"Untuk seorang mata-mata, kematian adalah akhir dari segalanya."

Kedua bola mata itu terbuka separuh. Sekeliling Miyoshi terasa dingin, suhu ini seperti air lautan di musim dingin. Ia tidak tahu, apakah ia sedang di dalam lautan Baltik atau sedang berada di kereta menuju Berlin. Ingatan terakhirnya hanyalah ketika ia menorehkan noda darah di jemari ke kerah tempat microfilm dijahitkan di sana. Sesaat setelah ia menorehkan, batinnya berkata rusuh mengenai peraturan mata-mata dan rumahnya.

Apakah sesaat sebelum orang menghembuskan napas terakhir, pikiran orang tersebut lebih ribut dibandingkan ekspresi wajah orang itu sendiri? Tak banyak yang bisa menebak secara pasti mengenai isi hati orang yang tengah dijemput ajal. Apakah gundah atau justru pasrah? Siapa tahu kalau ekspresi wajah bisa menipu keadaan hati yang sebenarnya dari luar?

Gravitasi terasa menarik dirinya pelan-pelan, ia melayang di dalam air. Beberapa saat sebelumnya Miyoshi sadar, bahwa tempat ia berada sekarang bukanlah di dalam kereta atau di bawah tutup peti mati, melainkan lautan.

Bagaimana ia bisa berada di sini? Bukankah ia sudah mati? Apakah ini adalah dunia setelah kematian untuk para orang tak beragama seperti dirinya?

'Dingin ini ... terlalu menusuk,' batin Miyoshi. Ia tidak bisa membedakan apakah ini neraka atau surga.

Tidak, sejujurnya Miyoshi tidak benar-benar mengenal neraka maupun surga.

Orang seperti dia sama sekali tak mengenal neraka ataupun surga. Orang beragama saja bahkan tidak tahu secara pasti seperti apa itu neraka dan surga, bagaimana dengan orang tak beragama?

'Di mana aku...? Tak mungkin aku hidup kembali, kan?' batin Miyoshi, sementara tubuhnya terus ditarik oleh gravitasi.

Begitu dalam, semakin lama semakin gelap. Miyoshi sama sekali tak khawatir jika tubuhnya hancur ditekan tekanan air, ia sudah tahu diri telah menjadi seonggok benda mati.

Tapi mengapa ia merasa seakan tengah hidup?

Air di sekelilingnya terasa seperti oksigen. Miyoshi bisa bernapas di bawah air.

Benak Miyoshi menumbuhkan banyak pertanyaan, mulai dari di mana sampai kenapa. Tubuhnya terasa kaku meskipun tubuhnya terbelai sangat pelan oleh gelombang air, tangan dan jemarinya bergerak-gerak dimainkan gelombang yang menari lembut. Ia merasakan basah dan dingin, tapi ia bisa bernapas.

Mata Miyoshi melirik ke dadanya.

Dada Miyoshi naik-turun seperti sedang bernapas dengan normal. Keanehan ini membuat Miyoshi kembali bertanya. Seperti inikah dunia setelah kematian?

"Bagi mata-mata, kematian adalah akhir dari segalanya."

Bola mata Miyoshi melebar sedikit ketika ia merasa mendengar gema suara. Seperti mengingatkan.

Apa maksudnya?

Jika kematian adalah akhir dari segalanya, bukankah berarti ia lenyap dari dunia? Lenyap dari manapun? Tidak merasakan kehidupan kedua?

Lalu ini apa?

"Mungkin kau sedang berada di ambang hidup dan mati?"

Kepala Miyoshi menoleh ke kanan, ia terkejut kala mendapati seorang temannya tengah berdiri di sampingnya, tersenyum kasual namun seperti menyimpan banyak sekali rahasia.

"Odagiri?"

Kali ini Miyoshi tak bisa menahan keterkejutannya ketika menyadari bahwa mulutnya mampu berbicara di dalam air.

"Tak perlu bingung, tak ada yang mustahil di dunia selain dunia nyata."

"Ini di mana?" tanya Miyoshi, tak memedulikan perkataan Odagiri yang seolah membaca isi kepalanya.

