No Me A Mes
Main casts: Kwon Jiyong, and Choi Seunghyun.
Support casts: Dong Young Bae, Kwon Yuri, Kim Ryeowook, Kim Taeyeon, Kim Jaejoong, Lee Seungri, Jang Hang Sun, and Lee Ji Eun.
Warning: AU, PG 17, typo(s), pasaran, and manymore.
Genre: Romance, and drama.
youngdinna present
.
.
.
Enjoy it!
.
.
.
Part 1
No me ames, porque pienses
Que parezco diferente..
I want to love you
Don't love me because you think I'm
different..
Desember 2014
Malam di kota Seoul nampak penuh dengan gemerlap lampu warna dan hiasan natal di mana-mana. Cuaca yang cukup ekstrem tak menyurutkan suka cita warga Seoul untuk menghabiskan libur natal di luar rumah sekedar menikmati jajaran suguhan para penjual pernak-pernik khas kelahiran Sang Juru Selamat, entah itu makanan, pakaian, dan lainnya.
Sebuah bangunan megah berdiri di tengah hiruk pikuk kegembiraan kota. Di dalam sebuah ruangan, tepatnya ruangan sang pimpinan pemilik bangunan megah itu, nampak pria dengan jas kerja yang membalut tubuh mungilnya, tengah sibuk dengan tumpukan dokumen yang tak kunjung berkurang. Segelas kopi yang tadi setengah penuh di cangkirnya kini tersisa sedikit, rasa lelah begitu kentara di wajahnya.
"Kau orang terkejam yang pernah kukenal." sosok pria lain nampak menambah beberapa tumpukan lagi dokumen milik si pimpinan. "Ini libur natal. Tapi kau bahkan menyuruhku dan istriku untuk lembur, demi Tuhan Jiyongie.."
"Paling tidak aku memberimu kegiatan yang bermanfaat di malam natal. Daripada kau dan istrimu hanya bermain panas di atas ranjang." pria bernama lengkap Kwon Jiyong itu kini tersenyum remeh ke arah si kawan baik. "Benar kan, Dong Young Bae?"
"Bilang saja kau tak punya partner untuk memanaskan ranjangmu itu."
"Hei, perkataanmu begitu vulgar!"
"Kau juga." Jiyong memutar matanya malas demi ucapan singkat Dong Young Bae, kawan baik yang merangkap sebagai orang kepercayaannya di perusahaan.
Kwon Jiyong. Semua orang pasti tahu siapa dia. Nama besarnya ia dapat dari kerja keras yang tak bisa di bilang ringan. Kwon Jiyong berbakat di bidang desain dan fesyen, dengan kerja keras dan keringatnya sendiri, Jiyong mendirikan perusahaan label fesyen yang kini tersebar luas di semua penjuru Asia. Nama dan wajahnya dari tahun ke tahun sering menghiasi majalah-majalah bisnis, memuji kelihaiannya dalam mengolah sebuah kain dan benang menjadi karya yang tak bisa di pandang sebelah mata.
"Kau perlu pergi mengenal dunia luar, kurasa."
"Sudah." bela Jiyong. Young Bae menghela napasnya pelan.
"Maksudku di luar kertas-kertas dokumen dan ide-ide fesyenmu itu. Mau sampai kapan kau tenggelam Jiyongie? Apa semua yang kau dapat sekarang masih kurang?"
"Aku cukup puas dengan keadaanku sekarang, Bae."
"Omong kosong." ucap Young Bae skeptis. "Kau pikir aku tak tahu?"
"Tahu apa?"
"Tatapan irimu setiap kali aku berinteraksi dengan Yuri." Jiyong tak mampu menampik ucapan Young Bae.
Benar, semua yang di katakan Young Bae tak ada yang salah.
Kwon Jiyong memang sudah berhasil di bidang finansial, jabatan, kemapanan, semua sudah ia miliki, kecuali cinta.
Tidak. Sebenarnya Jiyong tidak pernah menutup kemungkinan untuk terlibat bersama wanita. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Jiyong hanya merasa belum ada wanita yang cocok dengannya.
