How They Meet..

Hujan lebat. Cuaca begitu buruk diakhir pekan ini. Membuat banyak orang lebih memilih berdiam didalam rumah. Menghangatkan diri didalam selimut atau hanya sekedar menyesap segelas cokelat panas adalah pilihan terbaik untuk menikmati cuaca seperti ini.

Disebuah rumah yang minimalis dan sarat kemewahan dengan cat putih itu terlihat begitu damai. Dihalamannya tumbuh beberapa tumbuhan, diantaranya bunga matahari yang tumbuh disudut halaman. Sebuah tangga dengan lima anak tangga menuntun kita menuju pintu kayu yang berdiri kokoh. Saat kita membuka pintu itu hal pertama yang akan menyambut adalah sebuah ruang santai yang merangkap sebagai ruang tamu. Dengan rak-rak yang mengisi beberapa pajangan dimana disampingnya terdapat sebuah tv flat. Didepan tv, sekitar berjarak tiga langkah, terdapat sebuah meja kaca kecil dengan sebuah sofa yang mengelilinginya. Lalu disebalah kanan, sekitar tiga meter tanpa sekat terdapat dapur dan meja makan yang terdiri untuk empat orang. Juga ada sebuah kamar mandi kecil disana.

Dibagian kiri, terdapat tangga yang menghubungkan dengan lantai dua. Dimana dilantai dua sendiri terdiri dari dua kamar tidur, yang hanya diberi sekat sebuah ruang santai. Disamping kamar pertama terdapat sebuah kamar mandi. Sedangkan disamping kamar satunya adalah ruang kerja.

Dikamar utama, terdapat seorang pria yang tengah asik dengan novel ditangannya. Matanya fokus membaca setiap rentetan kalimat yang menjadi alur dalam novel itu. Posisinya yang setengah berbaring terlihat begitu nyaman diatas kasur king size putihnya. Mengabaikan jam yang berdenting menunjukkan pukul tiga sore.

Sampai suara bel merusak semua kedamaian itu.

Dahinya menyergit. Siapa yang bertamu ditengah hujan lebat seperti ini? Tanpa berpikir lebih lama, ia segera menutup bukunya dan bangkit untuk turun kebawah. Membukakan pintu, menyambut sebuah takdir baru yang teralamat untuknya.

Pemeran baru yang akan mengubah seluruh hidupnya. Dengan kekuatan tak kasat mata dari dalam tubuh ringkih itu yang akan menuntunnya untuk menjalah lebih dalam kehidupannya setelah ini.

Tiga tahun berlalu...

Namikaze Minato adalah seorang pengusaha muda tersukses ketiga dinegaranya. Di usianya yang baru menginjak 23 tahun, ia sudah memiliki segalanya. Harta, kemewahan, ketenaran, kesuksesan. Dengan wajah tampan, mata sewarna langit, surai kekuningannya membuat ia terlihat semakin sempurna. Tapi tentu saja, sesukses apapun, sesempurna apapun ia dimata orang lain, tidak ada yang dapat berkelit dari satu ketetapan alam ini. Bahwa didunia ini, tidak ada yang sempurna.

Benar. Namikaze Minato memang dapat memperoleh apa yang dia mau hanya dengan menjentikkan jarinya. Ia dapat dengan mudah mendapatkan segalanya. Tapi sayang, sampai saat ini, ia belum juga menemukan tambatan hatinya. Seseorang yang dapat mengisi hari-harinya menjadi semakin cerah. Seseorang yang dapat membuat jantungnya berdebar. Seseorang yang dapat membuat hidupnya semakin sempurna.

Tidak. Bukan. Jangan berpikir kalau ia mengabaikan hal ini. Justru, hal ini lah yang selalu membuatnya pusing setiap malam. Bukan apa-apa, tapi kedua orang tuanya selalu memaksanya untuk segera mencari pasangan. Bahkan, mereka selalu menjodohkan wanita-wanita anak kenalan mereka kepadanya. Yang tentu saja langsung ia tolak. Lagipula, semua keputusan bukan hanya ditangannya. Tapi juga putera kecilnya.

Ya. Seorang putera. Namikaze Naruto. Putera nya yang kini menginjak usia tiga tahun. Bocah dengan warna mata dan surai yang sama dengannya. Dengan tiga kumis dikedua pipinya, dan kulit yang berwarna kecoklatan, membuatnya terlihat manis.

Minato tersentak. Suara ponselnya yang berdering menyadarkannya kembali dari lamunannya. Senyumnya melebar saat melihat sebuah ID yang kini terpampang dilayar touchscreen ponselnya. Dengan cepat ia segera menekan pelan tombol hijau dan membawa ponsel itu ketelinganya.

