"Taiga! Stop! It's danger—"
Gadis itu melempar tasnya kemudian berlari tanpa menghiraukan panggilan temannya. "Awas!"
Ia menerjang gadis berkimono di tengah jalan itu, bersiap merasakan nyeri di lengan dan kaki yang akan mendarat pada permukaan trotoar keras di seberang. Suara decit ban truk yang direm terdengar samar-samar di telinganya. Hanya suara napas terengah disertai hangat dalam dekapannya yang terasa jelas bagi siswi menengah atas itu –juga nyeri di siku dan betisnya.
"T –terima kasih," bisik gadis berkimono yang ada dalam dekapannya itu.
Ia tersenyum kecil sebelum tiba-tiba semuanya menggelap.
"Kagami!"
"Tai … ga …!?"
Pemuda dengan tahi lalat di bawah mata kanannya berhenti perlahan. Teman-temannya yang juga berlari dibelakangnya turut berhenti. Ketiga siswa berseragam itu saling berpandangan dengan raut kebingungan. "Ap–? Kagami? Kemana …?"
Di trotoar itu, tidak ada seorang pun.
Hanya ada sebuah ponsel hitam dengan gantungan harimau bertulis 'Kagami Taiga'.
000
S-E-P-T-E-N-A-R-Y
by : nom-de-plumee
An unprofitable fanwork of Kuroko no Basuke/黒子のバスケ © Fujimaki Tadatoshi, Shueisha, Production I.G, and Affiliations.
May KnB always stay alive in our hearts and imagination.
Friendship, Fantasy, Adventure, Romance
000
Kagami mengedipkan sepasang mata beriris merah miliknya beberapa kali, sementara bibirnya sedikit terbuka membentuk huruf 'O'. Lalu, ia berkedip lagi dan—
"Uwaaah!"
—ia duduk tiba-tiba, dengan kening yang membentur sesuatu.
"Aduuuuh. Sakit, ssu!"
Atau seseorang…? Seseorang bermanik mata emas yang berada di samping kanannya segera menegakkan punggungnya; tangan mengelus-elus keningnya dengan gerakan memutar. Melalui celah jemarinya yang memperlihatkan bagian keningnya, Kagami dapat melihat ada bekas yang memerah.
"Maaf, aku tidak sengaja— eh?"
Ada sepasang telinga yang terlipat ke depan di puncak rambut pemuda itu. Kagami mengerjapkan matanya, mengira dirinya berhalusinasi akibat tumbukan keningnya dengan kening pemuda itu. Tapi tidak, sepasang telinga hewan di kepalanya masih berada di sana. Penasaran, gadis itu menarik salah satu telinga itu.
Tarik.
Tarik.
Tarik.
Pemuda di depannya memandangi Kagami dengan mata berkaca-kaca. "Sakit, ssu. Telingaku jangan ditarik-tarik, dong. Kalau putus gimana?"
Terbelalak, gadis bermarga Kagami itu segera melepaskan tarikannya dan menjerit 'gyaaaaah!' sambil mundur menyerong ke arah kiri untuk menciptakan jarak dari pemuda itu.
Bump.
Kagami menoleh ketika ia mendapati punggungnya membentur sesuatu. Atau seseorang. Atau ... udara? Tidak ada apapun di belakangnya. Hanya ruang hampa. Tidak ada sesuatu apapun di sana. Benar-benar kosong.
Deg. 'Eh?'
"Uwaaaah!" Kagami berteriak kaget ketika di ruang hampa itu muncul seseorang—
"Halo."
—yang menyapanya. Kagami menelan ludahnya dengan susah payah kemudian menyahut dengan terbata, "H -halo."
Degupan jantungnya masih berpacu kencang.
Seorang anak kecil duduk di ruang hampa sebelumnya, dengan kaki bersimpuh. Wajahnya datar dengan sepasang mata beriris biru yang menatapnya tanpa berkedip. Rambutnya berwarna biru muda seperti biru langit. Memperhatikan pemuda itu, Kagami merasa tenang; detak jantungnya perlahan memelan ke kecepatan normal.