"Bagaimana penjualan produk natal kali ini? Berhasil?" Young Bae menghela napas pelan, sedikit rasa bersalah bersarang di hatinya. Ia tahu kalau Jiyong berusaha menghindari topik tentang dirinya yang masih melajang.
"As usual.. You did it, kau berhasil lagi menguasai pangsa pasar di Asia."
"Hn. Baguslah."
"Ada lagi. Sepupu kecilmu kembali berulah." Jiyong mendengus menahan tawa begitu menyadari nada tak suka Young Bae saat menyebut kata 'sepupu kecil'.
"Hei.. dia lebih tua daripada aku, Bae."
"Terserah."
"Memang apa yang ia lakukan?"
"Merayu para pemegang saham untuk berada di kubunya kurasa." ucap Young Bae. "Dia benar-benar pandai berakting. Aku heran mengapa ia tak menjadi aktor saja." Jiyong tersenyum geli mendengarnya.
"Biarkan saja."
"Kau terlalu lunak padanya Jiyongie.."
"Ia juga saudaraku meski hanya sepupu.. Pamanku yang membuat tabiatnya berubah."
"Yah, terserah apa katamu.." Young Bae beranjak dari duduknya. "Oh, iya.. Pamanmu meminta kau untuk menemuinya besok."
"Besok? Ada apa?"
"Entah. Kau harus datang, katanya penting." ucap Young Bae. "Bolehkah aku pulang sekarang?" tanya Young Bae lagi. Jiyong mendecak kesal.
"Pulang sana! Panaskan ranjangmu bersama Yuri, bila perlu sampai hangus!" Young Bae terkekeh pelan. Ia menepuk pundak Jiyong sekilas.
"Aku pulang dulu."
Makan siang. Sebenarnya Jiyong agak heran dengan permintaan sang paman yang begitu sederhana. Tidak. Bukannya Jiyong tak mau, Jiyong hanya heran dengan permintaan langka pamannya, biasanya sang paman akan menemuinya di saat yang perlu saja.
"Josonghamnida. Apa paman sudah menunggu lama?" meski permintaan pamannya tak begitu penting. Jiyong juga tak dapat menolaknya. Lagipula, Jiyong juga rindu dengan kehadiran sang paman yang sekarang menetap di Kyoto.
"Bagaimana kabarmu, Jiyongie?" Jang Hang Sun mengulas senyum wibawa. Di usianya yang menginjak umur kepala enam, masih terlihat sisa ketampanannya, dan ketampanan itu tertular banyak di wajah seorang Kwon Jiyong.
"Baik. Paman nampak kurusan.. Apa paman sakit?"
"Sakit bukan hal yang asing untuk pria seusiaku ini." Hang Sun tertawa. Tak lama kemudian pesanan makanan mereka sudah datang. Baik Hang Sun dan Jiyong kini lebih memilih diam, menikmati sajian dan kebersamaan mereka yang jarang sekali terjadi.
"Jiyongie boleh paman bertanya?" Hang Sun kembali berbicara setelah mereka selesai makan.
"Tentu. Apa yang ingin paman tanyakan?"
"Bagaimana kabar hubunganmu dengan Jaejoong? Kalian masih.."
"Tidak bisakah paman berhenti memandang sebelah mata Jaejoong-hyung? Inilah yang membuat hubungan kami tak pernah membaik paman." Hang Sun menghela napas pelan mendengar ucapan Jiyong.
Jaejoong dan Jiyong dulunya cukup rukun, mereka memang saudara jauh, tapi keakraban keduanya tak jarang membuat mata orang lain yang melihatnya iri. Jiyong menyayangi Jaejoong, seperti Jaejoong yang juga menyayangi Jiyong, dan seorang Jang Hang Sun-lah yang merusak kedamaian di antara keduanya.
Jiyong dan Jaejoong adalah dua pria cerdas. Prestasi mereka berdua sama baiknya, tak ada yang kurang. Namun, satu hal yang tak di sukai Hang Sun ada pada diri Kim Jaejoong. Jaejoong memang pandai, tampan, dan punya kelebihan yang setara dengan Jiyong, hanya saja Jaejoong tak memiliki kerendahan hati. Jang Hang Sun selaku wali dari mereka berdua juga menyadari kalau dirinya lebih menyukai tabiat dan sikap Jiyong. Kejujuran dan kerendah hatian anak itu membuat sebagian besar perhatian Hang Sun ia curahkan pada Jiyong, melupakan keberadaan Jaejoong yang sedikit demi sedikit berubah menjadi membenci Jiyong dan dirinya, sampai saat ini.
