Disclaimer: Masashi Kishimoto
Genre: Romance, friendship.
Warning: Shonen-ai, typo-s, AU, OOC
Rate: T
Pairing: SasuNaru, ... xNaru
.
.
.
Sasuke Uchiha tak tahu mengapa dirinya seringkali menatap pendar sapphire nun jauh di sana. Padahal mereka sesuatu yang sama. Namun, binar biru itu membuat maknanya jadi berbeda.
Binar biru yang mengingatkannya pada Pantai Kahanamoku Waikiki, Oahu, Hawaii. Dengan debur ombak yang selalu meningkatkan gairah para surfer untuk menjelajahinya.
Ia tak tahu mengapa helai matahari yang tak rapi itu terasa lebih lembut daripada surai merah jambu kekasihnya yang cantik dan selembut beledu. Padahal si carramel-tan yang indah itu tak pernah ia cecap satu kalipun rasanya dalam masa hidupnya. Padahal ia tahu tak pernah secuilpun lekuk tubuh berseragam itu menggunakan sabun mandi yang mahal.
Kemanapun ia selalu melangkah dengan berjalan kaki. Tidak seperti dirinya yang kemanapun tujuannya selalu ada benda mewah yang mengantarkan dirinya.
Sasuke tak mengerti, padahal mereka saling tak mengenal, berbeda dunia, tidak dalam satu lantai yang disebut kemewahan. Dimana dirinya hidup dalam surga dunia bergelimang kekayaan. Memiliki dua orang yang bisa disebut ayah dan ibu.
Sedangkan sosok yang terkadang ia tatap hanyalah seorang yatim piatu, hidup dalam pintu rumah kelas bawah.
Dan jika diri si pirang berada dalam lingkup bernama sekolah mewah ini, tak lain karena sebuah uluran tangan dan sebuah otak cerdas yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Dirinya si hitam malam sedangkan ia si biru siang. Ia si onix, permata hitam berharga yang terkurung dalam lemari harta kalangan jet-set. Sedang sosok di seberangnya itu adalah si sapphire, permata biru. Cairan kebahagiaan abadi di antara padang sampah.
Sasuke selalu mencoba mengacuhkan karakter yang penuh gairah hidup itu. Mencoba tak perduli meski pendar sapphire itu terus membayangi siang-malamnya.
Ketika ia menyesap pagi, saat ia masih di tempat tidur hangatnya. Orang yang selalu ada dalam otaknya itu pasti sudah terjaga sedari subuh membentang. Mengerjakan segelintir pekerjaan berat di bahunya.
Dan karena hal itulah yang membuat seorang tanpa ekspresi seperti Sasuke Uchiha tidak bisa mengacuh-kan sosok penuh warna tersebut. Ia tak bisa membuang sosok matahari yang ingin sekali keberadaannya dirasakan, dihargai dan dipandang semua orang. Meski terkadang kelompok berada memandang rendah dirinya.
Ia selalu bertanya pada dirinya, kenapa si matahari selalu ceria? Meski langit takdir yang mendung selalu bermusuhan dengan si pirang manis itu. Mengapa ia masih bisa membuka cengiran lebar di wajahnya? Mengapa orang yang bisa membeli segala yang ada di dunia seperti dirinya tak memiliki semangat seperti itu.
Kemudian, Sasuke tahu jawabannya.
Ia tak memiliki cinta... cinta yang sebenarnya.
Dan Uchiha Sasuke menyadari bahwa dirinya tak bisa membeli cinta untuk memilikinya. Ya, cinta tak bisa dibeli untuk dimiliki.
Jika ia inginkan cinta maka ia harus mendapatkannya dengan berusaha.
Dan mulai belajar dari orang yang benar.
Seperti Namikaze Naruto mungkin.
.
.
Sapphire In The Sky
¤ . ¤
* Chapter one *
¤ . ¤
.
.
Cinta adalah salah satu penyemangat hidup seorang Naruto. Setelah membantu sang Paman menyiapkan bahan-bahan untuk membuat mie dan bumbu-bumbu kuah ramen. Naruto pun bersiap ke sekolah.
Seragam SMA Konoha Internasional telah dikenakan-nya. Ia tinggal berjalan kaki ke sekolahnya yang lumayan jauh.
