rating. T

genre.
Mystery/Angst

disclaimer.
Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime.

summary.
Beberapa insan itu tidak pernah merasa kehilangan apapun, lagi selalulah yang kehilangan. Tak mereka sadari pula akhir kehilangan mereka adalah awal luka yang lebih besar.—AU.

warnings
.

Chapter 1 iniberupa fragmen, tidak jelas, tidak ada juntrungan, alur acak putar-balik tidak karuan. Death charas, everywhere. Dan juga BertYmir tersirat, namun bukan fokus utama. Juga segalanya dimulai dari epilog :')

Selamat menikmati~


.

.

.

Manusia adalah makhluk yang memiliki memori. Mereka memiliki ingatan yang kuat lagi sukar terhapuskan. Tidak ada satupun ingatan yang terlewat dari setiap sel otak yang berkoordinasi dengan lima indera lain. Ingatanlah sebuah catatan yang paling sukar dihapus, tidak ada penghapus dunia yang dapat mengais sebuah ingatan dari lembaran otak gubahan Yang Maha Kuasa.

Namun—

Manusia dan hanya manusia adalah makhluk yang serakah. Makhluk naif dan picik.

Calypso

Kuroi-Oneesan © 2013

{epilog/awal}

Langit temaram menghiasi langkah mereka berdua ketika ia datang ke taman makam itu. Pemakaman itu tetap hijau, walaupun dari luar sudah terlihat tertinggalkan zaman. Baru saja dua tahun berselang namun waktu terasa panjang; benar-benar panjang hingga segalanya terasa tidak nyata.

Baginya, segalanya adalah kemarin—sebuah titik yang berlalu dalam beberapa detik. Sayangnya segalanya berlalu tanpa ia sadari hal itu datang.

Kakinya menginjakkan tanah kering namun subur akan wahana kematian. Memang, kala itu adalah musim gugur yang dingin menjelang musim dingin, tangannya menghangat karena seorang gadis menjalin jemarinya seraya mereka berdua berjalan.

(Gadis itu takut.—tidak, melainkan gugup.)

Kaki jenjangnya terhenti di hamparan nisan yang ada seikat bunga di pusaranya.

"Christa, sini."

"—itukah makamnya, Bertholdt?"

Pusara itu bersih dari segala ilalang yang menutupi pelataran lain di sisi pojokan. Benar-benar rapi, bak tidak pernah ditinggalkan oleh yang masih hidup. Mata cokelatnya menatap huruf-huruf yang tercetak di sana dengan perasaan berat. Sudah lama ia berencana ke sana, dan sudah siap; hanya mendadak mengingat beberapa kejadian yang lalu—

CHRISTA RENZ

Nama di pusara itu jelas, tidak berjeda.

Namun yang ia pegang di jemarinya adalah Christa.

Tidak ada kepalsuan.

Tidak ada kerancuan.

Tidak ada sanggahan.

Gadis itu Christa.

Pusara itupun berkata hal yang sama.

x x x

fragmen i.

Bertholdt Fubar keluar dari kelasnya, bel istirahatlah yang mengundangnya keluar kelas. Sedikit integral menyandung sel-sel otaknya sembari ia memejamkan mata sambil berpikir keras.

Hari ini ia belum melakukan ritualnya.—salah satu isi pikirannya.

Kakinya melangkah pelan menyusuri koridor yang mulai disesaki anak-anak SMA lainnya, yang masing-masing memiliki tempat tujuan selain kelas. Bertholdt mengalihkan tangan ke saku celananya, mengambil sebuah ponsel berwarna hitam yang ia miliki. Jemarinya yang besar mulai menekan satu demi satu tombol, mengakses menu pesan singkat.

Seraya jemarinya menelusur, destinasinya tengah terlihat; atap sekolah—tempat tersepi lagi terindah di sekolah itu. Tempat di mana ia akan melakukan ritualnya.

"Hei."

Suara itu sangat akrab di telinganya. Ia tahu betul bahwa gadis itu pasti ada di sana, menikmati pemandangan dan semilir angin yang sama nyaris setiap harinya. Gadis itu benar-benar tinggi, melebihi anak gadis seusianya yang lain—namun samasekali jauh dari tingginya yang mendekati dua meter. Gadis dengan wajah berjerawat itu akan bersandar di pagar seperti biasa dan ia akan datang dengan ponsel di tangan. Selalu, selalu begitu.