"Ada satu hal lagi yang ingin kuutarakan padamu.. Jiyongie, kupikir sudah saatnya kau menikah."
Jiyong hampir menyemburkan jus jeruk yang tadi ia teguk. Ah, mungkin ini yang semalam Young Bae katakan 'penting'.
"Uhm, tapi.."
"Dan kurasa aku perlu turun tangan soal ini." potong Hang Sun. "Young Bae temanmu mengatakan kau jarang dekat dengan wanita. Kau selalu menyibukkan diri untuk bekerja, bekerja dan bekerja terus.. Kau membuatku cemas."
'Sialan kau Dong Young Bae!' batin Jiyong. "Uhm, tapi.. aku lumayan banyak memiliki teman wanita."
"Hanya sekedar rekan bisnis. Itu tidak cukup." ucap Hang Sun. Ia lalu menyodorkan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat restoran bintang lima, tentu Jiyong tahu karena ia biasa mengadakan meeting di sana.
"Apa ini paman?"
"Namanya Kim Taeyeon.. Ia pebisnis sepertimu."
"Ta-Taeyeon?" Jiyong terkejut mendengar nama itu. Hang Sun tersenyum kali ini.
"Datang dan jangan kecewakan aku."
"Bukankah dia orang yang baru saja menandatangi surat kontrak kerja sama dengan kita?" tanya Yuri begitu Jiyong menceritakan kencan buta yang sudah di rencanakan sang paman. Ck.
"Kelihatannya kau tak menyukainya."
"Yuri-ya, kau seperti tak mengenal Jiyong saja. Satu-satunya hal yang di sukai Jiyong adalah laba perusahaan yang naik tiap tahunnya." Yuri tertawa kecil mendengar gurauan suaminya.
"Tertawalah sepuasnya! Kalian menyebalkan!"
"Hei, sudahlah.. Kurasa usulan pamanmu juga tak buruk.."
"Tapi, dia rekan kerjaku sendiri! Aku tak mungkin ke sana! Mau di taruh mana mukaku!" keluh Jiyong frustasi. "Seharusnya aku tahu rencananya sejak awal. Hah, mengapa tak ada yang mengerti?"
"Hei, kau bicara seolah-olah kau sedang di rundung masalah besar."
"Memang begitu." sahut Jiyong sambil mengendurkan dasinya. "Ini semua salahmu, Bae. Mengapa kau tak bohong saja kalau aku sedang terlibat skandal cinta dengan seorang model? Mungkin itu bisa membuat pamanku tak terus memaksaku untuk segera menikah!"
"Kau berlebihan, Jiyongie."
"Benar.. Kurasa saran pamanmu itu juga bagus, tak ada salahnya kau mencoba, oppa." ucap Yuri berusaha menyemangati Jiyong.
"Hah. Merepotkan." Yuri dan Young Bae sama-sama tersenyum. "Apa boleh buat. Yuri, siapkan mobil pribadi untukku tak usah pakai sopir. Bae, kau urus semuanya setelah ini."
"Baik." Young Bae dan Yuri membungkuk hormat.
"Kalian boleh pergi."
Jiyong menyandarkan kepalanya di meja, rasanya pusing sekali memikirkan makan malamnya nanti bersama Taeyeon.
Kim Taeyeon, Jiyong mengenal nama itu karena gadis itu dulunya mantan model di beberapa label fesyen ternama. Setelah memutuskan pensiun muda, Kim Taeyeon memutuskan menjadi seorang desainer dan mendirikan label perusahaan fesyen sendiri, meski tak sebesar milik Jiyong.
"Aku bahkan tak begitu mengenalnya.. ish.." Jiyong meraih gagang telepon nirkabel, nampak menghubungi seseorang. "Daesung-ssi, siapkan setelan jas begitu aku pulang.. Hm, jangan terlalu formal, yang biasa untuk pesta. Ne. Gomawo."
