Marriage!AU with whipped husband! Mikuo. Bahasa Indonesia.

Warning; chapter ini menyebut beberapa nama makanan, Mikuo yang saya bikin jadi pendamping hidup ala-ala salah satu brand asuransi (yang terkenal dengan jargonnya; always listening, always understanding), fluff tanpa plot, sampai Rin yang sedikit annoying tapi dengan cara yang menyenangkan.

xxx

"Aku mau ke Ubud." Desak Rin sambil memangku ukulele tua kesayangannya. Suaranya galak, tetapi manis. Mata wanita itu memicing dengan alis menukik tajam, isyarat ia tak ingin didebat apalagi ditolak. Absolut, tak terbantahkan.

Mikuo bergeming. Dapur agak ramai karena sejak tadi sang nyonya rumah sibuk bersenandika. Wanita itu ngoceh soal tempat-tempat wisata dan spot-spot bagus yang cocok untuk mengisi liburan super langka super hebat dengan sosok pemuda jangkung yang kini memunggunginya; sibuk berkutat dengan sayuran segar, dua butir telur ayam kampung, irisan daging asap juga perabot dapur. Pemuda itu awalnya terlihat oke-oke saja, tak merasa terganggu. Namun ketika wanita pirang kesayangannya menunjukan ketertarikan soal Bali dan Ubud usai membaca sebundel katalog travel, si pemuda toska langsung pasang muka setengah bengong. Otaknya ngadat; ia tengah merenung. Bingung mau merespon seperti apa lebih tepatnya.

"Kau dengar aku kan, Mikuo?" Tuntut si wanita pirang dengan wajah merajuk lucu. Jari-jari mungilnya mengetuk permukaan meja makan; kode minta diperhatikan. "Yuk, liburan. Honeymoon." Desaknya lagi. Kali ini tone suaranya terdengar lebih lembut, lebih manis. Sudut-sudut bibir tipisnya membentuk senyum dan alisnya yang bagus ikut-ikutan naik juga.

Mikuo melirik sang istri dengan ekor matanya yang tajam dan berwarna sehijau telaga. Pemuda duapuluh lima tahun tersebut nyaris menggaruk tengkuk jika tak ingat tangannya tengah menggenggam pisau stainless. Nyaris berakhir masuk IGD karena hampir menggorok leher sendiri. Si toska batuk-batuk imajiner. Mendadak jadi bego karena tiba-tiba wanita pirang mungil di belakangnya minta agenda liburan mereka dirombak ulang. Sepekan lalu Rin sendiri yang bilang ingin jalan-jalan ke Seoul mumpung mereka sudah mengantongi visa dan segala tetek-bengeknya, mengunjungi Hong SeeU--teman sekampusnya di Todai dulu, yang sebulan lalu katanya baru selesai lahiran anak pertama.

"Tidak jadi lihat temanmu?" Mikuo tersenyum tipis begitu pulih dari ngadat. Masih sempat mengawasi gerak-gerik Rin walau tangannya sendiri sibuk mengiris tipis pare bahan goya chanpuru untuk brunch mereka nanti.

Keduanya bangun kesiangan hingga tak sempat sarapan, jadi sekalian saja si bapak rumah tangga masak besar hari ini. Ingin rasanya ia membuat angka di timbangan Rin naik sekilo-dua kilo. Wanitanya terlalu kurus. Peduli amat soal berat tubuh ideal yang selalu wanita itu elu-elukan tiap hari. Selama Rin makan dengan baik, Mikuo sih senang-senang saja. Lagipula kalau istrinya jadi gembul pasti lebih menggemaskan dan asyik untuk dipeluk-peluk.

"Aku dengar dari SeeWoo, adiknya SeeU kalau kakaknya sedang ada di Soho. Di rumah mertuanya. Anaknya lahir di Inggris. Kita tidak mungkin terbang ke sana. Jauh, bisa-bisa waktu liburan kita habis di perjalanan. Dan kudengar mengurus visa ke Inggris lebih rumit, yah pokoknya begitu."

"Kita tetap bisa pergi ke Korea. Menengok temanmu bisa lain waktu. Apa kau tertarik lihat gunung-gunung di Daegu? Atau lihat laut dan pasar ikan di Busan? Pilihan ada padamu Rin. Aku sih ikut-ikut saja, hitung-hitung menemanimu dan jadi suami teladan."