"Biasa, ya?" tukas gadis itu—Ymir namanya. Tangannya memeluk pagar atap itu, ia menunduk. Matanya melongok melihat Bertholdt kini berada di sebelahnya.

Bertholdt melemaskan jemarinya seraya turut melepas seutas senyum ke gadis itu. "Iya."

Pemuda itu selalu mengetik sebuah pesan singkat ke nomor yang sudah ia hafal di luar kepala. Pesan itu berisikan kabar pagi ini dan juga tentang teman-temannya sekarang—Mikasa, Ymir, Jean, Marco; beberapa dari itu, juga pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh siapapun.

("Kapan kau akan kemari? Kita semua akan main lagi.")

Pemuda itu menekan tombol kirim.

"Kenapa kau selalu mengirim pesan ke orang yang sudah mati, Bertholdt?"

To: Reiner Braun

x x x

fragmen ii.

Lain ladang, di lain tempat Mikasa Ackerman tengah menikmati udara segar di sebuah taman kecil kota itu sambil membaca sebuah buku. Ia terus menghabiskan huruf demi huruf diselingi helaan nafasnya sendiri. Syal merah sewarna darah terikat jelas di lehernya, walaupun musim dingin belum datang.

"Mikasa? Kau disini lagi?"

Pemuda bersurai cokelat datang membawa sebuah paperbag berisi banyak kentang, kedua tangannya berada di saku celananya.

"Ah, selamat sore."

"Boleh aku duduk?"

Obrolan terhenti sampai di situ. Sunyi menyelingi dan bunyi gesekan kertas mengisi.

"Kau selalu memakai syal yang sama." Jean agak memerah sebelum mencoba mengucapkannya.

"Ada yang salah?"

Jawaban Mikasa selalu singkat, padat dan jelas. Gadis itu tidak memperhatikan lawan bicaranya sesentipun, pandangannya tetap terlekat pada buku yang ia baca.

"A, apa syal itu buatan ibumu?"

"Tidak, ini—"

(Apa?)

Mendadak bibirnya kelu. Kali ini bukunya sampai turun ke pangkuannya. Bibirnya terbuka, seakan ada jawaban yang ingin keluar namun tercekat di antara tenggorokannya.

"Syal ini…" Mikasa memegang syal merah itu. "… dari siapa?"

Jean tak kuasa menaikkan alis.

x x x

fragmen iii.

Gadis itu mengingat segalanya adalah putih. Perasaan dingin namun kehangatan yang menyelimuti adalah yang kedua yang bisa diingatnya. Yang ketiga adalah orang yang selalu datang memeriksanya dan berganti-ganti—

Dari luar sel itu.

Gadis itu menelengkan kepala, memperhatikan iris hijau si pemeriksa memerhatikannya dari luar sana, dia juga lengkap dengan pakaian putih bersih; sebersih ruangan yang ia tempati. Sel itu hanya berisi dirinya dan kasur, segalanya selain itu diisi oleh warna putih, sesekali hitam.

Pemuda itu tampak jauh berbeda dengan orang yang biasa memeriksanya, ekspresinya terlalu rileks.

"Selamat pagi." pemeriksa itu menyapa. "Bagaimana kabarmu?"

"—Kabar?" dia mengulang, tidak yakin dengan kata-kata tersebut. Tidak ada yang pernah berbicara padanya.

"Ah, apa ayahku tidak pernah mengajari kalian berkomunikasi?"

Dia menggeleng. Dia juga tidak tahu makna kata 'komunikasi' yang dilontarkan pemuda itu terhadapnya. Pemuda ini terlalu baik, seperti bukan para penjaga.

"Siapa namamu?" pemuda itu menempatkan tangannya, memegangi sel. "Namaku Eren."

"Aku… tidak punya nama."

Pemuda bernama Eren itu menutup mulutnya, tampak merasa bersalah. Gadis dalam sel itu hanya mengatupkan mulutnya.

"Bagaimana kalau…" manik birunya melihat manik hijau itu menelusur ke papan kecil yang ia bawa. Sebuah papan seukuran kertas kuarto yang tidak terlihat apa isinya. "Mulai sekarang, namamu adalah Christa Renz."

x x x

fragmen iv.

