelas menit lamanya Hinata menunggu hingga dokter Uchiha keluar dari ruangannya. Ia sebenarnya tidak mau merepotkan orang, tapi jika mengingat kalau dokter tersebut sepertinya bukan tipe orang yang bisa dibantah, Hinata tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut. Salah satu kelemahan yang ia miliki memang selalu menuruti perkataan orang.
Begitu keluar dari ruangannya, dokter Sasuke langsung menyuruh Hinata mengikutinya, yang tentunya tidak dapat ditolak oleh gadis pemalu tersebut. Mereka menuju loket pengambilan obat. Setelah semua urusan di rumah sakit selesai, keduanya langsung beranjak pulang. Perjalanan di dalam mobil diisi dengan keheningan yang canggung pada awalnya. Perjalanan tidak membutuhkan waktu yang lama karena letak rumah sakit dan apartemen mereka relatif dekat.
"Arigatou, Dokter Uchiha…" ucap Hinata lancar saat keduanya sampai di depan apartemen.
"Hn. Kalau butuh apa-apa, hubungi aku." Sasuke menyerahkan sebuah kertas kecil—identitas dirinya pada Hinata. Belum sempat Hinata menyahut, Sasuke sudah masuk kamar apartemennya dan menutup pintu.
Gadis manis itu menghela napas. Kedua iris lavender-nya lalu menelusuri kartu nama yang baru saja ia terima.
Dr. Uchiha Sasuke
Dokter Bedah – Konoha University Health Center
Tanpa Hinata sadari, seulas senyum menghiasi wajah manisnya.
x
Love Sick
x
Next day…
"Benar tidak perlu kuantar pulang, Hina-chan?" tanya Ino tidak yakin. Gadis yang rambutnya dikuncir high ponytail itu bermaksud mengantar sahabat tersayangnya pulang, namun Hinata mengatakan kalau itu tidak perlu. Keduanya sekarang sedang berjalan keluar gedung, menuju halaman depan kampus.
"Iya," sahut Hinata sambil tersenyum lembut. Ino sudah sangat baik karena bersedia menjemputnya saat berangkat kuliah, jadi ia tidak mau lebih merepotkan Ino lebih dari ini. Lagipula, sudah ada orang yang berjanji akan menjemputnya pulang kuliah.
"Lalu, kau bagaimana pulangnya?"
Senyum Hinata menghilang. Inilah yang ia takutkan. Ino itu gadis yang sangat aktif, bisa gawat kalau ia tahu Hinata dijemput oleh seorang dokter muda yang tak lain adalah dokter rumah sakit kampus mereka. Sedikit merasa bersalah, tapi Hinata tidak punya pilihan lain.
"Um … a-ada teman yang akan menjemputku." Hinata menjawab tanpa menoleh, membuat Ino penasaran.
"Siapa?" tanya Ino ingin tahu.
"B-bukan siapa-siapa. H-hanya teman." Kegagapan Hinata membuat Ino makin merasa curiga. Berteman dengan gadis tersebut sejak sekolah menengah membuatnya tahu akan tingkah laku Hinata. Sahabatnya itu hanya akan gagap jika sedang takut, grogi atau bohong.
Ino mendapat satu kesimpulan. Pasti yang menjemput Hinata adalah seorang laki-laki.
Ino tertawa dalam hati. Hinata sudah beranjak dewasa, pikirnya. Andai gadis itu sedang tidak sakit, pasti Ino akan menginvestigasinya habis-habisan. Sayangnya Hinata sedang dalam kondisi yang kurang baik, akan sangat kasihan jika menggoda gadis itu.
"Kalau begitu, aku pulang dulu. Bye, Hinata-chan!" ucap Ino sambil melambaikan tangannya.
"Hati-hati, Ino." Mereka berpisah di sebuah pertigaan kecil di halaman kampus. Ino berbelok ke kiri, menuju tempat parkir mobil.
