Ide ini muncul begitu saja ketika saya nemu kata "psychopath" di kamus Inggris-Indonesia. Entah kenapa saya maksain banget antara kejamnya seorang pembunuh psychopath dan sebuah romance tragedy. Yah... Iseng doang sih sebenernya bikin fic ini. Namanya juga ide lewat.

Well, saya beritahu sedikit. Di fic ini mungkin akan ada beberapa kata kasar, adegan bloody walaupun gak gore, dan sedikit melenceng rate-nya. *coret*Sebenernya mau bikin Sebby as a sexy guy *plak**coret*

Okelah, daripada banyak omong, langsung aja. Douzoo...


Orang itu dengan tidak manusiawinya menggorok Browny, anjing kesayanganku. Aku menjerit. Suaraku menggema di seluruh ruangan. Tangisku pecah. Air mata mengalir dari pelupuk mataku tanpa henti. Bagaimana tidak, Browny adalah satu-satunya yang kupunya setelah kedua orang tuaku tewas.

Orang itu tertawa seperti seorang psychopath. Mataku terbelalak. Tangisanku makin menjadi-jadi. Dia... Pembunuh itu kini menguliti Browny! Apa dia tidak punya belas kasihan?! Jika saja aku dapat memutuskan rantai yang mengikat tanganku dengan ranjang, pasti sudah kuhantam dia dengan vas bunga.

Darah dari anjing jenis chihuahua itu terus mengalir tanpa henti. Aku menjerit berkali-kali, berusaha menghentikan tindakan orang itu yang sudah kelewatan sadis. Berkali-kali pula aku mencoba memutuskan rantai ini walau aku tahu usahaku ini sia-sia.

Seperkian detik kemudian, orang itu berhenti. Dia memerhatikan kedua tangannya yang penuh darah. Dia tertawa. Sorot matanya menandakan bahwa ia menikmati hal itu. Menggorok dan menguliti seekor anjing.

Perlahan orang itu mulai membalikan tubuhnya. Dia menatapku dengan senyuman aneh diwajahnya. Dijilatnya pisau lipat yang penuh dengan darah Browny. Aku bergidik ngeri dan merasa jijik. Satu hal yang membuatku takut dan panik. Untuk apa dia mendekatiku?

Aku berteriak memerintahkan agar orang itu berhenti dan menjauh dariku. Namun usahaku tak digubrisnya. Dia tetap melangkah. Tangannya yang memegang pisau lipat teracung kearahku. Sekali lagi aku berteriak ketakutan. Aku semakin gencar menarik-narik rantai ini agar terputus, atau setidaknya mematahkan kayu ranjang.

Perlahan namun pasti, orang itu merangkak ke ranjang dan berhenti tepat di hadapanku. Senyuman psychopath terpampang jelas diwajahnya. Aku ketakutan. Suaraku tercekat, tidak dapat keluar. Tubuhku gemetar. Panas-dingin mulai menjalar keseluruh tubuhku. Aku panik!

Dia mengangkat tangan kanannya yang menggenggam pisau lipat. Setelah itu dia menempelkannya pada pipiku. Sedikit demi sedikit ditariknya pisau itu sehingga meninggalkan garis merah dipipiku. Darah segar terus mengalir dan perih mulai terasa.

Aku menangis.

Wajah orang itu mendekati telingaku. "Akan kuperlakukan kau sama seperti apa yang telah kuperlakukan terhadap anjingmu."

-oOo-

Kedua mataku terbuka dengan perlahan. Aku meringis kesakitan ketika mencoba menggerakan tanganku. Sakit. Aku baru menyadari bahwa rantai yang mengikat kedua tanganku telah lenyap, namun sekarang kedua tanganku dipenuhi luka memar. Bukan hanya tangan, tetapi kakiku juga. Apa yang telah ia lakukan padaku? Tapi... Aku... Belum mati, kah?

Mataku menangkap sosok seseorang yang berjalan memasuki dapur. Sebenarnya ini adalah rumahku. Seorang pembunuh berdarah dingin mendobrak pintu rumahku dan melakukan hal kriminal dalam satu malam. Cih! Aku jadi teringat bagaimana orang itu dengan sadisnya membunuh teman hidupku, Browny.