Rin mengulum senyum. Suaminya memang idaman.

Suara desis minyak dan bawang tumbuk mengiringi obrolan siang mereka. Mikuo mulai mengoreng dua butir telur, kemudian mencacahnya dengan spatula sebelum menuangkan irisan pare yang sudah dicuci bersih dengan air garam. Bak koki restoran berbintang digoyang-goyangkannya wajan anti lengket berdiameter 16 senti itu dengan raut wajah sok.

"Sekarang aku maunya Bali. Tahun lalu temanku liburan ke Hawaii, banyak sekali objek foto bagus. Dan pantainya, Mikuo! Mudah sekali kalau mau cari pantai! Naik motor juga sampai. Asyik sekali, kan?"

"Memangnya kau bisa menyetir sepeda motor?"

"Nggak! kan bisa dibonceng Mikuo. Nanti kita sewa sekuter matik."

"Oh." Kadang Mikuo lupa kalau editor muda merangkap istrinya ini pandai sekali berbicara.

"Kok cuma oh?" Rin kelihatan tak puas. Jari-jari mungilnya bergerak cepat untuk memetik senar nilon ukulele. Dia memainkan lagu Real Man milik The EastLight. Nampak asyik sendiri saat membuat sound efect di bagian killing part lagu berbahasa Korea tersebut. I am your Real Man! Fiu! Fiu!

"Kuta? Badung? Atau Denpasar, saja? Pusat kota, gampang kalau mau belanja dan cari oleh-oleh. Transportasi juga lancar, pilihan hotel banyak. Kau tidak akan menyesal. Tapi nanti, ya? Tahun ini kita pergi ke tempat yang dekat-dekat saja." Tutur Mikuo berusaha memberi alternatif lain. Ubud pasti ramai kalau musim liburan begini. Dan pemuda toska kita ogah sekali kalau diajak jalan-jalan ke Monkey Forest, makan ayam bé tutu dan menemani istrinya memborong oleh-oleh di pasar seni.

"Aku akan lebih menyesal kalau tahun ini kita tidak ke Ubud juga. Itu tempat yang bagus untuk menyepi dan liburan."

"Seharusnya kita memang tidak pergi jauh-jauh. Bagaimana kalau kita ngemil dan maraton film? Kalau tidak mau, tiduran di kamar dari pagi sampai ketemu pagi lagi aku tidak keberatan, toh jatuhnya sama-sama menyepi dan liburan."

"Pelit. Bilang saja malas. Aku jadi ragu, istrimu itu aku atau bantal dan kasur kapuk?"

Mikuo ingin menghela napas, tetapi tak jadi. Ia tidak mau cepat tua karena kebiasaan menghela napas, nanti dia jadi mirip senior Kaito. Dan omong-omong mereka tidak pakai kasur kapuk.

Pemuda tersebut terheran-heran. Akhir-akhir ini tabiat istrinya selalu berhasil membuatnya geleng-geleng kepala. Apa urusan kantor yang membeludak membuatnya begitu? Gemas sih, tapi kadang bikin jengkel juga. Sedikitnya Mikuo paham. Mungkin Rin bermaksud balas dendam karena sejak menikah mereka belum sempat bepergian jauh bersama. Keduanya selalu sibuk, kadang mau atur waktu untuk jalan-jalan saja susahnya bukan main. Mereka selalu berakhir delivery pizza atau makanan China kalau tak sempat bepergian untuk makan malam romantis. Paling banter juga makan di rumah, yang memasak bisa si bapak maupun ibu rumah tangga. Mereka senang-senang saja selama bisa menghabiskan waktu bersama, tetapi mereka juga mengininkan variasi.

"Bukan bermaksud pelit. Aku hanya tidak ingin visa kita jadi sia-sia. Kau ingat tidak waktu dan perjuangan kita saat mengajukan visa untuk perjalanan ke Korea?"