Jiyong mengakhiri teleponnya. Ia lalu meraih sebuah majalah, di mana di cover utamanya memuat gambar dirinya dan Taeyeon yang saling berjabat tangan usai menandatangani surat kontrak. Jiyong meneliti wajah Taeyeon sejenak.
Hidung mancung angka tujuh, tubuh mungil namun cukup seksi, kulit putih bersih, rambut gelombang. Kim Taeyeon adalah ukuran gadis yang cukup -tidak- sangat manis malah, ia terlihat muda di usia dua puluh delapan tahun.
'Dengar Jiyongie.. Tak usah memikirkan cinta.. Cinta itu akan datang seiring dengan waktu.. Biarkan waktu yang menentukan kapan kau akan mencintai Taeyeon.' Jiyong menghela napas, kembali teringat ucapan pamannya tadi.
"Hah.. Baiklah, kita lihat saja.."
"Kita bertemu lagi, Jiyong-ssi.."
"Ne. Josonghamnida, pamanku sudah bertindak tak sopan padamu, Taeyeon-ssi.."
"Ah, tak masalah. Aku sudah cukup lama mengenal paman Jang.." Jiyong menaikkan alisnya.
"Anda sudah mengenal paman Jang?"
"Lebih dari sekedar teman. Ayahku berkawan baik dengan pamanmu itu." Taeyeon tersenyum.
Makan malam yang tadinya Jiyong pikir canggung, terasa lebih menyenangkan. Kim Taeyeon sosok yang dewasa dan mudah mencairkan suasana. Meski topik yang di obrolkan mereka tak jauh dari kata bisnis, Jiyong sedikit demi sedikit mulai menyukai sosok Taeyeon.
"Bagaimana dengan kedua orang tuamu, Jiyong-ssi?"
"Ah, mereka sudah lama meninggal."
"Ah, mianhae.." Jiyong tersenyum mahfum. "Aku benar-benar tidak tahu kalau.."
"Ah, aku tak masalah.. Meski yatim-piatu, aku besar dengan kasih sayang yang cukup dari paman Jang dan istrinya. Mereka yang terbaik."
Taeyeon tersenyum kagum. Entahlah, baru pertama kali baginya mengagumi seorang pria tegar seperti Jiyong. Dulu, awalnya Taeyeon pikir Jiyong seperti pengusaha muda lain yang sombong, licik, dan semena-mena. Namun, pertemuannya kemarin di rapat pemegang saham, dan malam ini membuat Taeyeon semakin kagum dengan sosok bernama besar Kwon Jiyong, namun punya hati seperti setangkai padi.
"Taeyeon-ssi?"
"Eh? Ah, mianhae.." Taeyeon tersenyum, menutupi dirinya yang baru saja tertangkap basah melamunkan dan mengagumi sosok Jiyong.
Hidangan pesanan mereka datang. Jiyong sendiri yang bersikeras membayar semuanya nanti, perbuatan yang tanpa sadar membuat seorang Kim Taeyeon semakin jatuh dalam pesona Kwon Jiyong.
Katakan Taeyeon berlebihan, dan yah.. ia memang belum pernah mengenal apa itu cinta meski usianya sudah berada di ujung dua puluhan.
"Uhm, aku selalu menyukai lasagna keju."
"Kupikir sebagai mantan model kau cukup menjaga pola makanmu."
"Semua berpikir begitu." Taeyeon mengangkat bahu acuh. "Tapi aku punya hobi memasak yang tentu membuatku tak bisa jauh dari makanan."
"Kau pandai memasak?" Taeyeon menggaruk kikuk pipinya.
"Bukan pandai. Tapi cukup menguasai."
"Aku menyukai wanita yang pandai memasak." celetuk Jiyong tanpa berniat apa-apa. "Aku selalu kagum melihat gestur wanita yang tengah memasak untuk keluarganya." lanjut Jiyong.
'Ah, jangan besar kepala Kim Taeyeon!' batin Taeyeon. "Begitu ya? Ah, tapi kurasa aku tak sehebat itu."
Menit-menit berikutnya Taeyeon kembali mengobrol bersama Jiyong di sela makannya. Sesekali mereka mulai berani melempar canda.