Dengan menahan rasa sakit ditangan dan kakiku, aku berusaha berjalan menyusul orang itu. Langkahku tertatih. Jika saja aku tidak berpegangan pada dinding, mungkin aku akan terjatuh karena saking sakitnya kedua kakiku.

Sesampainya di dapur, aku melihat orang itu tengah duduk dikursi makan seraya meminum soda kaleng. Dia membelakangiku. Mengingat apa yang telah ia lakukan padaku dan Browny, amarahku tersulut. Kuraih vas bunga yang ada di dekatku. Tanpa pikir panjang, segera kulemparkan benda rapuh ini.

PRANG!

Vas itu pecah. Pecah karena berhasil menghantam kepala orang itu. Dia memegangi kepala belakangnya. Darah mengalir dari sana. Dia kemudian menggeram. Sejurus kemudian dia bangkit dan mendekatiku. Tatapannya tajam. Giginya menggeretak.

Aku melangkah mundur. Namun dinding di belakangku menghalangi. Aku terdesak.

Orang itu mencengkram kedua pipiku dengan sebelah tangannya. Dia marah. Aku tahu itu.

"Bastard!", serunya. "Apa yang kau lakukah, hah?! Masih untung kau tidak kubunuh! Kau mau bernasib sama seperti anjingmu?! Kubunuh lalu kukuliti?! Kau mau, hah?!"

Nyaliku kembali menghilang. Entah kenapa. Seharusnya aku bisa melawan mengingat dia bersalah. Tapi mungkin karena kondisi tubuhku yang penuh memar, aku jadi tidak bisa melawannya secara fisik. Lagipula dia pasti akan membunuhku dengan mudah jika saja aku bertindak gegabah.

Dia menjambak rambutku dengan kuat sehingga aku mengerang kesakitan. Orang ini benar-benar keterlaluan! Bahkan ia tidak segan-segan menyiksaku walaupun dia tahu aku hanyalah perempuan yang lemah. Dia tidak punya belas kasihan sama sekali. Lingkungan seperti apa yang ia tinggali sehingga tega menyiksa seorang perempuan?

"Hmph! Kau bahkan tidak mampu melawanku. Aku bisa saja membunuhmu. Jadi bersikap manislah."

"Pergi.", ujarku rendah. "PERGI DAN JANGAN PERNAH MENGGANGGUKU!"

Dia sedikit terkejut. "Ap- Kau!"

"KURANG AJAR! PERGI SEKARANG JUGA!"

Tanpa kuduga, dia mendorongku. Terlalu kuat. Aku kehilangan keseimbangan. Akhirnya aku jatuh. Kepalaku terbentur tepian meja.

Sakit...

.

.

.

-oOo-

Kepalaku terasa pening karena sebelumnya terbentur meja. Mataku menatap sekeliling. Walau samar karena pening, aku dapat melihat sesuatu diranjangku. Itu... Orang brengsek itu dengan... Seorang perempuan? Ekh! Ba.. Bagaimana bisa?! Maksudku... Ini rumahku!

Dengan berpegangan pada dinding, aku berjalan mendekati mereka. Kulihat perempuan itu terkulai lemas. Sementara orang itu sudah duduk ditepian ranjang dengan memakai jeans. Matanya menatapku. Sebuah tatapan yang tajam. Aku terkesiap.

"Ini rumahku! Jangan melakukannya di sini!", ujarku membentak.

Orang itu menatapku sinis. "Lalu apa urusanmu?"

"Sialan! Pergi kau dari sini!"

"Kau berani memerintahku?"

"Cepat pergi dan bawa perempuanmu itu!"

"Will not." Dia berdiri di hadapanku. "Now you are my doll. So I won't leave you."

"Apa?! Beraninya kau!"

Tanganku terangkat. Sebuah tamparan keras ingin kulayangkan kepadanya. Namun orang itu dengan sigap menahan tanganku. Tanganku digenggam olehnya. Dia lalu menarik tanganku. Merangkulku kemudian. Wajahnya mendekat. Semakin mendekat. Tetapi aku segera memalingkan wajahku.