'TOUCHAN!'

Minato terkekeh kecil. Naruto selalu penuh dengan semangat. Dan itu selalu sukses membuat ia mengukir senyum diwajah tampannya. "Apa sudah waktunya pulang Naru-chan?" Lelaki tampan itu bangkit dari duduknya. Mengambil jasnya yang di lempar asal disofa dan menyampirkannya dibahu kanan.

'Hu'um! Touchan tati teput nalu kan?'

Minato terkekeh. Anaknya begitu menggemaskan dengan aksen bicaranya yang belum begitu lancar. Ia mengganggukkan kepalanya, walaupun ia tahu kalau anaknya itu tidak akan melihat.

"Touchan berangkat sekarang. Tunggu sepuluh menit lagi oke?"

'Yosh! Bye touchan, dattebayo!'

Minato melebarkan senyumnya. Dattebayo. Entah Naruto mendapatkan kata itu dari mana. Tapi kata itu adalah kata pertama yang diucapkannya ketika ia sudah mulai bisa bicara. Kesal tentu saja. Padahal, kata yang selalu diajarkannya adalah Touchan.

Tak memperhatikan jalan, ia kini sudah berada didalam lift menuju lantai dasar perusahannya. Pria tampan itu menggeleng pelan sembari memasukkan ponselnya ke saku. Ia melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Pukul 17.03 pm. Sudah cukup sore. Sepertinya Naruto sangat betah tinggal dikediaman Uchiha.

"Minato!"

Ia menoleh. Tepat disamping pintu besar perusahaannya, seorang lelaki paruh baya tampak melambaikan pelan tangannya. Membuat lelaki tampan ini langsung melebarkan senyumnya dan bergegas menuju orang itu.

"Pak Jiraiya"

Lelaki paruh baya itu tertawa. Ia menepuk pelan bahu Minato dan berjalan bersama menuju parkiran.

"Bagaimana kabar mu, Minato?"

Minato tersenyum samar. Ia menganggukkan kepalanya sedikit dan memandang lurus kedepan dengan kedua tangan disaku celananya. "Sama seperti terakhir bapak melihat saya, anda sendiri? Bagaimana kabar anda dan juga istri anda, nyonya Tsunade?" Jiraiya kembali tertawa. Untuk orang yang tidak tahu, mungkin mereka mengira kalau kedua orang ini tengah membicarakan satu hal yang lucu. Nyata nya, Jiraiya memanglah tipe orang yang seperti ini.

"Baik-baik. Kami berdua baik. Bagaimana dengan Naruto?"

"Ah, dia juga, baik-baik saja"

Jiraiya menganggukkan kepalanya. Ia menghentikan langkahnya, membuat Minato yang masih ia rangkul, juga spontan berhenti. Membuat kerutan bingung tampak diwajah lelaki yang terlihat lebih muda itu. "Ada apa pak?" Jiraiya mengalihkan pandangannya pada Minato sembari tersenyum samar.

"Begini Minato, kemarin aku dengar kau sedang membutuhkan baby sitter. Apa itu benar?"

Minato terdiam. Ternyata itu.

"Iya pak. Minggu depan, saya mendapat tugas diluar kota. Saya harus pergi selama seminggu. Dan ya, anda tahu sendiri kalau saya hanya tinggal berdua dengan Naruto. Saya butuh bantuan seseorang untuk mengurusnya."

Jiraiya kembali mengangguk. Ia menampilkan raut bingung saat melihat ekspresi Minato yang, entahlah. Sulit untuk dia jabarkan. Ekpresi antara bingung, sedih, gelisah. Ya, ekspresi semacam itulah yang dapat Jiraiya tangkap dari wajah tampan Minato.

"Kenapa kau tidak meminta tolong pada istriku ataupun pada Uchiha itu heh?"

Minato menghela napasnya. Itulah permasalahannya. Ia merasa tidak enak karena tiga tahun ini, selama ia mengurus Naruto, ia selalu merepotkan orang-orang itu. Entah keluarga Uchiha ataupun Jiraiya dengan istrinya. Bahkan terkadang pegawai perusahaannya pun juga ikut turun tangan untuk membantunya. Itu diluar bantuan dari orang tua kandungnya sendiri.

"Saya.. tidak ingin merepotkan anda pak. Saya tidak ada maksud apa-apa, hanya saja bapak dan istri bapak sudah banyak membantu saya. Saya hanya merasa.. tidak enak."

Wajah tua itu menampilkan wajah bosan. Dasar Minato. Bagaimana bisa ia berpikiran seperti itu?