"Di dunia antara hidup dan mati, kurasa?"

"Dunia antara hidup dan mati? Lalu kenapa kau ada di sini? Kapan kau mati?"

"Mungkin karena aku pernah masuk ke dalam kehidupanmu sehingga aku diperbolehkan untuk menjadi orang yang bertanya padamu?"

"Apa?"

"Agensi D adalah keluarga sekaligus rumah bagi kita," Odagiri tersenyum kecil, "mungkin kau menganggapku bagian dari keluarga sehingga aku bisa berada di sini?"

Ia tidak mengerti. Segala keadaan ini membuat Miyoshi tidak mengerti. Odagiri pun banyak tersenyum, apakah ini hanya perasaannya saja ataukah Odagiri yang banyak tersenyum itu tampak aneh untuknya?

"Aku tahu kau kebingungan."

"Tidak, kenapa kau berpikir seperti itu?"

Sudah mati pun menjaga gengsi. Miyoshi sadar diri ia benar-benar orang mati yang tak tahu diri.

"Karena ekspresimu." Odagiri tersenyum simpul.

Miyoshi tak merespons.

"Jadi, aku akan memberimu pertanyaan dan kau harus menjawabnya. Nasib hidup dan matimu tergantung kepada seperti apa jawabanmu."

"Apa? Aku sudah mati, Odagiri."

"Kau sekarang berada di dunia antara hidup dan mati. Besi yang menusuk dadamu itu hanyalah sebagai gerbang masuk ke dunia ini."

Miyoshi terdiam.

"Aku hanya akan memberi satu pertanyaan, yang lain juga akan memberimu masing-masing satu pertanyaan."

"Yang lain?"

"Agensi D. Tentu kau mengenal mereka, bukan?"

Mata Miyoshi membola.

"Mereka juga akan memberimu pertanyaan. Bila semua pertanyaan sudah kaujawab, maka jawabanmu akan diperhitungkan untuk menimbang gerbang manakah yang akan kaumasuki. Apakah gerbang kematian atau kehidupan? Entahlah, yang jelas kalau kau masuk ke dalam gerbang kematian, maka kau harus melewati sekali lagi sesi pertanyaan yang akan menentukan ke mana kau akan masuk: neraka atau surga."

"Hari ini kau banyak bicara, ya, Odagiri."

"Ya, tapi jangan sebut hari, di dunia ini tak mengenal waktu."

Miyoshi terdiam lagi.

Tak ada percakapan lagi, percakapan seperti diputus entah oleh siapa. Namun masih ada yang mengganjal di dalam benak Miyoshi.

"Mengapa aku bisa diberi kesempatan seperti ini? Jika aku hidup kembali, bukankah akan terdengar aneh?"

"Saat ini kau sedang berada di Rumah Sakit Berlin dan statusmu adalah tewas. Jika kau hidup kembali, maka segeralah lari dari sana sebelum tentara Jerman menangkapmu. Jangan sampai kau terlihat oleh orang lain kecuali kami."

"Kecuali apa?"

"Kami. Kami akan menunggumu di sekitar Pemakaman tempat nantinya kau akan dikubur. Kami menjemputmu di sana."

Mata Miyoshi membola, "Mana mungkin, bukankah kalian yang asli tidak tahu soal dunia ini?"

"Siapa bilang? Kami terikat dengan yang asli, karena kami sejiwa dengan mereka." Odagiri menepuk pundak Miyoshi, "Sama sepertimu yang terikat dengan kami karena ikatan kita semua di Agensi, maka dari itu kau bisa berada di sini dan kami bisa membantumu di sini."

Tak ada jawaban dari Miyoshi, ia terlampau kaget dihadapi situasi tak masuk akal seperti ini.

"Kami yang asli sama sekali tak menerima perihal berita kematianmu, kami ingin kau tetap hidup, Miyoshi." Mata Odagiri untuk sesaat tertutup, "Kau juga sebenarnya tak ingin mati dan terus hidup, keadaanmu yang mati dalam mata setengah terbuka sudah menjelaskan semua."