"Ada apa?", tanyanya polos. Akal-akalannya.

"Kau membunuh anjingku, menyiksaku, merusak rumahku. Apa kau tidak merasa bersalah sedikitpun?!" Nafasku memburu. "Kau orang yang tidak kukenal. Pembunuh psychopath!"

"Hmm... Kupikir 'pembunuh psychopath' cocok untukku. Baik sekali sampai memberikanku sebuah julukan."

"Kurang ajar! Aku bersumpah akan membunuhmu!"

"Apa itu ancaman?" Dia tertawa kecil. "Kasihan sekali. Hidup sebatang kara. Pekerjaan dengan upah kecil. Dan sekarang anjingmu pun dibunuh."

Eh? A.. Apa?

Mataku membulat lebar. "Ba.. Bagaimana... Kau tahu?"

"Aku memerhatikanmu. Sudah lama. Kau adalah targetku, Amy Peterson."

Aku semakin terperengah. "A.. Apa? Bagaimana..."

"Aku terobsesi padamu sekitar 3 tahun yang lalu. Banyak sekali manusia yang berada di dekatmu. Aku membencinya. Lalu kubunuh mereka satu per satu. Termasuk kedua orang tuamu."

Hah?! Ja.. Jadi...

"Ka.. Kau yang telah membunuh papa dan mama?!"

Dia tertawa keras. "Ya, Amy, ya! Aku yang membunuhnya. Karena itu, aku jadi menikmati pembunuhan berantai ini. Dan kaulah yang membuatku jadi seperti ini. Pembunuh psychopath. Ahahaha...!"

"Gila!" Aku mendorongnya agar menjauh dariku. "Ini gila! Benar-benar gila! Bahkan aku tidak tahu siapa kau!"

"Kau tidak tahu siapa aku? Ckckck... Perkenalkan, namaku Sebastian Michaelis. Seniormu di senior high school."

"Apa? Seniorku? Tunggu, aku tidak pernah tahu hal itu."

"Benar. Karena kau tidak menyadarinya. Lagipula itu sudah tiga tahun berlalu setelah aku lulus."

"Ini mustahil... Tidak masuk akal. Semuanya terdengar gila."

"Yeah... Semua ini karena kau. Jika tidak ada kau, tidak akan seperti ini jadinya." Dia menyeringai. "Aku harus memilikimu apapun yang terjadi. Baik hidup maupun mati. Kau harus menjadi bonekaku, Amy!"

Aku terkesiap. Dia mulai melangkahkan kakinya mendekatiku kembali. Aku yang ketakutan atas pengakuannya hanya dapat melangkahkan kakiku ke belakang, berusaha menghindar.

Aku semakin takut kala dia mengeluarkan pisau lipat yang ia gunakan untuk membunuh Browny sebelumnya. Seringaiannya semakin lebar. Aku menggelengkan kepalaku, tanda aku menolak dan memerintahkannya untuk berhenti.

Ketika dia hampir mendapatkanku, aku melihat perempuan di belakang orang itu bangkit dan berjalan mendekatinya. Tangan si perempuan terentang. Tanpa sepengetahuan orang itu, si perempuan yang tanpa balutan busana tersebut memeluknya dari belakang.

"Ini masih malam, bukan? Jadi kupikir... Bagaimana jika kita melanjutkannya?", ujar si perempuan dengan nada yang dibuat-buat.

Aku merasa jijik.

Orang itu terdiam. Seringaiannya menghilang seketika. Dia pun membalikkan tubuhnya menghadap si perempuan. Tak beberapa lama, aku mendengar sesuatu. Suara tusukan disusul dengan jeritan melengking milik si perempuan. Aku terperengah.

"Jangan menyentuhku, wanita jalang."

Tubuh perempuan itu ambruk seketika. Terdapat luka akibat tusukan pisau tajam tersebut. Darah mengalir deras dari luka yang cukup dalam di dada kirinya. Lantai rumahku menjadi kotor karena darah. Itu bukan masalah, tapi... Ada mayat di rumahku.

