ansatsu kyoushitsu © matsui yuusei; no profit gained, no copyright law infringement intended.

this is a very late entry dari penyelenggara yang tidak tahu diri mohon ampuni aku teman2 ;u;

.

.

.

day 1,

something she would wear.

.

.

.

Rio merogoh saku, mencari kunci flat-nya yang terkubur oleh lembaran-lembaran poundsterling dan bungkus permen. Setengah menit ia habiskan mengaduk-aduk isi saku, namun ujung-ujung jarinya tak kunjung menyentuh kelinci plastik yang ia jadikan gantungan kunci. Hal ini seketika membuatnya sedikit panik—ayolah Rio, kau tidak bisa menghilangkan kunci flat untuk ketiga kalinya tahun ini. Membayangkan harus menghadap landlady-nya lagi untuk meminta kunci membuat perutnya mulas. Beliau memang baik hati, tapi ada hari-hari buruk di mana Rio lebih memilih untuk bertarung melawan Loch Ness dibandingkan berurusan dengan landlady-nya, dan salah satu contoh hari buruk itu adalah ketika Rio mengurus kuncinya yang sudah hilang untuk kedua kalinya tahun ini, kira-kira dua bulan yang lalu. Pada saat seperti ini, Rio langsung menyesali mengapa ia tak segera menggandakan kunci flat-nya, untuk masa depan yang lebih baik.

Beruntungnya, Rio dapat menemukan kuncinya tak lama kemudian, terselip di antara bungkus-bungkus permen yang ia jejalkan sembarangan ketika ia tidak dapat menemukan tempat sampah di jalan. Gadis itu menarik napas lega, bahagia dengan kenyataan bahwa ia tidak perlu melaporkan kehilangan kunci lagi, juga bahagia karena ia bisa segera mandi air hangat. Tubuhnya yang basah kuyup karena terkena hujan sudah berteriak-teriak meminta kehangatan.

Buru-buru Rio membuka pintu flat-nya, menanggalkan sepatu di belakang pintu—Rio sesungguhnya akan lebih suka dan lebih lega seandainya flat ini punya genkan—dan melesat masuk ke kamar mandi, menikmati waktunya dengan air hangat dan bath bomb yang baru saja dibelinya.

London masih diguyur hujan deras. Setelah ini, Rio harus ingat untuk menggandakan kuncinya—atau setidaknya, memasukkan hal tersebut dalam agendanya.

.

.

.

Kalau sedang hujan seperti ini, Rio paling suka menyeduh kopi dan ramen instan yang dibawanya dari Jepang. Hujan yang terlalu sering turun di London membuat persediaan ramen-nya jadi cepat habis; mungkin di akhir pekan nanti ia harus membeli ramen instan yang dijual di beberapa toko dekat flat-nya, meskipun terkadang rasanya berbeda dengan ramen instan yang ia bawa dari Jepang.

Ia melangkah menuju sofa dan meletakkan ramen serta kopinya di atas meja, bermaksud untuk menikmatinya sambil menonton televisi. Belum cukup, masih ada yang kurang. Ia butuh selimut kesayangannya untuk menemani sorenya yang mendung ini—Rio baru saja bergerak menuju kasur untuk mengambil selimutnya ketika ia akhirnya teringat bahwa selimutnya masih ada di binatu. Rio mengeluh pelan. Mungkin ini saatnya membongkar lemari dan mencari selimut lain, meskipun selimut itu mungkin tidak dapat menggantikan kehangatan dan kenyamanan selimut kesayangannya.

Lemari Rio terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama dan kedua tempatnya menyimpan pakaian yang biasa ia pakai sehari-hari, bagian kedua untuk menyimpan cadangan seprai, sarung bantal, selimut, mantel yang jarang dipakai, dan baju-baju yang sudah kekecilan. Singkatnya, bukan bagian favorit dari lemarinya.

Rio memeriksa tumpukan di bagian paling bawah. Setidaknya, meskipun bagian itu bukan bagian favoritnya, ia masih ingat di mana ia menyimpan selimut. Ada beberapa selimut cadangan yang ia punya, sehingga ia harus memilah-milah terlebih dahulu mana selimut yang setidaknya mendekati selimut kesayangannya.

Gerakan tangannya yang sedang memilah-milah selimut seketika terhenti ketika ia menemukan sebuah sweater terselip di antara selimut-selimut tersebut. Dahinya berkerut, mempertanyakan keberadaan sweater di tengah-tengah selimut. Ketika dibentangkan, sweater biru muda tersebut menampilkan gambar sebuah kumis dan topi, membuat Rio seketika teringat kembali memori dua tahun yang lalu.

.

.

"Nih, bawa ya."

Besok Rio akan berangkat untuk melanjutkan studinya ke London, dan sore ini Karma melemparkan sebuah sweater yang masih dibungkus plastik ke arahnya. Rio mengerutkan alis, heran karena Karma mau repot-repot datang ke rumahnya untuk mengantarkan sebuah sweater.

"Sweater?" tanya Rio.

"Kata mamaku, di London sering hujan. Biar nggak masuk angin." Karma menunjuk-nunjuk sweater yang kini sudah dipegang Rio. "Aku beli di butik tempat mama biasa beli sweater, kualitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Maaf kalau gambarnya agak norak."

Rio mendengus menahan tawa. "Mamamu yang pilih, ya?"

Karma menggaruk kepalanya. "Maklumi saja, selera ibu-ibu."

Melihat reaksi Karma barusan membuat Rio semakin geli. Disenggolnya lengan Karma sambil menampilkan cengiran jahil di wajahnya. "Jangan minta tolong Mama terus, dong, bagaimana sih kamu ini. Payah deh, bagaimana nanti kalau punya pacar?"

Karma memalingkan wajah, menghindari ledekan Rio barusan. "Apa sih."

Rio tersenyum lebar.

"Anyway, terima kasih banyak untuk sweater-nya. Lucu, kok," ujar Rio setengah menghibur. "Pasti akan kupakai."

"Tentu saja kau akan memakainya," tukas Karma penuh percaya diri. "Pilihanku kan selalu berkualitas."

"Lho, katanya tadi mamamu yang memilih!"

"K-kan aku juga bantu!"

.

.

.

Ah, kenapa aku bisa lupa?

Sweater biru muda itu pas di tubuhnya, meskipun dua tahun sudah berlalu.

.

.

.

Hujan turun sampai malam. Meskipun begitu, Rio tidak merasa kedinginan.

Ia terlelap di atas sofa, dengan televisi masih menyala, gelas kopi dan mangkuk ramen tergeletak di atas meja, serta sweater biru muda menempel di tubuhnya.