Setelah itu, Hinata melanjutkan langkahnya menuju gerbang depan. Tadi pagi, dokter Sasuke menanyakan kapan Hinata pulang dan mengatakan akan menjemputnya. Hinata berusaha menolak, namun sebelum gadis itu mengutarakan maksudnya, lagi-lagi dokter tersebut sudah hilang dari pandangan.
Dan perbuatan Uchiha Sasuke tersebut sukses membuat Hyuuga Hinata tidak bisa berkonsentrasi penuh di kelas seharian ini. Beberapa temannya bahkan sampai menegurnya gara-gara Hinata sibuk dengan dunianya sendiri hingga tidak memerhatikan sekitarnya.
Hinata mengedarkan pandangannya ke jalanan, namun mobil Sasuke belum tampak. Gadis itu akhirnya memutuskan untuk menunggu sambil duduk di sebuah kursi kayu panjang tak jauh dari gerbang.
Baru saja Hinata duduk, iris lavender-nya menemukan mobil Sasuke melintas dan berhenti tepat di seberang gerbang. Hinata segera berdiri untuk menghampiri dokter tersebut.
Duk!
"Aaw!"
Lagi-lagi Hinata tersandung. Karena tidak hati-hati dan memang memiliki sifat ceroboh, Hinata sampai tidak memerhatikan kalau ada sebuah tempat penyangga bendera di sebelah kursi. Kakinya yang masih terluka malah menabrak peyangga itu, membuat si empunya memekik kesakitan.
Hinata berjongkok sambil memegangi kakinya. Ia mengelus-elus kakinya yang terbentur, berharap rasa sakit itu bisa segera hilang.
"Sifat cerobohmu itu benar-benar luar biasa, ya?" terdengar suara rendah seorang laki-laki di sampingnya dan Hinata tahu siapa pemilik suara tersebut.
Ucapan yang dikatakan dengan nada sarkastik itu membuat Hinata menggembungkan pipinya. Ia tidak menjawab, hanya terdiam sambil masih mengelus kakinya. Hinata bisa merasakan ada sepasang mata onyx sedang mengamatinya.
"Sudah kubilang, kan? Kalau jalan itu lihat ke depan!"
Hinata malah semakin menggembungkan pipinya saat Uchiha Sasuke memarahinya. Gadis itu menengadah, memberanikan diri untuk menatap si dokter bedah.
"Dokter jaha—kyaa!" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Hinata merasakan tubuhnya tiba-tiba terangkat. "D-dokter… kyaa! B-banyak orang. Tolong turunkan akuu~ …"
Sasuke tidak menghiraukan rengekan gadis yang ia gendong ala bridal style tersebut. "Kau hanya akan semakin melukai kakimu kalau jalan. Dan itu akan membuatku makin repot."
"Uhh …" Hinata tidak bisa membalas perkataan itu. Ia akhirnya pasrah saat Sasuke membawanya ke seberang jalan. Ia membawa Hinata memasuki mobilnya dengan santai dan wajah datar. Wajah Hinata sendiri sudah merah padam.
Tanpa buang waktu, Sasuke segera tancap gas, berlalu dari kompleks mewah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Konoha.
Kali ini perjalanan juga diselimuti keheningan, namun tidak lagi canggung seperti kemarin. Keduanya juga memang bukan tipe orang yang banyak bicara.
Tiba di apartemen, Sasuke langsung keluar dan kembali membawa Hinata dalam gendongannya. Hinata tentu saja merasa malu dan wajahnya merona hebat. Ia sampai harus menyembunyikan wajahnya di dada Sasuke, berharap kalau orang-orang di apartemen tidak akan mengenalinya.
"Kunci."
Hinata mengeluarkan kunci apartemennya yang ia simpan di saku, lalu menyerahkannya ke dokter Sasuke. Setelah pintu terbuka, dokter bedah tersebut membawa Hinata masuk dan membaringkannya di tempat tidur. Sasuke memeriksa kaki Hinata sejenak, kemudian mengambil segelas air putih dan meletakkannya di atas nakas.