"Lihat?" Orang itu menunjuk tubuh yang sudah tak sadarkan diri. "Jika aku mau, kau akan berakhir sepertinya."

"Ugh...!" Aku bergidik ngeri.

"Kau bisa memilih sekarang. Ingin menjadi boneka hidup atau boneka mati?"

"Jangan konyol!"

"Tenang saja. Aku akan merawatmu. Seperti mainanku sendiri."

-oOo-

~Narrator's side~

"Ah...! Perempuan itu maunya apa, sih?!"

Seorang lelaki berambut pirang, Viscount of Druitt namanya, tengah mengeluh atau lebih tepatnya memaki sesuatu, oh... Mari kita ralat. Seseorang. Ya, Druitt memaki seorang perempuan. Adik kelasnya. Satu tahun dibawah angkatan mereka.

"Hei... Ada apa? Tiba-tiba muncul lalu marah-marah tidak jelas."

Druitt melemparkan tatapannya kepada si penanya. "Kau tahu, kan, kalau aku ini tampan? Tapi kenapa dia rela menolakku?!"

Si penanya itu memutar kedua bola matanya. "Oh... Ayolah. Tampan, tampan. Apa kau tidak bisa berhenti memasukan kata itu dalam kalimatmu sehari saja?"

"Kau itu bagaimana? Temanmu ini sedang kesal. Setidaknya hiburlah sedikit."

"Heh... Tidak berguna."

Druitt tak menanggapi ucapan temannya. Ia bermaksud menceritakan alasan kekesalannya. "Aku bingung dengan perempuan itu. Setiap laki-laki yang menyatakan perasaan padanya, selalu dia tolak. Memangnya dia menganggap dirinya cantik? Sombong!"

"Kalau begitu, kenapa kau ingin menjadikannya kekasihmu? Kau tidak suka perempuan sombong, kan?"

"Memang benar. Tapi aku hanya ingin membuktikan bahwa aku ini mampu mendapatkannya."

"Dan pada kenyataannya kau gagal."

"Yah... Seperti itulah."

"Tapi omong-omong... Siapa yang kau maksud dengan 'dia', si perempuan yang menolakmu?"

"Dia anak angkatan tahun kedua."

"Oh... Adik kelas rupanya."

"Harga diriku turun karena ditolak mentah-mentah oleh adik kelas."

"Siapa namanya?"

"Hem? Kenapa? Kau tertarik ingin mencoba sayembara ini? Haha... Lupakan saja. Aku yang lebih tampan saja ditolak, apalagi kau."

"Tidak. Aku hanya ingin tahu namanya dan melupakannya secepat angin."

"Yah... Baiklah. Namanya Amy Peterson."

"Oh..."

-oOo-

Langkah lelaki itu kecil. Padahal banyak siswa-siswi yang melangkah lebar agar cepat sampai di rumah nyaman mereka. Tetapi si lelaki ini sedikit penasaran dengan sosok Amy Peterson, adik kelas sombong yang banyak menolak pernyataan cinta dari para lelaki, termasuk temannya.

Tubuh tinggi semampai si lelaki berjalan di antara para adik kelas. tentu saja, koridor ini berisikan ruangan-ruangan khusus bagi murid-murid angkatan tahun kedua. Mata ruby-nya melirik ke kanan dan ke kiri. Mencari keberuntungan agar secepatnya menemukan sosok itu.

Seperti apa rupanya? Masalahnya, si lelaki belum pernah sekali pun melihat sosok Amy Peterson.

"Aku tidak mau."

Si lelaki mendengar suara. Dari salah satu kelas. Penasaran, ia mendekati ruangan yang telah sepi tersebut. Matanya mengintip. Dia melihat seorang gadis berambut pendek berwarna cokelat dengan mata berwarna violet. Tinggi si gadis kira-kira 150 cm. Ukuran tubuh yang mungil.

Wajah gadis itu datar. Atau mungkin ia merasa kesal karena ada yang mengganggu perjalanan pulangnya. Di hadapan si gadis berdiri seorang lelaki. Ekspresi si lelaki yang sebaya dengan gadis itu tampak kaget. Lagi-lagi, si gadis menolak pernyataan cinta dari seorang lelaki.