"Lagipula, saya dengar kalau Tsunade-sama sedang sibuk dengan rumah sakit. Bapak juga harus pergi menyelesaikan beberapa masalah disalah satu cabang perusahaan bapak bukan? Keluarga Fugaku juga sepertinya sedang sibuk. Jadi.. saya lebih memilih untuk mencari baby sitter sementara saja pak. Lagipula, saya hanya pergi selama seminggu."

Jiraiya menganggukkan kepalanya. Tidak bisa ia pungkiri kalau apa yang dibilang Minato benar adanya. "Hah~ aku tidak bisa membantahnya. Tapi, terima bantuan ku ini oke? Aku yakin kau juga sekarang pasti sedang kesusahan mencari seorang baby sitter yang dapat kau percaya untuk menjaga si kucing menggemaskan itu kan?"

Minato mengangguk. Ya, jujur saja, sebenarnya ia juga ragu dalam keputusannya ini. Rasanya begitu berat untuk melepaskan tanggung jawabnya begitu saja pada orang lain. Terlebih orang asing. Walaupun hanya sementara, tapi, dalam waktu satu minggu tidak menutup kemungkinan untuk terjadi sesuatu bukan?

"Baiklah pak. Saya juga sepertinya tidak bisa menolak." Jiraiya melebarkan senyumnya. Dengan semangat ia menepuk bahu Minato, membuat lelaki tampan itu sedikit meringis. "Bagus. Aku memiliki kenalan. Ia masih muda, tapi ia cerdas. Sayang sekali karena keadaan ekonomi nya sedang menurun sekarang. Ia bilang padaku kalau ia sedang membutuhkan pekerjaan. Aku tidak tahu apakah Naruto akan cocok atau tidak, tapi aku yakin kalau anak ini sangat dapat dipercaya."

Minato menganggukkan kepalanya. Tapi bukankah, sangat dapat dipercaya itu belum cukup? Walaupun orang itu adalah kenalan pak Jiraiya. Mantan dosennya saat ia kuliah dulu, bukan berarti ia harus percaya begitu saja bukan? Tapi biar bagaimanapun, dicoba dulu tidak masalah bukan? Lagipula keputusan bukan hanya berada ditangannya, ingat?

"Tapi, apakah dia bisa menjaga Naru? Aku ragu karena Naruto mulai menunjukkan sikap pemilihnya. Terkadang ia tidak mau disentuh orang asing yang tidak dikenalnya."

Jiraiya menganggukkan kepalanya dan kemudian mengangkat kilas bahunya. Ia merogoh kantung jasnya dan mengeluarkan kunci mobilnya.

"Wajar kalau anak kecil mulai bersikap seperti itu. Tapi cobalah dulu, kalau kau tertarik, aku akan menyuruh orang itu untuk datang besok kerumah mu."

Minato terdiam. Ia memandang Jiraiya yang kini bersiap memasuki mobilnya. Mengambil napas dalam sebelum menghembuskannya secara perlahan.

"Malam ini. Tolong suruh dia datang malam ini.. pak Jiraiya."

Jam menunjukkan pukul 19.30 pm tapi sepertinya tidak ada niatan sama sekali bagi Naruto untuk beranjak dari tempatnya. Ia masih sibuk bermain dengan dinosaurus miliknya yang tadi sore baru saja dibelikan oleh Minato, membuat sang touchan sedikit menyesal.

Minato menghela napasnya. Ia hanya bisa memperhatikan sang anak yang mulai mengeluarkan suara berisiknya. Sepertinya Naruto sangat menikmati permainannya sendiri. Dan Minato, tidak ingin mengambil resiko kalau Naruto sampai mengamuk karena ia menganggu.

Suara bel terdengar berbunyi beberapa kali. Membuat Minato mau tak mau mengalihkan pandangannya kearah pintu. Siapa yang bertam- ah, apa mungkin orang itu? Sepertinya, pak Jiraiya memang berniat membantunya.

Baru saja ia ingin bangun dari duduknya, langkah cepat Naruto membuatnya berhenti. Dengan posisinya yang setengah berdiri dan mulut terbuka lebar membuatnya sekilas tidak terlihat tampan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Dasar Naruto.

Dengan cepat Minato bangun dan berlari kecil menuju Naruto yang sibuk melompat-lompat, mencoba untuk meraih gagang tampan itu langsung mengangkat tubuh Naruto dalam gendongannya dan membuka pintu. Tidak ingin membuat orang diluar sana terlalu lama menunggu.