"Jangan ceroboh lagi dan minum obatnya, juga oleskan salepnya."
Hinata mengangguk pelan. "I-iya. Arigatou, Dokter."
"Hn." Setelah mengatakan kata tersebut, Uchiha Sasuke berlalu dari kamar Hinata dengan sebuah senyum tipis terpatri di wajahnya.
x
Love Sick
x
Hinata berjalan memasuki Konoha University Health Center dengan langkah pelan. Hari ini adalah jadwalnya melakukan check up rutin untuk kakinya yang cidera. Sudah hampir tiga minggu berlalu, dan selama itu pula Hinata selalu pulang bersama Uchiha Sasuke. Hinata sendiri tidak mengerti mengapa dokter tersebut mau repot-repot menjemputnya pulang kuliah. Tapi Hinata bersyukur, setidaknya kakinya jadi lebih cepat sembuh.
Hinata tidak pernah menyukai rumah sakit, namun entah sejak kapan, gadis itu malah menikmati saat-saat check up dengan dokter Sasuke. Walaupun dingin dan terkesan arogan, namun Hinata tahu kalau sebenarnya dokter Sasuke adalah laki-laki yang baik.
Hinata masih berjalan menyusuri koridor saat merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Gadis itu sontak langsung berbalik.
"Hai. Kau nona yang kakinya sakit itu, kan?" Rupaya orang tersebut adalah dokter Namikaze Naruto, dokter yang dulu pernah menolongnya. Hinata pun langsung mengangguk dan memberi salam.
"S-selamat sore, Dokter."
"Sore juga," balas dokter Naruto sambil tersenyum lebar. "Ah! Akhir-akhir ini sepertinya aku sering melihatmu pulang dengan dokter Sasuke. Apa kalian pacaran?" tanyanya dengan mata menyipit.
Wajah Hinata langsung memerah mendengar pertanyaan yang sedikit frontal tersebut. Ia menggeleng dengan cepat. "T-tidak."
Naruto tertawa ringan. Akhir-akhir ini, beberapa kali ia memang memergoki Sasuke pulang bersama Hinata. Setiap ia bertanya pada Sasuke, temannya itu hanya akan mengelak dan menjawab kalau itu bukan hal yang penting untuk dibicarakan. Naruto jadi semakin penasaran. Ia akan sangat bersyukur kalau Sasuke akhirnya menemukan gadis yang ia sukai. Lagipula, menurutnya Hinata adalah gadis yang baik.
"Baiklah baiklah. Tidak apa. Kalau begitu aku pergi dulu ya." Naruto tidak tega melihat wajah Hinata yang sudah seperti kepiting rebus tersebut, jadi ia memutuskan untuk berhenti.
"I-iya …" sahut Hinata lirih.
Naruto berjalan menjauh. Sebelum berbelok, pria itu berbalik lagi dan menatap Hinata dengan serius. Hinata hanya bisa menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Ngomong-ngomong, kalian berdua cocok, lho."
Naruto melanjutkan langkahnya dengan cengiran lebar di wajahnya. Sedangkan Hinata, muka gadis itu semakin memerah, tidak beda jauh dengan tomat.
Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu beranjak menuju ruang praktek dokter bedah.
Setelah mengambil nomor antre, Hinata duduk di ruang tunggu. Jam praktek rumah sakit sebentar lagi akan berakhir. Hanya ada satu pasien yang menunggu selain Hinata.
Seperti biasa, setelah namanya dipanggil Hinata akan langsung memasuki ruangan dan melakukan pemeriksaan. Rupanya ia adalah pasien terakhir.
"Bagus. Sepertinya beberapa hari lagi bisa sembuh, kalau kau tidak ceroboh." Dokter Sasuke sedang membacakan hasil pemeriksaan Hinata.
"A-aku tidak ceroboh," bela gadis itu.