"Sudahlah, aku mau pulang." Si gadis berlalu.

Lelaki yang ditolak itu berusaha menahan si gadis. "Amy, tunggu!"

Di luar kelas tersebut, si lelaki bermata ruby tengah menyaksikan drama ini. Dia segera beranjak sebelum keberadaannya diketahui oleh kedua orang itu. Seraya melangkahkan kakinya, dia tersenyum. Senyum aneh bagi yang melihatnya. Namun sayang, tak ada yang melihat senyumannya.

Amy. Amy Peterson. Jadi dia orangnya? Batin si lelaki berbicara.

-oOo-

Amy Peterson. Gadis itu sedang membuka lokernya untuk mengambil buku pelajaran yang akan ia pelajari hari ini. Setelah mengambilnya, dia kembali menutup loker dan berjalan menuju kelasnya yang tidak jauh dari tempatnya berada sekarang.

Tanpa disadari oleh Amy, ada seseorang yang membututinya. Orang itu adalah lelaki bermata ruby dan berambut hitam legam. Benar. Dia itu kakak kelas Amy yang kemarin mengintip dramanya. Baiklah, kita sebut saja Sebastian Michaelis.

Hampir saja Sebastian menepuk bahu Amy kalau seandainya Amy tidak dipanggil oleh teman-temannya. Sebastian kembali menarik tangan kanannya. Dia juga memutuskan untuk kembali ke kelas. Dia tidak mau disebut penguntit. Tentu saja.

Banyak sekali orang-orang yang berada di dekatnya, pikir Sebastian. Apa yang harus dilakukan lelaki itu agar dapat berkomunikasi dengan Amy tanpa ada seorangpun yang mengganggu?

Seketika, terlintas sebuah pemikiran. Sebuah pemikiran yang gila. Amat gila malah. Pemikiran ini akan mengubah masa depan Sebastian. Tidak, bukan hanya Sebastian, tetapi Amy juga. Masa depan yang kelam bagi mereka berdua.

-oOo-

~Amy's side~

Langkahku mengendap-endap, berusaha agar tak menciptakan suara sekecil pun. Mataku menatap waspada. Dengan berbekal tongkat kriket, aku terus menyusuri rumahku. Pergi menuju pintu utama, melarikan diri, dan memanggil polisi.

Ini kesempatan emas! Harus kugunakan sebaik mungkin! Ini akan menyelamatkan nyawaku! Psychopath itu tengah tertidur setelah sekian lama ia terjaga hanya untuk 'menghiburku' dengan memutilasi mayat perempuan yang ia bawa kemarin malam.

Tanganku meraih daun pintu dan...

KREK!

... Berhasil! Dia tidak mengunci pintunya!

Tanpa membuang-buang waktu lagi, aku segera mengambil langkah lebar. Secepat-cepatnya aku mengambil langkah. Berlari, menembus dinginnya malam. Namun itu tak menghalangiku. Entah karena jacket yang kukenakan atau karena keinginanku untuk kabur sangat besar.

Akhirnya... Aku selamat!

"Hei... Kau!"

Eh?

Aku menoleh ke sumber suara. Aku menemukannya. Di samping gang kecil aku melihat beberapa orang. Tidak, maksudku pria. Melihat mereka memanggilku, aku menunjuk diriku sendiri. Mereka mengangguk lantas menyuruhku mendekatinya.

Awalnya aku ragu. Tetapi aku butuh pertolongan. Siapa tahu mereka bersedia menyelamatkanku dari psychopath itu.

Jadi aku menghampiri keempat pria tersebut.

Nafasku terengah-engah. "Ma.. Maaf, aku butuh pertolongan. A.. Ada seseorang yang ingin membunuhku. Kumohon... Tolong aku..."

Mereka saling tatap. Wajah mereka menunjukan sedikit rasa ragu. Namun pada akhirnya mereka mengangguk. Keempatnya menuntunku menyusuri gang yang penerangannya minim ini. Aku jadi merasa tidak enak. Ada firasat buruk yang kurasakan. Kira-kira... Kemana mereka akan membawaku?