Rin memandang punggung Mikuo dalam diam. Benar juga. Mereka sudah merencanakan ini sejalak lama sekali. Jalan-jalan ke Korea. Mendadak memori Rin berputar ke masa saat dia dan Mikuo tengah menonton acara kuliner di salah satu stasiun TV swasta, dini hari saat itu. Sang reporter tengah mencicipi hidangan laut khas Korea Selatan berupa rajungan biru segar yang sebelumya sudah direndam dalam kuah kecap asin selama 24 jam. Di dalam kuah kecap asin tadi ada potongan buah apel dan pir, terlihat sangat segar dan enak. Rin jadi ingin mencobanya. Pagi itu Rin ingat sekali mereka membuat sebuah ikrar super absurd; sama-sama ingin makan ganjang gejang di negeri asalnya sampai puas. Pokoknya ingin mencoba banyak makanan yang aneh-aneh. Yang lebih ganjil dari serangga goreng dan hidangan tahu busuk dari China.

"Kita sudah lama merencanakan liburan ini, lho. Kalau kau mendadak tak minat lagi--" Mikuo menoleh ke belakang, meneliti perubahan ekspresi wanita pirang kesayanganya. Rin duduk diam di seberang meja, tampak lucu dan ling-lung, tetapi tak menolak kontak mata yang Mikuo berikan, "--jangan-jangan kalau ketemu yang lebih baik dan ganteng kau akan lupa padaku juga?"

"Yang baik dan ganteng banyaaaak. Tapi tidak ada yang sesabar Mikuo, dan tidak ada yang bisa masak tumis pare seenak ini. Jadi aku tak akan melupakanmu."

"Senang mendengarnya." Mikuo menyodorkan sepiring goya chanpuru pada Rin, kemudian ia juga mengangsurkan dua piring omurice dan salad kentang. "Aku lupa bilang, kemarin saat pulang dari Von aku sempat buat lima cangkir panna cotta kacang hijau."

"Apa aku sudah bilang kalau hari ini kau kelihatan ganteng sekali?" Selusuh Rin nampak antusias. Ukulele tua favoritnya tak lagi ada di pangkuan. Mata gadis itu memandangi hidangan brunch racikan suaminya dengan mata berbinar-binar. "Rambut toska berantakan itu, pipi yang menyisakan jejak bantal, alis berkerut, wajah masam-mu. Duh, gantengnya!"

Mikuo tidak akan berbohong, tetapi sebetulnya ia senang dipuji-puji. Terlebih oleh Rin.

"Akan lebih ganteng kalau kau keluarkan panna cotta kacang hijau yang ada di kulkas."

Oh, dipuji karena ada motif terselubung. Tak masalah, Mikuo tetap senang kok.

"Pujianmu keluar kalau ada maunya saja, ya." Mikuo mendudukkan diri di kursi meja makan, berhadap-hadapan dengan Rin setelah sebelumnya menaruh semua peralatan dan perabot dapur habis pakai ke dalam bak cuci piring. Ia berniat mencuci semuanya begitu meyelesaikan acara makan-makan mereka.

Mikuo baru saja hendak mengungkit soal Ubud, berniat melakukan negosiasi agar Rin setuju obsesinya itu dituntaskan tahun depan saja, biar bisa menyiapkan cuti jauh-jauh hari dan tidak keteteran.

"Omong-omong soal Ubud-Ubud tadi, bagaimana kalau--"

"Tahun depan, kan? Oke." Respon Rin cepat setelah meneguk habis segelas air dengan perasan air lemon dan madu. Mikuo sampai kaget. Semudah itu?

"Oh, ya Mikuo. Terima kasih karena sudah masak makanan yang enak siang ini. Sebagai balas budi aku akan bantu cuci piring dan masak hot pot untuk makan malam kita!"

Siapa yang membutuhkan variasi kalau Mikuo punya kawan hidup yang penuh semangat begini? Kalau harus tinggal menahun di dalam losmen tanpa plesiran ke mana-mana untuk liburan pun ia tak akan keberatan. Tidak, selama ia punya Rin di sisinya. Sisa hidupnya pasti dipenuhi gempita.

xxx

FIN

xxx

Catatan: Goya chanpuru itu semacam tumis pare ala Jepang. Biasanya ditambah irisan daging sapi dan telur saat dimasak agar meminimalisir rasa pahitnya yang mengigit.

Fanfic ini ditulis untuk senang-senang saja, kok. Semoga terhibur :)