Jiyong tersenyum senang. Tidak. Keberadaan Taeyeon bersamanya membuat Jiyong menginginkan seorang adik perempuan. Pasti menyenangkan memiliki saudara kandung, kan?
"Kau membawa mobil?"
"Uhm, aku buru-buru berangkat kemari tadi. Tapi, aku bisa menelepon taksi-"
"Kuantar pulang." potong Jiyong. Bisa habis di makan pamannya kalau ia membiarkan Taeyeon pulang seorang diri dengan taksi.
"Apa tidak merepotkan?"
"Tentu tidak. Mari." Taeyeon tersentuh melihat sikap sopan Jiyong padanya. Jiyong sama sekali tak bersikap kurang ajar padanya, Jiyong bahkan tak sembarangan menyentuh Taeyeon.
"Kau tinggal di mana?"
"Apartemen di daerah Gangnam. Tak jauh dari perusahaanku." sahut Taeyeon. "Aku tinggal sendirian semenjak kakakku memiliki rumah sendiri."
"Kau punya kakak?"
"Seorang laki-laki. Seseorang yang sangat kusayangi." tutur Taeyeon sembari tersenyum. "Mungkin kau pikir aku terlihat dewasa. Tapi, tidak bila aku di depan kakakku itu."
"Terlihat jelas."
"Apanya?"
"Kalau kau manja."
"Hei!" Jiyong tersenyum geli begitu ia berhasil menggoda Taeyeon. Tak terasa mereka sudah sampai di depan gedung apartemen tempat Taeyeon tinggal.
"Mau mampir sebentar?"
"Lainkali saja. Aku harus segera pulang."
"Hm. Baiklah." Taeyeon melepas sabuk pengamannya. Tindakan Taeyeon selanjutnya cukup membuat Jiyong terkejut. Bibir Taeyeon tergerak mengecup pelan pipi Jiyong.
"Gomawoyo." Taeyeon buru-buru meninggalkan Jiyong yang masih mematung, terlalu terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Jiyong menyentuh pipinya pelan, sedikit terlonjak saat tiba-tiba ponselnya bergetar. Telepon dari Young Bae.
"Yeoboseyo?"
"Bagaimana malammu? Lancar?"
"Uh, yeah.. Kurasa."
"Jawabanmu meragukan." Jiyong menghela napas pelan.
"Ada apa menelepon?"
"Pamanmu mengatakan padaku suatu hal.." Young Bae nampak ragu mengucapkannya. "Tapi mungkin sebaiknya kukatakan besok saja."
"Hei, kau membuatku penasaran. Katakan sekarang saja."
"Hah.. baiklah, pamanmu merencanakan pernikahanmu bersama Taeyeon, lima bulan ke depan."
"Apa?!" sentak Jiyong yang berhasil membuat Young Bae menjauhkan sejenak ponselnya. "Jangan bercanda, Bae!"
"Tak ada gunanya aku bercanda, Jiyongie.." ucap Young Bae. "Itulah mengapa aku bertanya 'bagaimana malammu?'. Dan kurasa tak berjalan baik."
"Tidak. Semuanya baik-baik saja. Tapi.." Jiyong menggigit bibirnya cemas. "Sepertinya Kim Taeyeon menyalah artikan kebaikanku."
"Itu memang kebiasaan burukmu.." Young Bae menghela napas. "Kita bicarakan masalah ini besok."
"Aku memang ingin bercerita denganmu, Bae.."
"Arraseo.. Annyeong.."
"Apa-apaan ini! Mengapa jahitan benangnya lepas!"
"Jo-josonghamnida sanjangnim! A-aku-"
"Kau mau di pecat?!"
"Presdir!" geram, Young Bae segera menegur sikap Jiyong yang sedaritadi uring-uringan. Padahal, ia tak apa-apa sebelumnya, sekarang mengapa Jiyong jadi demikian? Jiyong mendengus, dengan sisa kedongkolannya, ia melangkah pergi dari ruang produksi.
"Chagiya, ada apa dengan Jiyong-oppa?"
"Aku tak tahu. Pergilah, biar aku yang bicara." Yuri mengangguk dan segera pergi dari ruangan Jiyong. Jiyong sendiri memilih duduk menghadap jendela luar.
"Kekanakan."