Sudah lama—sekitar beberapa bulan semenjak kamar kos yang harusnya dihuni dua orang itu didapatinya seorang diri. Terkadang Marco, Jean atau Connie akan datang untuk menanyakan PR, bahkan Ymir akan datang sendiri dengan alasan mengusir jenuh. Pemuda itu tahu mereka semua ada untuk membuyarkan ingatannya tentang apa yang telah terjadi.

Reiner Braun. Penghuni satu lagi dan juga teman baiknya, beberapa bulan lalu pergi karena—

…Eh?

Sesuatu menyandung pikirannya.

(Reiner… meninggal? Kenapa? Karena apa?)

"Bertholdt?"

"Ada apa, Ymir?"

"Kau—terlihat pucat, kenapa? Kau ingat sesuatu tentang kematian Reiner?"

Gadis itu tengah duduk di ruang tengah sembari menyambar beberapa makanan ringan dari kulkas melihat Bertholdt terpaku di kakinya. Ketel yang ia pakai untuk memanaskan air sudah mengepul dan membunyikan tanda kenaikan titik didih. Hari itu Ymir datang dengan niatan menanyakan Kimia dan tuan rumah hendak menyeduh teh.

"Tidak usah dipikirkan. Itu hal buruk, kan?" Ymir bersuara lagi. "Semuanya merasakan ada yang hilang, tidak hanya kau yang kehilangan orang yang selalu ribut."

Bertholdt menghampiri gadis itu setelah menyusun set cangkir dan mengisinya dengan Darjeeling hasil seduhannya. "Maksudmu kehilangan?"

"Sepertiku, misalnya. Entah kenapa aku—merasa kehilangan seseorang. Tapi aku tidak ingat siapa, atau bahkan wajah atau bentuknya; hanya perasaan saja."

Mereka berdua duduk di sofa yang sama, tayangan televisi mulai hambar setelah perbincangan mulai menghangat. Teh dibiarkan mengepul pelan, menimbulkan asap putih kasat mata dari bibirnya.

"Mikasa juga, Jean juga… jadi kurasa kau lebih baik karena kau masih ingat siapa yang kau anggap hilang." Ymir menerawang, tangannya yang panjang ia gunakan untuk menjangkau cangkir di atas meja dan mengambil cangkir terdekat serta mulai meniup-niup kontennya.

Bertholdt menghela nafas. "Aku sendiripun tidak ingat bagaimana Reiner pergi. Tidak ada jembatan penghubung, aku lupa total tentang hal itu namun aku tahu Reiner telah tiada. Apa itu sebuah hal baik?"

"Tidak juga, tapi setidaknya pikiranmu punya tujuannya." gadis itu menyeruput tehnya. "Perasaan yang tidak sampai lebih menyakitkan, Bertholdt."

.

.

.

TING TONG

Tak dikiranya suara bel mengisi kekosongan pikiran mereka, membuyarkan lamunan sarat akan lara seketika dari kedua wajah itu. Bertholdt hendak beranjak dari sofa namun Ymir menghentikannya.

"Biar aku saja."

Walau dibilang seperti itu, Bertholdt tetap mengikuti sosoknya membuka pintu dan menjawab sang tamu. Begitu pintu ia buka, tampak sosok gadis yang lebih rendah, dengan surai kuning pucat tergerai dan manik refleksi biru langit. Di tangannya terdapat koper dorong, juga gadis itu mengenakan seragam sekolah mereka.

"Umm, siapa kau?" ucap Ymir. Ia lalu menoleh ke arah Bertholdt, pemuda itu berisyarat bahwa ia tidak tahu menahu siapa gerangan tamu itu.

Gadis itu berdehem, "Mulai hari ini aku adalah penghuni baru di kamar ini; menurut Pak Pemilik." Entah kenapa keringat dingin meluncur di pelipis Bertholdt. Memang sih, kos-kosan ini kos campuran. "Aku pindahan dari Yeager Institute, namaku Christa Renz."

[tbc.]


Endnotes. Bingung? Selamat, saya juga #plak

Ini dibuat menghadapi stressnya kelas XII. Dunia memang kejam, nak /dor

Sekian dari saya dan stay tuned!