Sasuke menyeringai mengejek, membuat Hinata makin menggembungkan pipinya. Dokter di hadapannya itu selalu saja mengejeknya gadis ceroboh, dan itu membuat Hinata kesal.
"Setelah ini aku ada rapat sebentar. Kau mau pulang duluan atau menungguku?"
Rapat? Berarti kalau Hinata menunggu dokter Sasuke, ada kemungkinan ia akan bertemu dokter Namikaze, kan? Bayangan dokter Namikaze yang menggodanya tentang dokter Sasuke kembali muncul. Hinata menggeleng-geleng, ia tidak mau itu terjadi lagi. Apalagi kalau di sana ada dokter Sasuke, Hinata tidak bisa menahan malu lagi.
Hinata memainkan jemarinya. Padahal ia ingin pulang bersama dokter Sasuke yang sudah seperti kakak baginya. "Sepertinya … aku akan pulang dulu."
Dokter Sasuke menaikkan alisnya. Ia sedikit terkejut, biasanya Hinata mau menunggunya. "Begitu? Ya sudah. Kau bisa pulang sekarang."
Sasuke membalik kursinya, memunggungi Hinata dan kembali pada pekerjaannya yang lain.
"Arigatou, Dokter." Hinata membungkuk sebelum berlalu meninggalkan ruangan.
x
Love Sick
x
Hinata memasuki kompleks apartemennya dengan berlari kecil. Tasnya ia gunakan untuk menutupi kepalanya agar tidak terlalu basah oleh air hujan. Saat pulang dari rumah sakit, tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Hinata bahkan harus berteduh dulu sampai hujan agak reda. Saat hujan sudah lumayan reda, barulah ia untuk pulang.
Hinata memasuki apartemen. Saat mengedarkan pandangannya, ia melihat pintu lift hampir tertutup. Gadis itu lalu berlari kencang dan menggunakan tasnya untuk menahan pintu. Hinata sudah sangat lapar. Ia tidak mau menunggu lebih lama lagi untuk sampai kamarnya yang ada di lantai tiga. Pintu lift terbuka lagi dan Hinata pun buru-buru masuk.
"Astaga. Bukannya kau sudah pulang dari tadi?"
Pertanyaan itu sempat membuat Hinata berjengit karena kaget. Ia menoleh ke samping, mendapati dokter bedah sekaligus tetangganya sedang menatapnya dengan heran. Hinata tersenyum kikuk.
"Aku … aku tidak bawa payung, jadi tadi berteduh dulu," sahutnya sambil meremas ujung roknya. Berdua saja dengan dokter Sasuke membuat jantungnya berdetak tak karuan.
"Ck ck ck … pasti kau tidak melihat berita tadi pagi, kan? Gadis ceroboh."
"A-aku kan sibuk," balas Hinata dengan nada yang dibuat galak. Ia melotot marah pada dokter muda tersebut.
Sasuke tertawa melihat ekspresi Hinata.
Hinata terkesiap. Hatinya serasa mencelos. Baru kali ini ia melihat si dokter yang terkenal dingin tersebut tertawa. Ternyata itu membuat dokter Sasuke semakin menawan.
Hinata terus memerhatikan wajah sang dokter hingga tidak menyadari kalau wajahnya sendiri telah memerah.
Uchiha Sasuke berhenti tertawa saat mendapati gadis di sampingnya terus menatapnya tanpa berkedip. Ia balik mengamati Hinata. Wajah gadis itu sedikit basah. Beberapa helai rambutnya menempel di kedua sisi wajahnya, membuat gadis itu terlihat sedikit berantakan.
Tangan kanan Sasuke terulur menyingkirkan helaian rambut indigo tersebut, membuat Hinata sedikit tersentak.
"Apa aku begitu tampan hingga kau terus memandangiku, hm?" tanya Sasuke dengan nada menggoda.