Dan.. berdiri seorang pemuda berambut kelabu dengan wajah yang hampir 90% nya tertutup. Menyisakan mata kanannya yang kelam. Ia memakai baju berlengan panjang berwarna coklat gelap yang menampilkan bahu lebarnya dan celana panjang hitam. Kedua tangannya tersembunyi dibalik kedua sakunya. Membuat siapapun yang melihatnya pasti akan langsung terpesona. Dan pastinya, tidak akan ada yang menyangka kalau ia.. baby sitter?

Minato menggelengkan kepalanya pelan. Menyadarkan dirinya sendiri dari keterkejutannya. Lelaki tampan ini menampilkan senyum ramahnya. Ia membenarkan posisi Naruto dalam gendongannya dan menyapa "Selamat malam. Hm.. apa kau yang dimaksud tuan Jiraiya?"

Pria berusia 23 tahun itu semakin melebarkan senyumnya saat remaja didepannya itu menganggukkan kepala. Dengan ramah ia mempersilahkan tamunya untuk masuk dan membawanya keruang santai. "Silahkan duduk. Aku akan ambilkan minum sebentar."

"Tidak perlu."

Minato menghentikan langkahnya. Ia tersenyum kecil dan kembali melangkahkan kakinya kedapur setelah menurunkan Naruto dari gendongannya. Membuat helaan napas keluar dari balik masker pemuda kelabu itu.

Merasa diperhatikan, ia mengalihkan pandangannya kearah bocah kecil dengan piyama putih bergambar rubah berekor sembilan yang terus menatap kearahnya. Membuatnya mau tak mau menyergit bingung. Apa ada yang aneh?

"Niichan~"

Pemuda itu semakin menyergit bingung saat bocah itu merentangkan tangannya. Ia menghela napas pelan sebelum membawa anak itu kedalam pangkuannya. Ditatapnya sang bocah yang masih memperhatikannya dengan semakin intens. Perlahan tangan bocah itu terangkat, mencoba menggapai kain yang menghalangi wajahnya.

"Maaf lama, ini silahkan diminum."

Kedua orang berbeda usia itu sontak mengalihkan pandangannya kearah Minato yang kini tengah meletakkan gelas diatas meja. Pemuda itu tersenyum lebar. Terlihat dari matanya yang melengkung sempurna. Sedangkan bocah berambut kuning itu menggembungkan pipinya dengan bibir mengerucut yang sedikit diangkat. Membuatnya terlihat sangat menggemaskan.

Minato menggelengkan kepalanya. Ia berniat mengambil Naruto, tapi anaknya itu justru menenggelamkan diri dalam pelukan pemuda berambut silver itu saat menyadari pergerakan dari touchannya. Membuat hati Minato sedikit mencelos. Sang pemuda yang menyadari raut wajah Minato, menggaruk belakang rambutnya tidak enak.

Sang lelaki tampan mendudukkan dirinya dihadapan remaja itu. Ia melipat kedua tangannya didada dan memperhatikan orang dihadapannya itu yang kini mulai sibuk menanggapi celotehan anaknya.

"Hm. Jadi, apa benar kau bersedia untuk menjaga anak ku?"

Pemuda itu mengalihkan pandangannya. Menatap lurus pada sepasang manik biru yang juga menusuk satu bola matanya. Dengan mantap ia menganggukkan kepalanya sembari membenarkan posisi duduk bocah dipangkuannya. Dan menjawab dengan singkat. "Ya."

Minato mengangguk pelan. Semakin diperhatikan, pemuda ini terlihat masih terlalu muda untuk bekerja. "Berapa umur mu? Kau masih bersekolah?" Dan sebuah anggukkan kembali menjadi jawaban untuknya. "19 tahun. Aku kuliah semester 2."

Tertarik. Minato merasa tertarik untuk mengetahui lebih tentang pemuda ini. "Oh, baiklah. Apa jurusanmu?" Lelaki tampan itu membawa kaki kanannya menumpuk dengan kaki kirinya. "Sosial politik. Di Unniversitas Konoha."

Minato tertawa kecil melihat pemuda itu yang tampak kesal karena terus diganggu Naruto yang sepertinya sangat penasaran dengan wajahnya. Well jujur saja, Minato juga penasaran. Tapi Minato masihlah memandang tinggi hak setiap orang. Dan ngomong-ngomong ia belum tahu siapa nama pemuda ini.

"Ah, aku lupa. Aku, Namikaze Minato. Dan itu putera ku satu-satunya. Namikaze Naruto."

Pemuda itu terdiam sebentar. Ia menatap bocah dipangkuannya dengan cukup lama. Naruto. Baiklah. Dan lelaki tampan didepannya. Namikaze Minato. Namikaze. Minato.

"Dan kau?"

Minato tersenyum kecil. Memandang satu bola mata yang terlihat gurat malas itu dengan wajah lembutnya.

"Kakashi. Hatake Kakashi."