Ingatan Miyoshi di saat detik-detik kematiannya pun pulih. Memang, sebelum ia benar-benar dijemput ajal, ia memikirkan sebuah penyesalan.

"Kau sama seperti Ophelia. Kau mati, namun tampak seperti hidup. Tak jelas apakah kau sebenarnya sudah mati atau masih hidup, sama seperti Ophelia, kan?"

Ophelia, wanita di dalam cerita Hamlet karya Shakespeare. Ia sempat membicarakan itu bersama Kaminaga sebelum pergi ke Jerman.

"Maka kau bisa berada di sini untuk memperjelas statusmu, sekaligus kesempatan untukmu. Jangan tanyakan siapa yang memberimu kesempatan. Aku hanya yakin bahwa ini semua terjadi karena keinginan kuat kita bersama."

"Keinginan kuat?"

"Jangan mati, jangan membunuh. Kita hidup di bawah naungan slogan tersebut. Terlebih, kita satu keluarga."

Kali ini Miyoshi benar-benar terbungkam.

"Sepertinya aku terlalu banyak membuka kartu, aku bisa diomeli Hatano karena terlalu lama."

Nama itu ... Miyoshi berdebar, apakah semua teman-temannya berada di sini?

"Lebih baik kita mulai, persiapkan dirimu."

Kali ini, lembar jawaban benar-benar akan dibuka.

.

.

.

Joker Game (c) Yanagi Koji

Natsume Rokunami present

Underwater

Joker Game fanfiction.

.

Happy Reading

.

.

.

Keheningan yang mengutarakan kecanggungan.

Ketika Odagiri menyatakan mulai, hanya tersisa keheningan mendadak, tidak ada percakapan, namun hanya ada tatapan dua pasang mata saling memandang tajam, ingin mengungkap rahasia yang disimpan di balik sorot manik itu.

Miyoshi tidak menyangka akan diberi kesempatan untuk hidup.

Ketika ia melihat besi kereta menusuk dadanya, ia hanya berpikir penyesalan-penyesalan selama hidup, merasa bersalah karena tidak dapat bertahan hidup.

Tapi kau kecelakaan.

Mata Miyoshi menutup, ia paham, namun entah mengapa tak bisa ia terima.

"Apa kau sudah siap?"

Mata itu kembali terbuka, menatap Odagiri yang tampak ingin segera memulai.

Aku harus berhasil melewati ini.

"Pertanyaan dariku: Apakah kau memiliki ketakutan sepanjang hidupmu?"

Ketakutan?

"Aku punya."

Ya, Miyoshi punya banyak ketakutan. Tak ada yang mengira bahwa Miyoshi memiliki banyak ketakutan, Miyoshi begitu ulung menyimpan rahasia rapat-rapat. Ia tahu bagaimana harus menipu.

"Apa ketakutanmu?"

Ia tersenyum.

"Aku takut kepada banyak hal, Odagiri, kalian tidak pernah tahu ini."

Odagiri diam saja.

Miyoshi memberikan gestur kasual, berbicara kepada Odagiri seakan sedang berbincang ringan bersama kawan lama, "Aku akan mengurutkan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Pertama, aku takut kegelapan."

Berbicara masa kecil Miyoshi, Miyoshi kecil memiliki ketakutan kepada kegelapan.

"Dulu sewaktu aku masih kecil, aku mengalami trauma berat. Keluargaku selalu mengurungku di kamar yang gelap, sementara mereka sibuk bertengkar di luar kamar. Masa kecilku penuh dengan cacian, teriakan, suara pecahan piring, dan tangisan frustasi."

Ekspresi Odagiri mulai berubah.

"Aku tak pernah menyukai rumahku yang asli, tapi sejak aku bertemu Yuuki-san, Agensi D menjadi rumahku satu-satunya. Satu-satunya alasanku untuk kembali."

Agensi D adalah satu-satunya rumah Miyoshi. Ia tidak bisa pergi, dan ia takkan mau pergi.

Sampai mati ia ingin membaktikan diri kepada Agensi ini.