"Kau bisa bilang begitu karena kau tak berada di posisiku." lagi, Young Bae menghela napas.
"Baiklah. Mungkin aku tak tahu sesulit apa posisimu, tapi.." Young Bae membenarkan kacamatanya. "Apa pantas seorang presdir bertindak seperti itu? Bagaimana kalau Jaejoong melihatmu? Ia akan menertawakanmu."
"Aku kesal dengan keputusan pamanku!" keluh Jiyong pada akhirnya. Ia berbalik menghadap Young Bae. "Aku tak mungkin menikahi Taeyeon. Apa lagi lima bulan lagi. Aku bahkan belum begitu mengenalnya!"
"Tapi Jang sanjangnim yang memintanya sendiri. Aku dan Yuri sudah mengatakannya kalau itu terlalu cepat."
"Aku ingin pergi saja."
"Jangan lari dari masalah!"
"Aku tidak! Aku cukup stress dengan semua ini, Bae! Tolonglah.." Young Bae kembali menghela napas.
"Lalu kau mau pergi kemana?"
"Bagaimana kalau liburan di luar negeri?" Yuri muncul dari balik pintu sembari membawa dua cangkir kopi. "Aku kasihan melihatmu begini, oppa.."
"Bukankah sudah kukatakan biar aku yang bicara?" Yuri berkacak pinggang sambil memandang ke arah Young Bae.
"Jangan terus menyalahkannya, chagiya.. Lagipula, siapa yang tidak tertekan bila di paksa menikahi seseorang, hm?" Yuri lalu menatap Jiyong. "Aku punya rekomendasi tempat liburan. Mungkin kau bisa berpikir dengan tenang sejenak."
"Di mana itu?" Yuri menyerahkan brosur. "Indonesia?" Yuri mengangguk mantap mendengar nada bertanya Jiyong.
"Tempat yang menyenangkan. Kau bisa pergi di daerah ini."
"Kupikir kau akan merekomendasikan Jakarta. Mengapa Yogyakarta?" Yuri tersenyum cerah.
"Jiyong-oppa butuh ketenangan, bukan? Hal yang percuma bila aku menyuruhnya berlibur di pusat kota Indonesia itu. Yogyakarta kota yang besar, tapi tidak sebising Jakarta."
"Ilmu marketing-mu berguna juga." komen Jiyong. Ia lalu meraih brosur itu dan membacanya.
"Berapa lama kau akan mengambil libur? Pernikahanmu lima bulan lagi, belum lagi Jaejoong yang pasti akan lebih leluasa berulah."
"Aku mempercayakannya padamu." ucap Jiyong sambil menatap Young Bae. "Aku percaya semua akan berjalan lancar."
"Dasar.. sepulang dari liburanmu, kau harus menaikkan gajiku. Kau membuat pekerjaanku bertambah." Jiyong terkekeh mendengar keluhan Young Bae.
"Bisa di atur.." ucap Jiyong. "Tapi, aku butuh tour guide pribadi. Bisa kau carikan, Yuri-ya?" Yuri tersenyum, ia lalu membungkuk hormat.
"Baik, presdir.."
Jiyong terbangun dari tidurnya begitu suara pengumuman dari pramugari mengatakan kalau pesawat yang mereka tumpangi akan landing. Jiyong menguap lebar, tidur tiga jam di pesawat sedikit menyembuhkan rasa lelahnya.
"Kita sudah sampai, Jiyong-ssi."
"Ne, gomawoyo Ji Eun-ssi.. Kau bersedia menemaniku."
"Tentu saja! Pekerjaanku kan memang itu!" sahut Lee Ji Eun ceria. "Oh, iya.. Mengapa anda mengambil kota Yogyakarta? Kupikir orang-orang lebih memilih Jakarta atau Bali?"
"Ah, ini rekomendasi temanku. Aku butuh ketenangan sejenak." Ji Eun mengangguk paham mendengar penjelasan Jiyong. "Indonesia, apa kau sering ke sini?"
"Ne! Aku mempelajari banyak kebudayaan negara ini. Salah satunya aksara jawa."
"A-aksa-"
"A-K-S-A-R-A J-A-W-A." eja Ji Eun.
"Apa itu?"