"Paman, aku berangkat!" salam berpisah si pirang. Ia pergi dengan berlari. Menembus pagi agar datang cukup awal di sekolah mewahnya.
.
.
.
Sunyi sepi, hanya segelintir murid yang mau datang sepagi ini. Termasuk si rambut merah darah yang perlahan memasuki sekolah dengan mengendarai sepeda.
Pemuda jangkung itu memarkirkan sepedanya. Dan berjalan lambat-lambat sembari menatap seorang pemuda bermata sapphire yang di penuhi bulir-bulir keringat yang menyehatkan.
Semilir angin menyapa keduanya. Si pirang merasakan sejuknya ransangan sang angin yang terhempas lembut ke pori-pori tubuhnya. Sama sekali tak memperhatikan bahwa si jangkung tengah menatapnya kagum.
Naruto terus berlari hingga ke kelasnya di lantai tiga sana— yang masih kosong melompong. Meninggalkan si Jangkung yang masih berjalan perlahan. Menemukan adegan menarik hari ini, untuk di masukannya ke memori otaknya.
.
.
"Hei, Naru-chan," panggil si pecinta Anjing, Inuzuka Kiba. Pemuda yang orang tuanya pemilik pet shop itu menggoyang-goyangkan badan si pirang yang tengah terlelap.
"Sebentar...ramennya sebentar lagi di antar..." gumamnya.
"Naruto! ada kepala sekolah tengah inspeksi mendadak!"
Naruto bangkit dari tidurnya dengan mendadak. Separuh nyawanya masih melayang ke tempat domba-domba mimpi, setelah mengerjapkan mata beberapa menit dan sayup-sayup mendengar suara tawa seseorang di sampingnya barulah ia sadar. "kau bohong, Kiba," Naruto menjitak kepala si pecinta anjing dengan kencang.
"Hahaaha, maaf naruto!" ucap Kiba setelah menghentikan tawanya. "Kau sepertinya kelelahan, tadi malam banyak pengunjung di kedai Paman mu, ya?"
Naruto mengangguk, sambil menutup mulutnya yang masih menguap. "Tadi malam Paman bukanya sampai jam satu pagi."
"Naruto, Naruto, kau anak rajin dan pekerja keras."
"Ya, ya, ya. Aku tersanjung mendengarnya." Naruto mengucek-ngucek matanya sejenak.
Bel berbunyi menandakan pelajaran pertama berlangsung.
"Si Uchiha itu tidak masuk lagi hari ini," ucap Kiba sambil menatap bangku kosong kedua dari kiri mereka.
"Mungkin anak orang kaya banyak kesibukannya," ucap Naruto. "Selain sekolah, kurasa..."
Mereka berhenti bercakap-cakap ketika Genma-sensei masuk dan memulai pelajaran hari ini.
Naruto menatap langit biru yang mirip dengan matanya itu.
Satu hari, terlewati lagi olehnya di sekolah ini.
.
.
.
Sebuah pukulan membuat Naruto terhempas ke belakang, terjatuh membentur tanah. Pukulan itu membuat memar biru muncul di pipinya.
"Hari ini cukup sampai di sini saja, kuning. Anggap itu salam perkenalan setelah sebulan tidak bertemu." ucap seorang gadis berambut merah. Gadis yang tengah mengenakan seragam serampangan itu memandang puas hasil yang dibuatnya di wajah si pirang. "Kita pergi dari sini!" sehabis itu dengan ketus ia memerintahkan anggotanya untuk bubar.
Naruto menyentuh pipinya perlahan, "Aww, aduh sakit sekali." ia mencoba berdiri, bahu dan tulang belakang terasa sangat nyeri, akibat ulah gadis berambut merah dan anak buahnya tersebut. "Haah, bagaimana aku harus menjelaskannya pada Paman," keluhnya. Padahal ia tidak suka berkelahi, ia bukan berandalan. Dan bukan dirinya yang memancing perkelahian. Tapi ada saja pihak-pihak tertentu yang membencinya.
"Tidak salah apa-apa tapi harus kena getahnya," rutuk Naruto. Sambil perjalan pelan-pelan, Naruto berkata lagi, "Nasib, nasib...Haaah~"
.