"Kedua: Aku takut ditinggalkan dan meninggalkan."

Ia tidak pernah suka ditinggalkan ataupun meninggalkan orang karena ia tahu bagaimana rasanya. Kenangan masa kecil yang tak cocok disebut sebagai 'kenangan masa kecil' itu memberikan trauma besar kepada Miyoshi. Miyoshi kecil sudah terlalu kenyang akan ditinggalkan, ia berjanji tidak akan meninggalkan orang, tak seperti yang dilakukan kedua orang tuanya kepada Miyoshi.

Ia takut jika Yuuki membuangnya.

"Ketiga: Aku takut jika aku tidak dapat berguna."

Alasan mengapa Miyoshi selalu ingin melakukan yang terbaik adalah karena takut ia tidak bisa berguna. Ia selalu berpikir keras bagaimana caranya agar ia dapat berguna, tidak ada yang tahu bahwa di balik kesempurnaan seorang Miyoshi, tersimpan kegundahan dan kerja keras untuk menjadi orang yang berguna.

"Keempat: Aku takut sendirian."

Tinggal sendirian di Jerman adalah salah satu yang paling ia takuti, namun selalu ia tutupi. Ia hanya melukis, belajar tentang seni, mengisahkan sebuah cerita khayalan kepada anak-anak tetangga di pesta Natal tiap waktu tidur, atau berkutat soal pekerjaannya yang sebenarnya sebagai mata-mata.

Tidak ada teman sekamar. Hanya ada dinding, seni, dan aku.

"Kelima: Aku takut merasakan penyesalan."

Di balik wajah damainya, tersimpan sebuah ketakutan besar di balik matanya. Ia takut menyesal, ia takut telah melewatkan sesuatu. Ia takut melanggar peraturan mata-mata Agensi D. Ia takut kalau tidak menepati janji.

"Jadi saat itu kau sedang mengalami ketakutan nomor lima?" tanya Odagiri.

"Kelihatan, ya?"

"Kami sudah lama mengenalmu. Mungkin orang lain akan melihatmu terlihat tak ada yang aneh, namun di mata kami tidak."

"Kalian pakai indra keenam, ya?"

"Jangan bercanda di saat seperti ini."

Miyoshi tersenyum simpul.

"Di luar dugaan, kaupunya banyak ketakutan."

"Aku juga manusia, Odagiri. Walau sering sekali menipu membuatku merasa seperti tak lagi menjadi seorang manusia."

Miyoshi yakin seratus persen bahwa di dalam Agensi D, bukan hanya dirinya yang terlalu banyak menipu-nipu hati sendiri. Mata-mata menuntut banyak, dimulai dari identitas asli sampai perasaan. Semua dianggap data paling aman untuk disimpan di dasar benak sendiri, hanya itu tempat yang aman.

"Namun aku tahu kalau kau jujur dalam perkataanmu, kaubisa melewatiku." Odagiri tersenyum, mundur perlahan memberi Miyoshi jalan.

"Melewatimu?"

"Tazaki adalah penanya selanjutnya."

"Kalau aku berhasil melewati kalian semua?"

"Akan dipertimbangkan lagi apa kau lebih baik tetap hidup atau mati."

Miyoshi merasa gravitasinya menarik dirinya lagi, Odagiri tersenyum dari kejauhan. Tangan Miyoshi tanpa sadar terulur kepada Odagiri.

Sosok Odagiri semakin lama semakin mengecil ditelan lautan. Ketika sadar bahwa Odagiri sudah sepenuhnya menghilang, sebuah suara familiar terdengar menyapanya.

"Halo, Miyoshi."

Miyoshi menoleh ke asal suara, mendapati Tazaki sedang tersenyum padanya seraya melambaikan tangan pelan. Seekor merpati hinggap di bahunya.

"Halo, Tazaki."

Senyum mereka sama-sama terulas, mengingat kenangan kawan yang akan mereka tinggalkan selama-lamanya.

"Senang bertemu lagi denganmu, Miyoshi."

.

.

.

next. tazaki.

.

.

.

Thanks for Reading.