Sesuatu menggores lehernya lalu segera digantikan dengan sensasi basah. Refleks, Kagami menyentuh sisi leher bagian kanannya dengan tangan kanan dan menengok ke arah itu. Ada wajah seorang pemuda berkulit gelap yang menjilat bibir, berjarak beberapa senti saja dari lehernya.
Pemuda berkulit gelap itu menyeringai dan memperlihatkan sepasang taring tajam yang salah satunya ternoda merah –yang segera dilap dengan jilatan lidahnya. Ketika kedua pasang mata mereka bertemu, pemuda itu mengejutkannya. "Boooo!"
"Aaaaah!" jerit Kagami sembari mundur cepat lurus ke belakang hingga punggungnya membentur dipan yang berbahan kayu.
"Hahahahaha! Konyol sekali. Raut wajahnya lucu!"
"Enggak sopan, ssu. Aomine-cchi tidak boleh begitu, ssu."
Kagami menggigit bibir bawahnya melihat dua orang di sisi kanannya itu. Si Kuning, ya, makhluk berambut pirang dengan sepasang telinga hewan itu: Si Kuning, dan vampir berkulit gelap itu: Aomine-cchi, saling beradu mulut. Dan Kagami baru menyadari, Si Kuning memiliki beberapa ekor yang terus bergerak-gerak di belakangnya. Kagami mencubit lengannya, merasakan sakit. 'Ini nyata?'
Kali pertama dalam hidupnya, Kagami merasakan kebingungan yang luar biasa. Suatu kenyataan yang mustahil nyata. Ia benar-benar bingung. Bahkan trigonometri tidak membuatnya sebingung saat itu. Gigi serinya menggigit bibir bawahnya semakin dalam.
Tes.
Bibirnya terluka, membuat setitik darah merembes melalui luka kecil akibat giginya.
Bam!
"Aw."
Kagami merasa bahunya diremas erat, membuatnya meringis kesakitan sembari memejamkan mata. Ketika ia membuka kelopak matanya, yang ia temui adalah lototan sepasang mata berwarna biru langit malam milik Aomine-cchi. Sepasang taringnya nampak semakin tajam dengan ujung taring yang sedikit memantulkan cahaya.
Vampir itu mendekatkan wajahnya pada wajah Kagami dan berbisik penuh ancaman, "Kau ingin kumakan, heh?"
"Le –lepas! Aku tidak bermaksud begitu."
"Baumu itu mengundang selera! Aku ingin menancapk— Tetsu?! K –kau!" Aomine-cchi melepaskan remasannya sembari meringis dan menoleh pada Tetsu Si Biru yang tiba-tiba saja sudah berada di antara kedua makhluk yang mulanya beradu mulut itu, dengan jemari yang menohok pinggang vampir itu.
Tetsu memandangi Aomine datar. "Aomine-kun, tolong jaga sikapmu."
"Kau seharusnya bilang begitu padanya! Dia yang minta dima— Hei!"
Aomine-cchi atau Aomine-kun tiba-tiba melayang. Kagami, masih takut-takut, mendongak dan menemukan jika vampir itu bukannya melayang, tapi diangkat oleh seorang tinggi besar berambut ungu. 'R –raksasa?! Tinggi sekali! Empat m-meter?! Uwaaah!'
"Mine-chin, aku akan menghancurkan Mine-chin kalau Mine-chin tidak menjaga sikap." Raksasa itu berkata sambil menggoyang-goyangkan badan Aomine-cchi atau Aomine-kun atau Mine-chin ke kanan dan ke kiri. Kagami mengikuti pergerakannya melalui arah pandangannya.
"Murasakibara, apa yang kaulakukan, heh?! Turunkan aku!"
"Tidak mau."
Aomine-cchi atau Aomine-kun atau Mine-chin meronta di dalam belenggu Murasakibara, kakinya menendang-nendang. "Murasaki—"
"Daiki, berhenti. Dan Atsushi," –seseorang yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu menyela–"lepaskan Daiki. Kecilkan juga tubuhmu."