"Uhm, tak beda jauh dalam seni menulis kaligrafi di Korea. Ada dua puluh simbol huruf.." Jiyong nampak memperhatikan penjelasan Ji Eun dengan penuh minat. Sesekali mereka berdua terlibat dalam perdebatan kecil.
Lee Ji Eun, ia adalah mahasiswa yang mengikuti program pertukaran di Indonesia. Minat Ji Eun pada budaya Indonesia yang beragam begitu besar, terlihat jelas dari dirinya yang hafal dan tahu persis mengenai budaya Indonesia, terutama kota Yogyakarta.
Jiyong mendesah lega begitu ia dan Ji Eun sudah sampai di sebuah homestay dekat kampung penghasil karya tembikar.
"Kampung ini bernama kampung Kasongan, Jiyong-ssi. Salah satu penghasil produk tembikar terbesar di Yogyakarta." Jiyong kembali mendengarkan penjelasan Ji Eun mengenai kampung Kasongan. Letaknya yang berada jauh dari keramaian kota Yogyakarta, membuat suasana kampung Kasongan terasa lebih tenang.
"Nah, ini homestay tempat anda akan tinggal." Ji Eun menunjuk sebuah bangunan -yang Jiyong pikir- khas masyarakat sini. "Bangunan ini juga bangunan tradisional Jawa. Orang Jawa menyebutnya rumah Joglo."
"Cukup megah dan alami. Kelihatannya menyenangkan." komen Jiyong, ikut antusias. "Lalu di mana kau akan tinggal?"
"Aku tinggal di dorm kampus. Tak begitu jauh dari tempat ini." jelas Ji Eun. "Nah, sebaiknya aku permisi dulu. Tak perlu cemas, namamu sudah terdaftar di homestay ini sebagai tamu VVIP." Jiyong tersenyum sekali lagi.
"Gomawoyo.. Kau sudah banyak membantu."
Sepeninggal Ji Eun, Jiyong segera memasuki homestay itu. Jiyong menyukai tempat itu. Bukan. Bukan karena keindahan bangunan Joglo-nya, namun nuansa 'rumah' lebih terasa di sini, tidak seperti kebanyakan homestay lain.
"Pritika.. Apa artinya, ya?"
"Itu bahasa Hindu yang berarti 'tersayang'." Jiyong menoleh, mengernyit saat mendapati sesosok pria tinggi berjalan ke arahnya.
"Nugu?" si pria tersenyum. Ia lalu membungkuk sopan ke arah Jiyong.
"Annyeong haseyo, joneun Choi Seunghyun imnida.." Jiyong melebarkan matanya takjub.
"Kau orang Korea?"
"Anda yang bernama Kwon Jiyong, bukan?" pria itu tersenyum. "Selamat datang di homestay-ku yang sederhana."
*TBC
Halloooo! #lambai-in GTOP banner.. ehehehe, saya balik lagi bawa satu ff yang drama sekale.. #plak.. Ini inspired lagunya JeLo yang judulnya No Me A Mes, n berkat ini lagu terciptalah ff yang menistakan GD n bang enTOP #dihajar VIP..
Nah, ini kenapa saya tiba-tiba ngambil setting negara Indonesia? Alasannya simpel, sebagai generasi muda *halah* saya malu karena tak pernah sedikit pun menggunakan negara sendiri sebagai setting tempat ff, padahal ada banyaaaak sekali tempat yang bisa di jelaskan di Indonesia, nah berhubung waktu dengerin lagu JeLo saya bayangin TOP yang ganteng seakan-akan sedang bikin tembikar di mesin yang muter2 itu #plak akhirnya pilihan saya jatuh di Yogyakarta, krn Yogyakarta punya sebuah kampung penghasil tembikar, Kasongan.
Saya juga mau minta maaf sama semua fans Jaejoong yang nantinya bakal jadi peran antagonis di sini, ga maksud nge-bash lho.. Hehehe
Anw, saya lagi kesemsem deh sama GTOP.. Kyaaa! chemistry mereka natural banget! Ga kalah sama FanXing n KaiSoo! _
Oke, daripada saya makin ngelantur.. Silahkan tinggalkan review-nya ya!^_^
Kansahamnida youngdinna