.
.
Keesokan pagi
.
Naruto berjalan perlahan hari ini, tidak seperti biasanya—kalau biasanya ia berlari ke sekolah. Pinggangnya masih sakit, dan ia tak mau mengambil resiko menambah kesakitannya.
Setelah satu jam perjalanan yang melelahkan—Karena biasanya ia hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit—Akhirnya ia sampai di sekolahnya. Naruto menghela napas. Membayangkan bagaimana tanggapan sang sahabat. Saat nanti melihat pipi lebamnya.
.
.
"Naruto! Kenapa pipimu?!" tanya Kiba ketika sampai di tempat duduknya dan melihat Naruto berpura-pura membaca buku sejarahnya. Kiba tahu Naruto cerdas, tapi kebiasannya saat Kiba datang adalah tertidur.
Ketika Kiba merebut paksa buku yang ada di tangan Naruto dan melihat warna biru itu, ia tak tahan untuk tidak bertanya kepada sang sahabat.
"I-ini—"
"Ckkk, ini pasti ulah si Karin, gadis itu—" Potong Kiba sambil menggeram, ia akan memberitahu guru BP nanti.
"Kiba, sudahlah. Aku tak apa-apa kok," Naruto berkata.
"Dibiarkan? Gadis gila itu tak bisa dibiarkan, Naruto." ucap Kiba memandang Naruto sebal. Ia tidak suka sifat Naruto yang ini, mengalah. "Dia sudah sering diskors oleh pihak sekolah, hanya dikeluarkan saja yang belum, mentang-mentang ayahnya pemilik sekolah..." Kiba menghela napas sejenak. "Aku pikir ia benar-benar berhenti melukaimu, setelah ancamanku sebulan yang lalu. Ckk, tapi ternyata... iblis itu suka seenaknya... Akan ku adukan ia pada Guru BP, Depdiknas atau Mentri Pendidikan. Biar dia diskors selama-lamanya."
Naruto hanya tertawa mendengar ocehan Kiba. Kenapa malah dia yang jadi marah-marah? Korban di sini kan dirinya. "Kenapa tidak sekalian kau adukan kepada Tuhan saja, Kiba."
"Hei, jangan tertawa, aku mengkhawatirkanmu, bodoh—" Kiba menepuk pipinya lembut. Tapi cukup sakit untuk pipi lebam Naruto. "—dan jangan mengejekku dengan berkata begitu."
"Kiba, pipiku masih sakit tahu," Naruto menepuk pipi Kiba balik, dengan tambahan menggetok kepalanya.
"KYAAA~" suara teriakan membahana dari luar kelas dan dari lapangan basket yang bisa dilihat dari jendela, menghentikan sepasang sahabat itu untuk tawuran.
"Sasuke-kun sudah kembali dari Hawaii!" teriak para gadis kesenangan.
"Mari kita menyambutnya," pekikkan membahana, diiringi bunyi-bunyi tapak kaki berseliweran di luar kelas.
"Ckk, si Uchiha itu," Kiba menatap keluar jendela. Memicingkan matanya kearah gerbang sekolah dari lantai tiga, ruang kelas mereka. "Pergi liburan saat masa-masa sekolah berlangsung, dasar gila..."
"Bukan gila, Kiba...Tapi, Dasar Orang sangat-sangat terlalu Kaya,"
"Huh, kelewat aneh, dan tetap saja gila." ucap Kiba tetap berpegang kukuh pada pemikirannya. Kiba anak orang kaya, Namun tak sekaya Uchiha yang bahkan dengan harta kekayaannya bisa bermalas-malasan belasan turunan.
"Orang-orang kalangan Jet-set seperti dirinya tak bisa di tebak jalan pikirannya," ucap Naruto ikut melirik ke arah gerbang. Dimana seorang pemuda tengah turun dari mobilnya.
'Dan orang-orang seperti dirimu, Naruto, yang mempunyai hati dan mata pikiran terbuka lebih tidak bisa ku tebak,' Kiba menatap Naruto dengan pandangan menghargai.
To Be Continued.
O
Pattesa Note: Review Please, ^_^