Raksasa setinggi empat meter lebih itu mengerut perlahan sembari melepaskan vampir itu—yang menyumpah pelan–, membiarkannya jatuh di samping Kagami. Sementara Kagami membatu dengan punggung masih menempel pada dipan; Si Kuning dan Tetsu sudah turun dari tempat tidur dan berdiri di sekitar tempat tidur. Si vampir mengikuti, turun dari tempat tidur dan berdiri di samping Si Kuning.
Tepat di depan Kagami, seorang anak berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada. Di belakangnya, seorang berjubah hitam berkacamata berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Beberapa saat berlalu dalam hening, dengan Kagami yang mengucurkan keringat dingin di bawah tatapan mata berbeda warna iris anak itu. Ada suatu aura yang membuat bulu halus di tengkuknya meremang. Kagami membuka dan menutup genggaman tangannya pada rok sekolahnya beberapa kali hingga ia memutuskan membuka mulut; memecahkan keheningan. "A—"
"Selamat datang di Teiko."
Kagami menutup mulutnya; dahinya berkerut; matanya menatap anak kecil itu, tak mengerti.
"Selamat datang di Teiko. Kau akan membantu kami menemukan Satsuki, dan mengubah dunia ini."
Kagami menatap bingung. "Huh? Apa yang kaubicarakan, Bocah Pend—?!"
Zzzzt. Kretak.
Jika jantung perempuan muda itu mudah lepas, tentu nyawanya sudah melayang karena kaget. Belum usai ia bertanya, anak kecil beriris dwiwarna itu sudah melemparkan sebuah gunting yang menggores lehernya sebelum menancap di tembok. Segaris darah merembes pada garis itu. Kagami segera menutupi goresan itu sambil takut-takut melirik ke arah vampir yang berdecih kecil sambil membuang muka ke arah lain.
"Jaga bicaramu, Taiga."
'T –Taiga? Damn it, Bocah. Tidak sopan sekali.'
Bocah itu kemudian berbalik, diikuti oleh keempat orang lainnya. Kagami mendengarkan derap langkah kelimanya hingga hening melingkupi ruangan berukuran cukup luas dengan langit-langit yang tinggi itu. Gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu mengeluarkan napas yang tak disadarinya sudah ia tahan beberapa lama. 'Eh? Aku tidak merasa memberitahukan namaku. Darimana dia tau?!'
"Kagami-san."
"Uwaaah! K –kau? Sejak kapan?"
Tetsu Si Biru menatap datar. "Sejak tadi, Kagami-san."–Tetsu meletakkan sebuah kantong cokelat di samping Kagami–"Biar saya bantu mengobati luka Kagami-san."
"Huh? Kau juga tahu namaku?" tanya Kagami penuh penasaran.
Tetsu, yang sibuk mengeluarkan beberapa kantong kecil, menjawab datar, "Tentu. Tolong kemarikan lengan Kagami-san."
"Uh, oh. Terima kasih."
000
Dan ketika Kagami memandangi langit-langit yang jauh–sangat jauh–di atas sana, ia mendapati dirinya memutar ulang percakapannya dengan Kuroko Tetsuya, Si pemuda berambit biru yang ternyata adalah makhluk yang hawa keberadaannya sangat tipis. 'Hantu? Nah, aku masih bisa menyentuhnya.'
Ia kini tahu, dirinya ada di Teiko. Bagaimana ia bisa sampai di Teiko? Ia tak tahu. Ia hanya mengingat bagaimana ia menubruk seorang gadis berkimono yang berlari menyebrangi jalanan Tokyo ketika sebuah truk berkecepatan tinggi datang dari sebuah arah. Terpental ke trotoar yang dingin menjadi hal yang terakhir diingat Kagami sebelum semuanya menggelap –oh, dan juga suara merdu yang mengucap terima kasih.
"Ah, semoga Tatsuya dan yang lain tidak cemas …," bisiknya penuh kekhawatiran.