Ekh!

Aku tersentak kaget ketika salah satu dari mereka mendorong tubuhku hingga menghantam dinding. Tangannya mencekal kedua tanganku. Seperdetik kemudian mereka tertawa. Tawa jahat yang terdengar. Terbukti sudah firasat burukku.

"Memangnya siapa yang akan membunuhmu, cantik? Ahahaha...!"

"Hanya orang idiot saja yang menyia-nyiakan perempuan ini."

"Dan kita bukan orang idiot!"

"So we'll have fun tonight!"

Cih! Keparat! Mereka hanya kumpulan orang-orang laknat! Kupikir mereka akan menolongku. Ternyata...

Aku memberontak. Kulayangkan tendanganku. Dan yes! Berhasil mengenai titik vital orang yang mencekal kedua lenganku! Bebas, aku pun segera melarikan diri. Secepat yang kubisa.

Namun salah satu dari mereka berhasil menjambak rambutku yang terurai. Aku meringis kesakitan. Langkahku terhenti. Dengan sigap aku membalikkan badan. Lalu kuayunkan tongkat kriket yang masih kugenggam.

BUAK!

Hantaman tongkat kriket ini mengenai tepat dikepala si penjambak rambutku. Darah mengalir dari sudut dahinya. Ia menggeram marah. Bahkan teman-temannya juga ikut menggeram marah. Aku jadi takut. Apa yang harus kulakukan?

Orang yang tadi menjambak rambutku itu langsung menerjangku. Terlalu kuat, aku pun terjatuh. Dia memegangi kedua tanganku. Lalu aku merasakan sepasang tangan memegangi kedua kakiku. Gawat! Aku tidak bisa bergerak!

Dua dari mereka yang tersisa tertawa. Menatapku dengan tatapan aneh. Kedua pria itu berusaha melepaskan pakaian yang kupakai. Aku memberontak. Kugerakan kakiku sekuat yang kubisa. Suara teriakanku menggema, memantul didinding yang sempit.

Air mataku mengalir. Aku tidak bisa melakukan apa-apa...

DOR! DOR!

Eh?

Dua pria yang berusaha melepaskan pakaianku tiba-tiba saja tumbang. Terdapat lubang didahi mereka masing-masing. Darah mereka menetes mengenai tubuhku. Kedua teman mereka mencari sumber yang menyebabkan temannya mati di tempat.

"Siapa yang berani melakukannya?!", ujar salah satu dari mereka.

Mataku menangkap sesosok yang berjalan mendekat ke sini. Dia memegang senjata api, Shotgun. Makin lama, makin terlihat jelas siapa pelakunya, dan... Mataku terbelalak. Aku tidak percaya ini, tapi... Sial! Aku gagal! Seharusnya aku bisa menyelamatkan diriku!

"Get away from her. Or you'll die, just one shoot on your head."

Kedua pria itu tampak ketakutan manakala si pendatang mengokang senjatanya. Mereka melarikan diri. Menghindari kematian. Namun dua tembakan dimasing-masing kepala mereka telah membunuh kedua pria tersebut. Mereka tewas. Aku selamat. Ah... Tidak, maksudku.

Aku beringsut mundur saat pendatang baru itu mulai mendekatiku. "Pe.. Pergi! Jangan mendekat!"

Dia tertawa kecil. "Hmph! Itukah caramu berterima kasih?"

"Pergi! PERGI!"

"Polos sekali. Apa kau tidak menyadari mereka akan 'memainkanmu'?"

"PERGI KUBILANG! JANGAN DEKAT-"

KREK!

Aku membulatkan mataku. Orang itu mengarahkan senjatanya tepat di tengah-tengah dahiku. Lidahku kelu. Wajah orang itu terlihat kesal. Aku tak mengerti apa yang ia sampaikan dari tatapannya itu. Sulit dipahami.

"Aku tidak akan membiarkanmu lepas begitu saja. Kau adalah bonekaku."

Aku menggeleng. "Ti... Tidak... Tidak! Aku tidak mau!"