Wajah Hinata memerah. Ia menunduk, namun dagunya segera ditahan oleh tangan si dokter. "Ti-tidak!" jawab Hinata gugup. Ia memberanikan diri membalas tatapan Sasuke.
Sasuke menyejajarkan posisi mereka. Wajahnya kini tepat berada di depan wajah Hinata. Kedua manik gelapnya mengamati tiap bagian wajah Hinata. Mata gadis itu besar dan bulu matanya lentik. Alisnya tidak terlalu tebal, namun juga tidak terlalu tipis. Hidungnya kecil namun mancung. Kulitnya putih dan mulus, tapi agak pucat. Pandangan Sasuke kini tertuju pada bibir merah muda Hinata. Bibir mungil yang terlihat sangat … kissable.
Sasuke tidak tahu bagaimana semua bisa terjadi. Saat tersadar, ia mendapati dirinya sedang menempelkan bibirnya ke bibir Hinata. Tubuhnya seakan bergerak sendiri, merengkuh dan mencium gadis yang lebih muda darinya tersebut.
Sasuke segera melepaskan ciumannya. Ia menatap Hinata yang terlihat syok. Gadis itu menunduk, wajahnya sangat merah.
Sasuke mengalihkan padangannya ke depan. "Maaf. Lupakan kejadian barusan."
Hinata menoleh dengan cepat. "D-dokter …" Dadanya terasa sesak saat Sasuke mengatakan untuk melupakan kejadian tadi. Padahal, baru saja Hinata merasa sangat senang karena perasaannya sama dengan si dokter. Ia baru saja berharap lebih, namun sepertinya memang tidak mungkin.
"Besok … kau sudah bisa pulang sendiri, kan?"
Hinata merasakan dadanya semakin sesak. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan pria berambut raven tersebut. Tenggorokannya seperti tercekat. Hinata sudah menduga semua akan berakhir seperti ini. Sejak awal, Sasuke melakukan semua ini hanya karena merasa bertanggung jawab. Seharusnya Hinata tahu akan hal itu.
Pintu lift terbuka. Sasuke segera melangkah keluar, namun tidak dengan Hinata. Gadis itu masih terdiam mematung.
Sasuke yang merasa kalau Hinata tidak keluar segera berbalik.
"Kenapa tidak keluar?"
Hinata tidak menjawab pertanyaan Sasuke. Ia hanya memandang pria tersebut dengan pandangan sedih dan kecewa. Hinata merasakan matanya memanas. Sesaat kemudian, cairan bening itu keluar dari kedua matanya bersamaan dengan pintu lift perlahan-lahan menutup.
Sasuke yang melihat Hinata mengeluarkan airmata hanya mampu memandangi gadis itu sampai pintu lift sepenuhnya menutup. Ada rasa bersalah yang terbersit di matanya.
"Maaf."
x
x
t.b.c.
x
x
Annyeong semua ^^. Saya kembali dengan fic baru. hehe :DD. Seharusnya ini oneshot, tapi kok panjang banget, jadi ya saya pisah aja. Kkk~
Love Sick ini judul lagunya sub unit snsd- tatiseo. Habis bingung mau pilih judul apa, jadi saya ambil dari situ.
Ceritanya saya terinspiasi ama komik yg jaman dulu pernah saya baca. Komiknya manis banget, tentang dokter-dokter ganteng gitu… tapi saya lupa judulnya apa T_T. kalo ada yg tau kasi tau yaa~ . mungkin gaya nulisnya rada aneh ya… udah lama saya ngga nulis T_T. gomen,,
Untuk fic2 yg lain, gomen belum bisa update cepet. Saya lagi sibuk kuliah n malah kena virus exo, adiknya suju itu lhoo~~. Ehehe :D . tapi saya usahakan update bulan ini.
Sekian dulu mungkin ya… terimakasih buat yg udah baca. Kritik, saran, masukan dll sangat saya harapkan. Gomawoyooo~~~~
.
.
.
Mind to review? please click,