Hanya sebentar, Kagami berbincang dengan pemuda itu.
Kagami memiringkan posisi berbaringnya, meringis kecil menahan sakit lebam di lengan dan betisnya.
Tidak banyak, hanya beberapa hal dasar tentang Teiko; Kuroko berjanji menerangkan setelah dirinya beristirahat.
Gadis berkimono yang ditubruknya, Momoi Satsuki, adalah orang yang dicari oleh Si Bocah Pendek. Gadis berambut pink panjang sewarna bunga sakura yang mekar; seorang penyihir asli Teiko –tidak ada yang tahu bagaimana gadis itu bisa sampai di Tokyo. Ketika Kuroko menunjukkan sebuah lukisan gadis berambut pink, ia yakin gadis itu sama dengan gadis yang diselamatkannya.
Lalu, anak laki-laki yang beriris dwiwarna, Bocah Pendek, ternyata bukanlah seorang bocah. Usianya jauh di atas kelima orang lainnya. Akashi Seijuurou adalah raja, pemimpin, kakak bagi yang lainnya. Menyebutnya bocah pendek sama dengan menggali lubang kubur sendiri. Ia juga suka bermain-main dengan gunting, yang membuat Kagami mengeluarkan napas lega mengingat bagaimana gunting yang menggores kulitnya tidak membuatnya kehilangan nyawa.
Si vampir, Aomine-cchi atau Mine-chin, aslinya bernama Aomine Daiki. Seorang keturunan vampir berusia beberapa abad. Sebenarnya vampir berkulit hitam itu bisa bertahan beberapa lama tanpa meminum darah karena usianya yang sudah cukup tua itu. Terlebih lagi, ia lebih sering memakan daging-dagingan dibandingkan darah yang hanya diminumnya sesekali hanya karena merupakan makanan wajib bagi rasnya itu.
'Dasar Vampire gila. Lihat saja akan kuhajar kau besok!'
Kagami menyipitkan matanya, merencanakan balas dendam pada vampire itu.
Si Kuning, bernama Kise Ryouta, seekor rubah berekor sembilan, sebagai pertanda dirinya sudah mencapai metamorphosis terakhir bagi seekor rubah. Parasnya paling indah di antara semuanya. Bahkan di Teiko, legenda turun temurun selalu menyebutkan kalau pemuda itu adalah makhluk paling cantik di dunia dan tidak ada bandingannya.
Dan raksasa setinggi empat meter itu adalah Murasakibara Atsushi, namun mampu mengecilkan badannya, tidak seperti raksasa-raksasa lain yang sejenis dengannya. Ia yang paling kuat di antara keenam orang yang sudah Kagami temui. Tanpa niat, Kagami mengingat bagaimana ia mengangkat Aomine dengan sangan mudah.
'Dia pasti mampu menghancurkanku hanya dengan sekali tendang!'
Kagami menarik selimut hingga dagunya, merasa dingin tiba-tiba.
Dan yang terakhir, pemuda berkacamata yang hanya berdiri di ambang pintu menemani Akashi adalah Midorima Shintaro. Seorang penyihir seperti Momoi, hanya lebih fokus pada falakiah. Kemampuannya dalam meramal sangat mumpuni dan dapat dipercaya. Selain itu, ia juga mengetahui berbagai macam obat-obatan.
Kagami mengaitkan jari-jemarinya lalu memandangi bulan yang bersinar temaram –berwarna kelabu. Sinar kelabunya–yang kontras dengan langit yang berwarna merah pekat darah–menembus melalui sela-sela atap tembus pandang di atasnya membuatnya bergidik tak nyaman. Kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya tidak akan ia terima hingga esok hari.
'Bagaimana aku bisa ada di sini?'
'Kenapa aku ada di sini?'
'Siapa mereka sebenarnya?'
'Apa yang sedang terjadi?'
Dan yang terpenting: 'Bagaimana caraku kembali ke Tokyo?'
000
to be continued
000
Salam kenal! Fic pertama di sini :"3/ *giddy-giddy*
I hope you enjoyed reading this~