"Jangan membantah."

"Pergi! Jangan dekati aku! Jangan sentuh aku!" Kucengkram kepalaku kuat-kuat. Air mataku mengalir. "Jangan... Sakiti aku lagi... Aku tidak mau..."

"Berhenti menangis."

"Kau telah menyiksaku. Kau telah membunuh papa dan mama. Kau telah membunuh anjingku. Kau... Keterlaluan!"

Orang itu terdiam, tak menunjukan ekspresi apapun. Tatapannya menatapku datar. Perlahan ia menurunkan tangannya. Aku sedikit bernafas lega karena senapan itu menyingkir dari kepalaku.

"Aku tidak pernah menyangka." Dia berjongkok, membuat wajah kami sejajar. "Akan melihatmu menangis seperti ini."

"Eh?"

"Aku memang pernah melihatmu menangis sebelumnya. Tapi kali ini... Ada yang aneh."

Aku menatap orang di hadapanku. Intonasi bicaranya berbeda. Suaranya turun satu oktaf. Terdengar lebih tenang. Aku tidak mengerti. Ada apa dengannya? Yang kutahu dia itu seorang psychopath yang sadis. But this moment... Sosoknya terlihat berbeda. Entah apa itu.

"Apa?", tanyaku pelan.

Orang itu tak merespon. Tangan kanannya menyentuh pipiku. Kemudian dia mendekatkan wajahnya pada wajahku. Ini aneh. Aku tidak memberontak walaupun aku tahu dia akan menciumku. Aku seolah terhipnotis. Entah kenapa sosoknya saat ini sangat berbeda dengan sososk ketika dia membunuh Browny. Apa karena dia telah menyelamatkanku?

Kenapa? Padahal dia sudah menyiksaku sedemikian rupa. Bahkan membunuh papa dan mama. Kenapa aku malah diam saja melihat dia akan menciumku? Apa yang telah ia lakukan padaku sehingga aku tidak bisa berkutik?

Akhirnya bibir kami saling bertemu. Dia menatapku dengan sorot mata yang lembut. Sangat lembut. Entah bagaimana aku mengatakannya. Sedetik kemudian ia menutup kedua matanya. Aku pun mengikutinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tapi... Aku merasa lebih tenang sekarang.

Dia pun melepaskan ciumannya. Aku melihatnya yang tersenyum tulus. Senyum tulus. Mata ruby-nya menatapku lembut. Entah sejak kapan, tapi yang pasti aku baru menyadari bahwa dia memiliki iris mata yang indah.

Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang telah dia lakukan padaku? Kenapa aku tidak bisa memalingkan tatapanku darinya barang setengah detik pun? Aku menangkap gambaran. Dimataku saat ini, dia bukan seperti psychopath. Dia lebih seperti Englishman terpandang. Wajahnya tampan, penuh kharismatik, rupawan, dan- Ekh! Ke.. Kenapa aku ini?! Kenapa memujinya?!

"Amy..."

Aku tersadar lalu mendorongnya agar menjauh dariku. "Ja.. Jangan memandangku seperti itu! Su.. Sudah kukatakan untuk pergi, bukan?! Sekarang, cepat pergi!"

Dia tertawa. Tawa yang manis. "Kau lucu. Aku tahu kau malu. Ya, kan?"

"Ti.. Tidak! Sudahlah, cepat pergi! Kau dengar tidak?!"

Dia mengulurkan tangannya padaku. "Kalau begitu, kau juga ikut. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini sendirian. Kau tahu? Kau beruntung karena aku tidak tertidur dan mengikutimu secara diam-diam."

Wajahku memanas. "Jangan menggodaku! Dasar pcychopath mesum!"

"Hee...? Apa-apaan ucapanmu itu?"

"Ugh...! Berlagak suci! Ingat! Sudah berapa nyawa yang kau regang, hah?!"

"Ssttt... Jangan teriak-teriak. Ini sudah tengah malam. Lebih baik kita pulang."

"Pulang?! Hei...! Itu rumahku! Dan kau harus membersihkannya!"


Nah... Saatnya meninggalkan jejak dengan cara klik review ^^